Prolog
Yusuf Bilyarta
Mangunwijaya, seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang,
adalah splendor
veritatis – yang penuh dengan warna-warni pelangi kemanusiaan.
Pergulatan hidupnya
tercermin dalam beragam karya monumental. Novel Burungburung
Manyar (1979) menyabet
penghargaan The South-East Asian Award (1986).
Sentuhan arsitektur yang
berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code
telah membuatnya
dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Belum lagi, kepeduliannya
terhadap karya pendidikan
dasar dan orang-orang miskin. Ia jugalah yang
mendirikan Dinamika
Edukasi Dasar (DED). Untuk itulah, bagi saya sendiri, Romo
Mangun itu “Hari”,
hadir untuk memberi.
Sebuah Sketsa Profil (1)
‘’Rumah saya seperti
rumah dukun. Banyak orang berdatangan, untuk mengeluh
atau minta saran,’’ kata Romo Mangun.
Mereka yang berdatangan adalah
para mahasiswa, dosen,
atau para tetangga, apa pun agamanya. Kediamannya
berupa sebuah rumah
panggung, berdinding gedek, terletak di lembah yang
berhimpitan dengan
jembatan Gondolayu, Yogyakarta. Berdekatan dengan
rumahnya terdapat
sederetan rumah serupa, yang dihuni tuna wisma,
pemungut sampah, tukang
becak, dan anak-anak penyemir sepatu. Tempat
tinggal “orang buangan’’
yang tertata rapi itu adalah hasil rancangan Romo
Mangun - arsitek lulusan
Rheinisch - Westfaelische Technische Hochschule,
Aachen, Jerman Barat.
Ia adalah putra sulung
dari 12 bersaudara, anak dari pasangan Julianus
Sumadi Mangunwijaya dan
Serafin Kamdiyah. Ia lahir di Ambarawa pada
tanggal 6 Mei 1929. Kedua
orang tuanya adalah guru, sedangkan kakeknya
adalah petani tembakau.
Sekolah formalnya dimulai di Muntilan, tetapi ia
terpaksa tidak dapat
melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut karena
sekolah tersebut bubar
ketika Jepang memasuki Indonesia. Semasa remaja,
ia sempat bergabung
dengan Tentara Pelajar. Saat itu Romo Mangun
tergabung dalam Batalyon
X yang dipimpin Mayor Soeharto, mantan
Presiden Indonesia.
Dalam seluruh hidup Romo
Mangun, satu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah pilihan
keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum
miskin, lemah, miskin,
dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan
hidupnya. Pilihan
keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota
Malang. Waktu itu, ada
perayaan penyambutan Tentara Indonesia. Semua
mengelu-elukan tentara
sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat
giliran berpidato. Mayor
Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat.
Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami
sudah berlumuran darah dan
melakukan hal-hal yang
kejam ... Sebetulnya kami ini bukan pahlawan. Yang pahlawan
adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami.
Jika Belanda datang, kami lari. Memang bukan karena pengecut,
melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat
tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban diperkosa, dibakar
rumahnya, ditembak. Mereka yang berkorban, tetapi yang
menjadi pahlawan bukan rakyat.”2
Pengalaman ini membuat
Romo Mangun tergugah untuk membalas
budi kepada rakyat. Usaha
pembalasan budi kepada rakyat itu ditempuhnya
dengan menjadi imam praja
(baca: diosesan). Ia lebih memilih menjadi
imam praja karena ia
ingin bekerja langsung di tengah rakyat. Bagi Mangun,
menjadi imam adalah
sebuah cara untuk berusaha menjadi jembatan antara
manusia dan Tuhan. Pada
tanggal 8 September 1959, ia ditahbiskan menjadi
imam oleh Mgr. Soegijapranata,
SJ.
Dalam sebuah wawancara,
Romo Mangun mengakui bahwa status
imamat memang memberi
banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi
manusia biasa saja. “Yang
berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia
biasa. Sebab pastor itu
‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang
menjadi sombong. Karena
itulah orang seperti kami harus selalu aware jangan
sombong.”3
Tadinya, ia memang hanya
ingin menjadi pastor desa, tetapi uskupnya
menginginkan agar ia
melanjutkan studi. Ia lalu masuk Institut Teknologi
Bandung dan Sekolah
Tinggi Teknik di Aachen, Jerman. Gelar insinyur sipil
diraihnya pada tahun
1966. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia juga menjadi
dosen luar biasa Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada. Seiring perjalanan
waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis,
kolumnis berbagai surat
kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan
tokoh besar yang
mencintai orang miskin.
