Ads 468x60px

Yohanes Maria Vianney

Prolog
Ketika saya menjalan-tekuni retret pribadi di pertapaan St. Maria Rawaseneng, Temanggung, saya berjumpa dengan beberapa romo, termasuk Mgr. Bello dan beberapa rahib OCSO. Adalah seorang rahib di sana, bernama Frater Agus. Dialah yang menyambut dan memberikan kunci kamar retret bagi saya. Bagi saya, “Agus “ bisa berarti Andalkan Gusti Yesus. Nah, bagaimana kita sendiri bisa mengandalkan Gusti Yesus?

Alkisah, tanggal 9 Februari 1818, ada seorang imam diosesan muda
dengan penuh semangat berjalan di sepanjang jalanan sempit di sebuah desa bernama Ars di daerah Prancis Selatan. Ars dulunya adalah suatu daerah yang kumuh: 40 rumah dari tanah liat tersebar di suatu lembah, di mana suatu aliran sungai kecil mengalir perlahan. Penduduk di sana hanyalah para petani biasa yang lu lu gue gue (acuh tak acuh) terhadap iman Katolik, dan menghabiskan waktu luang mereka hanya dengan minum-minum dan bergosip. Siapakah gerangan imam muda utusan Tuhan ini? Yohanes Baptis Maria Vianney nama lengkapnya. Dialah sosok pelindung para pastor paroki sedunia. Dari sosok sederhana tapi kaya makna inilah, kita akan bersama-sama belajar Andalkan Gusti Yesus.


Se buah Skets a Prof i l
Yohanes Baptis Maria Vianney dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di
Dardilly, sebuah dusun dekat Lyons, Prancis, dalam sebuah keluarga petani
sederhana. Orang tua Vianney adalah Matius dan Maria Vianney. Mereka
adalah sepasang suami istri yang saleh dan jujur hatinya. Bahkan sebelum
kelahiran Yohanes Maria Vianney, sulung dari enam bersaudara, kerap sang
ibu mempersembahkan calon putranya itu kepada Tuhan dan Bunda Maria;
berikrar janji secara rahasia untuk mempersembahkan anak sulungnya ini di
altar Tuhan.

Pada tahun 1806, Abbè Balley, seorang imam, membuka sebuah sekolah
kecil di pastoran di Ecully, guna mempersiapkan anak-anak lelaki untuk
menjadi imam. Matius setuju dan memperbolehkan Vianney kecil belajar di
sana. Namun, pada awalnya Abbè Balley enggan menerima Vianney, sebab
pendidikannya tidak memadai. Vianney hanya tahu membaca dan menulis,
lagi pula usianya sudah 19 tahun. Abbè Balley akhirnya berubah pendirian
setelah ia mengetahui betapa banyaknya Vianney kecil ini mengenal dengan
baik kisah para kudus.

Tahun 1811, Yohanes Maria Vianney menerima Tonsura (semacam
upacara pemangkasan rambut calon imam sebelum menerima tahbisan
rendah, upacara ini sendiri dihapuskan sejak 1972), kemudian menjalani tahun
skolastikat (belajar filsafat) di seminari Verrières. Ketika kembali di seminari,
Vianey mempersembahkan diri kepada Bunda Maria, mempercayakan diri
sepenuhnya ke dalam tangan kudusnya, mempersembahkan segala perbuatanperbuatan
baiknya di masa lampau, masa sekarang, dan masa mendatang,
ke dalam perlindungan Maria, dengan cara seperti yang diajarkan oleh St.
Louis de Montfort, seorang santo besar Prancis yang amat berpengaruh
dalam memelihara iman umat di wilayahnya selama masa penganiayaan.

