A. KECERDASAN
SOSIAL
Manusia
ingin dirinya dianggap bernilai, oleh karena itu mereka melakukan banyak cara
agar merasa dirinya bernilai. Tidak heran jika kemudian manusia mulai berlomba
dalam mencari kekuasaan, kekuatan, kekayaan, ketenaran sampai kecerdasan
intelektual yang tergambar dalam skor IQ. Mereka membutuhkan pengakuan dan
penerimaan, dan tentu saja hal itu sangat menusiawi, namun perlu diingat pula
bahwa nilai manusia tidak melulu diukur dari apa yang telah disebutkan di atas.
Kita
dapat melihat nilai manusia berdasarkan kepekaan dan kepedulian mereka akan
setiap situasi sosial yang ada. Tentunya bersikap peka dan perduli saja tidak
cukup, kepekaan dan kepedulian tersebut harus hadir dalam bentuk tindakan
nyata. Wujud nyata dari kepekaan dan kepedulian manusia inilah yang dapat
disebut sebagai bentuk sosial kecerdasan sosial. Tindakan nyata bukan berarti
harus selalu berupa tindakan heroik, karena sekecil apapun tindakan itu, akan
merupakan bantuan yang tidak ternilai dan sangat berarti bagi yang membutuhkan.
Potret
mengenai bentuk keinginan manusia dan kecerdasan sosial tergambar cukup jelas
dalam film School Ties. Film produksi Paramount arahan sutradara Robert Mandel
ini sejak awal sudah mampu menarik perhatian para penikmat film karena didukung
oleh bintang-bintang muda berbakat seperti Brendan Fraser (David Greene), Matt
Damon (Charlie Dillon), Chris O’Donnell (Chris Reece), Randall Batinkoff
(McGivern), Ben Affleck (Chesty Smith) dan beberapa pemain pendukung lainnya.
Anti-semitisme
Secara
garis besar, Film yang dirilis pada tanggal 18 September 1992 ini berusaha
mengetengahkan fenomena diskriminasi dan sikap anti Yahudi (anti-semitism) yang
berkembang pada tahun 1950-an di wilayah Inggris pada khususnya dan
wilayah-wilayah Eropa dapa umumnya.
Anti-semitisme
atau sikap anti Yahudi ini mulai berkembang di wilayah Eropa lalu meluas ke
wilayah Timur Tengah (wikipedia.org) bahkan kemudian semakin meluas seiring
dengan berkembangnya teori konspirasi.
Bruinessen
menyebutkan bahwa berkembangnya sikap anti Yahudi dan teori konspirasi tidak
lepas dari beredarnya buku “Protokol-Protokol Para Sesepuh Zion” alias
“Ayat-Ayat Setan Yahudi” yang merupakan hasil fabrikasi bebarapa orang
anti-Yahudi Rusia dan konon dari notulen pemerintah rahasia Yahudi mengenai
strategi mereka untuk menguasai dunia. Buku ini kemudian digunakan oleh Nazi
Jerman sebagai alat propaganda dan legitimasi atas pembantaian jutaan orang
Yahudi di Eropa pada masa Perang Dunia II, sebuah sejarah berdarah abad 20.
Alur
David
Greene (Brendan Fraser), seorang pemuda Yahudi yang berasal dari
Scranton-Pennsylvania adalah sosok pemuda sederhana namun sangat berbakat dalam
bermain Football. Berkat bakat dan kemampuannya di bidang olahraga tersebut, ia
memperoleh kesempatan untuk bersekolah di St. Matthew’s high School, sebuah
sekolah menengah atas yang terkemuka di Inggris.
Bagi
David dan keluarganya, beasiswa itu adalah peluang emas menuju Universitas
Harvard, tempat yang ia impikan. Sejah awal pelatih tim St. Matthew telah
memperingatkan David untuk menyembunyikan etnisitasnya karena mengingat sikap
anti Yahudi masyarakat Inggris pada masa itu masih sangat kental. Selain itu,
David mungkin ingin menghindari sikap tidak bersahabat dan pelecehan akibat
prasangka yang melekat pada orang-orang Yahudi seperti yang pernah diterimanya
sebelumnya.
