Ads 468x60px

Forgive or Forget?


Buku ini (No Future Without Forgiveness) adalah sebuah cerita pengalaman konkrit Bapa Desmond Tutu, seorang Uskup Agung dari Gereja Anglikan dan peraih Nobel Perdamaian. Beliau menjadi saksi sejarah sekaligus sebagai simbol kehadiran Gereja yang terlibat dalam kehidupan berbangsa. Sepak terjang beliau mengenai masalah keadilan dan keberpihakan  kepada kulit hitam yang tersisih dan tertekan selama puluhan tahun di bawah bayang kelompok apartheid. Disput antara kelompok kulit putih dan kulit hitam telah menghasilkan begitu banyak korban jiwa terutama pada kelompok kulit hitam yang tertindas tak berdaya.

Panggilan kemanusiaan membawa Bapa Desmond Tutu tidak bisa berdiam diri sebagai pembesar Gereja. Berhadapan dengan hal tersebut Bapa Tutu menjadi seorang mediator kedua belah pihak. Meski Beliau berkulit hitam dan juga turut menjadi korban ketidakadilan, namun sudut pandangnya dalam menghakimi orang kulit putih yang bersalah menunjukkan kebesaran hati beliau. Melewati berbagai negosiasi dan perdebatan yang tidak kalah serunya, akhirnya beliau berkesimpulan bahwa “Tidak ada masa depan tanpa pengampunan”. Suatu tindak kejahatan yang dibalas dengan kejahatan akan menghasilkan lingkaran kekerasan yang tidak ada kunjung habis. Hal ini pasti menggangu stabilitas negara Afrika Selatan yang baru saja lahir.


Desmond Tutu menampilkan seorang tokoh fenomenal yang lahir dari rangkaian peristiwa penindasan. Tokoh tersebut tidak lain adalah Nelson Mandela. Dengan semangat dan sepak terjangnya, Nelson Mandela terpaksa mendekam sebagai narapidana selama  tiga puluh tahun dan  terus diburu oleh kelompok apartheid. Namun setelah Nelson Mandela bebas dan terpilih sebagai presiden dari Partai Kongres Nasional Afrika (ANC), beliau tampil sebagai pahlawan bagi stabilitas negara Afrika Selatan. Memang de facto, kaum kulit putih apartheid banyak melakukan kesalahan dan pelanggaran HAM selagi mereka berkuasa, namun pembalasan bukanlah jalan keluar dari masalah rumit tersebut. Nelson Mandela berusaha mencari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak.

Dengan berbagai negosiasi dari kedua belah pihak akhirnya dicapailah suatu rekonsiliasi di Afrika Selatan. Dalam rekonsiliasi tersebut  tidak ada pihak yang menang dan kalah, melainkan kedua belah pihak tampil sebagai pemenang dan penerus keberlangsungan negara Afrika Selatan. Sehingga pada akhirnya lahirlah Afrika Selatan yang baru yang didasari oleh semangat demokratis dan cinta damai. Rekonsiliasi itu dicapai tidak lain dan tidak bukan hanya dengan “pengampunan”. Tanpa pengampunan dari para korban kekerasan tidak mungkin Afrika Selatan bisa tetap berdiri sampai sekarang. Namun Desmond Tutu dan Nelson Mandela memberikan jalan keluar tentang bagaimana pengampunan dan amnesti itu sebaiknya dilakukan. Pengampunan bukan berarti menganggap tidak ada peristiwa di masa lalu. Cara pengampunan seperti itu hanya akan menambah penderitaan para korban.

            Bentuk pengampunan dan amnesti yang diterapkan adalah mengajak para pelaku  kejahatan di masa lalu mengakui perbuatan mereka dan memohon maaf secara tulus di depan publik. Sedangkan dari pihak korban berusaha menerima dan memaafkan pengakuan orang yang berbuat kejahatan tersebut. Meski cara ini sangatlah berat bagi kedua belah pihak dan ada godaan ketidakpuasan, namun cara ini haruslah dihadapi.

            Pengampunan yang diterapkan oleh Mandela dijiwai oleh semangat nasional rakyat Afrika yang menjadi tradisi turun temurun yaitu  UBUNTU. Ubuntu berarti baik hati, ramah, bersahabat, peduli dan penyayang. Dengan ubuntu, rakyat Afrika mempunyai kebiasaan memberikan apa yang mereka punyai. Rakyat Afrika merasa diikat dalam ubuntu dalam arti mereka adalah “saudara dalam kebersamaan”. Dengan semangat lokal ini,  Mendela tidak menghianati kekayaan religius rakyatnya, melainkan sangat efektif dalam menciptakan rekonsiliasi di Afrika Selatan. 