Di antara 250 seminaris yang ada di sana, Abbè Vianney terkenal karena
laku tapa, silih, dan permenungannya yang mendalam. Akan tetapi, dalam
bidang akademis ia sangat lemah. Ia sulit belajar dan menghafal. Walau telah
berjuang sekuat tenaga, ia tidak pernah berhasil menguasai bahasa Latin;
sebab itu Vianney dijuluki sebagai “seminaris paling bodoh di Lyons”. Enam
bulan kemudian, rektor terpaksa harus mengeluarkannya dari seminari
sebab pengetahuan akademisnya sungguh buruk. Ia sadar akan kelemahan
akademisnya, oleh sebab itu ia pernah memutuskan untuk berjalan kaki
sejauh 60 mil (±97 km) menuju Kapel St. Yohanes Fransiskus Regis, seorang
santo yang populer di Prancis. Ia memohon bantuan doa St. Yohanes Regis.
Syukurlah, Abbè Balley tetap mau membimbing Vianney secara privat
dan segera mengirimnya kembali untuk mengikuti ujian tahbisan rendah
dan diakonat. Kali ini, ujian diberikan dalam bahasa Prancis dan ia berhasil.
Setelah itu, menjelang tahbisan imam, Bapak Uskup menegaskan, “Apakah ia
berdevosi kepada Bunda Maria? Apakah ia setia mendaraskan rosario? Apakah ia
sungguh seorang teladan kesalehan? Baguslah jika demikian! Aku memanggilnya
untuk datang dan ditahbiskan! Gereja tidak hanya membutuhkan imam-imam
yang terpelajar, tetapi, terlebih lagi, imam-imam yang saleh; biarlah rahmat
Tuhan yang akan melakukan hal selanjutnya.”

Akhirnya, pada Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elisabet,
Vianney ditahbiskan sebagai subdiakon, dan pada tanggal 12 Agustus 1815 ia
ditahbiskan menjadi imam diosesan. Awal tahun 1818, Vianney ditugaskan
sebagai imam paroki sebuah dusun kecil Ars-en-Dombes yang berpenduduk
230 jiwa. Ia mengabdi di sana selama 41 tahun lamanya.

Tugasnya sebagai imam paroki di Ars sungguh sulit: dibutuhkan beberapa
tahun untuk menutup kedai-kedai minum, 8 tahun untuk menghentikan
aktivitas perdagangan di hari Minggu, dan 25 tahun untuk membuat
masyarakat di sana berpakaian sopan dan berhenti berdansa dengan tidak
sopan. Dari sini tampak jelas bahwa Vianney tidak mau mentolerir dan tidak
mau berkompromi dalam segala hal yang menyangkut dosa. Sungguh, amat
mirip benar dengan St. Yohanes Pembaptis, santo pelindungnya. Tak hentihentinya
ia belajar andalkan Gusti Yesus: ia berdoa bagi para pendosa, juga
menanggung banyak penderitaan bagi mereka. “Menderita dengan penuh
kasih adalah tidak lagi menderita,” katanya.

Hanya pada hari-hari Minggu saja, Vianney mendapatkan kesempatan
untuk memperbaiki hidup mereka pada umumnya. Sebab itu, pada harihari
lain dalam pekan, Vianney akan mengunjungi pertanian-pertanian
dan pondok-pondok ketika orang-orang sedang beristirahat untuk makan
siang. Ia akan berdiri, bersandar di pinggiran pintu sambil berbicara kepada
mereka mengenai pertanian. Namun, selalu saja, sebelum pergi ia berhasil
mengalihkan pembicaraan ke surga. Sesudah itu, ia akan terlihat berjalan
melintasi padang seraya mendaraskan Rosario. “Rahasiaku sederhana saja:
membagi-bagikan semuanya; tanpa menahan sesuatu pun.”

Pada tahun 1824, Vianney mendorong Katarina Lassagne dan
Benedicta Lardet untuk membuka sebuah sekolah cuma-cuma bagi anakanak
perempuan, yang tiga tahun kemudian telah menjadi sebuah lembaga
yang dikenal sebagai La Providence, tempat penampungan anak-anak yatim
piatu dan anak-anak terlantar. Pintu selalu terbuka bagi siapa saja, terkadang
jumlah yang tinggal di sana mencapai 60 orang sehingga jumlah dana yang
tersedia tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan. Suatu ketika, hanya
ada sedikit tepung; tetapi berkat doa Vianney, juru masak dapat membuat
sepuluh ketul roti darinya! Di lain kesempatan, gudang yang nyaris kosong
sekonyong-konyong menjadi penuh dengan gandum yang berlimpah! Oleh
karena itu, penduduk desa berkata, “Imam kita adalah seorang kudus, kita
harus taat kepadanya.”

Sungguh, pada tahun 1827, damai telah meliputi Ars sebab semua
yang tinggal di sana hidup selaras dengan Rancangan Ilahi. Orang-orang di
segenap penjuru Prancis mendengar apa yang telah terjadi di Ars; banyak dari
antara mereka yang datang mencari kedamaian di sana dan menemukannya
dalam sebuah kamar kecil, ya sebuah kamar pengakuan dosa.

