“Mengapa Aku Mencintaimu,
Oh Maria ”
Maria, Oh Maria,
genggamlah tanganku, peganglah
hatiku,
terangilah mataku, dan sertailah pucuk-pucuk cintaku........
terangilah mataku, dan sertailah pucuk-pucuk cintaku........
Maria, oh Maria,
doakanlah aku juga,
Karena mataku sering salah melihat, bibirku kerap salah berucap,
telingaku kadang salah mendengar, dan hatiku tak ayal salah menduga......
Karena mataku sering salah melihat, bibirku kerap salah berucap,
telingaku kadang salah mendengar, dan hatiku tak ayal salah menduga......
dihadapanmu aku juga ingin selalu
menundukkan mata dan hatiku, entah kenapa…..
Kerap, aku berserah di matamu
ketika hidup jatuh terpuruk - menghirup harum cahaya cintamu.
ketika hidup jatuh terpuruk - menghirup harum cahaya cintamu.
Kerap, aku singgah di bibirmu
ketika duka tak ber’asa - mencucup hangat anggur sapamu.
ketika duka tak ber’asa - mencucup hangat anggur sapamu.
Kerap, aku bersimpuh pasrah di kakimu
ketika cinta dan karya tak terasa kaya makna – mendekap erat
lembut doamu……...
Maria, Oh Maria,
suburkan gersangku di tenang hadirmu,
sembuhkan lukaku di
hangat hatimu,
kuatkan rapuhku di rindang doamu,
pun segarkan letihku di harum sapamu”.
Seperti air hujan yang jatuh luruh dan berpendar ke sawah,
begitulah doa, cinta dan damaimu
hidup dalam hatiku, aku
anakmu ya Maria….
Maria, Oh Maria,
sekali lagi kukatakan padamu.....,
genggamlah tanganku,
peganglah hatiku,
terangilah mataku,
dan sertailah pucuk-pucuk cintaku...
Ave
Maria, gratia plena,
Dominus
tecum,
benedicta
tu in mulieribus,
et
benedictus fructus ventris tui, Jesus.
Sancta
Maria, Mater Dei,
ora
pro nobis peccatoribus, nunc,
et in
hora mortis nostrae.
ADA APA DENGAN “ADA”?
Ada yang mau kukatakan mulai sekarang...
Ada saatnya kau juga akan ditinggalkan,
karena
Ada Dia, yang memberi sayap-sayap tuk
terbang
Ada juga yang terbang ke sana, ke balik
awan-awan
Ada yang lain juga yang mau kukatakan...
Ada suatu hari kau juga akan
ditinggalkan
Adanya bukan lantaran kau terlalu lambat
Adanya bukan lantaran juga kau terlalu
cepat terbang
Tapi adanya lantaran kau akan terbang
lewat jalurmu sendiri
Ada sayap-sayap rapuh yang lebar dan
panjang
Ada banyak yang terbang sendiri, itulah
kita
Ada suatu hari kau juga ’kan terbang
sendiri
Ada juga yang bertanya, aku terbang ke
mana?
Kau sudah tahu..., kita ke sana bukan?
Ada pepatah, ”pertemuan itu cuma selamat
tinggal....yang belum dikatakan”
Ada benarnya juga bukan?
Ada juga harapannya – yang pasti:
Walaupun tak lagi bersulang - Semoga hati kita tetap
riang.
Terus berjalan dengan
tenang - dan setia berdendang senang.
Dalam cinta TUHAN sang
pemenang.....
Aku membaca kisah
tentang Rama Pedro Ribadeneira, SJ dalam suratnya kepada Raja Philip II yang
menerangkan tentang tujuan karya pendidikan, dengan ekspresi yang sangat
menarik: “Institutio Puerorum, Reformatio Mundi”
yang artinya kurang
lebih “pendidikan yang baik bagi kaum muda
merupakan usaha baik
untuk mengubah dunia”.
