Buku ini (No Future Without Forgiveness) adalah sebuah cerita pengalaman konkrit Bapa Desmond Tutu,
seorang Uskup Agung dari Gereja Anglikan dan peraih Nobel Perdamaian. Beliau
menjadi saksi sejarah sekaligus sebagai simbol kehadiran Gereja yang terlibat
dalam kehidupan berbangsa. Sepak terjang beliau mengenai masalah keadilan dan
keberpihakan kepada kulit hitam yang
tersisih dan tertekan selama puluhan tahun di bawah bayang kelompok apartheid. Disput antara kelompok kulit putih dan
kulit hitam telah menghasilkan begitu banyak korban jiwa terutama pada kelompok
kulit hitam yang tertindas tak berdaya.
Panggilan kemanusiaan membawa Bapa
Desmond Tutu tidak bisa berdiam diri sebagai pembesar Gereja. Berhadapan dengan
hal tersebut Bapa Tutu
menjadi seorang mediator kedua belah pihak. Meski Beliau berkulit hitam dan
juga turut menjadi korban ketidakadilan, namun sudut pandangnya dalam menghakimi orang kulit putih yang bersalah
menunjukkan kebesaran hati beliau. Melewati berbagai negosiasi dan perdebatan
yang tidak kalah serunya, akhirnya beliau berkesimpulan bahwa “Tidak
ada masa depan tanpa pengampunan”. Suatu tindak kejahatan yang dibalas
dengan kejahatan akan menghasilkan lingkaran kekerasan yang tidak ada kunjung
habis. Hal ini pasti menggangu stabilitas negara Afrika Selatan yang baru saja
lahir.
Desmond Tutu menampilkan seorang tokoh
fenomenal yang lahir dari rangkaian peristiwa penindasan. Tokoh tersebut tidak
lain adalah Nelson Mandela. Dengan
semangat dan sepak terjangnya, Nelson Mandela terpaksa mendekam sebagai
narapidana selama tiga puluh tahun
dan terus diburu oleh kelompok
apartheid. Namun setelah Nelson Mandela bebas dan terpilih sebagai presiden
dari Partai Kongres Nasional Afrika (ANC), beliau tampil sebagai pahlawan bagi
stabilitas negara Afrika Selatan. Memang de facto, kaum kulit putih apartheid
banyak melakukan kesalahan dan pelanggaran HAM selagi mereka berkuasa, namun
pembalasan bukanlah jalan keluar dari masalah rumit tersebut. Nelson Mandela
berusaha mencari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Dengan berbagai negosiasi dari kedua
belah pihak akhirnya dicapailah suatu rekonsiliasi di Afrika Selatan. Dalam
rekonsiliasi tersebut tidak ada pihak
yang menang dan kalah, melainkan kedua belah pihak tampil sebagai pemenang dan
penerus keberlangsungan negara Afrika Selatan. Sehingga pada akhirnya lahirlah
Afrika Selatan yang baru yang didasari oleh semangat demokratis dan cinta
damai. Rekonsiliasi itu dicapai tidak lain dan tidak bukan hanya dengan “pengampunan”. Tanpa pengampunan dari
para korban kekerasan tidak mungkin Afrika Selatan bisa tetap berdiri sampai
sekarang. Namun Desmond Tutu dan Nelson Mandela memberikan jalan keluar tentang
bagaimana pengampunan dan amnesti itu
sebaiknya dilakukan. Pengampunan bukan berarti menganggap tidak ada
peristiwa di masa lalu. Cara pengampunan seperti itu hanya akan menambah
penderitaan para korban.
Bentuk
pengampunan dan amnesti yang diterapkan adalah mengajak para pelaku kejahatan di masa lalu mengakui perbuatan
mereka dan memohon maaf secara tulus di depan publik. Sedangkan dari pihak
korban berusaha menerima dan memaafkan pengakuan orang yang berbuat kejahatan
tersebut. Meski cara ini sangatlah berat bagi kedua belah pihak dan ada godaan
ketidakpuasan, namun cara ini haruslah dihadapi.
Pengampunan
yang diterapkan oleh Mandela dijiwai oleh semangat nasional rakyat Afrika yang
menjadi tradisi turun temurun yaitu UBUNTU. Ubuntu berarti baik hati, ramah, bersahabat, peduli dan penyayang.