Pada tanggal 29 Juli 1859, kala sedang melaksanakan rutinitasnya,
Vianney roboh, “Aku tak dapat bertahan lagi,” katanya. Ia menerima
Sakramen Terakhir dan menyambut Viaticum Kudus yang dihantarkan oleh
Uskup Chalandon, “Betapa sedih rasanya menyambut Komuni Kudus untuk
terakhir kalinya,” kata Vianney. Pada tanggal 4 Agustus 1859, pukul 2 dini
hari, ia meninggal dunia. Jenazah Yohanes Maria Vianney masih tetap utuh
dan hingga kini disemayamkan di Ars.

Pada tahun 1905, Paus Pius X memaklumkan Yohanes Maria Vianney
sebagai beato; pada tahun 1925, Paus Pius XI memaklumkannya sebagai
santo, dan kemudian pada tahun 1929 memaklumkannya sebagai Santo
Pelindung Para Imam Paroki di seluruh dunia.

Refleks i Teologi s
a. Kasih, Karena Allah Selalu Ingin Hadir

Allah adalah Kasih. Deus Caritas Est. Itulah ensiklik pertama Paus Benediktus
XVI dan inilah juga refleksi teologis saya yang pertama terhadap Vianney.
Ada banyak santo/santa menafsirkan kasih dengan pelbagai cara dan sarana.
Bagi saya sendiri, “kasih” berarti karena Allah selalu ingin hadir. Saya
meyakini modal terpenting yang dimiliki seorang Vianney adalah kasih.
Ada sebuah penggalan ajaran dari Vianney, begini katanya, “Suatu hari, St.
Fransiskus dari Asisi sedang berkhotbah di suatu wilayah di mana banyak kaum
bidaah. Orang-orang malang ini menutup telinga mereka agar jangan mereka
mendengarnya. Maka, St Fransiskus membawa orang-orang itu ke tepi pantai,
lalu memanggil ikan-ikan di laut untuk datang dan mendengarkan Sabda
Allah sebab manusia menolaknya. Ikan-ikan bermunculan di permukaan air;
ikan-ikan yang besar di belakang ikan-ikan yang lebih kecil. Orang kudus itu
bertanya kepada ikan-ikan, “Adakah kalian bersyukur kepada Allah yang baik
karena telah menyelamatkan kalian dari gelombang pasang?” Ikan-ikan itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Lalu, kata St. Fransiskus kepada orang
banyak, “Lihatlah, ikan-ikan ini bersyukur atas kasih karunia Tuhan, sementara
kalian begitu tidak tahu terima kasih, bahkan mengacuhkan kasih Tuhan!”

Jelas, dari ilustrasi di atas, rahasia iman Vianney tak diragukan lagi terletak
dalam kasihnya yang penuh syukur kepada Tuhan. Ia memberikan diri tanpa
batas sebagai tanggapan terus-menerus akan kasih Allah yang dinyatakan
dalam Kristus yang tersalib. Dalam khotbah-khotbah dan katekesenya, ia
senantiasa kembali kepada kasih itu, “Ya Tuhanku, lebih baiklah aku mati
mencintai-Mu daripada hidup barang sejenak tanpa mengasihi-Mu ... Aku
mengasihi Engkau, ya Juru Selamat Ilahiku sebab Engkau telah disalibkan bagi
kami ... sebab aku telah disalibkan bagi-Mu.” Ia begitu dikuasai kerinduan
untuk mengasihi Allah karena hati dan hidupnya penuh dengan luapan
syukur bahwa Allah telah lebih dahulu mengasihi dia, jelaslah sekali lagi
karena Allah selalu ingin hadir dalam hidupnya.

b. Iwan, Inilah Wajah Penuh Iman.
Setiap Rabu pagi di daerah Tangerang, ada seorang prodiakon yang rajin
mengunjungi beberapa rumah sakit untuk memberikan komuni dan
mendoakan pasien. Dulunya, ia seorang anak muda yang nakal, dan tidak
dekat dengan Tuhan. Akan tetapi, pengalaman pribadi akan Allah membuat
dia lahir kembali dan akhirnya dibaptis dalam Gereja Katolik pada usia 50-
an tahun. Nama prodiakon ini adalah Iwan. Bagi saya sendiri, “Iwan” bisa
berarti inilah wajah penuh iman.

