Ads 468x60px

Selayang Pandang "MOENDOET" - "Burung Kutilang, Burung Perkutut"


Historiografi "Pemuda Muntilan" dan ”Pemudi Mendut"
Aan de over van de Elo
Staat het klooster van Mendoet
Daar zijn veel Javaanse meisjes
Door de zuster opgevoed……
di pinggiran sungai Elo
Terletak asrama Mendoet

Di sana banyak gadis Jawa
Yang dididik para biarawati.



Pengantar:
"Dalam Gereja Katolik di Indonesia kaum intelektual sejak semula memainkan peranan yang mengagumkan. Di banyak daerah, tulang punggung perkembangan umat adalah guru-guru. Umat Katolik melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia."
(Paus Yohanes Paulus II, Unika Atmajaya Jakarta 12 Oktober 1989).

Gereja Katolik ”merekrut” penganut yang bersemangat joss dan beriman kokoh di pulau Jawa melalui jurus ”3P”, yakni perawatan kesehatan, perintisan sistem pendidikan dan pewartaan misi. Hal ini menjadi lebih nyata terlebih dengan hadirnya ”dwitunggal” MOENDOET di ”Betlehem van Java” sebagai ”jantung misi”: Para imam Jesuit dan bruder FIC merintis adanya pendidikan bagi para anak laki-laki di Moentilan, dan para suster Fransiskanes dari Heythuizen dengan semboyan “Deus Providebit”nya mempromosikan adanya pendidikan bagi anak perempuan di Mendoet. 

Muntilan sendiri adalah sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah, terletak pada KM 25 dari Yogyakarta ke Magelang. Selain nama Rama Sandjaja yang terbunuh tahun 1948, dikenang manis pula nama Rama van Lith SJ (1863-1926) yang sama-sama dimakamkan di Muntilan. Pada tahun 1897, Rama van Lith mulai berkarya di Muntilan, yang dia sebut sebagai "Bethlehem van Java". Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat. Di desa kecil itu, ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja yang sederhana. Gereja kecil dan sekolah desa itu kemudian berkembang menjadi sebuah kompleks gedung-gedung yang dinamai Kolese St.Fransiskus Xaverius, Muntilan. 


Salah satu kompleks yang kemudian dikenal sebagai trade mark dari sekolah Muntilan adalah sekolah guru yang didirikan tahun 1906, dan bisa dimasuki oleh anak Jawa darimanapun dan dari agama apapun. Sekolah guru berbahasa Belanda ini (Kweekschool) mula-mula mempunyai murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik. Di tahun 1911, dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin menjadi pastor. Satu di antaranya adalah Mgr Soegijapranata (1896- 1963).

Sedangkan desa Mendut sendiri adalah sebuah desa kecil sebuah desa di barat Muntilan kearah Borobudur, yang terletak di pinggir sungai Elo. Meskipun kecil, namun banyak kisah sejarah yang dimiliki oleh desa Mendut. Tidak hanya kemegahan candinya yang terkenal itu, namun juga sekolah dan asrama putri Katolik yang menjadikan desa Mendut sebagai desa yang bersejarah. Sekolah dan asrama ini memiliki sekolah dari tingkat taman kanak-kanak, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) setingkat Sekolah Dasar (SD), MULO setingkat Sekolah Menengah dan juga kweekschool setingkat sekolah guru. Berawal dari 4 orang suster OSF yang tinggal di sebuah rumah “Nazareth” di desa Mendut pada tanggal 14 Januari 1908 (Sr. Aloysa, Sr.Florida, Sr. Ernestine, Sr. Jovina), asrama dan sekolah ini menjadi begitu terkenal pada zaman Belanda. 


Sejak “Valentine Day” tertanggal 14 Februari 1908, para suster OSF tersebut mulai memberikan pelajaran ketrampilan tangan kepada beberapa gadis Jawa dan dua orang gadis keturunan Tionghoa. Dalam waktu singkat jumlah siswi semakin meningkat, bahkan beberapa datang dari jauh. Di antaranya berasal dari keluarga bangsawan: anak wedana Muntilan, dan dua putri dari Pura Pakualaman Jogyakarta.

