Ads 468x60px

Henri Nouwen

Prolog
Rita adalah nama seorang umat Katolik di Paroki St. Stefanus, Cilandak. Bapaknya seorang Kristen. Ibunya beragama Islam, tapi dalam perjalanan juga pergulatan masa remajanya karena kemauannya sendiri ia belajar dan akhirnya dibaptis dan menikah secara Katolik. “Rita” dapat berarti Rahmat Indah Tiada Akhir. Adalah juga seorang imam diosesan Belanda yang meyakini adanya rahmat indah tiada akhir dalam gulat geliat hidupnya. Dialah Henri Nouwen, seorang teolog pastoral terkemuka dari Harvard yang berpindah karya menjadi pelayan dan sekaligus teman seperjalanan bagi orang-orang cacat mental di Komunitas L’Arche, Toronto. Kepindahan Nouwen dari kegemerlapan prestisiusitas akademis di Harvard ke komunitas orang-orang cacat di L’Arche Toronto agaknya menjadi bukti yang tak terbantahkan dari buah perjalanan spiritual adanya “Rahmat Indah Tiada Akhir”.
Sebuah Sketsa Profil
Henri Nouwen lahir di Nijkerk, Belanda, pada tanggal 24 Januari 1932.
Nouwen ditahbiskan pada tahun 1957 sebagai imam diosesan dan tekun
mempelajari psikologi di Universitas Katolik Nijmegen. Pada tahun 1964,
ia pindah ke Amerika Serikat untuk belajar dan mengajar mata kuliah
spiritualitas di Universitas Notre Dame, Yale, dan Harvard. Ia adalah seorang
imam yang lebih banyak melibatkan diri di dunia pendidikan kampus pada
sebagian besar hidupnya. Selain itu, bakat besar Nouwen dalam menulis telah
menjadikannya salah satu di antara segilintir penulis Katolik yang mendapat
penerimaan dan apresiasi di kalangan Protestan. Kejujuran Nouwen dalam
menulis, di mana semua pergulatan hidupnya diceritakan tanpa tedheng
aling-aling (secara blak-blakan) telah menyebabkannya menjadi seorang
teman yang berempati, imam yang bersimpati, guru yang menunjukkan
jalan solusi sementara ia mencari-cari jalan yang pas, dan penyembuh terapi
yang menyembuhkan luka hati orang lain dengan lukanya sendiri.

Baru-baru ini, saya membaca buku Here and Now, Living in the
Spirit, buku yang sangat inspiratif karya Henri Nouwen juga. Buku itu
sebetulnya berisi permenungan-permenungan singkat. Dengan rendah hati,
Nouwen menyadari bahwa sampai usia yang tidak muda lagi, betapa hidup
emosionalnya amat dipengaruhi oleh orang tua, saudara dan saudarinya.
Pengaruh yang begitu kuat itu hingga bertahun-tahun emosinya masih terikat
sangat kuat dengan orang tua. Mungkin karena itu pulalah, ia belajar banyak
soal psikologi, bahkan pernah untuk beberapa bulan selama tahun 1970-
an, Henri Nouwen tinggal dan menyepi bersama para biarawan trappist di
Abbey dari Genesee, New York.

Di awal tahun 1980-an, Nouwen tinggal dengan orang-orang miskin
di Peru. Semua pengalamannya selama menyebarkan Injil di lingkungan
kumuh di Peru ini dibukukannya dalam jurnal yang kemudian diberi judul
Gracias! A Latin American Journal. Baginya jelas, pengalaman adalah guru
yang terbaik. Usus magister est optimus.

Pada tahun 1985, ia bergabung dengan sebuah Komunitas L’Arche di
Trosly, Prancis, yang didirikan oleh Jean Vanier, di mana orang-orang dengan
cacat mental hidup bersama di situ. Setahun kemudian, Nouwen datang
untuk hidup bersama dan mengabdi di komunitas orang cacat mental di
L’Arche Daybreak di Toronto, Kanada. Di sinilah, Nouwen paling diingat
akan kiprahnya selama 10 tahun terakhir hidupnya.