Bagi saya, Vianney juga mempunyai wajah penuh iman sehingga
wajar banyak orang datang kepadanya. Satu kalimat khas Vianney, begini
bunyinya, “Hati orang yang jahat dikerumuni dosa bagaikan rumah semut
dikerumuni semut. Bagaikan sekerat daging busuk yang penuh ulat-ulat.
Apabila kita menyerahkan diri pada hawa nafsu kita, kita menganyam mahkota
duri sekeliling hati kita. Kita bagaikan seekor tikus mondok berusia sepekan;
belum lama kita melihat terang, kita telah membenamkan diri ke dalam tanah.
Setan memikat kita hingga saat terakhir bagaikan seorang malang yang dipikat
sedemikian rupa sementara para tentara datang untuk menawannya. Dan
apabila mereka datang, ia menangis dan meronta dengan sia-sia, sebab mereka
tidak akan melepaskannya.”

Kita ingat bahwa pada mulanya, parokinya hanya berpenduduk 230
jiwa ketika ia datang; mereka begitu acuh tak acuh dan nyaris tak ada praktik
keagamaan di sana. Uskup telah memperingatkan Vianney, “Tidak banyak
kasih akan Tuhan di paroki itu, engkaulah yang akan menanamkannya di sana.”
Tetapi segera saja, Vianney menjadi “pastor banyak orang” yang datang dari
seluruh negeri, dari segenap pelosok Prancis dan juga dari negara-negara lain.

Konon, terhitung ada 80.000 orang yang datang ke Ars pada tahun 1858!
Terkadang orang harus menunggu selama beberapa hari agar dapat bertemu
dan mendapat sakramen pengakuan dosa darinya. Apa yang menarik mereka
datang kepadanya? Bisa jadi, orang sadar akan bertemu dengan seorang
kudus, kagum akan mati raganya, kagum akan keakrabannya dengan Tuhan
dalam doa; kagum akan kedamaian dan kerendahan hatinya, dan terlebih
lagi kagum akan intuisinya dalam menanggapi disposisi batin jiwa-jiwa dan
dalam membebaskan jiwa-jiwa dari beban mereka, teristimewa dalam kamar
pengakuan. Jelasnya, Tuhan telah memilih seseorang yang penampilannya
miskin, lemah, rapuh dan tak diperhitungkan dalam pandangan manusia.
Ia menganugerahinya dengan karunia-karunia terbaik sebagai pembimbing
dan penyembuh jiwa-jiwa. Vianney, inilah wajah penuh iman.

c. Sugeng, sukacitanya langgeng.
Ketika saya masih kecil imut-imut, saya mengenal seorang ketua
lingkungan di daerah Cijantung, bernama Sugeng. “Sugeng” bisa berarti
sukacitanya langgeng. Bagaimana kita bisa memiliki sukacita yang langgeng?

Saya melihat bahwa Vianney menawarkan sebuah jalan, yaitu jalan
pertobatan. Dia pernah mengatakan, “Suatu ketika, seekor serigala yang buas
masuk ke desa dan melahap segala yang ada. Dalam perjalanan ia menemukan
seorang kanak-kanak kecil berusia dua tahun, maka ditangkapnya kanakkanak
itu dengan rahangnya, dan dibawanya pergi; tetapi beberapa penduduk
desa yang sedang bekerja di kebun anggur mengejar dan menyerangnya, lalu
merenggut sang kanak-kanak darinya. Demikian pula halnya Sakramen Tobat,
ia merenggut kita dari cengkeraman si iblis.”

Salah satu perhatian Vianney adalah menanamkan kerinduan untuk
bertobat: mengakui kerapuhan hidup mea culpa, mea culpa, mea maxima
culpa (saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa). Ia menekankan
indahnya kasih pengampunan Tuhan. Bukankah seluruh kehidupan imamat
dan segenap kekuatannya dipersembahkan demi pertobatan orang-orang
berdosa? Bagi dirinya, jelas pelayanan ini merupakan mati raganya yang
paling besar, suatu bentuk kemartiran.

Pertama, kemartiran dalam arti
jasmani, karena panas, dingin atau pengapnya udara dalam kamar pengakuan. Terkadang ia harus melayani 400 pengakuan dosa dalam sehari. Pada bulan bulan
musim dingin, Vianney melewatkan hingga 12 jam sehari dalam
kamar pengakuan; dalam bulan-bulan musim panas, meningkat hingga
16 jam sehari. Ia tidur hanya empat jam setiap malam dan dini hari telah
bersiap kembali untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka yang telah
menantinya di gereja. Akan tetapi, hal-hal di atas itulah juga yang membuat
sukacitanya langgeng.