Bab II Pengalaman Rakyat Kulit Hitam Afrika Selatan di Bawah Rasisme Kelompok Apartheid

Jurang penderitaan yang tiada bertepi        
Pengalaman rakyat kulit hitam Afrika Selatan selama masa rasisme apartheid sungguh di luar batas kemanusiaan. Begitu banyak orang pada masa aparheid berkuasa mengalami penyiksaan seperti dikenai gas air mata, dikoyak oleh anjing-anjing polisi, didera dengan kesewenang-wenangan, dilukai, dibungkam, dipenjara, divonis mati dan digiring ke pembuangan. Kelompok apartheid telah merubah bangsa kulit hitam Afrika Selatan menjadi orang-orang tanpa nama, tidak berwajah, tidak bersuara dan tidak memperoleh apapun dari tanah air mereka.

Kelompok apartheid sebenarnya hanyalah bangsa pendatang yang menjajah Afrika Selatan. Karena kekuatan dan senjata yang mereka miliki akhirnya kaum pendatang ini malah menjadi pengusa yang semena-mena terhadap penduduk asli. Mereka menerapkan suatu atmosfer di mana penduduk asli kulit hitam tidak bisa berkembang. Mereka tidak memberikan pendidikan yang memadai bagai anak-anak kulit hitam, menempatkan kaum kulit hitam di daerah-daerah kantong tertentu. Dengan siasat seperti itu secara alamiah orang kulit hitam tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dibuat “mandul” , bungkam dan hanya menerima nasib mereka sebagai bangsa kulit hitam.

Dengan sistim “pigmentocracy”, kelompok aparthied mengklaim bahwa investasi berharga bagi manusia adalah wana kulit, etnis dan ras tertentu. Sistim itu telah membuat orang kulit hitam  kehilangan hak mereka sebagai warga negara, ironinya adalah hal tersebut disebabkan karena kulit mereka yang berwarna hitam, sedangkan kelompok apartheid berkuli putih. Kelompok kulit putih ini mayoritas beragama Kristen, mereka sering pergi ke Gereja, rajin membaca Alkitab. Kelompok yang mereka tindas juga beragam mayoritas Kristen, saudara seiman mereka.

Berbagai macam peristiwa pahit telah terjadi di Afrika Selatan dengan orang kulit hitam sebagai korbannya. Pada tanggal 21 Maret 1960 telah terjadi pembantaian massal di Shapeville, di mana enampuluh demonstran di berondong senapan oleh polisi anti huru hara.  Pada tanggal 16 Juni 1976, pelajar dan mahasiswa di bunuh secara massal di Soweto. Pada tahun 1985 telah terjadi pemboman di Amanzimtoti, di sebuah pusat pembelanjaan. Masih banyak lagi tindak kekerasan yang terjadi dan membawa korban jiwa di kedua belah pihak.

Penderitaan yang dirasakan oleh kaum kulit hitam Afrika seperti  jurang yang tidak bertepi. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, atau bisa dikatakan mereka dibuat tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada jalan keluar yang mereka miliki. Sampai pada suatu saat berkat perjuangan gigih banyak pihak, akhirnya bisa disepakati suatu pemilihan umum yang bersifat demokratis. Hal ini tentunya baru bagi rakyat Afrika Selatan. Peristiwa inipun ditanggapi dengan berbagai macam ungkapan dan perasaan karena mereka sungguh menjadi manusia baru.
                                                                                                         

Pembalikan masa : Peristiwa Pemilihan Umum
            Pada tanggal 27 April 1994 rakyat Afrika Selatan akhirnya sampai pada puncak melawan apartheid. Pada tanggal itulah pada akhirnya bangsa Afrika Selatan  untuk pertama kalinya mengadakan suatu pemilihan umum yang demokratis. Inilah titik yang paling menentukan bagi sejarah Afrika Selatan. Peristiwa itu sekaligus membawa kegembiraan, harapan dan kegelisahan, juga ketakutan. Hal itu disebabkan banyaknya ancaman bom dari pihak yang tidak setuju dengan pemilu tersebut.