Pada masa-masa inilah, Nouwen paling produktif dan menghasilkan banyak tulisan bermutu,
kebanyakan terinspirasi dari hubungannya dengan Adam, pasien cacat mental
parah, yang dirawatnya, dia tuangkan dalam buku Adam: God`s Beloved.

Beberapa karya Nouwen yang lain ialah Menggapai Kematangan Hidup
Rohani, Dengan Tangan Terbuka, Engkau Dikasihi - Pegangan Hidup dalam
Dunia Modern, Kembalinya Si Anak Hilang, Cakrawala Hidup Baru dan
Pelayanan yang Kreatif, Dalam Nama Yesus: Refleksi tentang Kepemimpinan
Kristen, Pandanglah Wajah Kasih Allah - Spiritualitas Seni Ikon, Jangan
Takut - Menghadapi Kematian, Jalan Pengosongan Diri, Diambil, Diberkati,
Dipecah, Dibagikan - Hidup sebagai Pribadi yang Dikasihi. Mungkin salah
satu filosofi sederhananya: Qui scribit, bis legit - Barang siapa menulis, ia
membaca dua kali.

Ada sebuah buku Nouwen yang berbicara soal kematian berjudul Be
Not Afraid, Overcoming The Fear of Death. Dia mengajak kita percaya bahwa
“kematian tidak mempunyai kata akhir. Kita dapat melihat mereka … dan
memberi mereka harapan; kita dapat meletakkan tubuh mereka di tangan kita.
Dan kita dapat percaya bahwa tangan yang lebih perkasa daripada tangan kita
akan menerima mereka dan memberi mereka kedamaian dan kegembiraan yang
mereka dambakan.”

Inilah yang akhirnya dialami Nouwen juga. Ia meninggal
mendadak pada tanggal 21 September 1996 di Belanda, dan jenazahnya
dimakamkan di King City, Ontario. “Setelah mengenal dan mengetahui
lebih dalam sosok Henri Nouwen selama beberapa tahun, hal pertama yang
saya ingin katakan adalah bahwa dia adalah seorang pastor dengan energi yang
besar, visi dan wawasan luas, tetapi juga adalah orang yang sadar memiliki
“sakit”. Saya selalu berpindah ketika merasakan kedalaman rasa sakit. Tapi
Henri Nouwen telah menemukan sesuatu karena meskipun dalam beberapa
hal dia melarikan diri dari rasa sakit, pada saat yang sama ia juga memilih
untuk berjalan melalui rasa sakit, ia belajar menerima penderitaan, ia tidak
membangun penghalang untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan cara yang
misterius, ia adalah seorang penyembuh luka, seperti judul dalam salah satu
bukunya yang pertama, Yang Terluka Yang Menyembuhkan (Pidato Jean
Vanier, di pemakaman Henri Nouwen).

Refleks i Teologi s
a. Menjadi BAPA, Bersama Allah Penuhlah Aku

Di dalam salah satu bukunya yang berjudul The Return of The Prodigal
Son, Nouwen mengontemplasikan secara mendalam, baik lukisan abad
ke-17 dari Rembrandt maupun “lukisan” Anak yang Hilang (kisah dalam
Injil Lukas 15:11-32) sehingga ia tersadar bahwa kisah anak yang hilang itu
pertama-tama adalah kisah tentang hidupnya sendiri. Kisah perumpamaan
dari Yesus ini memikat Nouwen karena kisah ini membantunya untuk
belajar me-“rekonstruksi” kisah dirinya sendiri. Atau dalam bahasa Pastor
Brian Kolodiejchuk, MC (penyusun dan editor buku yang berisi suratsurat
pribadi Bunda Teresa), “Come be my light.” Bagi Nouwen, kisah itu
datang sebagai cahaya dalam hidupnya. Kisah itu sendiri secara sederhana
berlangsung dalam 3 (tiga) tahap pemetaan, yakni:

Tahap pertama adalah pengalaman Nouwen menjadi si anak bungsu,
yaitu perasaan diri sebagai yang hilang. Ia berpergian ke banyak tempat,
mengajar di banyak kampus yang hebat, bertemu dengan banyak orang di
banyak saat, dengan segala gaya hidup dan keyakinan yang tidak selalu sama.
Ia banyak terlibat dengan aneka soal di Amerika Selatan dan Tengah. Ia ikut
dalam berbagai gerakan, tetapi pada akhir semuanya itu, ia merasa amat
lelah, letih, “habis”, dan tidak mempunyai rumah. Oleh karena itu – seperti
si anak bungsu dalam kisah – ia pun rindu pulang, menantikan sambutan
Sang Bapa.

Tahap kedua adalah pengalaman menjadi anak sulung. Di tahap ini
– setelah disadarkan oleh sahabat yang bernama Bart Gavigan – Nouwen
melihat bahwa di sepanjang hidupnya ia adalah orang yang patuh dan taat,
baik kepada orang tua, guru-guru, uskup-uskup, dan Tuhan. Ia tidak pernah
terhanyut dalam “pesta-pora dan kemabukan”. Ia seorang yang tradisional,
bertanggung jawab dan “kerasan di rumah”, namun ia juga melihat bahwa
ia memiliki kecemburuan, kemarahan, mudah tersinggung, keras kepala,
mudah menggerutu dan terutama sikap selalu merasa paling benar yang sangat
halus, dan senantiasa ditunggangi oleh perasaan dendam dan kesombongan.
Jadi, ia adalah anak sulung yang terhilang seperti si anak bungsu, kendati ia
senantiasa berada di “rumah” di sepanjang hidupnya.

Tahap ketiga adalah pengalaman menjadi sang bapa. Di tahap inilah,
Nouwen menyadari bahwa sang bapalah satu-satunya yang mengungkapkan
secara amat penuh tujuan panggilannya dalam kehidupan. Sebetulnya ada
penolakan hebat di dalam dirinya untuk memikirkan diri sebagai seorang
Bapa, namun seorang teman bernama Sue Mosteler meneguhkan dia dengan
berkata, “Engkau telah mencari banyak sahabat selama hidupmu, engkau begitu
mendamba untuk beroleh kasih sayang selama aku mengenalmu, engkau begitu
tertarik dengan macam-macam hal, engkau mencari perhatian, penghargaan,
dan pengakuan. Saatnya tiba untuk mengikuti panggilanmu yang sejati, yaitu
menjadi bapa yang mampu menyambut anaknya pulang tanpa bertanya sepatah
kata pun kepadanya dan tanpa menginginkan sesuatu pun sebagai imbalannya.
Pandanglah sang bapa dalam lukisanmu dan engkau akan tahu engkau harus
menjadi siapa.”

Nouwen semakin meyakini bahwa orang-orang di Komunitas Fajar
(L’Arche) dan sebagian besar orang di sekitarnya tak melulu membutuhkan
dia sebagai seorang teman yang baik atau bahkan seorang saudara yang ramah.
Mereka membutuhkan dia (juga kita tentunya) menjadi seorang bapa yang
tampil sebagai sumber belas kasih sejati. Bukan Bungsu, Bukan Sulung ...
Tapi BAPA: Bersama Allah Penuhlah Aku. Inilah refleksi teologi yang pertama,
bahwa seperti Nouwen, kita juga dipanggil menjadi Bapa yang penuh belas
kasih terhadap setiap orang: menerima dan menghargai kerapuhan setiap
orang.