Kedua, kemartiran dalam arti moral sebab ia sendiri menderita akibat dosa-dosa yang dilakukan kepadanya dan terlebih lagi ia tersiksa karena kurangnya rasa sesal para peniten. “Aku menangis sebab engkau tidak menangis.” Di hadapan para pendosa ini, Tuhan memampukan Vianney untuk mendamaikan kembali mereka yang bertobat dan juga
membimbing jiwa-jiwa mereka yang haus untuk mencapai sukacita dalam
iman.

d. I nge, Ingatlah Ekaristi
“Hari Minggu adalah milik Allah kita yang baik; hari yang dikhususkan
bagi Diri-Nya, hari Tuhan. Ia menjadikan hari-hari dalam pekan: bisa saja
Ia menghendaki semuanya. Akan tetapi, Ia telah memberikan enam hari
untukmu dan menyisakan hanya hari yang ketujuh bagi Diri-Nya sendiri.
Apakah hakmu merampas apa yang tidak menjadi milikmu? Kalian tahu
dengan pasti bahwa barang-barang curian tidak pernah mendatangkan
kebaikan. Demikian juga hari yang kalian rampas dari Tuhan tidak akan
mendatangkan kebaikan bagimu. Aku tahu dua cara pasti untuk menjadi
miskin, yaitu: bekerja pada hari Minggu dan merampas hak milik orang
lain.”(Yohanes Maria Vianney).

Adalah seorang alumnus Universitas Padjajaran, yang sekarang tinggal di
kawasan Lippo Karawaci, bernama Inge. “Inge” bisa berarti ingatlah ekaristi.
Seperti kita ketahui, Vianney biasa memulai harinya dengan pelayanan
pengampunan dosa. Kemudian, dengan suka hati, ia akan menghantarkan
para peniten itu ke Perjamuan Ekaristi. Jelasnya, Ekaristi adalah sumber dan
pusat kehidupan rohaninya, juga umat yang dia layani. Katanya, “Segala
perbuatan-perbuatan baik digabung menjadi satu masih tidak sebanding
dengan Kurban Misa sebab perbuatan-perbuatan baik itu adalah karya
manusia, sedangkan Misa Kudus adalah karya Allah. Dalam Misa, Kurban
Kalvari dihadirkan kembali demi Penebusan dunia.”

Ekaristi bagi Vianney adalah sukacita dan penghiburan besar dalam
kehidupan imamatnya. Kendati banyaknya umat yang menanti, ia biasa
menghabiskan lebih dari seperempat jam untuk waktu hening dalam persiapan
Misa. Ia merayakan Ekaristi dengan khusuk, dengan jelas mengungkapkan
sembah sujudnya saat konsekrasi dan komuni. Dengan tepat ia mengatakan,
“Penyebab dari kecerobohan imam adalah tidak memberikan perhatian pada
Misa!”

Vianney teristimewa sekali mencurahkan perhatian pada kehadiran
nyata Kristus yang abadi dalam Ekaristi. Di hadapan tabernakel, ia biasa
melewatkan berjam-jam lamanya dalam sembah sujud, entah dini hari atau
sore hari. Dalam menyampaikan homili, kerap kali ia berpaling kepada
tabernakel seraya berseru penuh emosi, “Ia ada di sana. Oh, Yesus! Oh, Yesus!
Mengapakah kami begitu terlambat mengenali Engkau?”

f. Fajar, Fasih Mengajar
Sewaktu kuliah di Yogyakarta, saya mempunyai beberapa sahabat dari IAIN.
Salah satunya, bernama Fajar, seorang mahasiswa yang sangat berminat
pada ilmu perbandingan agama-agama. Bagi saya, “Fajar” bisa berarti
fasih mengajar. Vianney pun ternyata juga fasih untuk mengajar. Ia pernah
mengatakan, “Tuhan kita, yang adalah kebenaran itu sendiri, menganggap
Sabda-Nya tidak kalah penting dari Tubuh-Nya.”