Adapun pada tanggal 8 September (Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria), murid pertama dibaptis, seorang putri Jawa ningrat dan pada waktu berikutnya, yang bertepatan dengan perayaan Paskah, ada 9 siswi yang juga dipermandikan.

Menyikapi perkembangan ini juga diperlukan pembenahan sarana, termasuk asrama bagi para siswi. Setahap demi setahap, asrama yang pada bulan Mei tahun 1908 hanya mampu menampung 2 siswi, pada bulan Oktober tahun itu pula sudah bisa menampung hingga 10 siswi, dan pada tahun 1912 meningkat menjadi 55 siswi. 
Para pejabat pemerintah mulai tertarik melihat perkembangan ‘Sekolah Mendut’, bahkan Gubernur Jenderal dari Jakarta sempat mengunjungi sekolah yang letaknya hanya 50 meter dari candi Mendut itu. Minat memasukkan putri-putrinya di Sekolah Mendut ternyata datang tak hanya dari kalangan kaum Katolik saja. Mereka yang selama ini antipati terhadap iman Katolik juga memasukkan anak-anak mereka ke sekolah itu. Kemudian, dari mereka banyak yang, atas kemauan sendiri, menyatakan ingin menjadi Katolik. 

Adapun waktu itu, semua siswi Mendut dan semua siswa Muntilan diupayakan untuk tinggal di asrama yang disiplin. Salah satu strategi sekolah yakni agar para alumni nantinya bisa hadir sebagai ”kader” yang berperan ganda: katekis dan guru (garda depan “evangelisasi”). 

Kompleks Mendut sendiri eksis sebagai ‘kota di tengah desa’ dengan fasilitas lengkap untuk ukuran saat itu: listrik, air minum, Fransiscus Tuin (taman Fransiskus), mesin cuci raksasa, periuk yang dapat menanak nasi untuk 1500 porsi sekaligus, dll. Mendut juga menjadi tempat berkumpulnya putrid-putri dari seluruh Indonesia. Mereka datang dari Sumatera, Flores, Makasar, Ambon Menado, Sunda, dan daerah lainnya.

Metode “Moendoet“ (Moentilan Mendoet) ini ini masih diikuti oleh sejumlah ordo walaupun tidak persis sama, seperti di sekolahan Ursula dan Kanisius (Jakarta); De Britto dan Stella Duce (Jogjakarta), Loyola dan Sedes Sapiensae (Semarang). 


Sejarah Misi Perdana: Founding Fathers (and Mothers)
Adapun di kolese Muntilan dan Mendut, semua murid diajak mengenal dan mencintai agama Katolik secara utuh. Hal ini dipersubur oleh boom kongregasi religius yang lahir di Eropa abad ke-19. Para misionaris itu menjadi penolong kaum papa (yatim piatu, orang sakit, lansia), memprotes eksploitasi terhadap para buruh, memperjuangkan hari Minggu sebagai hari libur, malah ada beberapa yang wafat di medan pelayanan. Mereka berjuang melawan penyembahan berhala, tepatnya iman infantil, peninggalan masa silam yang bersahaja. Ada sosok Rama D’Armandville yang memusnahkan praksis takhayul, menghancurkan batu-batu setan dan menggunakannya untuk lantai kamar mandinya. Ada juga tokoh lain seperti Rama Hoevenaars yang berani mencela para pejabat yang memiliki nyai tanpa menikahinya. 