Selama hidupnya, Romo
Mangun memang banyak terlibat dalam
persoalan-persoalan
masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup
masyarakat yang lebih
baik. Pengalaman hidupnya di Code (Yogyakarta),
Gigrak (Gunungkidul),
Kedungombo (Boyolali) mengungkapkan betapa ia
peduli terhadap
persoalan-persoalan kemanusiaan. Hasratnya untuk terlibat
dalam mengangkat harkat
dan martabat manusia membuatnya juga tidak
dapat melepaskan diri
dari persoalan-persoalan kehidupan orang-orang di
sekitarnya. Dengan
demikian, dia pun berpolitik. Komentar dalam buku
Politik Hati Nurani mengatakan
demikian: “Romo Mangun memang berpolitik,
tapi bukan politik dalam
arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya
dengan segala cara. Ia
menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari
perpolitikannya. Politik
harus menggunakan hati nurani dan hati nurani
sendiri juga harus
dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas
dan demi keadian bagi
seluruh lapisan.”4
Romo Mangun sendiri
menghabiskan sisa hidupnya di Gang Kuwera,
Jalan Gejayan,
Yogyakarta. Saat ini bekas rumah tinggal sekaligus kantornya
ini digunakan sebagai
kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, sebuah
yayasan yang
didirikannya. Akhirnya, ia menghembuskan nafas akhirnya
pada hari Rabu Legi, 10
Februari 1999, ketika ia diminta menyampaikan
gagasan dalam seminar
perbukuan dengan tema Meningkatkan Peran Buku
dalam Upaya Membentuk
Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien,
Jakarta. Banyak kalangan
yang merasa kehilangan atas kepergiannya.
Berbagai komentar dari
tokoh masyarakat, termasuk Mantan Presiden
BJ Habibie, menunjukkan
bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang
tokoh yang menjadi suri
teladan. Jenazahnya dimakamkan di Seminari
Tinggi Kentungan,
Yogyakarta. Meskipun ia telah pergi, namun nilai-nilai
kemanusiaan yang
diajarkannya tidak akan pernah hilang, bukan?
Refleksi Teologis
Sugi, Suka Berbagi
Mgr. Ignatius Suharyo
mengatakan bahwa tindakan politik Romo Mangun
didasari pengalaman
mistiknya dengan Allah. Ia sungguh-sungguh
berpolitik. Ia membangun
negara yang demokratis. Ia ingin betul-betul
tidak ada orang yang
disingkirkan dalam pembangunan negara. Apa yang
dilakukan Romo Mangun
adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan
yang bobrok.5 Kiranya
tidak berlebihan, kalau Jennifer Lindsey menilai
bahwa Romo Mangun adalah
hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di
dunia ini memang jarang
dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya.
Beliau adalah salah
seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat
mencintai negaranya dan
dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai hati
nurani bangsa.”6
Saya pribadi kalau
mengingat Rm Mangun, jadi teringat seorang supir
bernama Sugi (kebetulan
Romo Mangun juga pernah menjadi supir ketika
ikut dalam Tentara
Pelajar). Saya mengenal Mas Sugi ketika bertugas pastoral
di Kolese Gonzaga
Jakarta, sekitar tahun 2002. Bagi saya, “Sugi” bisa berarti
suka berbagi. Saya juga melihat
bahwasannya Rm Mangun juga suka berbagi.
Dalam bagian refleksi
teologis ini, saya membaginya dalam tiga bidang besar
sebagai berikut.
a. Romo Mangun sebagai
Guru
Romo Mangun bukan hanya
seorang rohaniawan, tapi ia juga adalah
seorang tokoh yang
mencoba membagikan pemahaman betapa pentingnya
pendidikan dasar bagi
masyarakat, terutama pendidikan bagi rakyat kelas
bawah. “Anak-anak
miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar lahir di
kalangan kumuh itu,
itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan dan
dari pengalaman itu saya
mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya
yang ingin saya kerjakan
adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak
miskin,” kata Romo
Mangun.
Di sinilah, Rm. Mangun
mencoba untuk keluar dari lingkaran setan:
dampak kekuasaan yang
termanifestasi melalui kurikulum yang sarat
dengan pengetahuan namun
miskin dalam pemaknaan. Karena itu, dengan
memanfaatkan sebuah SD
Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati,
pada tahun 1994, Rm.
Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking)
dengan tiga sasaran.
Pertama, Rm. Mangun
menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan
kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya untuk mengangkat
kemiskinan sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin.