Sangat mungkin, Vianney menghabiskan waktu, terutama di awal karya pastoralnya sebagai imam muda, bersusah payah menyusun homili-homili hari Minggu. Di kemudian hari,
ia mengungkapkan dirinya dengan lebih spontan, selalu dengan kepastian
yang meyakinkan dan jelas, dengan perumpamaan-perumpamaan dan
ilustrasi yang diambil dari kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipahami
dengan mudah oleh umatnya, yang nota bene adalah orang-orang sederhana.
Ia mencurahkan segenap jiwanya ke dalam jiwa-jiwa orang banyak yang
mendengarkannya; ia membuat mereka percaya, berharap dan mengasihi
seperti dirinya.

Katekesenya kepada kanak-kanak juga merupakan bagian penting dari
pelayanan sabdanya. Ia mengajar mereka mengenal Bunda Maria dan doa
Rosario. Ia juga suka menceritakan riwayat hidup para santa/santo. Namun,
bagaimanakah seorang Vianney, yang pernah dikeluarkan dari seminari tinggi
karena dianggap bodoh, dapat memperoleh kuasa mengajar? Dari manakah
diperolehnya pengetahuan dan pemahaman yang luar biasa tentang Allah
dan tentang jiwa-jiwa? Imannya adalah seluruh pengetahuannya; bukunya
adalah Tuhan Yesus Kristus. Ia mencari kebijaksanaan tidak dari mana
pun selain dari Yesus Kristus, dalam sengsara-Nya dan dalam salib-Nya.
Ia mencarinya tidak melulu di antara tumpukan buku perpustakaan, pula
tidak di sekolah-sekolah terpelajar, melainkan dalam doa, juga di hadapan
sakramen mahakudus.

g. Susi, Suka Berdevosi
Saya mempunyai seorang saudara sepupu, bernama Susi. “Susi” bisa berarti
suka berdevosi. Vianney juga suka berdevosi. Ia tak henti-hentinya memohon
pertolongan dengan penuh kasih sayang dan kepercayaan penuh kepada
Bunda Maria. Sebuah kalimat darinya, “Putra memiliki keadilan-Nya, tetapi
Bunda tak memiliki apa-apa, kecuali kasih sayangnya. Tuhan begitu mengasihi
kita sehingga Ia rela wafat bagi kita; tetapi dalam hati Kristus ada keadilan-
Nya, yang adalah atribut Allah; dalam hati Santa Perawan Tersuci, tak ada
yang lain selain belas kasihan. Putranya siap menghukum mereka yang berdosa,
Maria menengahi, ia menahan pedang keadilan, memohon dengan sangat
pengampunan bagi pendosa yang malang. `Ibu,’ demikian Kristus berkata
kepada Bunda-Nya, `Aku tak dapat menolak apa pun permohonanmu. Bahkan
jika neraka bertobat, engkau akan beroleh pengampunan baginya.’”

Dengan kata lain, Bunda Maria juga merupakan suatu alasan baginya
untuk mengucap syukur. “Yesus Kristus,” katanya, “yang telah memberikan
kepada kita segala yang dapat Ia berikan kepada kita, juga menghendaki kita
ikut ambil bagian dalam apa yang paling berharga bagi-Nya, yaitu BundaNya
yang Tersuci.” Bagi Vianney, doa devosi adalah jiwa dari hidupnya. Ia
senantiasa memelihara persatuan yang terus-menerus dengan Tuhan bahkan
di tengah tingkat kesibukan yang begitu padat. Ia tidak lalai mendaraskan
Ofisi ataupun Rosario.

Simaklah apa yang dikatakan Vianney tentang doa,
“Semakin kita berdoa, semakin ingin kita berdoa. Bagaikan seekor ikan yang
pada awalnya berenang di permukaan air, dan kemudian membenamkan diri
ke dalam air, dan senantiasa semakin dalam lagi; jiwa membenamkan diri,
menyelam, dan kehilangan dirinya sendiri dalam manisnya bercakap mesra
dengan Allah. Waktu tak pernah terasa lama dalam doa. Aku tidak tahu
apakah kita bahkan masih berharap akan surga? Ah ya! ... Seekor ikan yang
berenang dalam anak sungai yang kecil merasa senang, tetapi alangkah terlebih
menyenangkan berenang dalam laut. Apabila berdoa, hendaknya kita membuka
hati bagi Tuhan, bagaikan seekor ikan kala melihat gelombang datang. Allah
yang baik tidak memerlukan kita. Ia meminta kita untuk berdoa hanya
karena Ia menghendaki kebahagiaan kita, dan kebahagiaan kita hanya dapat
ditemukan dalam doa. Ketika Tuhan melihat kita datang, Ia membungkukkan
hati-Nya begitu rendah kepada makhluk-Nya yang kecil, seperti seorang bapa
membungkuk dalam kepada kanak-kanaknya yang kecil agar dapat mendengar
anak itu berbicara kepadanya.”