            Entah sudah berapa banyak korban jiwa tak bersalah yang telah tersia-sia untuk mewujudkan pemilihan umum ini. Namun dari peristiwa ini setidaknya rakyat Afrika Selatan sadar bahwa mereka semua adalah saudara sesama manusia. Mereka mengharapkan tempat tinggal yang layak, pekerjaan yang baik, lingkungan yang aman dan sekolah yang baik untuk anak-anak mereka.

            Pengalaman pemilihan umum di Afrika Selatan ini menjadi sebuah pengalaman spiritual yang nyata di mana seorang manusia kulit hitam merasa diri mereka lahir kembali menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga bagi mereka dari kelompok kulit putih. Mereka yang dulunya menjadi manusia penindas sesamanya, sekarang menjadi manusia baru yang bebas yang tidak lagi menanggung beban berat kehidupan.


Tidak ada yang kalah dan dikalahkan
            Bapa Tutu berpendapat bahwa Bangsa Afrika Selatan akan tegar bertahan dan mencapai keberhasilan  hanya dengan kerja sama baik kaum kulit putih maupun kulit hitam. Kedua kelompok ini telah terikat keadaan dan sejarah yang sama dan harus bersama-sama berjuang melewati jurang rasisme apartheid. Pemilihan Umum ini memberikan hasil yang luar biasa menggembirakan yaitu terpilihnya Nelson Mandela menjadi seorang presiden pertama yang terpilih secara demokratis.  Afrika Selatan telah melewati masa transisi damai yang sungguh ajaib dari masa penindasan dan ketidakadilan menuju demokrasi dan kebebasan.
           
Banyak bangsa yang pesimis tentang kelancaran jalannya pemilihan umum di Afrika Selatan. Karena memang de facto suasana terjadi sekitar pemilihan umum dipenuhi ancaman serius seperti bom dan pemberontakan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan pemilihan umum. Namun atas berkat Tuhan dan kerja sama dari semua pihak akhirnya kekhawatiran itu tidak terjadi. Pemilihan umum bisa berjalan dengan lancar dan dinyatakan adil dan demokratis. 
           
Dalam pidato presidennya yang pertama, Nelson Mandela menganjurkan kepada semua saudara seperjuangannya untuk melakukan rekonsiliasi yang merupakan titik sentral tujuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.  Komisi ini dibentuk untuk  mengurusi masa lalu yang terjadi di Afrika Selatan. Dunia menjadi saksi di mana melalui bangsa Afrikan Selatan, kulit hitam dan putih dapat bersama-sama, mengukir perubahan dan peralihan kekuasaan yang relatif damai.



Bab III Perjuangan ke Arah Rekonsiliasi dan Masalah Keadilan

            Terwujudnya pemilihan umum di Afrika Selatan memang menjadi tonggak sejarah bangsa, namun peristiwa itu merupakan awal dari suatu tugas berat yang harus ditanggung semua pihak. Dengan kemenangan partai Kongres Nasional Afrika (ANC) dengan keluarnya Nelson Mandela sebagai presiden kulit hitam, dimulailah masa peralihan kekuasaan di mana kelompok yang dahulu paling terhimpit dan tertindas sekarang menjadi penguasa. Sedangkan kelompok apartheid berkulit putih berada di sisi sebaliknya.

            Telah berpuluh-puluh tahun orang kulit hitam Afrika mengalami pelanggaran HAM yang tidak ringan yang telah meruntuhkan harga diri mereka sebagai manusia.  Mereka melalui hari-hari mereka di bawah hukum yang represif dan diskriminatif. Intinya apatheid telah meninggalkan bekas luka dan trauma yang tidak terkatakan di dalam sanubari orang kulit hitam.
           

Sekarang, setelah pemilu tahun 1994, keadaan berbalik. Orang kulit hitam memegang kekuasaan. Begitu besar godaan untuk balas dendam dan kebencian kepada kaum kulit putih. Mereka layak dituntut atas berbagai macam pelanggaran dan kejahatan yang mereka lakukan pada waktu mereka berkuasa. Namun di sini kebesaran hati orang kulit hitam diuji. Belajar dari pengalaman mereka selama bertahun-tahun, mereka sadar bahwa sistim rasisme yang dikembangkan kelompok apartheid hanyalah menghancurkan masa depan mereka. Mereka mencita-citakan Afrika Selatan yang demokratis tanpa pembeda-bedaan warna kulit, ras dan jenis kelamin.
           