Henri Nouwen sendiri pernah mengungkapkan bahwa “senyum
merekah yang menebar dari wajah keriput laki-laki dan perempuan Indian
di Amerika Selatan mengungkapkan iman yang dalam tentang kebangkitan.
Iman mereka tidak hanya meyakinkan bahwa kehidupan lebih kuat daripada
kematian, tetapi juga menawarkan awal kegembiraan yang akan berlanjut
selama-lamanya”. Jelaslah, kita juga dipanggil menjadi Bapa, yang menjadi
pembuka sebuah kegembiraan yang utuh dan penuh.

b. Alam, Aku Lihat Allah Muncul
In Omnibus Quaerant Dei
Dalam segala sesuatu menemukan Tuhan

Pak Alam. Itulah nama ketua Senatus Bejana Rohani Legio Mariae sekarang.
“Alam” bisa berarti Aku lihat Allah muncul. Begitu jugalah yang saya alami
ketika menelaah profil seorang Henri Nouwen ini. Dulu, ada sebuah kalimat
berbahasa Latin yang bermakna begitu mendalam, “Ecce homo. Et Deus est.
Lihatlah manusia dan kamu akan melihat Tuhan”. Kamis, 22 Maret 1979,
Nouwen pernah menulis, “Tuhan, dunia yang Kau ciptakan sedang dalam
keadaan sakit. Engkau begitu mencintai dunia sehingga Engkau rela menjadi
bagiannya dan mengalami hal-hal duniawi sampai sepenuh-penuhnya. Sakit
yang diderita dunia begitu ragam, baik yang ringan maupun yang berat: sakitnya
orang muda yang kehilangan penglihatannya, ... sakitnya seorang pelajar yang
tidak dapat melanjutkan sekolahnya, ..., ... sakitnya orang-orang yang ditindas
dan diperlakukan tidak adil ...”

Sepenggal doa sederhana di atas ditulis jauh dari kebisingan, di sebuah
pertapaan trappist di Genesee, New York. Doa Nouwen menjadi penuh
makna, sarat damba karena begitu dia menghadirkan manusia, sekaligus dia
juga menghadirkan Allah. Begitu dia melihat manusia, dia juga sekaligus
melihat dan merasakan hadirnya Allah. Katanya lebih dalam lagi, “Tuhan,
itulah dunia- Mu. Engkau adalah Allah yang berbelas kasih dan datang untuk
berbagi rasa dalam kesakitan kami. Berilah umat-Mu harapan, keberanian,
kekuatan, dan iman.”

Seperti saya katakan di atas, Henri Nouwen sendiri pernah tinggal
dalam sebuah komunitas di Toronto, yaitu tempat panti orang cacat yang
terdiri 10 orang penghuni saja. Salah satu seorang yang cacat mental sangat
parah bernama Adam; dialah yang memberi pengaruh sangat penting dalam
kehidupannya. Adam sendiri adalah seorang lelaki yang berusia 25 tahun,
tidak bisa bicara, tidak bisa mengenakan pakaian atau membuka pakaiannya
sendiri, tidak bisa makan sendiri, tidak bisa ketawa atau menangis,
punggungnya miring, gerakan kaki dan tangannya kacau karena ia seorang
penderita epilepsi yang sangat parah. Walaupun menggunakan banyak obat,
hanya beberapa hari saja dalam hidupnya tanpa serangan kejang-kejang
yang hebat, kadang-kadang mendadak, ia kaku dan mengeluarkan raungan
melolong yang memilukan, hanya sesekali bisa kontak mata, tidak bisa
berjalan sendiri sehingga harus memakai kursi roda, sesekali Henri melihat
tetesan air mata mengalir di pipi Adam.

Melalui interaksi Nouwen dengan Adam ini, ia disadarkan oleh Allah,
bahwa segala prestasinya tidak ada manfaatnya sebab mereka tidak bisa
kagum kepadanya seorang dosen besar di 3 (tiga) Universitas terkenal di
Amerika karena mereka semua tidak pernah bersekolah. Di situlah Nouwen
menyadari arti pepatah ini: Ecce homo. Et Deus est. Lihatlah manusia dan
kamu akan melihat Tuhan.

c. N aning, Nalurinya bening
Optimum medicamentum quies est
Obat yang terbaik adalah ketenangan.

