Ads 468x60px

Relung Larung Puisi

 “Mengapa Aku Mencintaimu, Oh Maria


Maria, Oh Maria,
genggamlah tanganku, peganglah hatiku,
terangilah mataku, dan sertailah pucuk-pucuk cintaku........

Maria, oh Maria,
doakanlah aku juga,
Karena mataku sering salah melihat, bibirku kerap salah berucap,
telingaku kadang salah mendengar, dan hatiku tak ayal salah menduga......
Maria, Oh Maria,
dihadapanmu aku juga ingin selalu menundukkan mata dan hatiku, entah kenapa…..
Kerap, aku  berserah di matamu
ketika hidup jatuh terpuruk - menghirup harum cahaya cintamu.
Kerap, aku singgah di bibirmu
ketika duka tak ber’asa - mencucup hangat anggur sapamu.
Kerap, aku bersimpuh pasrah di kakimu
ketika cinta dan karya tak terasa kaya makna – mendekap erat lembut doamu……...

Maria, Oh Maria,
suburkan gersangku di tenang hadirmu,
 sembuhkan lukaku di hangat hatimu,
kuatkan rapuhku di rindang doamu,
pun segarkan letihku di harum sapamu”.
Seperti air hujan yang jatuh luruh dan berpendar ke sawah,
begitulah  doa, cinta dan damaimu hidup dalam hatiku, aku anakmu ya Maria….

Maria, Oh Maria,
sekali lagi kukatakan padamu.....,
genggamlah tanganku,
peganglah hatiku,
terangilah mataku,
dan sertailah pucuk-pucuk cintaku...

Ave Maria, gratia plena,
Dominus tecum,
benedicta tu in mulieribus,
et benedictus fructus ventris tui, Jesus.
Sancta Maria, Mater Dei,
ora pro nobis peccatoribus, nunc,
et in hora mortis nostrae.
Amen



ADA APA DENGAN “ADA”?

Ada yang mau kukatakan mulai sekarang...
Ada saatnya kau juga akan ditinggalkan, karena
Ada Dia, yang memberi sayap-sayap tuk terbang
Ada juga yang terbang ke sana, ke balik awan-awan

Ada yang lain juga yang mau kukatakan...
Ada suatu hari kau juga akan ditinggalkan
Adanya bukan lantaran kau terlalu lambat
Adanya bukan lantaran juga kau terlalu cepat terbang
Tapi adanya lantaran kau akan terbang lewat jalurmu sendiri

Ada sayap-sayap rapuh yang lebar dan panjang
Ada banyak yang terbang sendiri, itulah kita
Ada suatu hari kau juga ’kan terbang sendiri
Ada juga yang bertanya, aku terbang ke mana?
Kau sudah tahu..., kita ke sana bukan?

Ada pepatah, ”pertemuan itu cuma selamat tinggal....yang belum dikatakan”
Ada benarnya juga bukan?

Ada juga harapannya – yang pasti:
Walaupun  tak lagi bersulang - Semoga hati kita tetap riang.
Terus berjalan dengan tenang - dan setia berdendang senang.
Dalam cinta TUHAN sang pemenang.....

Aku membaca kisah tentang Rama Pedro Ribadeneira, SJ dalam suratnya kepada Raja Philip II yang menerangkan tentang tujuan karya pendidikan, dengan ekspresi yang sangat menarik: “Institutio Puerorum, Reformatio Mundi”
yang artinya kurang lebih “pendidikan yang baik bagi kaum muda
merupakan usaha baik untuk mengubah dunia”.
Di bawah ini adalah beberapa puisi yang kubuat, kebanyakan bertema pedagogi dan religi.
Yah, harapanku tidak usah mengubah dunia, cukuplah memberi warna bahwa dunia itu kaya



Fajar Baru

Allahuakbar, Sang Paraning Dumadi, El Shaddai, Yahwe, Yesus, Bapa
Berjuta kata dialog yang nyaris terangkai
tak mampu wakili kejap dan sergap rasa dahaga
rasuki rongga batin yang kini pedih, perih pun lirih
di ujung titian jalan yang miris seperti teriris keris karena situasi kronis yang kritis.

Kala episode berdarah kuterima, kudengar, kulihat
tumpah-ruah, basah menjajah dan menjelajah
Meracuni sekujur cah’ya, sukma, raga dan jiwa kerjasama
Cemari gumpalan sel-sel toleransi
Lumuri denyut-denyut kasih lintas iman
Matikan pijar-pijar kerukunan
Makna kebenaran kini hilang, mengambang dan tidak seimbang

Dulu aku mandi dengan air dan bunga
Kini, hanya air mata, keringat dan darah yang menetesiku.
Kini, aku meringkuk bungkuk,
aku hidup ditengah derasnya banjir konfrontasi dan curamnya jurang perpecahan
Kini, banyak nurani masgul yang terus bergumul
mencari yang betul
Kini, air mata turun bagaikan banjir bandang
Pepohonanpun ikut sedih, bunga tak mau mekar
diam, padam di kolong peraduan malam temaram nan kelam
Ditengah adzan dan lonceng surau nan galau
Di atas bubungan mendung kelabu yang tertindas abu nafsu

Aku mau keluar dari mercusuarku.
Tuk bersama satukan kerlap-kerlip lilin kecil perdamaian, kerukunan
dan dialog tanpa olok-olok
Bagaimana dengan engkau sendiri, sobat?



