Tiga Itikad
“..Ingatlah bahwa rasul itu adalah orang Katolik yang
sadar.
Mereka insjaf betul bahwa mereka telah menerima kurnia
dari Tuhan
jang banjak djumlahnja itu
tiada hanja untuk menghibur hati mereka belaka,
akan tetapi pun djuga untuk membakar djiwanja
dengan semangat jang berkobar,
dalam menguduskan hati sendiri dan orang lain. ..”
(Mgr. Soegijapranata).
Johann Baptist Metz, salah
satu pencetus konsep teologi politik, memberi-jelaskan
sebuah definisi tersingkat tentang agama. Menurutnya, agama adalah interupsi (Unterbrechung). Bagi saya, merupakan sebuah kepastian bahwa setiap orang Katolik diajak
menjadi seorang “gunawan: berguna dan menawan”, yang berani melakukan
interupsi: terlibat-tentunya tanpa terlipat dalam suka duka hidup
bermasyarakat. Keterlibatan orang Katolik bukan melulu milik Romo Mangun, Para
Jesuit, Frans Seda, Benny Moerdani, alumni Kasebol atau Kelompok Kompas
Gramedia, bukan? Sebuah informasi: Sejak dulu, Gereja sudah menyumbang-kembang
beberapa anak terbaiknya bagi Bangsa bernama Indonesia ini: Agustinus Adisucipto
di Angkatan Udara, Yos Sudarso di Angkatan Laut, juga Ignatius Slamet Riyadi di
Angkatan Darat. Tapi, sekarang? Disinilah,
saya mengangkat tiga itikad penuh pertanyaan mendasar, yakni:
1.Apa itu Interupsi?
Pada dasarnya agama berangkat dari interupsi Allah ke
tengah dunia yang kerap disalah-urus oleh manusia. Agama hadir sebagai suatu interupsi di
tengah dunia yang terpusat hanya pada dirinya. Bukankah
agama-agama mengkhianati panggilannya bila mereka
berhenti membuat interupsi? Bukankah ketika berhenti membuat
interupsi, agama-agama tidak lagi menjadi “anjing yang menyalak” dan “duri yang menusuk”, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur yang sangat
mujarab? Maka, interupsi seorang KH. Mustofa
Bisri baik kita ingat, “Rasanya baru kemarin,
padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka..Rasanya baru kemarin...Hari ini
ingin rasanya aku bertanya kepada mereka, bagaimana rasanya merdeka?”
Disinilah, dalam intensi proklamasi
NKRI, saya hendak mengingat-kenang sepenggal semboyan populer, “100%
Katolik, 100% Indonesia”.
Semboyan ini merupakan sebuah interupsi dari Mgr. Soegijapranata, yang kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”. Dalam bahasa Latin, semboyan ini juga
dikenal dengan nama, Pro Patria et
Ecclesia, yang berarti, “Demi
Tanah Air dan Gereja”.
Siapa itu pribadi yang akrab disebut Mgr.Soegija ini? Dalam sebuah wawancara, “Si Burung Manyar” Romo Mangunwijaya -yang juga banyak membuat interupsi- pernah menyebut-ungkapkan dalam wawancara dengan Tuti Indra Malaon dan
Drigo L. Tobing dari Majalah MATRA bahwa Soegijapranata adalah gurunya. Ia
mengungkap-singkapkan, “Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh, nama
pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain
juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.”[1]
Soegijapranata sendiri adalah
seorang imam Jesuit, yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan.
Beliau diangkat sebagai Uskup Agung Pribumi yang pertama, secara
khusus untuk wilayah Semarang. Situasi negara yang sedang bergolak-gelak saat itu menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan “altar”, tetapi juga berani melakukan interupsi bagi kehidupan di “pasar” dengan segala carut-marutnya.[2]
Tahun 1955, Mgr. Soegija pernah
mengungkap-kembangkan sebuah interupsi kepada peserta KUKSI (Kongres Umat
Katolik Indonesia): “Apakah umat Katolik sungguh mempunyai manfaat bagi
masyarakat Indonesia?” Setelah 55 tahun berlangsung, interupsi itu kini
diajukan lagi kepada orang Katolik Indonesia di tahun ini. Apakah yang akan
menjadi jawabannya?
2.Mengapa Kita Perlu Ber-interupsi?
Mengacu pada Surat
Gembala 12 Februari 1952, Mgr. Soegija
mengatakan ada dua prima causa, semacam alasan dasarnya. Pertama, kewajiban kerasulan berasal dari keadaan hidup
kita: “Sedjak
kita dipermandikan, berkat kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang,
merasa selamat bahagia, sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan
sendirinja kita merasa terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja
sesama kita pun ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita
alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan
itu.”
Kedua,
kewajiban kerasulan berasal dari sifat sosial kita: “Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita.
Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan
jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang
harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...” Mencandra pelbagai interupsi Mgr Soegija di
atas, wajarlah jika seorang Romo
Mangun memandang Mgr. Soegija sebagai seorang
Gerejawan besar dalam Gereja dan
Bangsa Indonesia: “Saya tidak dapat
menggambarkan bagaimana akan jadinya Gereja Katolik Indonesia seandainya dulu
Mgr. Soegijapranata tidak ada.”[3]
3.Bagaimana Kita
Melakukan Interupsi?
John Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan
mengenai Allah di kedua belahan bumi: Di Utara (Eropa dan Amerika
Serikat/Utara), orang bertanya, “Apakah Allah ada” - Di Selatan, orang bertanya, “Dimana Allah”. Jelaslah, bahwa dalam konteks Indonesia, setiap orang
Katolik diajak setia melakukan interupsi: menghadirkan Allah, terlebih bagi
setiap “korban – rakyat tersalib”. Tapi, pada
kenyataannya, banyak orang Katolik Indonesia kadang mengalami “syndrome minority”, bukan? Nah,
disinilah interupsi Mgr. Soegija mendapatkan konteksnya: Orang Katolik memang
bukan bagian yang lebih besar (pars major), tetapi orang Katolik harus
berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior). Dkl: menjadi orang Katolik
Indonesia yang mau terlibat di tengah masyarakat dewasa ini sudah merupakan satu bentuk interupsi, kiranya
lewat momentum tujuh-belasan ini, kita
juga berani menghidupi iman kristiani sebagai sebuah interupsi. Deus vult!!
Akhirnya...
Berangkat dari tiga itikad pertanyaan di atas, baiklah
kita mengingat sebuah interupsi lain dari Mgr Soegija, yang diambilnya
dari Rupertus Meldenius dan Augustinus dari Hippo, “In necessariis
unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas: Dalam
kegentingan - bersatu, dalam keraguan - merdeka, dalam segala hal – cinta.” Interupsi
atau mati!!
[1] “Saya
Tak Mau Jadi Godfather”, dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang
Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 27.
[2] Bdk. G. Budi
Subanar, Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang,
Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J. 13 Februari 1947-17 Agustus 1949. Yogyakarta: Galang Press. 2003.
[3]
“Yesuit-Yesuit yang Saya Kenal” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah,
Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 201.
0 komentar:
Posting Komentar