Dunia sekular di sekeliling kita berseru dengan suara keras, “Kita dapat
mengurus diri kita sendiri. Kita tidak butuh Allah, Gereja atau pelayannya.
Kita dapat menguasai keadaan. Dan seandainya tidak, lalu kita harus bekerja
lebih keras untuk dapat menguasainya. Masalahnya, bukanlah kurang iman,
tetapi kompetensi. … Allah, Gereja dan pelayannya selama berabad-abad
berperan untuk menutup lubang, tidak adanya kompetensi. Sekarang lubang
itu sudah ditutup dengan cara lain, dan kita tidak butuh lagi jawaban rohani
terhadap soal-soal praktis (Henri Nouwen).

Pada awal saya bertugas di Paroki Salib Suci Cilincing, ada seorang
karyawan senior di sekretariat paroki. Kami biasa menyebutnya, mbak Ning.
Dia sudah bekerja sekitar dua puluhan tahun. Bagi saya, “Naning“ berarti
“nalurinya bening.” Nah, Henri Nouwen juga pernah memberikan catatan
tentang pentingnya mempunyai naluri bening dengan jalan adanya kebiasaan
doa hening bagi para imam diosesan yang sangat aktif dalam melayani
umatnya. Imam itu sibuk mengadakan pelayanan selama 24 jam dan
tiada waktu banyak untuk berdoa dan beristirahat dari tugasnya. Akhirnya
beberapa imam bisa jadi mengalami burn-out: habis terbakar, letih, frustrasi
dan selalu mengeluh bahwa pekerjaannya tidak pernah selesai. Situasi diri
ini membuatnya selalu marah dan selanjutnya membuatnya tidak mampu
melayani umat dengan baik.

Dari peristiwa ini, Nouwen mengambil intisari dan menyatakan
bahwa imam diosesan sangat memerlukan saat hening untuk berdoa;
juga memerlukan waktu istirahat dari tugasnya. Ini semua berguna untuk
menimba kekuatan lahir dan batin guna menggulirkan tugas harian.
Kesibukan yang tiada hentinya membuat semangat menjadi cepat mati dan
membuat orang kehilangan daya kreativitas. Tanpa tambahan kekuatan
rohani, imam menjadi tidak berdaya dan menjadi kurban dari kesibukan
karya yang tidak tertata sejalan dengan usaha penggalian daya rohani. “Doa
merupakan sarana kita untuk masuk dalam kesatuan dengan Dia yang telah
membentuk kita dalam rahim ibu dengan kasih.” (Henri Nouwen. Suara
Pembaruan, Jumat 24 Oktober 2008, hlm. 5).

Yesus sendiri dalam kepadatan karya pelayanan sehari-hari, selalu masih menggunakan waktu menyepi untuk berdoa, bukan? Ingatlah sepenggal kisah pada Injil, pada pagi-pagi
benar, Yesus pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa, atau juga setiap kali
Yesus selesai mengerjakan mukjizat atau mengadakan pengajaran, kerap Dia
juga pergi menyepi.

Keheningan yang demikian bukanlah sekadar jeda atau berhenti sejenak,
sementara beribu pikiran dan hasrat memenuhi benak kita, melainkan suatu
waktu untuk bermenung, yang mendatangkan suatu kedamaian batin bagi
kita, yang memungkinkan kita untuk menghela nafas dan menemukan
kembali satu hal yang penting, yang telah terlupakan oleh kita. Sebab itulah
keheningan tak dapat sekadar “dibuat”, atau diatur seolah keheningan adalah
satu dari antara sekian banyak aktivitas. Bukanlah suatu kebetulan bahwa
orang dari berbagai kalangan mencari teknik untuk bermeditasi, suatu sarana
rohani untuk menjernihkan pikiran. Salah satu dari kebutuhan manusia
yang paling dalam adalah membuat kehadiran-Nya dirasakan. Keheningan
yang dimaksud di sini, tentu saja, adalah keheningan yang bermakna, bukan
sekadar tidak berbicara dan tidak berbuat apa-apa. Agar suatu keheningan
menghasilkan buah, seperti telah dikatakan di atas, hendaknya keheningan
bukan sekadar jeda atau istirahat dalam hidup. Tidak, keheningan haruslah
merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri.