Di bawah ini adalah
beberapa puisi yang kubuat, kebanyakan bertema pedagogi dan religi.
Yah, harapanku tidak
usah mengubah dunia, cukuplah memberi warna bahwa dunia itu kaya
Fajar Baru
Allahuakbar, Sang
Paraning Dumadi, El Shaddai, Yahwe, Yesus, Bapa
Berjuta kata dialog
yang nyaris terangkai
tak mampu wakili kejap dan
sergap rasa dahaga
rasuki rongga batin
yang kini pedih, perih pun lirih
di ujung titian jalan
yang miris seperti teriris keris karena situasi kronis yang kritis.
Kala episode berdarah
kuterima, kudengar, kulihat
tumpah-ruah, basah
menjajah dan menjelajah
Meracuni sekujur
cah’ya, sukma, raga dan jiwa kerjasama
Cemari gumpalan sel-sel
toleransi
Lumuri denyut-denyut
kasih lintas iman
Matikan pijar-pijar
kerukunan
Makna kebenaran kini
hilang, mengambang dan tidak seimbang
Dulu aku mandi dengan
air dan bunga
Kini, hanya air mata,
keringat dan darah yang menetesiku.
Kini, aku meringkuk
bungkuk,
aku hidup ditengah
derasnya banjir konfrontasi dan curamnya jurang perpecahan
Kini, banyak nurani masgul
yang terus bergumul
mencari yang betul
Kini, air mata turun
bagaikan banjir bandang
Pepohonanpun ikut
sedih, bunga tak mau mekar
diam, padam di
kolong peraduan malam temaram nan kelam
Ditengah adzan dan
lonceng surau nan galau
Di atas bubungan mendung
kelabu yang tertindas abu nafsu
Aku mau keluar dari
mercusuarku.
Tuk bersama satukan
kerlap-kerlip lilin kecil perdamaian, kerukunan
dan dialog tanpa
olok-olok
Bagaimana dengan engkau
sendiri, sobat?
Nah, Nah Siapa Dia
Katanya sih, dia itu sama-sama:
persona citra sang
Khalik yang unik, antik, asyik, klasik, menarik dan menggelitik,
sama-sama dibentuk dan
dipanggil dari sang “Fascinosum et Tremendum”
Denger-denger sih, dia
itu sama-sama:
memuji kepada sang
pemurah, mendaraskan sang KASIH
menyerukan sang
Alfa-Omega, pun pula mentabligkan Yang Baik
Tapi sih - ternyata eh
ternyata:
dia sendiri pula yang
membedakan,
membedakan keyakinannya
akan si Tuhannya itu
dialah yang juga
berselisih, berperangan, berpawai kemartiran
dialah juga yang berjuang,
berjihad, berperang salib (bahkan sampai mati) karena kebenaran yang diyakini
berasal dari Tuhannya
Yah, badai kekerasan
itu menyembur terus,
tiada henti, malahan
menyapu hangus
Apakah dia butuh
orang-orang yang berbudi lurus
untuk berbincang dengan
nuansa halus nan bagus,
untuk menjawab multi
gejala yang tak kunjung putus,
Ataukah dia tetap ingin
digelayuti makhluk halus,
yang bikin hidupnya
jadi tidak lurus, dan kurang mulus?
Padahal, dia itu,
memang sama-sama:
berserah kepada
Tuhannya masing-masing
berserah karena iman,
karena kepercayaan, karena keyakinan, karena ayat suci, karena mazhab, karena
tradisi, dan karena sumber asalinya yang sama
Dan lagi, bukankah dia
itupun sama-sama bisa:
tertawa ceria dan
menangis miris
berpesta pora dan
bekerja lara
bergembira ria dan
bersusah duka
Dan, katanya, bukankah dia
bersama yang lain, sama-sama mau:
mencari sarana, media
serta cara, untuk sampai pada Tuhannya
Kini, hatiku jadi
ruwet, mumet dan njlimet
Maka, dimuka pintuMu
aku mengetuk:
Jangan Kau jatuhkan
kutuk,
pada nurani dan nalar
yang tak mau berpeluk,
walaupun kerap bikin
dunia, jiwa,raga, harta dan nyawa jadi remuk
Kau Juga, Khan?