Pihak korban dan pelaku duduk bersama
Tuntutan untuk mengorek kebenaran di masa lalu membawa bangsa Afrika untuk mengambil sikap terhadap peristiwa yang terjadi di masa lalu. Menganggap semua itu tidak ada merupakan sikap  yang tidak bijaksana. Pertanyaannya bukan apakah yang terjadi di masa lalu tetapi bagaimana mensikapi peristiwa-peristiwa tersebut. Pada waktu itu terjadi berbagai debat yang diusulkan :

Pertama, Mengikuti paradigma Pengadilan Nuremberg.  Cara ini diadopsi dari peristiwa usai Perang Dunia II. Pada waktu itu sekutu menundukan Nazi-Jerman, pihak sekutu sebagai pemenang berhak untuk mengadili pihak yang kalah. Pengadilan Nuremberg membukukan semua pelaku pelanggaran berat HAM dan membiarkan mereka menjalani tuntutan proses pengadilan secara normal. Cara ini dinilai tidaklah menyelesaikan masalah. Di Afrika Selatan, kedua pihak tidak dapat menjatuhkan vonis pengadilan bagi pihak yang menang karena dalam Afrika Selatan yang demokratis keduanya dianggap sebagai pemenang. Dengan demikian jalan keluar ala Nuremberg tidak disetujui oleh kelompok yang berjuang gigih demi terciptanya rekonsiliasi.

            Kedua, membiarkan begitu saja kejahatan di masa lalu dalam arti amnesti yang bersifat umum. Anggapan ini berasal dari pandangan pesimis bahwa kalau para penjahat diadili sekalipun, penderitaan korban dan nyawa yang terengut tidak mungkin kembali lagi. Cara ini sangat didukung terutama oleh kelompok keamanan yang nota bene paling banyak melakukan kejahatan HAM. Di dalam kasus Afrika Selatan tidak ada amnesti yang bersifat umum. Karena amnesti yang seperti itu sama dengan amnesia, tdak menghargai penderitaan para korban kekerasan sekaligus menyangkal pengalaman hidup mereka. Maka dari itu mosi amnesti nasional ditolak karena hanya akan mendatangkan permasalahan baru.


Korban diberdayakan & pelaku disadarkan
            Setelah mempertimbangkan dan menolak dua usulan seperti di atas, maka diusulkan suatu rehabilitasi dan afirmasi atas martabat dan humanitas terutama terhadap  orang-orang yang dengan kejam dibungkam sekian lama.  Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mereka akan diberdayakan untuk menceritakan kisah mereka, diijinkan untuk mengingat secara dalam  dan mengungkapkannya di depan publik.  Dalam hal ini, meski individualitas dan humanitas mereka tidak bisa dicabut akan diakui. Cara ketiga ini memberikan amnesti bagi individu sebagai imbalan pengungkapan fakta  yang berhubungan dengan kejahatan yang pernah dilakukannya.  Cara ini merupakan umpan pembebasan  yang tepat melalui tukar menukar demi kebenaran.

            Dengan metode ini, para petugas dari Komisi kebenaran dan rekonsiliasi memberikan perhatian besar kepada para korban dan mereka yang masih hidup akubat pelanggaran HAM berat. Para petugas mencatat statement mereka, menyelidiki lapiran mereka, memberikan contoh yang representatif melalui sebuah kesempatan untuk menceritakan kisah mereka secara publik dan membuat draft rekomendasi sebagai perbaikan  dan rehabilitasi untuk diserahkan kepada pemerintah.


Bagaimana dengan keadilan?
            Pertanyaan berikut setelah langkah ini dilaksanakan adalah bagaimana dengan keadilan. Apakah adil memaksa seseorang untuk menceritakan kejahatan mereka di depan publik. Lalu apakah adil memberika amnesti begitu saja setelah orang memberikan pengakuannya di depan publik. Di sinilah kekhasan dari bangsa Afrika Selatan. Mereka mencoba untuk memperbaiki relasi sosial mereka dengan semangat ubuntu, saling berbagi dan saudara dalam kebersamaan. Dengan semangat ubuntu, mereka berusaha terbuka, ada untuk orang lain, memanusiakan orang lain. Dengan pengampunan mereka melepaskan diri mereka dari tuntutan balas dendam yang tidak kunjung terpuaskan. Dengan memaafkan mereka juga membebaskan orang lain dari beban perbuatan kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Intinya, dengan semangat ubuntu, semua rakyat Afrika Selatan, baik kulit putih maupun kulit hitam, mampu memanusiakan dirinya dan juga memanusiakan sesamanya.