David
Greene termasuk pemuda yang cukup mudah bersosialisasi dan menyesuaikan diri
dengan teman-teman barunya. Sikap ini juga didukung oleh bakat dan prestasi
olahraganya, sehingga ia dengan segera diterima dan disukai lingkungan
sekolahnya semenjak ia menjadi bintang olahraga yang membawa kemenangan bagi
tim-nya. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena suatu ketika Dillon (Mat
Damon), teman sekolah yang merasa kekasihnya direbut secara tidak sengaja
mengetahui rahasia yang ditutup-tutupi David selama ini, yaitu identitasnya
sebagai orang Yahudi. Mulai saat itu keadaan berubah 180 derajat. Popularitas
dan kredibilitas yang telah dibangunnya menurun drastic dan berubah menjadi
perlakuan buruk berupa pelecehan dan diskriminasi yang berbuntut pada prasangka
tak beralasan seperti yang diterima oleh banyak orang Yahudi lainnya.
Keadaan
menjadi semakin buruk ketika ia difitnah telah melakukan penipuan pada waktu
ujian. Kasus ini semakin memperburuk kredibilitasnya, dan berisiko memupuskan
kesempatannya untuk menjadi bagian dari perguruan tinggi idamannya. Dalam kasus
ini kejujuran seorang saksi menjadi kunci dalam pemulihan nama baiknya.
Potret
realita dan harapan
Alur
cerita film yang berdurasi selama lebih kurang 110 menit ini, menyuguhkan
sebuah scenario menarik yang hendak bercerita tentang banyak hal, mulai dari
makna dan nilai persahabatan, kesetiakawanan, kecemburuan, konformitas,
keinginan untuk diterima lingkungan, fanatisme, diskriminasi sosial,
rasialisme, system pendidikan pada masa itu, kejujuran, nilai sebuah kebenaran,
keadilan, pola pendidikan keluarga, ditilik dari dua sisi yang berbeda.
Film
ini adalah sebuah potret ralita masyarakat yang dibalut harapan sehingga bagi
sebagian orang mungkin akan terkensan kurang realistis. Kesan tidak ralistis
secara langsung akan mengarah pada Chris Reece, sahabat yang membela David
Greene ketika ia difitnah serta saksi yang pada akhirnya bersedia menegaskan
bahwa David tidak bersalah. Kesan kurang realistis ini mungkin timbul karena
kecil sekali kemungkinan bagi kedua tokoh untuk bersikap seperti yang
digambarkan dalam film jika mengingat masih kentalnya sikap diskriminasi
terhadap orang Yahudi. Namun kedua tokoh ini, Chris Reece dan saksi tersebut
telah menunjukkan kecerdasan sosial. Chris tidak terjebak dalam diskriminasi
ras dan sikap anti Yahudi serta memiliki nilai penting persahabatan sedangkan
sang saksi pada akhirnya mau mendengarkan hati nuraninya untuk mengungkapkan
kebenaran dan membela keadilan.
Film
ini juga berusaha menyampaikan bahwa manusia mudah sekali terjerumus dalam
sikap stereotip, rasialisme dan fanatisme sehingga mudah bersikap terhadap
orang lain, contoh dari tidak adanya kecerdasan sosial.
Kecerdasan
sosial juga berarti tidak terjebak dalam konformitas. Bisa dikatakan David dan
Sally adalah contoh orang yang terjebak dalam konformitas tersebut. Bentuk
konformitas dapat dilihat ketika David berusaha untuk menyembunyikan
identitasnya sebagai orang Yahudi agar bisa diterima oleh teman-teman barunya,
atau Sally Wheeler, sang pujaan hati tidak mau menentang prasangka-prasangka
mengenai Yahudi yang diwariskan masyarakat kepadanya.
Perlu
diingit pula bahwa pola pewarisan sikap anti Yahudi dan sikap bermuatan
prasangka lainnya dalam masyarakat dunia tidak lepas dari pengaruh dan peran
pendidikan, pola asuh, dan system kemasyarakatan. Jadi kecerdasan sosial harus
ditanamkan sejak dini dalam setiap keluarga di masyarakat sehingga akan
tercipta masyarakat yang mempunyai kecerdasan sosial akan mampu menepis hal-hal
di atas sekaligus mampu bersikap solider tanpa terhenti sampai pada konsep saja
melainkan mampu melakukan sebuah tindakan nyata.
Memang
mudah untuk berpihak kepada orang yang berkuasa dan mempunyai kekuatan namun
nilai kecerdasan manusia sebagai bagian dari realitas sosial ditentukan oleh
kejujurannya, sikap membela kebenaran dan keadilan yang terwujud dalam sebuah
tindakan nyata. Jangan sampai kita menjadi manusia yang picik dan terjebak
dalam prasangka dan stereotip.