Kedua, sebagai partner
kerja dari SDKEM, Rm.Mangun juga mendirikan
Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk
mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah
berbagai persoalan pendidikan pada tingkat
pendidikan dasar
diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara
kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya.
Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan menggandeng berbagai rekan, mengembangkan
jaringan, dan menyebarkan
temuan-temuan dalam berbagai eksperimen
tersebut ke berbagai
forum.
Sebagai seorang pendidik,
ia juga pernah berpendapat bahwa beberapa
daya yang harus
dikembangkan, yaitu: daya kognitif (daya nalar), cita rasa
dan kemampuan afektif
(rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan
perasaan), kemampuan
untuk saling berkomunikasi (bergaul, bekerja sama,
teratur, tenggang rasa),
kesehatan raga, dan hati nurani (sikap atau semangat
tolong menolong, setia
kawan, sopan, dan cinta kasih).7
Pendidikan daya yang
terakhir inilah, “pendidikan hati nurani”, dapat
dilakukan melalui
komunikasi iman (bukan melulu agama) dalam kehidupan,
dialog, percakapan, dan
lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini
adalah untuk menumbuhkan
sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka
terhadap segala yang
baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat
orang lain gembira,
sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang
buruk, menghina teman
yang miskin, cacat, atau lambat belajar misalnya.8
Di sinilah, saya
mengangkat pernyataan Ignatius Haryanto, dalam kata
pengantar buku Politik
Hati Nurani. Ia menulis:
“Sosok
Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang politikus
dalam
arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok
massa,
dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo
Mangun
mengerti soal politik, dan dalam arti luas ia juga
berpolitik,
namun ia mendasari politiknya lewat pengabdian
pada
kemanusiaan. Profesinya sebagai seorang rohaniwan mau
tidak
mau mempengaruhi option yang
dipilihnya tersebut.
Dengan
seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan bahwa ia
bergerak
atas dasar panggilan nurani kemanusiaan ... Hati nurani
bukanlah
hal yang terpisah dari kehidupan politik, bahkan justru
kegiatan
politik harus memiliki Hati Nurani jika perpolitikan
hendak
berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari rakyat.”9
Secara imani, Romo Mangun
mengajak kita melihat bahwa berbagai
pengalaman hidup yang
dijumpai dalam hidup keseharian dapat diangkat
dan dimaknai dengan
adanya kepekaan hati nurani. Barang-barang bekas
bisa dibawa ke kelas
untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna
kreativitas, perlunya
konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama.
Bagi Rm. Mangun,
kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis,
gagal, dan tidak
berprestasi. Bukankah Tuhan juga datang sebagai orang
miskin di sebuah kandang
Betlehem? Romo Mangun bahkan pernah juga
mengatakan, “Yang
utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil
dan solider terhadap yang
menderita ... demi perdamaian dunia, kemanusiaan,
keadilan sosial, dan
kemerdekaan.”
Menurutnya, iman adalah
tindakan, ya tindakan yang membuat manusia menjadi lebih
manusia, menjadi lebih punya hati nurani.10
b. Romo Mangun sebagai
Sastrawan
Dalam khasanah sastra
Indonesia Romo Mangun dikenal sebagai seorang
penulis novel yang
produktif. Sampai di akhir hidupnya ia telah menulis
puluhan novel. Beberapa
karya satranya antara lain: Romo Rahadi (1981),
Burung-burung Manyar
(1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Roro
Mendut, Genduk Duku, Lusi
Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985),
Burung-burung Rantau
(1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Durga
Umayi (1994), Tak Ada
Jalan Lain (1999), Pohon-pohon Sesawi (1999).
Membaca novel Romo Mangun
berarti juga membaca humanisme.
Dalam pandangan Ahmad
Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel
Romo Mangun menunjukkan
sosok multidimensionalitas pribadinya.
Melalui novelnya, Romo
Mangun mencurahkan pandangannya tentang
kemanusiaan dan kebangsaan.
Ia menulis cerita dengan cara yang sangat
jelas dan memakainya
sesuai kebutuhan. Kadang seorang Mangun bergaya,
seperti seorang kakek
yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya,
misalnya dalam Burung-burung
Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang,
walaupun ada novel yang
tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.
Trilogi roman sejarah Rara
Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa
dibilang merupakan
novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan.
