Prolog
“Lisa” bisa berarti Lihatlah
Indahnya Salib Allah. Kita pun memiliki salib-salib kecil dalam pergulatan hidup
dan iman kita bukan? Di sinilah, kita akan belajar melihat indahnya salib Allah
dengan mengenal seorang pribadi dari Brasil, yang pernah mengatakan, “When I
give bread to the poor, they call me a saint; but when I ask why people are poor, they
call me a communist.”
Ungkapan ini sama
terkenalnya dengan ucapan Martin Luther King Jr, “I
have a dream”, yang dikumandangkan dalam sebuah pertemuan akbar, yang di dalamnya terkandung harapan
besar akan masa depan. Kalimat di
atas merupakan kalimat terkenal yang pernah diucapkan oleh seorang gembala umat
Katolik karena gerah atas jerat ketidakadilan dan gurat kemiskinan yang
dialami umatnya. Dialah Dom Helder Camara (1909 - 1999), seorang uskup diosesan di
Olinda dan Recife, Brazil. Sebagai seorang uskup, tak sedikit pun terlintas
dalam benak Camara untuk memilih hidup enak dengan ongkang-ongkang kaki
duduk di pastoran, makan buah dan minum susu sambil membaca koran. Dia berani
mengajak setiap orang untuk melihat indahnya salib
Allah. Bagaimana dengan
kita sendiri?
Sebuah Sketsa Profil
Si Deus pro nobis, quis
contra nos?
Bila Tuhan beserta kita,
siapa yang berani melawan kita?
Amerika Latin merupakan
wilayah yang unik, sebuah kawasan yang
memiliki kontur alam yang
saling bertolak belakang, sebuah pegunungan
di tengah, dengan pantai
yang berhadapan langsung dengan dua samudera
yaitu Pasifik dan
Atlantik. Selain unik pada sisi geografis, Amerika Latin juga
mengingatkan kita pada
aspek sosiologis-antropologisnya: semangat dan
konteks masyarakatnya
yang penuh derap dan gejolak. Kita bisa melihatnya
pada perjuangan Simon
Bolivar yang merupakan legenda dari kemerdekaan
negara-negara Amerika
Latin.
Seperti halnya
negara-negara dunia ketiga, Amerika Latin juga
menyimpan bibit persoalan
seperti konflik politik, masalah ekonomi dan
kependudukan. Pada
wilayah-wilayah yang digerogoti oleh persoalan tadi,
bisa dibayangkan akan
muncul semangat perlawanan atau pemberontakan.
Sebuah karakter yang
menuntut adanya keadilan, rasa kebersamaan, dan
penghargaan pada
kemanusiaan. Tidak heran dari bumi Amerika Latin, lahir
orang-orang besar,
seperti Oscar Romero, Paolo Freire, Che Guevara, Pablo
Neruda, Gabriel Garcia
Marquez dan tentunya Camara sendiri, yang akan
kita angkat pada tulisan
ini.
Dom Helder Camara, nama
lengkapnya. Banyak orang menyebutnya
sebagai a man of God
and a defender of the poor. Pada era 1960-1970-an,
lewat profil Camara dan
Pele, nama Brasil menjadi lebih dikenal di mata
dunia.
Camara sendiri bukanlah
tipe orang yang silau akan gemerlapnya
dunia. Pria bertubuh
kecil kelahiran 7 Februari 1909 di Fortaleza, Ceará,
Brasil Timur Laut ini
adalah anak ke-12 dari 13 bersaudara dari pasangan
seorang akuntan dan guru
di Fortaleza, Ceará, Brazil. Ketika remaja, ia
pernah menyatakan
keinginannya untuk menjadi pastor pada ayahnya.
Ayahnya bertanya padanya,
“Kamu tahu apa artinya menjadi seorang pastor?
Itu berarti kamu bukan
lagi tuan atas dirimu sendiri. Seorang pastor itu milik
Tuhan dan milik banyak
orang.” Kamu siap?” Camara pun dengan mantap
menanggapinya,”Itulah
persis yang selalu saya inginkan.”
Dengan berjalannya waktu,
ia dengan sadar memilih jalan hidup dan
teologinya sebagai orang
yang berpihak pada kaum miskin (option for the
poor). Dengan
mendedikasikan hidupnya bagi orang “lemah”, Camara
memiliki keyakinan bahwa
ini adalah panggilan imannya. Di tengah krisis
dan pelbagai kekerasan
juga ketidakadilan, baginya, Gereja mesti terlibat.
Dalam situasi dan kondisi
sosial yang pincang, Gereja tidak boleh netral.
Gereja mesti mengambil
sikap. Kalau Gereja tidak mengambil sikap, kalau
Gereja cuma bisa berdiam
diri dan adem ayem saja, niscaya Gereja kehilangan
sifat profetisnya,
tegasnya: “Persoalan-persoalan (kecil-besar) yang tengah
mengelilingi kita terjadi
bukan karena meningkatnya kejahatan,
tapi karena diamnya
orang-orang baik.”