Film
ini memberikan beberapa pertanyaan untuk direnungkan, apakah potret keadaan
zaman dan sikap masyarakat Inggris pada tahun 1950an yang tergambar pada film
School Ties adalah sebuah potret usang dari sempitnya pemikiran manusia pada
masa tersebut? Apakah Dillon sebenarnya adalah symbol dan potret dari pola
pikir manusia yang tak lekang dimakan zaman,? Pemikiran yang berkembang dari
bentuknya yang paling purba dan terus bermetamorfosis ke bentuk yang semakin
tidak dikenali namun semakin membahayakan. Seperti halnya fanatisme yang
bersembunyi di balik agama atau bentuk-bentuk fanatisme bermuatan prangka yang
dikendarai oleh berbagai bentuk otoritas dan kepentingan seperti yang telah
terjadi dalam kurun waktu belakangan ini Pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh
masing-masing penonton. Mulailah menilik ke dalam hati, apakah kita sudah
mempunyai kecerdasan sosial?
B.
“tak ubahnya
sekeping mata uang yang selalu mempunyai dua sisi berbeda begitu pulalah hidup
yang selalu punya dua sisi juga untuk dihadapi, dirasa, ditimbang, dilakukan
dan direfleksikan; baik-buruk, lembut-kasar, harus-tidak,
dipertahankan-dilepaskan………..”
Film bedurasi 62’
yang mengkisahkan perjuangan anak Yahudi dalam mencapai
kesetaraan dengan
anak-anak lain. “Proyek” harga diri yang sebenarnya diciptakan oleh manusia
dalam peradabannya digarap apik dalam film ini, perjuangan dan pergelutan
antara si baik dan si buruk menghadapi diri sendiri dan lingkungan yang
dikisahkan dalam film ini dan akhirnya pula dimenangkan oleh sisi kebaikan,
sisi keteguhan dan kejujuran
Ada kalanya manusia
tidak bisa berkutik karena situasi yang mengharuskan dia melakukan hal ini atau
itu, tetapi setiap manusia mempunyai logika dan dan pikiran untuk mengatur,
merencanakan dan melakukan sesuatu yang baik dan mendukung perkembangan atau
yang tidak melakukan mendukung perjuangan hidupnya ataupun memilih melakukan
sesuatu yang tidak mendukung hidupnya sama sekali adalah sebuah pilihan yang
pasti punya konsekweunsi didalamnya. Begitu halnya dalam film ini, harapan yang diletakkan pada David Greene, si
tokoh utama, dari si ayah dan keluarga, sedikit melemahkan keinginannya untuk
mengejar cita-cita pribadinya dan memilih untuk melanjutkan pendidikan di
Univeritas Havard sesuai pilihan ayahnya.
Kadang kala saat
dihadapkan beberapa pilihan manusia memang harus memilihnya, pun dengan tidak
memilih itupun juga sebuah pilihan, bukan? Pilihan dengan logika itu hendaknya
mendukung panggilan sejati hidupnya. Namun, pilihan itupun kadang tidak murni
merupakan pilihan dari diri sendiri seperti dialami oleh David. Tetapi dengan
kebijaksanaan yang dia punya dan semangatnya yang kuat untuk maju dan
memperjuangkan dirinya sendiri lewat jalan kebenaran dan tidak menghilangkan
identitas asalnya, dalam kata lain dia sebagai perwakilan orang Yahudi yang
saat itu dianggap sebagai kaum lemah, mampu membawa dia kembali pada jalur
semula seperti yang dicita-citakan oleh ayahnya, yaitu membuat keluarganya
bangga akan dirinya .
Itulah pesan penting
yang disampaikan dalam film ini, halangan sebesar apapun yang merong-rong
cita-cita kita sebelumnya adalah sebuah proses peneguhan dari cita-cita yang
ingin kita raih. Kesadaran –lah yang diperlukan untuk menghadapi semua.
Kesadaran akan situasi dan posisi yang kita hadapi.
Setiap manusia
mempunyai daya dan kekuatan untuk menghadai semua masalahnya dan mempunyai
upaya untuk menyembuhkannya, setiap manusia mempunyai kemampuan untuk itu
semua…menyembuhkan semua yang perlu disembuhkan, yang diperlukan hanyalah kemauan
manusia itu sendiri untuk mau menyembuhkannya atau tidak. Itulah yang dihadapi
David untuk mencapi tujuannya, membuka pada semua kesempatan akan berkerjanya
roh Allah sedalam-dalamnya dan selebar-lebarnya dalam dirinya untuk teguh dan
tetap pada “rel” yang sudah ditetapkan (dalam film ini David adalah penganut
agama Yahudi yang taat)
Pesan David lewat
film ini adalah “ jangan menjadi pengecut bagi dirimu
sendiri….hadapilah!!!!!!!!!!!!”
0 komentar:
Posting Komentar