Tidak berbeda dengan
penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti
Pramoedya Ananta Toer dan
Sutan Takdir Alisjahbana, Mangunwijaya
di hampir semua karyanya
juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang
terbentuknya bangsa
Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya
yang kritis. Tanpa gentar
ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah
sejarah yang luput
diceritakan. Misalnya, meski kini bangsa Indonesia sudah
lama mengenyam
kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik,
tetapi cerita Durga
Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas,
dan kapitalisme global
kini yang memperkosa Indonesia.
Dalam novel “Ikan-ikan
Hiu, Ido, Homa”, sikap Mangunwijaya
terhadap penjajahan jelas
terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses
makan dan dimakan. Ikan
besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil
(ido) memakan ikan lebih
kecil (homa). Bagi saya, membaca karya Romo
Mangun juga mengantar
kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci
dunia melalui pengalaman
Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan
identitas yang kini
menjadi pemecah belah manusia. Tampak jelas, bahwa
Romo Mangun
mengomunikasikan imannya lewat pelbagai tulisan yang dia
hasilkan bukan?
c. Romo Mangun sebagai
Arsitek
Sebagai seorang arsitek,
Romo Mangun mempunyai keistimewaan dalam
dunia arsitektur
Indonesia. Hasil karya Mangunwijaya dapat menjadi contoh
hasil ekspresi yang jujur
dan kreatif dari jiwa dengan semangat option for the
poor: keberpihakan
kepada kelompok lemah dan terpinggirkan.
Erwinthon P. Napitupulu,
arsitek muda yang tengah mendokumentasikan
karya-karya Mangunwijaya
mengatakan di tengah diskusi yang digelar Dewan
Kesenian Jakarta dalam
rangka memperingati 80 tahun kelahiran Romo
Mangun di Goethe
Institute, Jakarta, “seperti juga pada banyak aktivitasnya
di bidang politik,
pendidikan dan sastra, karya Mangunwijaya di bidang
arsitektur bukanlah
menjadi tujuannya. Baginya, arsitektur menjadi media
perjuangan untuk mencapai
tujuan yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan.”
Mangunwijaya sebagai
arsitek, misalnya, terlibat langsung dalam
konflik sosial di Lembah
Code ketika muncul rencana penggusuran. Dia
menggunakan arsitektur
untuk membantu meredam konflik tersebut. Dia
juga sempat mendesain
perahu dan perpustakaan terapung untuk menjawab
persoalan ketika terjadi
ketidakadilan di Kedungombo (1989-1993). Sejauh
ini, tercatat 82 karya
Mangunwijaya. Karya arsitektur Mangunwijaya
menekankan kesederhanaan
dalam penggunaan bahan bangunan. Dalam
pembangunan, digunakan
material dan tenaga kerja setempat. Bangunan
menjadi kontekstual
sehingga sesuai dengan kondisi Indonesia. Contoh
lain, dalam desain-desain
rumah ibadah seperti Gereja, ciri yang menonjol
ialah keterbukaan
bangunan sehingga Gereja menjadi bagian dari komunitas
setempat. Romo Mangun
sendiri telah berhasil meraih dua kali IAI Award
dan Aga Khan Award untuk
ketiga buah karyanya, yakni: Perkampungan
Kali Code, tempat ziarah
Sendang Sono, serta Biara Trapis Gedono.
Buah karyanya sarat
dengan pesan, baik dari segi konsep maupun
teknik, dan kerap disebut
sebagai “Arsitektur Nusantara” karena tidak
harus mengacu ke
gaya-gaya arsitektur tertentu. Mangunwijaya (1985) selalu
mengingatkan lewat
bukunya “Wastu Citra”, bahwa ternyata bangunan
punya citra tersendiri,
mewartakan mental, dan jiwa pembuatnya. Ternyata
pula bila sang arsitek
hendak berarsitektur sebaiknya ada kecenderungan lebih
mendalami yang
berhubungan dengan mental, kejiwaan, serta kebudayaan
setempat.
Di tengah kiprahnya
berkarya, beliau masih prihatin terhadap bidang
arsitektur yang lebih
banyak berpihak pada orang mampu daripada orang
tidak mampu sehingga hal
ini mendorong beliau dengan sadar melepaskan
atribut keprofesian atau
melepas embel-embel IAI di belakang namanya.
Kepedulian beliau ini dapat
kita lihat dari hasil karyanya sebuah perumahan
untuk kaum papa di Kali
Code, Yogyakarta. Jelasnya, lewat pelbagai karyanya
inilah, Romo Mangun
sungguh membagikan imannya yang mau bersolider
dengan masyarakat
sekitarnya.