Dia sungguh meyakini
bahwa di tengah era yang makin beku akibat
para penguasa mati rasa
untuk berbuat baik, Gereja tidak bisa duduk manis
dan menyaksikan semua itu
dari balik “istana kencananya”. Santo Agustinus
sendiri dalam De
Civitate Dei pernah mengatakan, “Remota itaque iustitia
quid sunt regna nisi
magna latrocinia” (Negara yang tidak menyelenggarakan
pemerintahannya secara
adil, tidak lebih dari sekawanan perampok bagi
rakyatnya). Di sinilah,
dia sadar untuk tidak mau berdiam diri saja. Dia
sadar bahwa dia mesti bergerak.
Lewat figur dan sikap
kenabian Camara, “altar” dan “mimbar” yang
selalu diagungkan di
tempat yang tinggi diturunkan jauh ke bawah, ke
tengah pasar: ke tengah
suka duka pergulatan rakyat di Brasil. Tak heran
jikalau banyak orang
menyebutnya sebagai salah satu teolog besar “teologi
pembebasan”. Dalam
dialah, spiritualitas keagamaan ditransformasikan
menjadi praxis (refleksi
dan praktik) sebagai pergulatan yang bersifat
pragmatis untuk melawan
kemelaratan dan kemiskinan. Camara tergerak
turun ke bawah, menyatu
dalam pola hidup sederhana dengan masyarakat
miskin dan menderita.
Sikap pembelaan dan pemihakan terhadap kaum
miskin dan terpinggirkan
begitu jelas dan nyata dan tentunya beresiko: ia
melihat banyak teman dan
koleganya, para pastor, katekis, dan orang-orang
awam terus-menerus
ditekan, dipenjara bahkan sampai ada yang terbunuh.
Dia sendiri juga banyak
mengalami teror, intimidasi dan pengapnya sel di
balik dinding penjara.
Dengan kata lain,
sebenarnya pilihannya sebagai seorang pembela kaum
miskin bukanlah hal yang
mengenakkan. Pasalnya, pilihan itu membuatnya
kerap kali berurusan
dengan pihak berwajib. Tak hanya sekali Camara diciduk
oleh pihak berwajib,
berkali-kali dia diinterogasi dengan kasar. Bahkan
hidupnya pun hampir
berakhir di balik terali besi. Seolah tak peduli bahwa
Camara adalah seorang
rohaniwan, dan bukan tahanan politis atau penjahat
kelas kakap lainnya.
Namun demikian, bagi rezim militer yang berkuasa di
Brazil kala itu, Camara
dianggap sebagai simpatisan komunis dan penganut
ajaran Karl Marx. Tak
heran julukan sebagai the red bishop (uskup merah)
pun pernah menempel
padanya. Walaupun begitu, uskup sekaligus penyair
asal negeri Samba itu
berujar, “I have my own security guards. They are the
Father, the Son, and the
Holy Spirit.”
Adalah sebuah cerita.
Kardinal Arns dari Sao Paulo, pernah ditanya oleh
Paus Paulus VI, “Menurut
kamu, siapa itu Dom Helder Camara?” Sebagai
seorang pribadi yang
mencoba audiatur et altera pars - mendengar dari semua
sisi - kardinal menjawab,
“Dom Helder Camara adalah penyair, mistikus dan
sekaligus misionaris.
Sebagai penyair, Camara tahu bagaimana cara mengatakan
dan mengungkapkan sesuatu
dan banyak orang sangat mengerti apa yang dia
katakan. Sebagai
mistikus, Camara suka berdoa, dan pastinya melewatkan
seluruh hidupnya bersama
Allah. Dan, sebagai misionaris, Camara adalah
seorang misionaris agung.
Ia membawa banyak gagasan tentang cinta Allah ke
dalam hati banyak orang,
terlebih orang kecil, miskin dan tersingkir. Saya tidak
pernah meragukan bahwa ia
adalah orang besar dan terpuji yang dimiliki oleh
Gereja Katolik Brasil.
Fortes fortuna iuvat - nasib baik
membantu para pemberani. Pada
tahun 1973, ia pernah
dinominasikan untuk mendapat penghargaan Nobel
Perdamaian oleh AFSC (the
American Friends Service Committee). Ia pernah
juga mendapatkan
penghargaan Pacem in Terris Award. Pacem in Terris sendiri
adalah nama surat
ensiklik dari Paus Yohanes XXIII, yang memanggil setiap
orang untuk menciptakan
suatu perdamaian bagi semua bangsa di dunia.
Camara sendiri adalah
teman dekat dari Ivan Illich, seorang pakar pendidikan.