Kurangnya pengetahuan akan bahasa lokal, seperti Rama Palincks yang melayani Yogyakarta (1865-1899) dan tak pernah mempelajari bahasa Jawa, menciptakan jarak dengan pribumi. Disinilah Rama van Lith hadir dan mempertobatkan orang dengan ikatan sosial-budaya. Ia mempelajari budaya dan bahasa Jawa serta mendorong orang-orang Katolik Jawa untuk ikut slametan dan terlibat dengan masyarakat sekitarnya. Di Muntilan, Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia juga menterjemahkan pelbagai doa dasar Katolik (termasuk Doa Bapa Kami) dalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal ini, saya dapat mengerti meskipun tidak terlalu menyetujui kesimpulan Rama J.W.M. Bakker: “..... Agama-agama asing, seperti Buddha, Hindu dan Islam tidak menyentuh hati orang-orang beriman. Beberapa ritual dan mitos diambil alih, namun “agama asli” tetap tidak tersentuh di bawah tudung agama asing. Hanya agama Kristiani, khususnya tradisi Katolik, yang mampu menerobos hingga ke hakekat jiwa Indonesia, karena kemampuannya untuk beradaptasi”. 

Pada tahun 1903, seorang guru agama dengan 4 orang kepala dusun dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung ke rumah Rama van Lith. Empat orang dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada bulan Desember 1904 di Sendangsono. Sementara itu, Rama Hoevenaars, teman seperjalanan Rama van Lith dari Eropa juga ditugaskan di Mendut. Ia berpendapat bahwa misi harus langsung mengarahkan kegiatan-kegiatannya pada rakyat kelas bawah. Ia berhasil juga. Dalam jangka waktu setengah tahun setibanya di Indonesia, telah dibaptis 62 orang Jawa. Pada akhir tahun 1903 jumlah orang Katolik di stasi Mendut lebih kurang 300 orang.

Lebih lanjut, Rama van Lith berhasrat menyediakan suatu sistem pendidikan yang bermutu tinggi bagi para pemuda dan pemudi di tanah Jawa, yang membuat mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Setelah didirikan sekolah khusus para pemuda di Muntilan, maka pada tanggal 14 Januari, Tarekat Suster Fransiskanes juga mendirikan sekolah ketrampilan khusus untuk para pemudi di Mendut. Rama van Lith sendiri wafat pada 9 Januari 1926, beberapa bulan sebelum berlangsungnya tahbisan imam pertama Indonesia, F.X. Satiman SJ di Maastricht 15 Agustus 1926. Imam baru ini kemudian berkarya sebagai pastor paroki di antara mantan anggota Jemaat Kijahi Sadrach Suryapranata di Kalibawang. Sayangnya, Satiman meninggalkan Serikat pada 7 September 1940 dan tinggal di pertapaan Rawaseneng, setelah ditempatkan di Kolese Santo Ignatius (Jogjakarta), sejak 1936.


Gerakan: 100% Katolik, 100% Indonesia
Nama Rama van Lith dikenang banyak orang. Mgr Soegijapranata, salah seorang muridnya, mencatat di tahun 1950, "adalah seorang imam Belanda yang oleh orang Jawa, baik Katolik maupun bukan Katolik sampai hari ini dihormati sebagai Bapak Orang Jawa...." Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarikat Islam, pimpinan teman dekat Rama van Lith, KH Agus Salim. Memang ia tidak pernah menjadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.

Di kedua lembaga itu, Rama van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi. Pada tahun 1922, ia pernah meramalkan bahwa pada suatu hari orang-orang Belanda akan diusir dari wilayah kepulauan ini. Ia juga menegaskan, banyak orang di Belanda tidak mengerti situasi nyata wilayah kepulauan ini. Mereka percaya bahwa semua akan tetap lestari seperti sekarang ini. Mereka semua keliru, mengingat suatu zaman dan dunia yang baru sedang menantikan kelahiran. Siapa yang arif bestari akan harus berbenah diri dan siap menerima perubahan yang merupakan keniscayaan.

