Tiga Nasehat
“Aku hendak
mengajar dan menunjukkan kepadamu,
jalan yang harus
kautempuh;
Aku hendak
memberi nasihat,
mata-Ku tertuju
kepadamu.”
-
Mazmur 32:8 -
“Ubi dubium, ibi libertas - Di mana ada keraguan, di sana ada kebebasan”, sengaja saya angkat di awal tulisan ini. Sebuah kenyataan formal bahwa kita menjadi Katolik sejak kita dibaptis, tapi merupakan
sebuah implikasi kenyataan bahwa menjadi kritis
juga merupakan bagian utama dari pilihan menjadi seorang yang dibaptis Katolik, bukan? Saya mengamati, banyak orang Katolik sendiri menjadi
kritis, karena ingin membela kemanusiaan (pasar) yang kadang dilupakan oleh agama
(altar). Padahal
jelaslah bahwa katolisitas tak secuilpun
beroposisi dengan kemanusiaan, bukan? Disinilah, saya tampil-kenangkan tiga nasehat
yang semoga bisa memperkaya pemaknaan iman dan aneka-ria liturgi kita dengan
segala rubrik dan daya-upaya kontekstualisasinya.
Nasehat Pertama
Membaca Teks: Globalisasi
Pasar
Ingat
Matius 5-7, soal Kotbah di Bukit? Tapi di masa kini, hic et nunc, lihatlah Jakarta dan sekitarnya! Mengutip sebuah
pernyataan dari seorang Ayu Utami: Bukit menjadi hilang. Pasar teknologi, terutama, telah
meratakannya. Di masa kini, suara suara disiarkan melalui corong-corong dan
titik-titik lubang pada kotak ajaib multi media, dari TOA di menara sampai telepon seluler
dengan aneka merk. Alat komunikasi pasar itu, (yang kerap juga masuk ke dalam
ruang altar yang privat: ketika misa, ketika di sakristi, bahkan ketika di
puncak Gunung Lawu pun), kerap membuat bukit semakin rata dan kotbah kerap jadi
banal bukan? Bahkan kadang, orang-orang yang ke gereja tidak datang untuk
mendengar apa yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang untuk
hal-hal lain selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi
mendengarkan kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi
pengkotbah juga. Mungkin inilah imbas globalisasi pasar!
Globalisasi sendiri ”not just internet, not merely
“economic”, tapi globalisasi itu sebuah INTERCONNECTIVITY
(keterhubungan). Atau bahasanya Nokia, ”...connecting people...”
Globalisasi juga adalah fakta sejarah, bukan hanya barang seperti teve plasma Sony atau tas Gucci yang begitu
saja bisa diterima atau ditolak. Justru, karena ia kondisi sejarah, perdebatan
pro dan kontra adalah mandul. Globalisasi juga bukan gejala alami, seperti
musim semi atau gempa bumi. Ia gejala yang muncul dari praktek dan pemikiran
manusia. Seperti halnya gejala lain dalam hidup manusia, globalisasi juga
mengandung ambivalensi. Sebagai contoh analogi, Hand Phone bisa dipakai seorang
pastor untuk karya pastor(al)nya, tetapi bisa juga dipakai untuk ”jatuh”: bermesraan
entah dengan siapa. Dan jelas, bahwa ambivalensi globalisasi itu tidak akan
lenyap. Sejarah ke depan akan ditandai semakin banyak ambivalensi. Dalam bahasa
Paulo Coelho, penulis novel The Alchemist yang lucu itu, "that is our
human condition".
Nasehat Kedua
Mengartikan
Konteks: Pasar dan Altar
Seperti
kata banyak pengamat sosio-religi, “yesus-yesus kecil”
yang hidup sekarang di jaman globalisasi ini, diajak meninggalkan bukitnya yang
telah datar dan beranjak ke pasar yang riuh. Bayangkanlah, kira-kira seperti sekelompok tenda biru yang terbentuk
di sekitar area Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Senen, Pasar Ular Tanjung Priok atau
Pasar Rumput Manggarai.