Nah, Nah Siapa Dia

Katanya sih, dia itu sama-sama:
persona citra sang Khalik yang unik, antik, asyik, klasik, menarik dan menggelitik,
sama-sama dibentuk dan dipanggil dari sang “Fascinosum et Tremendum”

Denger-denger sih, dia itu sama-sama:
memuji kepada sang pemurah, mendaraskan sang KASIH
menyerukan sang Alfa-Omega, pun pula mentabligkan Yang Baik

Tapi sih - ternyata eh ternyata:
dia sendiri pula yang membedakan,
membedakan keyakinannya akan si Tuhannya itu
dialah yang juga berselisih, berperangan, berpawai kemartiran
dialah juga yang berjuang, berjihad, berperang salib (bahkan sampai mati) karena kebenaran yang diyakini berasal dari Tuhannya

Yah, badai kekerasan itu menyembur terus,
tiada henti, malahan menyapu hangus
Apakah dia butuh orang-orang yang berbudi lurus
untuk berbincang dengan nuansa halus nan bagus,
untuk menjawab multi gejala yang tak kunjung putus,
Ataukah dia tetap ingin digelayuti makhluk halus,
yang bikin hidupnya jadi tidak lurus, dan kurang mulus?

Padahal, dia itu, memang sama-sama:
berserah kepada Tuhannya masing-masing
berserah karena iman, karena kepercayaan, karena keyakinan, karena ayat suci, karena mazhab, karena tradisi, dan karena sumber asalinya yang sama

Dan lagi, bukankah dia itupun sama-sama bisa:
tertawa ceria dan menangis miris
berpesta pora dan bekerja lara
bergembira ria dan bersusah duka

Dan, katanya, bukankah dia bersama yang lain, sama-sama mau:
mencari sarana, media serta cara, untuk sampai pada Tuhannya

Kini, hatiku jadi ruwet, mumet dan njlimet
Maka, dimuka pintuMu aku mengetuk:
Jangan Kau jatuhkan kutuk,
pada nurani dan nalar yang tak mau berpeluk,
walaupun kerap bikin dunia, jiwa,raga, harta dan nyawa jadi remuk



Kau Juga, Khan?

Api ini tidak hanya memerangi akhir suatu era.
Ia juga menyulut permulaan era baru
(Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Nazi,
saat memimpin pembakaran 20.000 buku di halaman kampus Universitas Berlin,
Mei 1933)

Allahuakbar, Sang Paraning Dumadi, El Shaddai, Yahwe,
Paulo Freire, Ivan Illich, John Dewey,
Tagore pun Ki Hajar Dewantara….

Hancur hatiku. Lebur budiku
Kala duka lara para pendidik dan derita pedih para terdidik
kuterima, kudengar, kulihat, juga kualami sendiri

Racuni sekujur cah’ya, sukma, raga dan jiwa tut wuri handayani
Cemari gumpalan sel-sel ing madya mangun karsa
Matikan denyut-denyut kasih ing ngarso sung tuladha

Dulu duniaku mandi dengan air dan bunga harapan masa depan
Kini, hanya buliran air mata, pun aroma kesedihan yang menetesinya.
Kini, aku meringkuk bungkuk,
hidup ditengah derasnya erosi makna pendidikan yang menggelikan
dan curamnya jurang kehancuran akan pengajaran
Lebur-luluhnya keteladanan
Mandul-frigidnya nalar dan kreasi
Remuk redamnya hasil-hasil pendidikan

Kini, banyak nurani masgul
pun terus bergumul mencari yang betul
Kini, air mata anak-anak bangsa turun bagaikan banjir bandang
Pun pepohonan ikut sedih, bunga tak mau mekar
diam, padam di kolong peraduan malam nan kelam
Di tengah adzan dan lonceng surau nan galau
Di atas bubungan mendung kelabu
yang tertindas abu nafsu nan semu , tersisa suara pelan
“dunia pendidikanku….dunia benang kusut???

Ah, sudahlah teman,.......kini saatnya!!!
Kini, saatnya aku tak ‘kan minggat dari litani kesusahan ini (kau juga?)
Kini, saatnya aku sudi berkiprah dalam duka keprihatinan negeri (kau juga?)
Kini, saatnya aku mau keluar dari ghetto-ku,
tuk bersama satukan kerlap-kerlip lilin kecil tuk nyatakan:
“”dunia pendidikan kita belum mati!!!”” (kau juga khan………………?)



