Abdul
Wahid, 10 tahun terselip diantara hiruk pikuk ‘teror alam’ akhir Desember tahun
2005. Ia mengalami via dolorosa,
jalan dukacita-derita: kehilangan orangtua dan empat saudara kandungnya.
Tubuhnya dekil, matanya kosong. Ia sebatang kara. “Hana lon tuho jak le”
(‘saya tak tahu mau kemana lagi’). Mei berikutnya, teman-teman sebaya Wahid,
dari Yogyakarta, Cilangkap dan Pangandaran juga mengalami hal yang sama: via dolorosa!
Memakai
bahasa Angelus Silesius, Apakah benar…. via
dolorosa alias jalan ratap derita si Wahid bisa jadi melahirkan kembali
tangis derita Tuhan dalam hati kita? Apakah benar dalam diri Wahid, kita nyata
mengalami misteri inkarnasi seperti dikatakan Dietrich Bonhoeffer, “Tuhan
datang ke dunia sebagai dia, yang membiarkan dirinya disepak keluar dari
dunia?”
Di
tengah jelajah penderitaan (malum), wajar jika Allah, sang sumber
kebaikan (bonum) diteriakkan, didakwa, dimintai pertanggungjawaban-Nya
dan bahkan diabaikan sama sekali manakala Dia dianggap seolah membuta,
membisu-tuli, menjauh dan membiarkan realitas pahit itu mendera manusia….”Bukankah
bertentangan dengan rencanaNya ketika aneka penderitaan menimpa manusia,
citra-Nya sendiri? “Bagaimana kita menyikapi ‘the collective melancholy’,
yang menimpa warga Aceh dan Sumut lewat gempa 8,9 pada skala Richter dan
tsunami dengan kecepatan gelombang
200-800 km perjam yang konon kabarnya 10 kali lipat lebih dashyat daripada bom
atom Hiroshima? Juga gempa yang menimpa warga Yogyakarta dan sekitarnya,
mampukah kita sebagai manusia memahami
‘kiamat-kiamat kecil’ itu bersumber dari Tuhan sendiri? Di mana dan apa maksud
Tuhan, yang kerap disebut Vaclav Havel,
sebagai the mystery of Being itu?
Dalam
rentetan ruwet renteng pertanyan klasik inilah, tampak bahwa kita hidup dalam dolorosa yang tak kunjung terolah-terselesaikan.
Maka, diskursus tentang derita yang diangkat dalam buku ini menjadi amat relevan
(“Membongkar Derita”, Paul Budi Kleden). Lewat aneka penjelajahan wacana dan rajutan
pemikiran dari pelbagai tokoh yang coba dirangkai-kembangkan oleh penulis, kita
diajak untuk melihat, kemudian membongkar konsep-konsep klise kita tentang
penderitaan.
Penulis
juga mengajak menyadari bahwa konsep kita tentang via dolorosa, semacam penderitaan kerap malah justru menutup-nutupi
penderitaan atau malahan menyalahkan penderita. Dengan sistematika yang begitu
liat-padat, buku yang terbit di pertengahan tahun itu hadir dengan maksud agar
suara protes dari penderitaan dapat lebih tajam didengar dan diperdengarkan.
Buku
ini sendiri terbagi atas empat bagian pokok dengan penjelajahan yang begitu khas
descartesian: clara et disctincta - jelas dan terpilah-pilah.
Bagian
pertama bertajuk, “Mungkinkah Berbicara tentang Penderitaan?”. Di sini
penulis mengupas tuntas pentingnya dua matra sebagai ingatan kolektif, yakni:
filsafat seni (sastra, film, lagu, lukisan, foto, pahatan) serta filsafat
bahasa dengan mengulas pandangan para filsuf sekaliber Wittgenstein, Gadamer
dan Habermas.
Bagian
kedua, bertajuk, “Beberapa Kerangka Teodice”. Di sini penulis mencoba
memetakan empat pilar via dolorosa.
Pertama, derita dalam kerangka keharmonisan dari
Agustinus-Leibniz-Hegel-Voltaire sampai Dostoyevsky. Kedua, derita dalam
kerangka Privatio Boni dari Meister Echart sampai Buchner dan Schopenhauer.
Ketiga, derita dalam kerangka Dosa Asal dari paham Gnostisisme sampai Albert Camus,
dan terakhir, Teodice Autentik menurut filsuf ternama Jerman, Imanuel Kant.