Atau bedeng-bedeng yang mengerumuni pecinan di Petak Sembilan, Kota. Atau kios pedagang teh botol yang
kerap mangkal di Monas, Senayan,
Blok
M, atau yang
kini masih meyesaki lahan menuju Kebun Raya Bogor atau Cibodas Gunung Gede,
tumpah ke jalan bersama sampah-sampahnya. Di pasar seperti inilah, dulu dalam
Injil, burung-burung pernah diperdagangkan. Burung itu bakal persembahan. Juga
kambing, domba dan bandot. Bakal kurban. Mata uang dipertukarkan dengan pelbagai
muslihat. Orang-orang yang takut akan Allah dibujuk justru karena ketakutannya
akan Allah. “Belilah burungku, burung surgawi,
dari burung merpati sampai
burung tekukur ”
Pojok lain berteriak, “semakin berat
kambing yang anda korbankan, semakin ringan dosa yang anda tanggung.” Di
sudut lain, “kambing kami bisa dikredit,
bunga ringan.”
Bukan sebuah kebetulan, di tahun pertama sebagai seorang
imam, saya berkarya di sebuah paroki tua di Kawasan Tangerang. Persis di depan
gereja ini, terdapat KFC, di sampingnya
terdempet area mall Robinson dengan Mc
Donald-nya, di seberangnya terdapat Pizza
Hut dengan aneka pasar tradisional beserta rentetan aneka barang dagangan,
dari yang sakral juga kadang yang liar-vulgar.
Juga ada stasiun kereta api, pangkalan mikrolet, ojek dan
becak. Apakah fenomen ini menegaskan, sungguh altar itu dekat dengan pasar?
Memang, tidak semua orang setuju begitu saja, apabila
dikatakan bahwa altar dan pasar boleh disejajarkan, apalagi disamakan.
Alasannya, keduanya merupakan dua bidang kehidupan yang berbeda dan memiliki
kaidah yang berlainan malah bertentangan. Namun bagi saya, altar mesti masuk ke
dunia pasar, dan pasar harus diperluas ke wilayah kudus, karena iman tak cukup
lagi dibatasi dalam lingkup terbatas. Karena kalau tidak demikian, ke gereja
menjadi ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor dan
pemeras buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat
memaksa diri ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan
kotbah yang tak menyentuh. Dengan ini, pasar sebenarnya menolong penghayatan
keimanan secara lengkap, karena iman mesti juga dialami sebagai pendorong untuk
upaya menyejahterakan masyarakat, sebagai inspirasi untuk memperjuangkan
pengembangan diri manusia dan sebagai motor untuk mengusahakan pelestarian
alam.
Di lain matra, sepakat dengan Dr Paul Budi Kleden dari Ledalero, saya jelas-tegas menolak
identifikasi mimbar, altar dan pasar; Iman tidak sama dengan pasar dan pasar
tidak identik dengan iman. Iman dan pasar tetap harus dibedakan, karena walaupun
pasar memiliki nilai positif, akan menjadi persoalan apabila pasar mendominasi
seluruh bidang kehidupan. Terlebih di jaman ini, pasar jelas lebih cerdik daripada ular, dan
suka berlagak tulus seperti merpati. Lihatlah, televisi, salah satu pasar yang
sekarang nge-trend, masuk ke ruang ruang privat, dimana bujuk membujuk terjadi,
transaksi terjadi, tapi pertemuan yang sesungguhnya tidak terjadi lagi.
Nasehat Ketiga
Menggagas Praktek: Interupsi
Di tengah situasi global seperti ini, yang diperlukan
adalah mencari apa yang oleh seorang fisuf Jerman, Jurgen Habermas disebut
sebagai ”Zwischenraum”. Habermas
membicarakan ruang antara ini ketika dia menunjukkan bahaya yang ada dalam
dunia modern, yakni kolonialisasi (penjajahan) bidang-bidang kehidupan oleh
sistem berpikir tertentu. Memperjuangkan Zwischenraum merupakan satu tugas
penting bagi agama-agama. Johann Baptist Metz, pencetus konsep teologi politik
baru, sering terlibat dalam diskusi yang menyegarkan dengan Habermas. Dia
memberikan sebuah definisi tentang agama yang sangat khas. Menurut dia,
definisi tersingkat dari agama adalah interupsi (Unterbrechung). Satu hal yang dapat dilakukan agama-agama dalam dunia ini adalah membuat
interupsi, karena derasnya arus berpikir, bertindak dan menilai lainnya. Namun
interupsi ini harus terus-menerus dilakukan.