Sebagai uskup, Camara
senang mengenakan pakaian tradisional yang biasa,
dan salib kayu yg begitu
sederhana. Hal ini menegaskan pilihannya untuk
konsisten membela orang
kecil.
Di Konsili Vatikan II, ia
terkenal sebagai “uskupnya orang miskin”,
karena pelbagai
kepeduliannya pada aneka masalah di negara dunia ketiga.
Pada tahun 1968 dan 1979,
ia juga ikut ambil bagian dalam opsinya untuk
terus membela orang
miskin pada Konferensi Gereja Katolik Amerika Latin
di Medellin dan Puebla.
Ia juga terlibat aktif dalam Konferensi Nasional Para
Uskup Brasil (CNBB) pada
1952, dan Konferensi Uskup-Uskup Amerika
Latin (CELAM) pada 1954.
Dia menginginkan para uskup bersatu dan
terlibat dalam memecahkan
pelbagai masalah sosial yang sedang terjadi.
Camara akhirnya meninggal
dunia pada tanggal 27 Agustus 1999 di
Recife, Brasil dalam usia
90 tahun. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh
Katolik yang besar pada
abad ke-20. Ia adalah seorang perintis penting
bagi teologi pembebasan
Amerika Latin. Sementara teologinya terlalu biasa
untuk diidentifikasikan
dengan teologi dari para teolog pembebasan yang
belakangan (Gustavo
Gutierrez dan kawan-kawan). Ia mempengaruhi
gerakan ini melalui
komitmennya terhadap kaum miskin yang tidak
mengenal kompromi. “When
we are dreaming alone it is only a dream. When
we are dreaming with
others, it is the beginning of reality,” tegasnya.
Refeksi Teologis
a. Roti, Rahmat Oleh
Tuhan, yaitu Iman.
Ada sebuah lagu yang
cukup saya kenal, begini liriknya, “Maukah kau jadi
roti yang terpecah
bagi-Ku. Maukah kau jadi anggur yang tercurah bagiku.
Maukah kau jadi saksi
memb’ritakan Injil-Ku? Melayani mengasihi lebih
sungguh. Aku mau jadi
roti yang terpecah bagi-Mu. Aku mau jadi anggur
yang tercurah bagi-Mu.
Aku mau jadi saksi memb’ritakan Injil-Mu. Melayani
mengasihi lebih sungguh.
Lewat figur Camara, kita
diajak belajar menjadi roti yang siap dibagi
dan dipecah-pecah juga.
Di sinilah, baik juga kalau kita mengingat salah satu
kisah tentangnya. Suatu
hari, ada sebuah keluarga yang begitu kebingungan
dan tertekan karena salah
satu anggota keluarga mereka ditahan dan disiksa
di penjara polisi. Camara
segera menelepon kepala polisi di sana dan berkata,
“Ini Dom Helder Camara.
Kamu menahan saudara saya!” Polisi itu terkejut
dan balik bertanya, “Maaf,
saudaramu, Yang Mulia?” Camara menjawab,
“Iya, dia saudaraku,
walaupun kami berbeda nama, tapi kami adalah anakanak
dari Bapa yang sama.” Dari sepenggal
kisah ini, saya menjadi ingat pesan
Bunda Teresa dari
Calcutta ketika ia menerima hadiah Nobel Perdamaian
di Oslo Norwegia (11
Desember 1979), “Tidak cukup mengatakan, aku
mencintai Tuhan, tetapi
aku tidak mencintai tetanggaku. Karena dengan
wafat Yesus di kayu
salib, Ia telah menjadikan diri-Nya sebagai orang yang
lapar, yang telanjang,
yang papa ...” Lantas di penghujung sambutannya, ia
mengingatkan bahwa
mewartakan sukacita itu nyata karena Kristus ada di
mana-mana, “Kristus
ada di hati kita, Kristus ada pada semua orang miskin
papa yang kita jumpai,
ada pada seulas senyum yang kita berikan, dan kita
peroleh dari mereka.”
Baik juga kalau kita
mengingat karya besarnya tentang kritikannya
terhadap perang Vietnam.