Bagian
ketiga bertajuk, “Menggugat Atribut-Atribut Allah”. Di sini penulis, dengan
menggali aneka wacana kritis dari Hans Jonas, David Blumenthal dan Borchert, mencoba
menggugat-padat pelbagai atribut Allah, Allah itu Mahakuasa ataukah Tak
berdaya? Allah itu melakukan kebaikan ataukah kejahatan? Allah itu merencanakan
segala sesuatu ataukah lepas kontrol atas ciptaan?
Bagian
terakhir dalam buku ini bertajuk “Apakah Allah yang Menderita dapat
Menolong?” Di sini penulis memaparkan teologi Allah tersalib menurut Eberhard
Jungel dan Jurgen Moltmann. Satu hal yang menjadi kelebihan buku ini adalah,
maraknya aneka konsep tentang via
dolorosa dari pelbagai tokoh dengan segala catatan kritisnya, sehingga
memudahkan pemetaan sekaligus pemahaman komprehesif tentang wacana penderitaan
itu sendiri.
Lewat
buku inilah, tampak bahwa jejak tapak pemikiran filsafat dan teologis mempunyai
peluang untuk turun gunung kembali: back to public, kembali ke ruang
publik dan menjadi wacana publik! Filsafat (philo-sophia: pecinta
kebijaksanaan) dan Teologi (teo:
Tuhan, logos: ilmu) sendiri adalah
refleksi rasional tentang hal-hal yang kita anggap mendasar, yaitu yang
memiliki nilai terpenting (ultimate importance) demi dirinya sendiri.
Merupakan sebuah kenyataan bahwa refleksi filsafat dan teologis kerap
menghilang dari ruang publik dalam dunia modern. Setelah menjadi ‘ratu ilmu
pengetahuan’ dalam Abad Pertengahan, ilmu ini kerap terkesan tidak berharga
lagi diantara pelbagai disiplin ilmu lainnya.
Theology (and philosophy) as a great subject without a subject
matter, suatu bidang kajian yang yang luas tanpa bahan kajian yang jelas.
Tegasnya,
buku ini hadir untuk merakit kembali segala bentuk pemisahan pemikiran filosofis-teologis
dari wilayah publik, tanpa harus menjadi dangkal dan sloganistik. Ini lebih tepat dikatakan sebagai prasyarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi upaya relevansi filsafat-teologi
dalam masyarakat kontemporer. Bukankah sungguh sebuah niat baik dan patut
dirayakan, jika kita berusaha mengembalikan lagi bahasa dan refleksi filosofis-teologis
ke wilayah publik, tidak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga sungguh
hidup di tengah pasar kehidupan?
Di
lain matra, tengah maraknya kecemasan banyak orang, yang diwakili dengan sajak
Subagio Sastrowardoyo, “Aku tidak bisa menulis puisi lagi, sejak keindahan
punah dari bumi…”, buku ini tampil sebagai sebuah Zwischenraum,
Ruang antara untuk mempertajam tindakan berpikir di tengah aneka penderitaan.
Dan sepakat dengan Heidegger, tindakan sungguh mengandaikan pemikiran. Yang
tampak lugas dalam buku ini bahwasannya, berpikir juga adalah dialog yang
khusyuk antara saya dan diri saya sendiri. Aktivitas berpikir dengan demikian
merupakan refleksi atas pengalaman dengan dunia sosial. Aktualisasi dialog
antara saya dan diri saya ini menghasilkan pelbagai pemikiran reflektif, yang
coba dirajut secara indah oleh Paul Budi Kleden.
Memang,
de facto, kita kerap hidup dalam suatu
kesadaran praktis. Kita tidak biasa berpikir, gagal mengambil jarak atau
memberi makna pada setiap tindakan. Lewat buku inilah, perlahan kita diajak
belajar melibatkan kesadaran reflektif: mengambil jarak, bersikap kritis,
mempertanyakan dan memberi makna pada pengalaman.
Akhirnya,
seperti kegiatan membangun rumah yang dilakukan oleh para korban bersama dengan
para tetangganya dari kelompok dan kelas sosial pasca gempa. Demikianlah tampak,
bahwa buku ini tak hendak sepi iseng sendiri. Apalagi, bagi banyak orang (post)
modern, ruang kolektif dialami (hanya) ketika berada dalam perjalanan, yakni
perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Modernitas urban sangat tercermin
di jalan, demikianlah menurut Walter Benjamin. Semoga saja buku ini bisa
menjadi teman jalan yang mengasyikkan untuk menjelajah lebih jauh dan menjajah
lebih dalam. Semoga !!!
0 komentar:
Posting Komentar