Epilog
Sebagai penutup, saya
kutipkan sepenggal sajak indah dari nenek moyang kita,
yang dituliskan kembali
oleh Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra (hal 2),
“Kang ingaran urip mono
mung jumbuhing badan wadag lan batine, pepindhane
wadhah lan isine ...”
(Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani
dengan batinnya). Gereja pun
diajaknya mencapai hidup sejati, maka Mangunwijaya
pun dengan lantang
menyerukan hati nurani kemanusiaan kepada seluruh warga
Gereja:
“Di
Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah,
miskin
umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka
yang
kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia
menang.
Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia,
yang
juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”11
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil
serius 100 %.
Namun,
setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota
bene terkenal
sebagai
agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah
“terperangkap”
dalam suatu sistem yang memang memberinya
kesempatan
dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin,
tetapi
sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”12
Tampak jelas,
keberpihakan Romo Mangun kepada kaum miskin
adalah sesuatu yang
digulat-geliati seumur hidupnya terus-menerus. Hidup
Romo Mangun seakan-akan
menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk
memperjuangkan kaum
miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini. Jelaslah dia
benar-benar mencari hidup
yang sejatinya, dan bisa jadi bagi banyak orang,
Romo Mangun memang “hadir
untuk memberi”.
“Memanglah ada dua
paradigma dan pengertian dan pengartian dasar
politik.
Yang pertama lebih
terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni
politik dalam aspek
kekuasaan; penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan,
pertahanan, perebutan,
penikmatan, pelestarian, status quo kekuasaan,
dan seterusnya; pendek
kata, segala yang menyangkut power atau
kekuasaan; termasuk
kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni
yang berciri pemaksaan
atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih
kuat kepada yang lemah.
Lazimnya khalayak ramai
mengartikan politik melulu dalam arti
pertama ini sehingga ada
ucapan yang terbang di mana-mana: “politik
itu kotor”.
Namun bagi orang
terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang
sebenarnya lebih asli dan
otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis,
ataupun sesuai kodrat
alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang
terkenal populer), yakni
politik dalam arti: segala usaha demi
kepentingan dan
kesejahteraan umum; jasmani dan rohani. Bukan
untuk kepentingan
golongan saya atau faksi dia, atau partai itu atau
umat agama tertentu, akan
tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan
umum, semua warga bahkan
universal semua bangsa, tanpa pandang
siapa dan golongan, luas;
misalnya, sila ke-2 (kemanusiaan yang adil
dan beradab), sila ke-5
(keadilan sosial bagi seluruh rakyat). Juga
demi perdamaian,
kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dan
sebagainya demi tata
hidup bersama yang membangun iklim budaya
mulia, budi pekerti
tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan
menumpas egoisme,
individualis maupun kolektivisme yang mencekik
serta penghapusan hukum
rimba survival of the fittest, dan sebagainya,
dan seterusnya.
Ini politik dalam arti
asli kodrat alami, demi kehidupan dan
penghidupan bersama yang
sejahtera umum atau politik dalam dimensi
moral dan iman
(YB. Mangunwijaya).”13
Catatan-catatan:
1. Biografi Romo Mangun
ini disusun dari data yang ada, terutama dari Y.B.
Mangunwijaya. Saya
Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999.
2. “Saya Ingin Membayar
Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang
Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 59-60.
x x i i n t e r u p s i
222
3. “Saya Tak Mau Jadi
Godfather” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin
Membayar Utang Kepada
Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 28.
4. YB. Mangunwijaya. Politik
Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Halaman sampul bagian
belakang.
5. “Bukan Sekadar Politik
Rohaniwan Biasa” dalam Y.B. Priyanahadi et all.
Romo Mangun di Mata Para
Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
318-319.
6. Jennifer Lindsey.
“Y.B. Mangunwijaya Hati Nurani Bangsa” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo
Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 111.
7. A. Supratiknya dan A.
Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo
Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 161.
8. Bdk. A.
Supratiknya dan A. Atmadi. Ibid. Hal. 171-172.
9. Y.B. Mangunwijaya. Politik
Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Hal. xi-xii.
10. “Saya Ingin Membayar
Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang
Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 61.
11. “Memuliakan Allah,
Mengangkat Manusia” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Memuliakan Allah,
Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
17-18.
12. “Anawim” dalam Y.B.
Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat
Manusia. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 30.
13. “Rohaniwan Tak Boleh
Berpolitik?” dalam Y.B. Mangunwijaya. Politik
Hati Nurani. Jakarta:
Grafiasri Mukti. 1997. Hal. 90-91.
0 komentar:
Posting Komentar