Ia membuat sebuah buku berjudul Spiral of Violence
yang juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Spiritualitas Kekerasan. Dalam buku
tersebut tersimpan satu teori kekerasan
yang kemudian mengemuka
dan terkenal sampai sekarang. Menurutnya,
“Ketidakadilan sosial
adalah bentuk kekerasan level pertama, yang kemudian
akan mendorong lahirnya
sebuah pemberontakan. Pemberontakan atau
perlawanan sosial sendiri
merupakan bentuk kekerasan level kedua, yang
bakal direspon secara
represif oleh aksi militer yang brutal oleh penguasa
sebagai bentuk ekspresi
kekerasan level ketiga.” Lingkaran aksi dan kekerasan
itu akan terus-menerus
menggelinding, sampai ada yang berani keluar dari
lingkaran setan itu dan
memutuskan hubungan “ketergantungan” pada
kekerasan. Dengan
menggunakan teori Camara, dapat disimpulkan bahwa
kekerasan memang tidak
akan pernah tuntas. Setiap kali terjadi, kekerasan
akan melingkar semakin
besar. Di situlah, peran agama juga partisipasi
kritis umat beriman yang
siap dibagi dan dipecah-pecah dalam pergulatan
masyarakat sekitarnya
menjadi lebih nyata. Yang pasti, “jangan pernah
menjadi tua, tanpa pernah
menjadi dewasa,” begitulah tukas Dom Helder
Camara yang meyakini dia
bisa kuat bertahan dan dewasa dalam pergulatan
karena hidupnya juga
memiliki “roti, rahmat Tuhan yaitu iman.”
b. Jaya, Jalan Allah
Yakinkan Aku
Di PDKK St. Maria
Tangerang, ada sepasang suami istri yang menjadi
aktivis Gereja. Namanya,
bapak dan ibu Jaya. “Jaya” sendiri bisa berarti Jalan
Allah Yakinkan Aku. Mengenal pribadi
Camara sendiri berarti mengenal
seorang saksi iman, yang
berani mengalami jalan Allah. Jalan Allah yang
berat, yang mungkin dia
alami adalah hati yang hancur, yaitu penolakan,
tidak diperhitungkan,
diremehkan, dan ditinggalkan sendirian. Itulah jalan
salib yang mungkin dia
jalani.
Secara lebih nyata, lewat
figur Camara, kita
diajak berani akrab
dengan jalan penderitaan karena bukankah penderitaan
merupakan jalan menuju
kegembiraan dan damai? Kita diajak meyakini,
ada damai di balik
kecemasan, ada kehidupan di balik kematian, ada kasih
di balik rasa takut.
Camara juga mengajak kita
belajar menempatkan jalan
penderitaan sebagai
berkat, dan tidak menempatkan jalan penderitaan
sebagai kutukan. Kita
diajak memeluk dan membawanya dalam terang Allah
membuat keterpecahan kita
dapat bersinar seperti berlian. Hidup yang
dibina, dimurnikan, dan
dimatangkan. Setiap kali saya sebagai imam, selesai
menyambut komuni dalam
sebuah ekaristi, kalimat yang kerap saya ucapkan
adalah kalimat khas dari
Camara ini, “Tuhan bila salib menimpa kami,
maka hancurlah hidup
kami, tetapi bila Engkau yang datang bersama salib,
Engkaulah yang setia
memeluk kami.” Begitulah, ternyata lewat jalan salib
Camara, kita diajak
belajar melihat bagaimana Jalan Allah bisa meyakinkan
hidup kita juga.
Epilog
Yakobus pernah
menegaskan, “iman tanpa perbuatan adalah mati.” Di sinilah,
kita yang sedang
mengalami sukacita iman Paskah, diajak berani belajar seperti
Camara, membawa Tuhan
bagi setiap orang lain. Bagi kita atau mereka yang
sedang mengalami jalan
salib dan kalvarinya masing-masing, marilah kita juga
belajar beriman dari
salib. Jelaslah, lewat salib, Tuhan mau mendatangi kita, yang
untuk orang-orang Yahudi
suatu batu sandungan, dan untuk orang-orang bukan
Yahudi suatu kebodohan,
tapi jelas untuk kita yang dipanggil Kristus, salib melulu
adalah kekuatan dan
hikmat Allah yang mengantar pada kebangkitan (1Kor 1:23).
Mari, bersama Camara,
kita juga belajar … Lihat Indahnya Salib Allah.
Adauge nobis fidem. Tambahkanlah iman
kami! (Luk 17:5).
Misi berarti
meninggalkan, pergi,
Melepas segala sesuatu,
keluar dari diri sendiri,
Memecah dinding keegoisan
Yang memenjarakan kita
Dalam ke”AKU”an
Misi berarti berhenti
berkisar pada diri sendiri
Seolah-olah kita adalah
pusat dunia dan kehidupan
Misi berarti menolak
terikat pada masalah-masalah dunia yang kecil
Dimana kita termasuk di
dalamnya,
Kemanusiaan itu jauh
lebih besar.
Misi selalu berarti
meninggalkan, tetapi tidak selalu
mengadakan perjalanan
Di atas semua itu, misi berarti
membuka diri sendiri bagi sesama,
sebagai saudara dan
saudari,menemukan mereka, menjumpai mereka.
Dan jika, untuk menemukan
mereka, dan mencintai mereka
Perlu menyeberangi lautan
dan terbang mengarungi cakrawala, maka misi berarti
Pergi sampai ke ujung
dunia.
(Dom Helder Camara)
0 komentar:
Posting Komentar