h. “Imam, Inilah Manusia Andalan-Mu
Paus Benediktus XVI mengajak semua umat Katolik sedunia untuk merayakan
tahun 2009-2010 sebagai Tahun Imam. Momentum ini persis dengan
peringatan 150 tahun kematian Vianney. Vianney yang nota bene juga adalah
seorang imam pernah mengatakan, “Seorang imam adalah bagaikan seorang
ibu bagimu, bagaikan seorang perawat bayi yang baru berusia beberapa bulan.
Ia memberinya makan - kanak-kanak itu hanya perlu membuka mulutnya.
Ibu berkata kepada anaknya, `Mari sayangku, makanlah.’ Imam mengatakan
kepadamu, `Ambillah dan makanlah; inilah Tubuh Yesus Kristus. Kiranya Ia
memeliharamu dan menghantarmu ke kehidupan yang kekal.’ Oh, betapa katakata
yang luhur! Kanak-kanak kecil meronta melawan siapa saja yang berusaha
menahannya; ia membuka mulutnya yang mungil dan merentangkan kedua
tangan mungilnya untuk memeluk ibunya. Jiwamu, di hadapan imam, secara
alamiah melonjak kegirangan; jiwa berlari kepadanya; tetapi jiwa ditahan oleh
ikatan-ikatan daging, dalam diri mereka yang memberikan segalanya bagi akal
budinya, yang hidup hanya bagi tubuhnya semata.”

Di sinilah Vianney jelas melihat Imam sebagai alter christi: mengerjakan
dan juga menghadirkan Allah. Vianney sendiri tidak berpuas dengan rutinitas
melaksanakan aktivitas pelayanan pastoralnya. Ia berjuang agar hatinya dan
hidupnya sesuai dengan hati dan hidup Kristus, dengan tiga nasihat Injil.

KEMISKINAN: Ia memberikan segala yang ada padanya
kepada mereka yang miskin. Ia juga menolak penghormatan. Ia melahap
tak lebih dari dua butir kentang rebus dalam sehari. Jika orang memberinya
seketul roti, ia akan menukarnya dengan pinggiran roti dari seorang
pengemis.

KEMURNIAN: Ia memahami nilai kemurnian demi “menemukan
kembali sumber kasih yang adalah Tuhan, setia tidak menikah dan hanya
menjadi milik Kristus sampai mati.”

KETAATAN: Taatnya kepada Kristus, meliputi ketaatan kepada
Gereja dan teristimewa kepada uskup. Ketaatan ini diwujudkannya dengan
menerima beban berat seorang imam paroki di desa terpencil, yang sering
kali menakutkannya. Sebab, katanya, “Imam wajib senantiasa siap sedia
menjawab kebutuhan jiwa-jiwa”; lagi, “Imam bukanlah bagi dirinya sendiri,
imam adalah bagi kamu.”

Begitu banyak salib yang datang menghampiri
imam dari Ars ini di sepanjang pelayanannya: fitnah dari pihak orang
kebanyakan, disalahmengerti oleh rekan imam lainnya, pertentangan, dan
juga pergulatan misterius melawan kuasa-kuasa neraka, dan terkadang
bahkan pencobaan berupa keputusasaan di tengah malam kelam jiwa.
Walau demikian, ia tidak berpuas diri dengan hanya menerima pencobaanpencobaan
ini tanpa berkeluh-kesah; ia bertindak lebih jauh dengan berpuasa
terus-menerus dan mempraktikkan banyak mati raga ketat lainnya demi
“menundukkan tubuhnya”.