Dengan ubuntu, rakyat Afrika mempunyai kebiasaan memberikan apa yang mereka
punyai. Rakyat Afrika merasa diikat dalam ubuntu dalam arti mereka adalah “saudara dalam kebersamaan”. Dengan
semangat lokal ini, Mendela tidak
menghianati kekayaan religius rakyatnya, melainkan sangat efektif dalam
menciptakan rekonsiliasi di Afrika Selatan.
Bab II Pengalaman
Rakyat Kulit Hitam Afrika Selatan di Bawah Rasisme Kelompok Apartheid
Jurang penderitaan yang tiada bertepi
Pengalaman rakyat kulit hitam Afrika Selatan selama masa rasisme apartheid
sungguh di luar batas kemanusiaan. Begitu banyak orang pada masa aparheid
berkuasa mengalami penyiksaan seperti dikenai gas air mata, dikoyak oleh
anjing-anjing polisi, didera dengan kesewenang-wenangan, dilukai, dibungkam,
dipenjara, divonis mati dan digiring ke pembuangan. Kelompok apartheid telah
merubah bangsa kulit hitam Afrika Selatan menjadi orang-orang tanpa nama, tidak
berwajah, tidak bersuara dan tidak memperoleh apapun dari tanah air mereka.
Kelompok apartheid sebenarnya hanyalah bangsa pendatang yang menjajah
Afrika Selatan. Karena kekuatan dan senjata yang mereka miliki akhirnya kaum
pendatang ini malah menjadi pengusa yang semena-mena terhadap penduduk asli.
Mereka menerapkan suatu atmosfer di mana penduduk asli kulit hitam tidak bisa
berkembang. Mereka tidak memberikan pendidikan yang memadai bagai anak-anak
kulit hitam, menempatkan kaum kulit hitam di daerah-daerah kantong tertentu.
Dengan siasat seperti itu secara alamiah orang kulit hitam tidak bisa berbuat
apa-apa. Mereka dibuat “mandul” , bungkam dan hanya menerima nasib mereka
sebagai bangsa kulit hitam.
Dengan sistim “pigmentocracy”,
kelompok aparthied mengklaim bahwa investasi berharga bagi manusia adalah wana
kulit, etnis dan ras tertentu. Sistim itu telah membuat orang kulit hitam kehilangan hak mereka sebagai warga negara,
ironinya adalah hal tersebut disebabkan karena kulit mereka yang berwarna
hitam, sedangkan kelompok apartheid berkuli putih. Kelompok kulit putih ini
mayoritas beragama Kristen, mereka sering pergi ke Gereja, rajin membaca
Alkitab. Kelompok yang mereka tindas juga beragam mayoritas Kristen, saudara
seiman mereka.
Berbagai macam peristiwa pahit telah terjadi di Afrika Selatan dengan
orang kulit hitam sebagai korbannya. Pada tanggal 21 Maret 1960 telah terjadi
pembantaian massal di Shapeville, di
mana enampuluh demonstran di berondong senapan oleh polisi anti huru hara. Pada tanggal 16 Juni 1976, pelajar dan
mahasiswa di bunuh secara massal di Soweto.
Pada tahun 1985 telah terjadi pemboman di Amanzimtoti,
di sebuah pusat pembelanjaan. Masih banyak lagi tindak kekerasan yang terjadi
dan membawa korban jiwa di kedua belah pihak.
Penderitaan yang dirasakan oleh kaum kulit hitam Afrika seperti jurang yang tidak bertepi. Mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, atau bisa dikatakan mereka dibuat tidak bisa berbuat apa-apa.
Tidak ada jalan keluar yang mereka miliki. Sampai pada suatu saat berkat
perjuangan gigih banyak pihak, akhirnya bisa disepakati suatu pemilihan umum
yang bersifat demokratis. Hal ini tentunya baru bagi rakyat Afrika Selatan.
Peristiwa inipun ditanggapi dengan berbagai macam ungkapan dan perasaan karena
mereka sungguh menjadi manusia baru.
Pembalikan masa : Peristiwa Pemilihan
Umum
Pada
tanggal 27 April 1994 rakyat Afrika
Selatan akhirnya sampai pada puncak melawan apartheid. Pada tanggal itulah pada
akhirnya bangsa Afrika Selatan untuk
pertama kalinya mengadakan suatu pemilihan umum yang demokratis. Inilah titik
yang paling menentukan bagi sejarah Afrika Selatan. Peristiwa itu sekaligus
membawa kegembiraan, harapan dan kegelisahan, juga ketakutan. Hal itu
disebabkan banyaknya ancaman bom dari pihak yang tidak setuju dengan pemilu
tersebut.
