Ads 468x60px

Lima Arus Pastor Bonus



Lima Arus

Menjadi sibuk saja tidaklah cukup;
semut-semut juga sibuk.
Persoalannya adalah:
Apa yang menyibukkan kita?”


Tulisan yang berkutat pada lima arus pastoral ini merupakan salah satu refleksi kecil dari bulatan kesatuan acara penuh makna dan cerita yang diberi tajuk: Bulan Pastoral - Membangun Gereja di Dunia: Dari Tantangan Aktual ke Pastoral Profesional.Terus terang, tidak mudah bagi saya untuk menulis-lukiskan hal-hal yang saya dapat dan kembangkan sebagai pelaku pastoral selama Bulan Pastoral  ini dalam sebuah tulisan, mengingat keseluruhan program yang cakupannya cukup luas, cerdas dan bernas.

Satu hal pokok yang saya dapatkan selama Bulan Pastoral ini adalah sebuah kesadaran bahwa agama kristiani sendiri berangkat dari interupsi Allah ke tengah dunia yang sedang disalahurus oleh manusia. Saya, secara khusus sebagai “pastor” (agamawan) diajak melihat bahwa konteks dunia yang meminggirkan banyak orang kecil, lemah, miskin dan tersingkir ke tepian perhatian masyarakat, mestinya meng-interupsi saya: menggugah sekaligus menggugat saya sebagai gembala yang sering mengingkari hakekat ke“pastor”annya.

Karena berbicara dalam konteks Bulan Pastoral, saya melihat-ingat lima arus interupsi pastoral terkait dengan hidup dan karya sebagai gembala:

-Arus pertama, Paham Pluralisme antar agama dan budaya.  Hal ini saya lihat sebagai suatu interupsi ke tengah dunia yang cenderung monolitik dan selalu mengutamakan mayoritas dan kadang kurang mengindahkan penghargaan terhadap minoritas. Hal ini sejajar dengan pengajaran tentang Islamologi, yang mana merupakan sebuah interupsi terhadap pelbagai fanatisme sempit dan konteks dunia yang kurang menghargai sebuah ruang publik, bernama dialog iman dan kehidupan.

-Arus kedua, Paham Inkarnasi dan Kristologi dimana Allah menjadi manusia. Hal merupakan satu bentuk interupsi terhadap kecenderungan manusia untuk suka disembah seperti Allah, untuk bisa berkuasa mutlak atas hidup dan mati orang lain. Arus kedua ini juga sejalan dengan paham Gembala Baik yang secara tidak langsung juga menginterupsi kondisi yang diciptakan manusia, yang kadang menempatkan dirinya sebagai serigala yang sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan lainnya.

-Arus ketiga, Paham Ekaristi sebagai pusat dan sumber hidup orang Kristiani dimana terdapat perjamuan bersama pada meja yang satu. Hal ini  merupakan sebuah interupsi di tengah tendensi manusia egois, yang mau makan sendiri dan mengabaikan yang “lapar”, yang melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan membawa pergi mejanya sekalian.

-Arus keempat, Paham Pastoral Berbasis Data dengan paparan sosiologis aktual. Hal ini  dihadirkan sebagai sebuah interupsi terhadap fenomen dunia pastoral yang kerap menggunakan banyak kebijakan berdasar asumsi dan prediksi, sekaligus sebuah interupsi terhadap hidup harian dan karya para gembala yang kadang kurang integral, kurang komunikatif, begitu mudah mengambil keputusan yang spontan dan kurang bijaksana dengan pelbagai dinamikanya dan dimensinya. Arus keempat ini sejajar dengan paham imamat yang digambarkan: “Imamat -Dari Presbiter ke Sacerdos, Dari Sacerdos ke Minister”, yang merupakan sebuah interupsi terhadap dunia para pastor yang hanya sibuk bergelut dengan dirinya sendiri dan pelbagai hal-hal peribadatan tapi melupakan esensi lain yang juga teramat penting.   

-Arus kelima, Paham Ekologis, yang mencoba memaparkan pentingnya perHATIan Gereja terhadap lingkungan hidup, Gereja yang ramah, bersahabat dan memelihara keutuhan ciptaan.
Hal ini merupakan sebuah interupsi terhadap Gereja yang cuek bebek pada masyarakat dengan pelbagai keruwetan  hariannya. Arus ini sejajar dengan Kiprah Romo Kirdjito dengan gerakan eko-pastoralnya di lereng Merapi yang notabene merupakan sebuah interupsi terhadap penguasa yang kerap mengorbankan sesamanya yang lemah dan alam ciptaannya, tanpa mau memelihara dan mengembangkannya dengan bijaksana. Arus ini juga sejajar dengan penjabaran tema Globalisasi dengan pelbagai imbasnya (seperti politik, ekonomi, sosial, psikologis dan kultural) dan aneka masalah yang ditimbulkannya (al: jurang kaya-miskin, perusakan lingkungan, serta ”peradaban pasar”), dimana hal ini bisa jadi merupakan sebuah interupsi terhadap dunia yang hanya mementingkan pemilik dan penguasa modal dan melupakan para korban yang tidak mempunyai akses dan kekuatan modal.