Suatu ketika imam dari Ars bertanya kepada seorang rekan imam
yang patah semangat, “Engkau telah berdoa ..., engkau telah menangis
..., tetapi adakah engkau berpuasa, adakah engkau berjaga ...? Di sini kita
ingat akan peringatan yang diberikan Yesus kepada para rasul-Nya, “Jenis
ini tidak dapat diusir, kecuali dengan berdoa dan berpuasa.” Singkat kata,
Vianney menguduskan dirinya sendiri agar dapat lebih berdaya guna dalam
menguduskan yang lain. Dengan pelayanannya, imam dapat mencerahkan
orang, membimbing mereka dalam kerohanian, mendekatkan mereka pada
Tuhan dan memberikan sakramen-sakramen kepada mereka, dari sakramen
baptis di awal hidup seorang manusia sampai sakramen perminyakan di saat
sakit dan ajal seorang manusia. Baginya, jelas … “Imam adalah jantung Hati
Yesus.”

Ep i log
Sebagai sebuah informasi tambahan, selama ini ada orang-orang akademis yang
menilai bahwa pastor dari Ars ini orang bodoh dan ada juga semacam prototipe
pastor yang bodoh di paroki saja kerjanya. Tapi, pengurus Unio KAJ (Rm. Simon Lili
Tjahjadi) pernah mengatakan bahwa ada buku baru dalam bahasa Jerman tentang
hidup dan karya Vianney dari sudut psikologi yang melihat bahwa ia bukan orang
bodoh, tapi orang yang mudah gugup (nervous). Dalam percakapan informal dengan
dosen-dosennya, Vianney bisa menjawab pertanyaan dengan baik dalam bahasa
Prancis maupun Latin. Vianney punya kecerdasan emosional dan keterbukaan hati
sehingga pangeran dan raja pun datang minta nasihat kepadanya. Di kamarnya,
ternyata juga ada banyak buku-buku teologi dan setiap hari selama 1 jam, dia asyikmasyuk
mempelajari buku-buku teologi.

Lepas dari sosok Vianney sebagai orang bodoh atau tidak, yang pasti jelas
adalah dialah sosok imam yang sederhana, tapi dengan mengandalkan Gusti
Yesus, ia dengan gagah berani dan penuh kerendahan hati mengabdikan diri
secara luar biasa, jiwa dan raga, selama 40 tahun lamanya, hingga usianya yang
ke-73 tahun. Itulah sebabnya, memperingati 100 tahun wafatnya Vianney,
Paus Yohanes XXIII menulis sebuah ensiklik berjudul Nostri Sacerdotii
Primitias guna menghadirkan imam dari Ars sebagai teladan kehidupan
imamat dan laku tapa, teladan semangat imamat. Bukankah karena segala
alasan di atas, Yohanes Maria Vianney tidak akan pernah berhenti menjadi
seorang “Agus”, yang senantiasa Andalkan Gusti Yesus? Bahkan Yohanes
Paulus II, pada 16 Maret 1986 juga pernah mengatakan, “Figur Imam dari
Ars ini tidak akan pernah pudar.” Kini pertanyaannya, beranikah kita juga
tetap andalkan Gusti Yesus di tengah badai cobaan kita masing-masing?
Deus vult! Tuhan menghendakinya …

“Bumi ini adalah sebuah jembatan untuk menyeberang;
ia hanya berguna untuk menopang langkah-langkah kaki kita ...
Kita ada dalam dunia ini, tetapi kita bukan dari dunia ini,
sebab kita mengatakan setiap hari, `Bapa kami, yang ada di surga.’
Jadi, seharusnyalah kita menanti ganjaran kita,
hingga kita tiba di rumah, yakni di rumah Bapa kita.

Itulah sebabnya mengapa umat Kristiani yang baik
menderita salib, pertentangan, sengsara, penghinaan, fitnah -
semakin banyak semakin baik! ...
Tetapi orang kebanyakan terheran-heran akan hal ini.
Tampaknya mereka beranggapan
bahwa karena kita sedikit mengasihi Allah yang baik,
seharusnya tidak akan ada yang menentang kita,
tidak akan ada yang membuat kita menderita ...

Kita katakan, `Ada orang yang tidak baik, namun hidupnya berhasil;
tetapi aku, tak ada gunanyalah aku melakukan yang terbaik;
semuanya berantakan.’
Ini karena kita tidak memahami nilai dan kebahagiaan salib.
Kita katakan bahwa terkadang Tuhan menghukum mereka
yang dikasihi-Nya.
Itu tidak benar.

Pencobaan-pencobaan bukanlah penghukuman;
pencobaan-pencobaan adalah rahmat
bagi mereka yang dikasihi Tuhan ...“
(Yohanes Maria Vianney)

0 komentar:

Posting Komentar