Entah
sudah berapa banyak korban jiwa tak bersalah yang telah tersia-sia untuk
mewujudkan pemilihan umum ini. Namun dari peristiwa ini setidaknya rakyat
Afrika Selatan sadar bahwa mereka semua adalah saudara sesama manusia. Mereka
mengharapkan tempat tinggal yang layak, pekerjaan yang baik, lingkungan yang
aman dan sekolah yang baik untuk anak-anak mereka.
Pengalaman
pemilihan umum di Afrika Selatan ini menjadi sebuah pengalaman spiritual yang
nyata di mana seorang manusia kulit hitam merasa diri mereka lahir kembali
menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga bagi mereka dari kelompok kulit putih.
Mereka yang dulunya menjadi manusia penindas sesamanya, sekarang menjadi
manusia baru yang bebas yang tidak lagi menanggung beban berat kehidupan.
Tidak ada yang kalah dan dikalahkan
Bapa
Tutu berpendapat bahwa Bangsa Afrika Selatan akan tegar bertahan dan mencapai
keberhasilan hanya dengan kerja sama
baik kaum kulit putih maupun kulit hitam. Kedua kelompok ini telah terikat
keadaan dan sejarah yang sama dan harus bersama-sama berjuang melewati jurang
rasisme apartheid. Pemilihan Umum ini memberikan hasil yang luar biasa menggembirakan
yaitu terpilihnya Nelson Mandela menjadi seorang presiden pertama yang terpilih
secara demokratis. Afrika Selatan telah
melewati masa transisi damai yang sungguh ajaib dari masa penindasan dan
ketidakadilan menuju demokrasi dan kebebasan.
Banyak bangsa yang pesimis tentang
kelancaran jalannya pemilihan umum di Afrika Selatan. Karena memang de facto
suasana terjadi sekitar pemilihan umum dipenuhi ancaman serius seperti bom dan
pemberontakan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan pemilihan umum. Namun
atas berkat Tuhan dan kerja sama dari semua pihak akhirnya kekhawatiran itu
tidak terjadi. Pemilihan umum bisa berjalan dengan lancar dan dinyatakan adil
dan demokratis.
Dalam pidato presidennya yang pertama,
Nelson Mandela menganjurkan kepada semua saudara seperjuangannya untuk
melakukan rekonsiliasi yang merupakan titik sentral tujuan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Komisi ini dibentuk
untuk mengurusi masa lalu yang terjadi
di Afrika Selatan. Dunia menjadi saksi di mana melalui bangsa Afrikan Selatan,
kulit hitam dan putih dapat bersama-sama, mengukir perubahan dan peralihan
kekuasaan yang relatif damai.
Bab III Perjuangan ke Arah Rekonsiliasi dan Masalah Keadilan
Terwujudnya
pemilihan umum di Afrika Selatan memang menjadi tonggak sejarah bangsa, namun
peristiwa itu merupakan awal dari suatu tugas berat yang harus ditanggung semua
pihak. Dengan kemenangan partai Kongres Nasional Afrika (ANC) dengan keluarnya
Nelson Mandela sebagai presiden kulit hitam, dimulailah masa peralihan kekuasaan
di mana kelompok yang dahulu paling terhimpit dan tertindas sekarang menjadi
penguasa. Sedangkan kelompok apartheid berkulit putih berada di sisi
sebaliknya.
Telah
berpuluh-puluh tahun orang kulit hitam Afrika mengalami pelanggaran HAM yang
tidak ringan yang telah meruntuhkan harga diri mereka sebagai manusia. Mereka melalui hari-hari mereka di bawah
hukum yang represif dan diskriminatif. Intinya apatheid telah meninggalkan
bekas luka dan trauma yang tidak terkatakan di dalam sanubari orang kulit hitam.
Sekarang, setelah pemilu tahun 1994,
keadaan berbalik. Orang kulit hitam memegang kekuasaan. Begitu besar godaan
untuk balas dendam dan kebencian kepada kaum kulit putih. Mereka layak dituntut
atas berbagai macam pelanggaran dan kejahatan yang mereka lakukan pada waktu
mereka berkuasa. Namun di sini kebesaran hati orang kulit hitam diuji. Belajar
dari pengalaman mereka selama bertahun-tahun, mereka sadar bahwa sistim rasisme
yang dikembangkan kelompok apartheid hanyalah menghancurkan masa depan mereka.