B-I-N-g-U-n-K?!

Kutulis puisi mbelink
Saat virus filsafat sosial berguling-guling
Dalam batok kepalaku yang pening tujuh keliling
Mulailah aku berfilsafat ala kaum Sophis, para orang penting……….

Kata orang:
Mahaguru adalah guru yang maha
Maha artinya paling
Kalau guru itu yang digugu dan ditiru
Maka mahaguru itu yang paling digugu dan ditiru
Kalau guru itu terpelajar
Maka mahaguru itu paling terpelajar
Kalau guru itu kurang gajinya
Maka mahaguru itu paling kurang gajinya (?)

Sssttt….., kalau pastor…
Iya... kalau pastor itu mahaguru?

Nah loh……
Pastor adalah gembala…
Ehh…..salah deng…pastor adalah imam

Kalau imam itu khusus
Maka imam yang mahaguru itu adalah yang paling khusus
Kalau imam itu suci, sekaligus nyentrik
Maka imam yang mahaguru itu paling suci……sekaligus paling nyentrik
Kalau imam itu kritis
maka imam yang mahaguru itu adalah yang paling kritis
(baik, asal demi bonum commune dan salus animarum…., iya khan?)

Tapi, ngomong-ngomong nichhh….
imam kok mahaguru
mahaguru kok imam
Aku sekedar bilang: bagus tohhhh
Biar cerdik seperti merpati dan tulus seperti ular (kebalik ngga sichh?)
Orang laen lalu nyahut: Lho, apa hubungannya…?
Aku cuman bilang: H-I-V…..Hemang Ike Vikirin
Namanya juga puisi mbelink.

Yach, itulah fungsi pendidikan: memberikan tempat tuk mbelink juga, pun memberikan ruang penuh ekspresi bagi banyak pribadi yang glenak-glenik …..tohhhh, dunia kitapun multidimensi khan? Satu pepatah yang kuingat padat,  Non scholae, sed vitae discimus!!!” - Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup!!!! Adagium ini sendiri berasal dari surat-surat Seneca Muda, Epistulae morales ad Lucilium CVI, 12. Seneca sendiri adalah seorang filsuf dan pujangga Romawi yang hidup antara 4 SM - 65 M.



Hanya Sebuah Kidung……………..

Katanya sich:
Pada mulanya, segala pendidikan adalah baik:………
Anjing kampung menggonggong: gong…gong…kerr
Kucing Angola mengeong…ngeongg
Macan tutul mengaum…aummmm
Ayam jago berkokok….kokokpetok-kokokpetok
Bebek betina bersiul gaul….wekwekwek
Jengkerik nyentrik beraksi apik ann cantik….krikkrikkrik
Burung perkutut pak lurah manggung ….hurr ketekukkuk

Sementara, manusia yang denger-denger sich:
persona citra sang Khalik, berasio, berpendidikan pun berkebudayaan
malah ngembara tak tentu rimba, nyari mangsa pun laba, ngurbanin sesama..tak peduli nyawa, doa, pun agama..yang penting kaya, punya tahta-kuasa

Denger-denger sich:
Ranting pohon jambu monyet pating petakilan….saling bercanda
Rumput gajah liar sejumput klepas-klepus….. pamerkan raga
Batang bunga mawar seikat fa, fa, fu, fu….saling tertawa…wa…wa…wa

Tapi, ternyata:
manusia kini penuh busana pun harga…ga..ga…ga
tutupi aurat demi martabat, katanya…nya…nya..nya
penuh muslihat demi harkat, kiranya…nya..nya…nya
lupa kerabat pun sahabat, demi derajat jadinya…nya..nya…nya

Hai, Haii, Haiii, Haiiii,
Hei, Heii, Heiii, Heiiii,
Hoi, Hoii, Hoiii, Hoiiii…………………………..,
Jerit anak melarat (tapi penuh bakat) disamping simbok sekarat….

“Kalau begitu untuk apa ada pendidikan sampai bikin otak berkarat?
Mendiangan juga makan nasi hangat plus ikan sepat di pesisir jawa barat
Kalau begitu untuk apa pendidikan kalo bikin nurani jadi jahat pun tak hangat?
Aduuuh..berat..beratt…rattt…emang berat

Yahh,
Memang berat jika kurikulum pun jadwal terlalu padat dan kebanyakan syarat!
Memang berat jika dosen bikin mata cepat sepat dan badan cepat ‘wafat’!!
Memang berat jika biaya sekolah terlalu kerap menggeliat dan bikin hati laknat!!!
Memang berat jika menteri terlalu dekat dengan uang rakyat..
bisa bikin hidup laknat, orang mengumpat dan dunia cepat kiamat!!!!

Freire, Illich, Tagore, Montessori, Dewantara, Driyarkara…
Apakah kami kudu berobat?
Atau minta berkat, atau bersyahadat,
atau…mohon rahmat berlipat-lipat…pat..pat..?

0 komentar:

Posting Komentar