Nouwen sendiri mengalami dapat menikmati nilai-nilai keheningan
dan doa mulai saat ia mengundurkan diri dari keaktifannya sehari-hari
selama tujuh bulan di suatu biara trappist. Pencapaian keheningan itulah
yang selanjutnya diusahakan dalam doa hariannya. Nouwen mengamati
dan mengungkapkan bahwa imam-imam yang datang padanya dan ternyata
tidak memberikan waktu hening dan doa secara cukup, sungguh imam itu
mengalami kegersangan hidup, yang akibatnya tidak membuat suburnya
karya pelayanannya kepada umat. Dalam gelisah jiwanya, suatu hari, 27 Juni
1979, ia mendesah, “Tuhan, berilah budi yang jernih, hati yang berkobar,
dan kehendak yang kuat sehingga aku berani berbicara dan bertindak
sesuai perintah cinta kasih-Mu yang agung.” Setelah sejenak bernapas, ia
melanjutkan, “Aku sadar mengenai yang sedang terjadi di dunia, aku sadar
pula bahwa keadaan itu menuntut tanggapan cepat dan aku yakin bahwa aku
pun harus ambil bagian di dalamnya … Aku mohon kepada-Mu tolonglah
aku menemukan jalan untuk menyatakan bahwa aku adalah murid-Mu.”
Nah, sangat mungkin jalan itu didapat lewat keheningan juga, bukan?

Ep i log
Nouwen, dalam banyak bukunya selalu belajar dari banyak kerapuhan dan
kelemahan. Misalnya, dalam buku Adam yang Dikasihi Allah (2001), Nouwen
membagikan pengalamannya tinggal di Komunitas L’Arche Daybreak dan bertemu
dengan Adam yang cacat. Baginya, Adam adalah sahabat, guru sekaligus pemandu,
karena pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan dalam dia (Yoh 9:3). Adam adalah
sahabat yang luar biasa karena ia tidak dapat berefleksi atau mengutarakan ide
dan konsep-konsep. Adam juga pemandu yang luar biasa karena ia tidak dapat
memberi arahan atau nasihat konkret. Mengapa luar biasa? Karena jelaslah dalam
diri orang sakit dan lemah seperti Adam inilah, Allah sendirilah yang menampakkan
diri dan bersabda, “... ketika Aku sakit, kamu melawat Aku.”

Dari mereka, kita boleh belajar menjadi manusia karena kerap lewat kerapuhan inilah, kekuasaan dan
cinta TUHAN dapat lebih menyapa kita. Nouwen juga berulang kali menggunakan
kata home dalam bukunya, terlebih ketika mengulas tentang “Anak yang Hilang”.
Home sebagai sesuatu yang telah kita hilangkan dan rindu kita dapatkan kembali,
yakni pelukan bapak yang menerima, merangkul, dan mengafirmasi hidup kita.
Home adalah tempat tanpa prasangka di mana rasa diterima dan diperhatikan
didapatkan. Home adalah tempat di mana kesalahan kita tidak dihitung, tetapi
kebaikan kita mendapat penghargaan yang semestinya. Bisa jadi, ketika kita
kembali menemukan Home kita masing-masing, nampaklah hidup kita itu memang
sebuah “rahmat indah tiada akhir”, bukan?

“Saya sangat percaya
bahwa tahun-tahun kita yang singkat di bumi ini
merupakan bagian dari suatu peristiwa yang jauh lebih besar,
yang membentang melewati segala batas kelahiran maupun kematian.
Saya memikirkan hidup saya sebagai sebuah misi di dalam waktu,
sebuah misi yang sangat menyegarkan dan menggairahkan,
meskipun diselingi ketakutan,
terutama karena Dia yang mengutus saya ke dalam misi,
sesungguhnya tengah menanti saya untuk pulang
dan menceritakan tentang apa yang telah saya alami.”
(Henri Nouwen)

0 komentar:

Posting Komentar