Mereka mencita-citakan Afrika Selatan yang demokratis tanpa pembeda-bedaan
warna kulit, ras dan jenis kelamin.
Pihak korban dan pelaku duduk bersama
Tuntutan untuk mengorek kebenaran di masa lalu membawa bangsa Afrika untuk
mengambil sikap terhadap peristiwa yang terjadi di masa lalu. Menganggap semua
itu tidak ada merupakan sikap yang tidak
bijaksana. Pertanyaannya bukan apakah yang terjadi di masa lalu tetapi
bagaimana mensikapi peristiwa-peristiwa tersebut. Pada waktu itu terjadi
berbagai debat yang diusulkan :
Pertama, Mengikuti paradigma Pengadilan
Nuremberg. Cara ini diadopsi dari
peristiwa usai Perang Dunia II. Pada waktu itu sekutu menundukan Nazi-Jerman, pihak sekutu sebagai
pemenang berhak untuk mengadili pihak yang kalah. Pengadilan Nuremberg
membukukan semua pelaku pelanggaran berat HAM dan membiarkan mereka menjalani
tuntutan proses pengadilan secara normal. Cara ini dinilai tidaklah
menyelesaikan masalah. Di Afrika Selatan, kedua pihak tidak dapat menjatuhkan
vonis pengadilan bagi pihak yang menang karena dalam Afrika Selatan yang
demokratis keduanya dianggap sebagai pemenang. Dengan demikian jalan keluar ala
Nuremberg tidak disetujui oleh kelompok yang berjuang gigih demi terciptanya
rekonsiliasi.
Kedua,
membiarkan begitu saja kejahatan di masa lalu dalam arti amnesti yang bersifat
umum. Anggapan ini berasal dari pandangan pesimis bahwa kalau para penjahat
diadili sekalipun, penderitaan korban dan nyawa yang terengut tidak mungkin
kembali lagi. Cara ini sangat didukung terutama oleh kelompok keamanan yang
nota bene paling banyak melakukan kejahatan HAM. Di dalam kasus Afrika Selatan
tidak ada amnesti yang bersifat umum. Karena amnesti yang seperti itu sama
dengan amnesia, tdak menghargai penderitaan para korban kekerasan sekaligus
menyangkal pengalaman hidup mereka. Maka dari itu mosi amnesti nasional ditolak
karena hanya akan mendatangkan permasalahan baru.
Korban diberdayakan & pelaku
disadarkan
Setelah
mempertimbangkan dan menolak dua usulan seperti di atas, maka diusulkan suatu
rehabilitasi dan afirmasi atas martabat dan humanitas terutama terhadap orang-orang yang dengan kejam dibungkam
sekian lama. Melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi mereka akan diberdayakan untuk menceritakan kisah mereka,
diijinkan untuk mengingat secara dalam
dan mengungkapkannya di depan publik.
Dalam hal ini, meski individualitas dan humanitas mereka tidak bisa
dicabut akan diakui. Cara ketiga ini memberikan amnesti bagi individu sebagai
imbalan pengungkapan fakta yang
berhubungan dengan kejahatan yang pernah dilakukannya. Cara ini merupakan umpan pembebasan yang tepat melalui tukar menukar demi
kebenaran.
Dengan
metode ini, para petugas dari Komisi kebenaran dan rekonsiliasi memberikan
perhatian besar kepada para korban dan mereka yang masih hidup akubat
pelanggaran HAM berat. Para petugas mencatat statement mereka, menyelidiki
lapiran mereka, memberikan contoh yang representatif melalui sebuah kesempatan
untuk menceritakan kisah mereka secara publik dan membuat draft rekomendasi
sebagai perbaikan dan rehabilitasi untuk
diserahkan kepada pemerintah.
Bagaimana dengan keadilan?
Pertanyaan
berikut setelah langkah ini dilaksanakan adalah bagaimana dengan keadilan.
Apakah adil memaksa seseorang untuk menceritakan kejahatan mereka di depan
publik. Lalu apakah adil memberika amnesti begitu saja setelah orang memberikan
pengakuannya di depan publik. Di sinilah kekhasan dari bangsa Afrika Selatan.