Dari kelima arus interupsi di atas, yang saya lihat-ingat selama Bulan Pastoral, saya diajak terus belajar melakukan interupsi, baik terhadap dunia di luar saya, maupun terlebih terhadap diri saya sendiri, baik ke dalam “altar”, Gereja sendiri - tetapi juga ke dalam pasar”, yang bersifat publik, ke tengah dunia para korban, pemikir sosial dan politik, kepada para ahli ekonomi, pencinta budaya dan penganut agama lain. Seperti yang banyak dipapar-mekarkan selama Bulan Pastoral, bahwa salah satu konteks berpastoral zaman ini adalah dunia kaya-miskin. Bagi saya, berpastoral dalam dunia kaya-miskin berarti mewartakan Allah yang datang untuk membebaskan baik orang kaya maupun orang miskin: Orang kaya perlu dibebaskan agar mereka tidak menjadi tawanan dari sikap cinta diri dan buta terhadap sesama. Orang miskin juga perlu dibebaskan agar mereka tidak tenggelam dalam ketidakberdayaan dan buta terhadap peluang-peluang untuk membangun hidup yang lebih berkualitas. Bukankah tolak ukur kemajuan hidup menggereja tidak hanya dilihat dari menjamurnya kegiatan-kegiatan kultis dan devosional, tapi juga bagaimana Gereja bisa menghadirkan datangnya Kerajaan Allah di tengah dunia secara nyata?

Disinilah, saya sekaligus diajak semakin menghayati pelbagai karya pastor(al) sebagai interupsi: suatu perwujudan keberpihakan sekaligus segala upaya baik untuk menampakkan kehadiran Allah sebagai sang Gembala yang menyelamatkan umatnya dalam konteks kehidupan yang konkret. Adapun visi pribadi yang saya dapatkan selama Bulan Pastoral:

“Saya adalah gembala baik,
yang berakar pada pengalaman kasih Allah,
yang bertumbuh dalam semangat persahabatan, kerjasama dan dialog dengan berbagai pihak, dan
yang berbuah nyata dalam karya dan pelayanan
demi terwujudnya Kerajaan Allah di tengah dunia.

Dari kelima arus interupsi di atas serta visi pribadi yang saya dapatkan selama Bulan Pastoral ini, saya juga diajak belajar menampung setiap pengalaman dan aspirasi sekaligus inspirasi  dari pelbagai pribadi selama Bulan Pastoral. Lima arus pastoral yang saya dapatkan juga sebagai sebuah misi, yaitu:

  1. “Semangat magis” demi mengembangkan hidup kerohanian dan kepribadian.
  2. “Semangat magis” demi mengembangkan kemampuan dan kesanggupan pastoral.
  3. Karya pelayanan kasih dan  sakramen yang sungguh menyentuh kenyataan hidup,
  4. Pewartaan Sabda yang sederhana dan menyapa hati manusia,
  5. Pembangunan jemaat beriman dalam hidup menggereja dan memasyarakat yang lebih kontekstual.

Akhirnya, saya mengingat sebuah pernyataan Romo Kirdjito di Paroki Sumber-Lereng Merapi: “iman tidak cuma berhenti sebatas gedung gereja.” Saya disadarkan ketika iman hanya berhenti pada gedungnya saja, maka ke gereja menjadi ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor dan pemeras buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat memaksa diri ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan kotbah yang tak menyentuh. Disinilah, saya diajak untuk mengendapkan juga mewartakan juga bagi diri saya sendiri, bahwa iman tak boleh terpisah dari hidup harian.

Dkl: Menjadi seorang “pastor bonus” dewasa ini sebenarnya juga sudah merupakan satu bentuk interupsi, kiranya saya juga terus belajar menghidupi imamat dan karya kegembalaan setiap harinya ini sebagai sebuah interupsi.

“Liturgi berdoa,
supaya ‘mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari
apa yang mereka peroleh dalam iman”
(SC 10).


0 komentar:

Posting Komentar