Syarat mendapatkan amnesti           
Seseorang akan mendapatkan amnesti individual bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
  • Tindakan yang membutuhkan amnesti harus terjadi antara tahun 1960 sampai 1994.
  • Tindakan kejahatan harus bermotivasi politik. Para penjahat tidak memeuhi amnesti jika mereka membunuh orang karena kemauan pribadi, kecuali mereka melakukan tindakan tersebut atas perintah yang diberikan atasannya secara komando.
  • Pemohon amnesti harus membuat pernyataan terbuka mengenai semua fakta-fakta yang relevan yang terkait dengan kejahatan yang akan diberikan amnesti
  • Rublik proporsionalitas harus dicermati, misalnya, alat bukti tersebut harus cukup proporsional  untuk dijadikan bukti.

Jika persyaratan di atas terpenuhi maka amnesti akan diberikan.  Amnesti diberikan hanya kepada mereka yang mengaku bersalah, yang menerima tanggungjawab atas apa yang telah mereka lakukan. Para korban berhak  menentang para pemohon amnesti dengan menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan yang diajukan belum terpenuhi, tetapi mereka tidak memiliki hak veto terhadap amnesti. Dengan cara ini diharapkan semua pihak keluar sebagai pemenang. Kesaksian publik, rasa malu dan  sesal  yang diderita penjahat adalah harga yang harus mereka bayar. Sedangkan bagi para korban mereka mendapatkan pengakuan penderitaan mereka dan memperoleh fakta atas kekejian yang mereka alami di masa lalu.

            Keadilan yang berbicara di sini adalah keadilan yang didasari dengan semangat ubuntu. Mereka berusaha mengadakan suatu pemulihan perpecahan, penggantian kembali ketidakseimbangan dan suatu restorasi hubungan yang terpecah belah. Keadilan macam ini bertujuan untuk merehabilitasi korban dan penjahat secara bersamaan. Pendekatan ini lebih bersifat personal.

            Namun yang patut dicatat di sini adalah rekonsiliasi atas cara di atas tidaklah semudah membalik telapak tangan. Melainkan membutuhkan proses panjang dan rasa sakit dari kedua pihak. Selain itu dituntut keterbukaan hati baik dari pihak korban maupun para pelaku kejahatan itu sendiri.



Bab IV   Tanpa Pengampunan Sungguh Tak Akan Ada Masa Depan

            Bapa Desmond Tutu sadar bahwa sejak manusia diciptakan, Allah selalu menghendaki agar manusia dapat hidup berdampingan secara damai. Pada awal mula penciptaan hanya ada harmonisasi. Namun harmoni itu rusak  dan kerusakan yang fundamental itu menimpa semua mahluk tanpa kecuali. Bangsa manusia saling membunuh, membenci dan bermusuhan. Demikian juga yang terjadi pada alam (ekologi). Manusia dengan ambisinya menguasai dunia telah merusak keseimbagan alam dengan mengeksploitasi secara besar-besaran hasil alam. Pada akhirnya bangsa manusia dan dunia teralienasi dari Allah Pencipta mereka.

            Baba Tutu sadar bahwa untuk meminta maaf adalah suatu tindakan yang mengandung resiko dan menuntut keberanian. Apabila permintaan maaf yang kita ajukan ditolak  maka akan membawa derita yang lebih besar dari sebelumnya. Demikian juga dari pihak yang menjadi tujuan pemberian maaf. Kalau orang yang diberi maaf ternyata bertindak tidak menunjukan penyesalan yang sebanding dengan nilai maaf yang diberikan. Bapa Tutu sadar bahwa resiko demikian bisa merusak seluruh rencana rekonsiliasi. Namun bagaimanapun juga resiko ini tetap harus diambil.