Bukan mustahil, keterlibatan sekaligus keberpihakan (interupsi) terhadap
dunia pasar, dapat membukakan mata para fungsionaris agama (yang asyik-masyuk
di dunia altar), terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam nadi-nadi
hidup dan karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak orang miskin,
cacat dan tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat para
agawaman/ti perihal kontribusi teologis, reksa liturgis dan sikap pastoral
mereka sendiri terhadap kondisi ini; Gereja, teologi, pendidikan calon pastor
dan praktik hidup para pastor juga pelbagai reksa pastoral dan sakramental memang
mesti semakin sering diinterupsi.
Karena berbicara dalam konteks agama kristen, baiklah
kita melihat beberapa contoh interupsi tersebut. Warta Yesus tentang Kerajaan
Allah menginterupsi kondisi yang diciptakan manusia, yang menempatkan dirinya
sebagai raja yang sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan. Ekaristi sebagai
pusat dan sumber hidup orang Kristen adalah perjamuan bersama pada meja yang
satu. Dalam pengertian seperti ini, ekaristi pada intinya merupakan satu
interupsi di tengah tendensi manusia yang mau makan sendiri dari dan pada satu
meja, yang melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan
membawa pergi mejanya sekalian.
Gereja jelas perlu melakukan interupsi, baik terhadap
dunia pasar, maupun terhadap diri mereka sendiri (dunia altar). Liturgi Gereja
Katolik sebagai ’sumber dan puncak (fons
et culmen), terlebih lewat Sakramen Krismanya bisa mempunyai daya untuk mengajak
umat berani belajar menunjukkan perannya sebagai seorang saksi: pencerita dan
pemikir yang membuat interupsi, baik ke dalam dunia ”altar” (Gereja sendiri),
tetapi juga ke dalam dunia ”pasar”, dunia yang bersifat publik, ke tengah dunia
para pemikir sosial dan politik, kepada para ahli ekonomi dan pencinta budaya.
Hemat saya, peran seperti inilah yang perlu terus dimainkan seorang Katolik. Seorang
Katolik, perlu melakukan interupsi ke dalam kehidupan! (yang kadang hanya
mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau
yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan karena memang tak punya sesuatu)
Di
sebuah Negara Islam terbesar di dunia ini, (dimana Gereja Katolik yang
minoritas, senantiasa berusaha merumuskan peran
dan keberadaannya dalam masyarakat yang beragam dan berbeda, yang
mengandung unsur tradisional maupun modern sekaligus), Gereja seharusnya semakin
berani menyatakan keunikan imannya, sekaligus terbuka pada pelbagai kebenaran
nilai di luar dirinya, dan prakteknya , ini bukan pekerjaan mudah. Disinilah
anggota Gereja tak boleh dan tak bisa menutup diri dari khazanah di luar
Gereja. Sebab, Gereja senantiasa dalam dialog dengan yang lain- dengan
nilai-nilai yang berbeda kadar, dan dengan orang yang berbeda iman.
Dkl: Bisakah Gereja dengan sakramen dan liturginya mengajak semakin banyak
umat untuk menghidupi imannya sebagai interupsi: ”berakar
sekaligus bersayap”. Artinya: semakin mau memperdalam
keberakaran dalam iman pada Yesus, sekaligus diajak berani memperluas sayap-sayapnya pada pelbagai perjumpaan
dan gulat
geliat iman
yang
kerap tidak sibuk
di
altar-mimbar melulu. Inilah sebuah keutamaan yang patut dirayakan, bahwa agama dan teologi kita
tidak melulu berjalan di atas awan, tapi suatu komunikasi iman yang hidup. Karena, bukankah ia akan hadir secara nyata kalau membaharui diri terus menerus ( in
permanent genesis)? Bukankah juga sungguh sebuah niat
baik dan patut dirayakan, jika kita berusaha mengembalikan lagi bahasa liturgis dan refleksi iman
kita ke wilayah publik, tidak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga
sungguh hidup di tengah pasar kehidupan? Tulisan ini saya tutup dengan kutipan dari
Kejadian 1:3,
Fiat Lux!!! (Jadilah Terang).
0 komentar:
Posting Komentar