Mereka mencoba untuk memperbaiki relasi sosial mereka dengan semangat ubuntu,
saling berbagi dan saudara dalam kebersamaan. Dengan semangat ubuntu, mereka
berusaha terbuka, ada untuk orang lain, memanusiakan orang lain. Dengan
pengampunan mereka melepaskan diri mereka dari tuntutan balas dendam yang tidak
kunjung terpuaskan. Dengan memaafkan mereka juga membebaskan orang lain dari
beban perbuatan kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Intinya, dengan
semangat ubuntu, semua rakyat Afrika Selatan, baik kulit putih maupun kulit
hitam, mampu memanusiakan dirinya dan juga memanusiakan sesamanya.
Syarat mendapatkan amnesti
Seseorang akan mendapatkan amnesti individual bila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
- Tindakan yang membutuhkan amnesti
harus terjadi antara tahun 1960 sampai 1994.
- Tindakan kejahatan harus
bermotivasi politik. Para penjahat tidak memeuhi amnesti jika mereka
membunuh orang karena kemauan pribadi, kecuali mereka melakukan tindakan
tersebut atas perintah yang diberikan atasannya secara komando.
- Pemohon amnesti harus membuat
pernyataan terbuka mengenai semua fakta-fakta yang relevan yang terkait
dengan kejahatan yang akan diberikan amnesti
- Rublik proporsionalitas harus
dicermati, misalnya, alat bukti tersebut harus cukup proporsional untuk dijadikan bukti.
Jika persyaratan di atas terpenuhi maka amnesti akan diberikan. Amnesti diberikan hanya kepada mereka yang
mengaku bersalah, yang menerima tanggungjawab atas apa yang telah mereka
lakukan. Para korban berhak menentang
para pemohon amnesti dengan menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan yang
diajukan belum terpenuhi, tetapi mereka tidak memiliki hak veto terhadap
amnesti. Dengan cara ini diharapkan semua pihak keluar sebagai pemenang.
Kesaksian publik, rasa malu dan
sesal yang diderita penjahat
adalah harga yang harus mereka bayar. Sedangkan bagi para korban mereka
mendapatkan pengakuan penderitaan mereka dan memperoleh fakta atas kekejian
yang mereka alami di masa lalu.
Keadilan
yang berbicara di sini adalah keadilan yang didasari dengan semangat ubuntu.
Mereka berusaha mengadakan suatu pemulihan perpecahan, penggantian kembali
ketidakseimbangan dan suatu restorasi hubungan yang terpecah belah. Keadilan
macam ini bertujuan untuk merehabilitasi korban dan penjahat secara bersamaan.
Pendekatan ini lebih bersifat personal.
Namun
yang patut dicatat di sini adalah rekonsiliasi atas cara di atas tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Melainkan membutuhkan proses panjang dan rasa
sakit dari kedua pihak. Selain itu dituntut keterbukaan hati baik dari pihak
korban maupun para pelaku kejahatan itu sendiri.
Bab IV Tanpa
Pengampunan Sungguh Tak Akan Ada Masa Depan
Bapa
Desmond Tutu sadar bahwa sejak manusia diciptakan, Allah selalu menghendaki
agar manusia dapat hidup berdampingan secara damai. Pada awal mula penciptaan
hanya ada harmonisasi. Namun harmoni itu rusak
dan kerusakan yang fundamental itu menimpa semua mahluk tanpa kecuali.
Bangsa manusia saling membunuh, membenci dan bermusuhan. Demikian juga yang
terjadi pada alam (ekologi). Manusia dengan ambisinya menguasai dunia telah
merusak keseimbagan alam dengan mengeksploitasi secara besar-besaran hasil
alam. Pada akhirnya bangsa manusia dan dunia teralienasi dari Allah Pencipta
mereka.
Baba
Tutu sadar bahwa untuk meminta maaf adalah suatu tindakan yang mengandung
resiko dan menuntut keberanian. Apabila permintaan maaf yang kita ajukan
ditolak maka akan membawa derita yang
lebih besar dari sebelumnya. Demikian juga dari pihak yang menjadi tujuan
pemberian maaf. Kalau orang yang diberi maaf ternyata bertindak tidak
menunjukan penyesalan yang sebanding dengan nilai maaf yang diberikan. Bapa
Tutu sadar bahwa resiko demikian bisa merusak seluruh rencana rekonsiliasi.
Namun bagaimanapun juga resiko ini tetap harus diambil.
Kendala
pertama yang ditemui untuk menuju pengampunan adalah sulitnya kita sebagai
manusia untuk mengakui bahwa kita bersalah. Padahal di sisi lain ada orang yang
begitu menderita atas perbuatan yang kita lakukan. Ego kita terlalu besar untuk
mengatakan : “Aku minta maaf” seolah
seluruh eksistensi diri kita dipertaruhkan dan direndahkan sedemikian rupa.