Api ini tidak hanya memerangi akhir suatu
era.
Ia juga menyulut permulaan era baru
Ia juga menyulut permulaan era baru
(Joseph Goebbels, Menteri Penerangan
Nazi,
saat memimpin pembakaran 20.000 buku di
halaman kampus Universitas Berlin,
Mei 1933)
Allahuakbar, Sang
Paraning Dumadi, El Shaddai, Yahwe,
Paulo Freire, Ivan
Illich, John Dewey,
Tagore pun Ki Hajar Dewantara….
Hancur hatiku. Lebur
budiku
Kala duka lara para
pendidik dan derita pedih para terdidik
kuterima, kudengar,
kulihat, juga kualami sendiri
Racuni sekujur cah’ya,
sukma, raga dan jiwa tut wuri handayani
Cemari gumpalan sel-sel
ing madya mangun karsa
Matikan denyut-denyut
kasih ing ngarso sung tuladha
Dulu duniaku mandi
dengan air dan bunga harapan masa depan
Kini, hanya buliran air
mata, pun aroma kesedihan yang menetesinya.
Kini, aku meringkuk
bungkuk,
hidup ditengah derasnya
erosi makna pendidikan yang menggelikan
dan curamnya jurang
kehancuran akan pengajaran
Lebur-luluhnya
keteladanan
Mandul-frigidnya
nalar dan kreasi
Remuk redamnya
hasil-hasil pendidikan
Kini, banyak nurani
masgul
pun terus bergumul
mencari yang betul
Kini, air mata anak-anak
bangsa turun bagaikan banjir bandang
Pun pepohonan ikut
sedih, bunga tak mau mekar
diam, padam di
kolong peraduan malam nan kelam
Di tengah adzan dan
lonceng surau nan galau
Di atas bubungan
mendung kelabu
yang tertindas abu
nafsu nan semu , tersisa suara pelan
“dunia pendidikanku….dunia benang
kusut???
Ah, sudahlah
teman,.......kini saatnya!!!
Kini, saatnya aku tak
‘kan minggat dari litani kesusahan ini (kau juga?)
Kini, saatnya aku sudi
berkiprah dalam duka keprihatinan negeri (kau juga?)
Kini, saatnya aku mau
keluar dari ghetto-ku,
tuk bersama satukan
kerlap-kerlip lilin kecil tuk nyatakan:
“”dunia pendidikan kita
belum mati!!!”” (kau juga khan………………?)
B-I-N-g-U-n-K?!
Saat virus filsafat
sosial berguling-guling
Dalam batok kepalaku
yang pening tujuh keliling
Mulailah aku
berfilsafat ala kaum Sophis, para orang penting……….
Kata orang:
Mahaguru adalah guru
yang maha
Maha artinya paling
Kalau guru itu yang
digugu dan ditiru
Maka mahaguru itu
yang paling digugu dan ditiru
Kalau guru itu
terpelajar
Maka mahaguru itu
paling terpelajar
Kalau guru itu
kurang gajinya
Maka mahaguru itu
paling kurang gajinya (?)
Sssttt….., kalau
pastor…
Iya... kalau pastor itu
mahaguru?
Nah loh……
Pastor adalah gembala…
Ehh…..salah deng…pastor
adalah imam
Kalau imam itu khusus
Maka imam yang mahaguru
itu adalah yang paling khusus
Kalau imam itu suci,
sekaligus nyentrik
Maka imam yang mahaguru
itu paling suci……sekaligus paling nyentrik
Kalau imam itu kritis
maka imam yang mahaguru
itu adalah yang paling kritis
(baik, asal demi bonum
commune dan salus animarum…., iya khan?)
