Ads 468x60px

The Terminal


Menunggu pasti Membosankan, Apakah Anda Setuju?

A.
Kebanyakan dari kita jika disuruh menunggu sudah tentu akan merasa bosan, mengantuk dan bawaannya cepat emosi. Terus apa jadinya jika kita disuruh menunggu sendirian, tanpa teman, tanpa tahu budaya (terlebih bahasanya) ataupun tanpa tahu segalanya tentang segala aturan yang ada di daerah tersebut. Hal ini diperparah lagi jika disuruh menunggu tanpa batas waktu. Apa yang akan kita lakukan? Apakah merokok (bagi perokok)?Baca Koran? Atau ada kegiatan lain yang lebih bermutu? Nampaknya susah menemukan jawaban yang “bermutu” jika kita mengalami kejadian seperti yang terjadi di atas.

Jika anda ingin tahu jawabannya, ada pada pikiran seorang sutradara film terkenal Steven Spielberg, yang berimajinasi berkat kisah nyata dari seorang warga negara Iran bernama Merhan Karimi Nasseri yang saat itu berada di bandara terkenal di Perancis dan kehilangan paspornya. Dari kisah itu, dia bekerja sama dengan aktor terkenal Tom Hanks untuk ketiga kalinya, setelah mereka berdua sukses dengan film sebelumnya Saving Private Ryan dan Catch Me If You Can. Tom Hanks berperan sebagai Victor Navorski yang tiba di bandara JFK di New York bertepatan dengan aksi kudeta di negara asalnya, “Krakhozia”. Dan pihak pemerintah Amerika Serikat tidak lagi mengakui negaranya sehingga paspor dan visanya tidak berlaku. Hal ini juga diperparah bahwa dia tidak bisa dideportasi ke negara asalnya tapi juga tidak diperkenankan memasuki wilayah Amerika Serikat. 

Akhirnya oleh kepala keamaan bandara, Frank Dixon (Stanley Tucci) dia diberi tempat di Gate 67,dimana tempat itu adalah tempat untuk para penumpang transit. Dia disuuruh menunggu sampai ada kejelasan mengenai status negaranya yang sedang konflik. Tempat itulah yang kemudian disebut sebagai terminal. Berhari-hari ia menghabiskan waktu itu ditempat itu, berusaha bertahan hidup, adaptasi, dan menjalin relasi dengan orang lain. Kecerdasannya dalam berpikir membawanya mendapatkan banyak teman dari berbagai golongan seperti pembersih lantai bernama Gupta (Kumar Pallana) sampai dengan pramugari cantik bernama Amelia (Chaterine Zeta Jones). Ketika dia pertama kali datang, dia tidak bisa berbahasa Inggris, tapi seiring dengan kebutuhannya ia mulai mempelajarinya dengan cara yang unik dan mencoba mencari pekejaan, mencari uang dan bertahan hidup. Dengan kepolosannya, keluguannya, kejujurannya, menambah kesan lucu dalam film ini, namun tak jarang pula kepolosan itu digunakan untuk menjebaknya supaya melanggar aturan dan ddikenakan hukuman. Tapi sekali lagi, dengan kesabaran dan pemikirannya yang dia punyai, dia berusaha tidak melanggar aturan tetapi mengatasi aturan tersebut.

Motif dan latar belakang perjalannya ke New York tak lain karena rasa kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya, dimana dia ingin mendapatkan tanda tangan seorang pemusik jazz legendaries untuk menepati janji terhadap ayahnya yang sudah meninggal. Karena ayahnya adalah penikmat musik jazz sejati dan selalu mencari tanda tangan para pemusik jazz. Namun yang ditunjukkan dalam film berdurasi 128 menit ini merupakan kisah kehidupan sosial yang sering terjadi di sekitar kita, unsur sosial dengan orang lain, solidaritas, rasa cinta dan balas budi terhadap orang yang kita cintai. Oleh sebab itu banyak komentar yang dilontarkan terhadap sang sutradara, seperti oleh AO Scott dari New York, Times yang mengatakan, “sangat jarang saya melihat film yang menyadarkan saya akan kehidupan dengan orang lain dan sangat sentimental”.

Oleh sebab itu, bagi kita semua yang masih belajar ataupun sudah bekerja tak ada salahnya meniru tokoh Victor. Cara dia memanfaatkan waktu, mengatasi masalahnya yang kompleks dia juga tidak lupa meminta bantuan Juru Selamat dan Tuhannya. Atau pun ketika dia berusaha menjalin relasi dan belajar memahami budaya melalui bahasa. Dan sekarang apakah kita akan tetap menunggu sampai bosan tanpa hasil yang berarti? Atau mencoba memanfaatkan waktu? Sekarang saatnya menggunakan pikiran dan akal kita untuk seperti “Victor Navorski” 


B.
Cerita dalam film “The Terminal” yang disutradarai oleh Steven Spielberg mengangkat sebuah fenomena sosial yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Di mana tokoh utama Victor Novorski yang diperankan dengan apik oleh Tom Hanks, mengalami situasi yang belum ia duga sebelumnya. Ia terjebak di bandara internasional New York, hal tersebut terjadi karena negaranya sedang terjadi kudeta sehingga semua visa perjalanan dari Krakozia ditangguhkan. Dalam masa penantian yang tidak pasti tersebut pengalaman Victor dimulai sampai perang berakhir dan dia berhasil memenuhi janji ia bawa.

Dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana seorang Victor yang dalam keadaan tertekan dan menderita mampu tetap bertahan bahkan mampu mengatasi keadaan tersebut dengan tetap peka terhadap apa yang akan terjadi dilingkungan sekitar. Contoh, kejadian ketika dia membantu seseorang bernama Milodagrovich yang membawa obat-obatan untuk ayahnya namun karena salah informasi, maka dia tidak membawa ijin untuk obat-obatan tersebut dan menurut peraturan obat-obatan tersebut tidak boleh dibawa. Victor tetap berniat membantu Milodagrovich meskipun ia tahu bahwa hal tersebut akan membahayakan dirinya. Cukup menyentuh cerita tersebut, dimana seseorang yang dalam keadaan menderita namun tetap berusaha menolong orang lain, walaupun akibatnya akan lebih memperburuk keadaannya sendiri.

Satu pertanyaan yang muncul dalam benak saya, bagaimana dengan kita? Bagaimana bentuk kepedulian kita di tengah penderitaan sesama? Mungkin kita tidak mengalami hal yang terjadi pada Victor, namun coba kita buka mata dan hati kita, tengoklah sekitar banyak penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Seperti kejadian busung lapar yang terjadi di beberapa daerah, bencana gempa, bencana gempa dan Tsunami beberapa waktu yang lalu yang deritanya belum kunjung henti sampai sekarang. Apa yang sudah kita perbuat untuk meringankan penderitaan mereka? Apakah kata “kasihan” yang muncul dari mulut kita cukup membalut luka mereka? Mungkin memang kita tidak dapat berbuat banyak, karena kita sendiripun juga mengalami banyak tekanan hidup dan keterbatasan, tapi apakah dengan demikian berarti kita lepas tangan dan tidak mau tahu dengan penderitaan saudara-saudara kita? Kejamnya kita…….

Menanggapi masalah busung lapar yang dialami saudara-saudara kita, sungguh amat memalukan kejadian tersebut terjadi di dalam suatu negara yang subur dan berpotensi seperti di Indonesia. Bukankah dana yang sudah dianggarkan untuk kesejahteraan masyarakat cukup besar, lantas kemanakah larinya dana tersebut sehingga saudara-saudara kita harus mengalami penderitaan tersebut. Hal ini jelas sekali menunjukkan bahwa kepedulian social bangsa kita sangat rendah. Petinggi negara yang seharusnya dapat menjadi teladan bagi rakyat, malah menjadi penyebab penderitaan itu sendiri.

Sepintas saya juga ingin memberikan sedikit wacana bagi pembaca artikel ini. Seperti yang kita tahu bahwa akhir-akhir ini program acara TV mulai marak dengan sajian reality show yang bertajuk kepedulian sosial yang ditujukan kepada orang-orang tidak mampu.
Namun coba anda kaji lebih dalam, menurut saya ada bebarapa acara yang hanya sekedar mengeksplorasi penderitaan orang lain dengan tujuan untuk keuntungan semata. Mengapa saya bisa mengatakan demikian? Beberapa program TV tersebut hanya memberikan sejumlah uang yang cukup besar, sehingga dalam pikiran masyarakat kita uang tersebut datang dengan sendirinya. Memang orang yang diberikan uang tersebut membutuhkan, namun sebenarnya hal yang paling mereka butuhkan adalah sebuah pekerjaan tetap, dimana mereka dapat menggantungkan hidup mereka pada pekerjaan itu, bukan hanya uang semata yang cukup besar yang kemudian dibelanjakan dan habil. Apakah dengan belanjaan yang sedemikian banyaknya lantas seterusnya besok mereka bisa makan? Ironis bukan keadaan negara kita, yang lemah dan menderita hanya dijadikan objek untuk mendapatkan keuntungan semata.

Namun, saya tersentuh ketika membaca sebuah artikel di surat kabar. Peristiwa tersebut dialami oleh Bapak Supriono yang berprofesi sebagai pemulung, karena faktor ekonomi dia tidak dapat membiayai pengobatan putrinya sehingga suatu hari anaknya meninggal. Untuk mengubur jenasah putrinya ke kampung halamannya di Bogor, Supriyono membawa jenasah putrinya dengan menumpang kereta rel listrik (KRL) karena dia tidak memiliki uang yang cukup untuk menyewa mobil jenasah. Singkat cerita akhirnya ia ditolong oleh warga Manggarai degan bantuan sukarela, biaya yang adapun dikumpulkan dengan sukarela oleh warga. Semua urusan administrasi juga dibantu oleh warga. Lewat peristiwa ini seharusnya kita mengikuti teladan warga Manggarai yang rela membantu dengan sukarela meski sebelumnya tidak mengenal Supriono. Apakah mungkin kita akan melakukan hal yang sama apabila kita menjadi salah satu warga Manggarai? Pertanyaan itulah yang sepatutnya kita jawab dalam hati kita masing-masing.

Dari artikel di atas kita dapat belajar, walaupun keadaan kita bisa dibilang masih belum berkecukupan namun bukan berarti kita begitu saja menutup mata dan hati terhadap keadaan disekitar kita, mari bersama-sama kita tunjukkan kepedulian kita di tengah-tengah penderitaan sesama, walaupun sekecil apapun bantuan kita apabila dengan sikap hati yang ikhlas itu akan sangat membantu meringankan beban penderitaan mereka.*** 

0 komentar:

Posting Komentar