            Kendala pertama yang ditemui untuk menuju pengampunan adalah sulitnya kita sebagai manusia untuk mengakui bahwa kita bersalah. Padahal di sisi lain ada orang yang begitu menderita atas perbuatan yang kita lakukan. Ego kita terlalu besar untuk mengatakan : “Aku minta maaf” seolah seluruh eksistensi diri kita dipertaruhkan dan direndahkan sedemikian rupa. Dengan berbagai dalih, seseorang bisa saja melemparkan kesalahan itu kepada orang lain atau mengatakan bahwa tindakannya itu merupakan balasan atas apa yang dilakukan orang lain kepadanya.

            Berhadapan dengan masalah di atas perlulah pertama-tama untuk mengungkap kebenaran dan akar dari pelanggaran. Di sinilah terletak pentingnya posisi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Memang pada akhirnya tidak semua kebenaran dapat terungkap namun dengan usaha yang keras dan ketekunan yang tidak terkira, kita bisa mengungkap sedikit demi sedikit apa yang terjadi di masa lalu.


Mengampuni adalah menyembuhkan diri sendiri
            Memang disadari bahwa rakyat Afrika Selatan baik kulit hitam dan putih telah sama-sama terluka. Peristiwa masa lalu yang pahit telah membentuk mereka menjadi manusia-manusia yang tidak utuh. Atas sebagian dari hidup mereka yang hilang. Hidup mereka merasa terus dikejar-kejar oleh dendam dan kesalahan. Kalau hal ini terus dibiarkan maka tidak akan mungkin terjadi bangsa Afrika Selatan yang baru. Atas kesadaran ini, sangat pentinglah sebuah pengampunan. Pengampunan bukanlah kita membiarkan diri kita diinjak-injak atas membiarkan lawan berpesta pora atas tindakan jahatnya. Yang dituju dari pengampun adalah penyembuhan diri sendiri. Kita tidak lagi membiarkan hidup kita dikuasai oleh amarah dan dendam. Kedua hal itu hanya akan menghimpit diri ktia sedemikian rupa sehingga kita tidak bisa berkembang sebagaimana dikehendaki Allah. Dengan membiarkan diri kita lepas dari amarah dan dendam, kita akan merasa bebas dan lepas. Setelah kedua beban itu lepas dari diri kita, barulah kita bisa memperkembangkan diri kita semaksimal mungkin. Kita akan menjalani kehidupan baru dengan berdampingan dan merasa aman.


Bab V   Tanggapan Kritis-Reflektif

            Apa yang dapat kita baca dalam sejarah Afrika Selatan adalah suatu sejarah panjang perjuangan sekelompok manusia untuk memperjuangkan martabatnya sebagai manusia. Penindasan dan permusuhan yang sudah berumur berabad-abad lamanya, membuat proses rekonsiliasi juga berjalan lebih sulit dan lambat. Namun dalam Allah tidak ada yang mustahil. Hal itu dibuktikan dengan tercapainya rekonsiliasi di Afrika Selatan. Sungguh suatu buah yang manis dari usaha panjang yang tampaknya sia-sia.

            Kita sebagai bangsa Indonesia bisa belajar banyak dari sejarah Afrika Selatan. Apa yang kita hadapi khususnya sejak peristiwa G/30S/PKI, masa orde baru sampai penjarahan massa dan pembantaian ethnis pada tahu 1998, sungguh membawa luka yang tidak ringan. Luka itu sedemikian berbekas dan tidak mudah dihilangkan hanya dengan penggantian hal-hal meteriil saja. Sekarang oleh Megawati sedang diperjuangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hal itu mirip dengan yang diusahakan di Afrika Selatan untuk menuju rekonsiliasi. Namun kita harus waspada jangan sampai komisi itu hanya dijadikan alat pada penguasa untuk cuci tangan atas kesalahan mereka di masa lalu.

            Yang diperlukan bangsa Indonesia adalah keterbukaan hati setiap rakyatnya. Dalam arti suatu kesalahan jangan ditutupi dengan kesalahan pula. Masing-masing pihak harus berusaha bersama, duduk bersama mencari kebenaran. Kebenaran bukan untuk mengkorek luka lama tetapi untuk membuka fakta-fakta sejarah yang diselewengkan selama ini. Dari situ akan jelas siapa yang salah dan siapa yang menjadi korban. Memang hal ini membutuhkan proses panjang dan usaha yang tidak kenal lelah dari semua pihak. Namun sekali lagi, suatu hasil yang baik memang perlu perjuangan dan pengorbanan yang keras, bukan?***

0 komentar:

Posting Komentar