Tapi, ngomong-ngomong
nichhh….
imam kok mahaguru
mahaguru kok imam
Aku sekedar bilang:
bagus tohhhh
Biar cerdik seperti
merpati dan tulus seperti ular (kebalik ngga sichh?)
Orang laen lalu nyahut:
Lho, apa hubungannya…?
Aku cuman bilang:
H-I-V…..Hemang Ike Vikirin
Namanya juga puisi
mbelink.
Yach, itulah fungsi pendidikan:
memberikan tempat tuk mbelink juga, pun memberikan ruang penuh ekspresi bagi
banyak pribadi yang glenak-glenik …..tohhhh, dunia kitapun multidimensi khan? Satu pepatah yang kuingat padat, “Non
scholae, sed vitae discimus!!!” - Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk
hidup!!!! Adagium ini sendiri berasal dari surat-surat Seneca Muda, Epistulae morales ad Lucilium CVI, 12. Seneca sendiri adalah seorang filsuf dan pujangga Romawi yang hidup antara
4 SM - 65 M.
Hanya Sebuah
Kidung……………..
Katanya sich:
Pada mulanya, segala
pendidikan adalah baik:………
Anjing kampung menggonggong:
gong…gong…kerr
Kucing Angola
mengeong…ngeongg
Macan tutul
mengaum…aummmm
Ayam jago
berkokok….kokokpetok-kokokpetok
Bebek betina bersiul
gaul….wekwekwek
Jengkerik nyentrik
beraksi apik ann cantik….krikkrikkrik
Burung perkutut pak
lurah manggung ….hurr ketekukkuk
Sementara, manusia yang
denger-denger sich:
persona citra sang
Khalik, berasio, berpendidikan pun berkebudayaan
malah ngembara tak
tentu rimba, nyari mangsa pun laba, ngurbanin sesama..tak peduli nyawa, doa,
pun agama..yang penting kaya, punya tahta-kuasa
Denger-denger sich:
Ranting pohon jambu
monyet pating petakilan….saling bercanda
Rumput gajah liar
sejumput klepas-klepus….. pamerkan raga
Batang bunga mawar
seikat fa, fa, fu, fu….saling tertawa…wa…wa…wa
Tapi, ternyata:
manusia kini penuh
busana pun harga…ga..ga…ga
tutupi aurat demi
martabat, katanya…nya…nya..nya
penuh muslihat demi
harkat, kiranya…nya..nya…nya
lupa kerabat pun
sahabat, demi derajat jadinya…nya..nya…nya
Hai, Haii, Haiii, Haiiii,
Hei, Heii, Heiii,
Heiiii,
Hoi, Hoii, Hoiii,
Hoiiii…………………………..,
Jerit anak melarat
(tapi penuh bakat) disamping simbok sekarat….
“Kalau begitu untuk apa
ada pendidikan sampai bikin otak berkarat?
Mendiangan juga makan
nasi hangat plus ikan sepat di pesisir jawa barat
Kalau begitu untuk apa
pendidikan kalo bikin nurani jadi jahat pun tak hangat?
Aduuuh..berat..beratt…rattt…emang
berat
Yahh,
Memang berat jika
kurikulum pun jadwal terlalu padat dan kebanyakan syarat!
Memang berat jika dosen
bikin mata cepat sepat dan badan cepat ‘wafat’!!
Memang berat jika biaya
sekolah terlalu kerap menggeliat dan bikin hati laknat!!!
Memang berat jika
menteri terlalu dekat dengan uang rakyat..
bisa bikin hidup
laknat, orang mengumpat dan dunia cepat kiamat!!!!
Freire, Illich, Tagore,
Montessori, Dewantara, Driyarkara…
Apakah kami kudu
berobat?
Atau minta berkat, atau
bersyahadat,
atau…mohon rahmat
berlipat-lipat…pat..pat..?
0 komentar:
Posting Komentar