Dengan berbagai dalih, seseorang bisa saja melemparkan kesalahan itu kepada
orang lain atau mengatakan bahwa tindakannya itu merupakan balasan atas apa
yang dilakukan orang lain kepadanya.
Berhadapan
dengan masalah di atas perlulah pertama-tama untuk mengungkap kebenaran dan
akar dari pelanggaran. Di sinilah terletak pentingnya posisi Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi. Memang pada akhirnya tidak semua kebenaran dapat terungkap
namun dengan usaha yang keras dan ketekunan yang tidak terkira, kita bisa
mengungkap sedikit demi sedikit apa yang terjadi di masa lalu.
Mengampuni adalah menyembuhkan diri
sendiri
Memang
disadari bahwa rakyat Afrika Selatan baik kulit hitam dan putih telah sama-sama
terluka. Peristiwa masa lalu yang pahit telah membentuk mereka menjadi
manusia-manusia yang tidak utuh. Atas sebagian dari hidup mereka yang hilang.
Hidup mereka merasa terus dikejar-kejar oleh dendam dan kesalahan. Kalau hal
ini terus dibiarkan maka tidak akan mungkin terjadi bangsa Afrika Selatan yang
baru. Atas kesadaran ini, sangat pentinglah sebuah pengampunan. Pengampunan
bukanlah kita membiarkan diri kita diinjak-injak atas membiarkan lawan berpesta
pora atas tindakan jahatnya. Yang dituju dari pengampun adalah penyembuhan diri
sendiri. Kita tidak lagi membiarkan hidup kita dikuasai oleh amarah dan dendam.
Kedua hal itu hanya akan menghimpit diri ktia sedemikian rupa sehingga kita
tidak bisa berkembang sebagaimana dikehendaki Allah. Dengan membiarkan diri
kita lepas dari amarah dan dendam, kita akan merasa bebas dan lepas. Setelah kedua
beban itu lepas dari diri kita, barulah kita bisa memperkembangkan diri kita
semaksimal mungkin. Kita akan menjalani kehidupan baru dengan berdampingan dan
merasa aman.
Bab V Tanggapan
Kritis-Reflektif
Apa
yang dapat kita baca dalam sejarah Afrika Selatan adalah suatu sejarah panjang
perjuangan sekelompok manusia untuk memperjuangkan martabatnya sebagai manusia.
Penindasan dan permusuhan yang sudah berumur berabad-abad lamanya, membuat
proses rekonsiliasi juga berjalan lebih sulit dan lambat. Namun dalam Allah
tidak ada yang mustahil. Hal itu dibuktikan dengan tercapainya rekonsiliasi di
Afrika Selatan. Sungguh suatu buah yang manis dari usaha panjang yang tampaknya
sia-sia.
Kita
sebagai bangsa Indonesia bisa belajar banyak dari sejarah Afrika Selatan. Apa
yang kita hadapi khususnya sejak peristiwa G/30S/PKI, masa orde baru sampai
penjarahan massa dan pembantaian ethnis pada tahu 1998, sungguh membawa luka
yang tidak ringan. Luka itu sedemikian berbekas dan tidak mudah dihilangkan
hanya dengan penggantian hal-hal meteriil saja. Sekarang oleh Megawati sedang
diperjuangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hal itu mirip dengan yang
diusahakan di Afrika Selatan untuk menuju rekonsiliasi. Namun kita harus
waspada jangan sampai komisi itu hanya dijadikan alat pada penguasa untuk cuci
tangan atas kesalahan mereka di masa lalu.
Yang
diperlukan bangsa Indonesia adalah keterbukaan hati setiap rakyatnya. Dalam
arti suatu kesalahan jangan ditutupi dengan kesalahan pula. Masing-masing pihak
harus berusaha bersama, duduk bersama mencari kebenaran. Kebenaran bukan untuk
mengkorek luka lama tetapi untuk membuka fakta-fakta sejarah yang diselewengkan
selama ini. Dari situ akan jelas siapa yang salah dan siapa yang menjadi
korban. Memang hal ini membutuhkan proses panjang dan usaha yang tidak kenal
lelah dari semua pihak. Namun sekali lagi, suatu hasil yang baik memang perlu
perjuangan dan pengorbanan yang keras, bukan?***
0 komentar:
Posting Komentar