Menurut Rama van Lith lebih lanjut, kepentingan utama orang Katolik adalah tidak membebani diri sendiri sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lahirnya sistem pemerintahan yang menindas dan merendahkan orang-orang pribumi. Dalam bulan Februari 1923, di Jogjakarta berkumpullah F.S. Harjadi (kepala sekolah), Raden Mas Jakobus Soejadi Djajasepoetra (seorang dokter hewan di Purwokerto), dan Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana (konsultan pertanian di Tegalgondo, Surakarta) bersama dengan sekitar empatpuluh orang muda Katolik alumni Sekolah Muntilan, seperti C. Pranoto dan F. Soetrisno. Pertemuan ini menjadi ancangan bagi lahirnya partai katolik yang baru yakni: Pakempalan Politik Katolik Djawi pada 5 Agustus 1923. Dua Minggu berikutnya statuta paguyuban tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk disahkan. Pada mulanya organisasi yang baru ini berkonfederasi dengan Indische Katholieke Partij, tetapi kemudian orang-orang Katolik Jawa memisahkan diri dan menjadi otonom. Pada tahun ini jugalah, Rama Strater mendirikan Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. 
.
Dalam perjalanan waktu, sebagaimana setiap krisis yang terjadi dapat menciptakan kehancuran, tetapi dapat pula mendewasakan, demikian pula orang-orang Katolik di Indonesia. Eksistensi ‘keindonesiaan’ pada kurun waktu ini menepati apa yang digarisbawahi dalam Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, art. 1. Adapun pada tanggal 10 Mei 1940, Negeri Belanda diduduki pasukan Nazi, Jerman. Ratu dan pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) berusaha bersikap luwes di hadapan cita-cita kemerdekaan orang-orang Indonesia. 

Setelah Pearl Harbour porak poranda akibat serangan kilat 7 Desember 1941, laskar Dai Nippon mulai bergerak ke Asia Timur Laut, termasuk Indonesia. Disinilah, misi Katolik sempat mengarungi ”masa krisis”. Para suster ditawan dan Sekolah Mendut ditutup. Siswi-siswinya dipulangkan ke daerah asal. 
Tahun 1948, sekelompok masyarakat melakukan bumi hangus dan menjarah kompleks pendidikan Mendut. Kemegahan kompleks pendidikan itu lenyap. Tak ada lagi Juffrow van Kesteren yang mendampingi ‘tuyul-tuyul’ berkecimpung ria di gemercik arus kali Elo. Gedung-gedung lenyap tanpa sisa, kecuali pintu gerbang yang menjadi saksi bisu kejayaan sekaligus kehancuran kompleks Sekolah Mendut. Waktu masa pendudukan Jepang, hampir semua misionaris disekap. Akibatnya tidak kurang dari 74 imam, 47 bruder dan 160 suster dimangsa maut. Vikarius Apostolik Maluku dan Papua, Mgr. J. Aerts dituduh oleh orang-orang Non-Kristen menyembunyikan sejumlah bedil. Bersama dua belas imam dan bruder akhirnya ia ditembak mati tanpa proses pengadilan. Vikarius Apostolik Jakarta, Mgr. J.P. Willekens, menjalani tahanan rumah. Sementara itu, Mgr. H. Leven (di Ende) tetap dibiarkan bebas, lantaran ia seorang Jerman. Mgr. Soegija juga menikmati udara bebas, sehingga tetap dapat melakukan kunjungan kepada para tokoh kebangsaan dan terlebih kepada orang-orang Katolik.

Sesudah proklamasi kemerdekaan NKRI dan kalahnya Jepang oleh sekutu, Ignatius Joseph Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Pusat yang bertugas sebagai organ konsultatif dari Presiden dan wakilnya. Adapun sebagai ganti Partai Politik Katolik Indonesia, didirikanlah Partai Katolik Republik Indonesia pada 8 Desember 1945 (Hari Raya Maria Immaculata). Program utama partai ini adalah membela Republik Indonesia dan memperkuat keberadaan negara yang baru lahir ini. 

Mgr. Soegija sebagai uskup agung pribumi pertama juga mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahkan Vatikan menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia waktu itu. Dalam sebuah deklarasi (1947), Mgr. Soegija mengundang orang Katolik untuk bersyukur atas proklamasi kemerdekaan unilateral dan mendukung Republik Indonesia ini. Caranya: menyatakan kesediaan untuk bekerjasama secara aktif membangun dan menegakkan martabat bangsa ini. Selain itu, sebagaimana telah diperlihatkan dalam sejarahnya, orang-orang Katolik mewujudkan janji untuk meneruskan bekerjasama dengan semua pihak demi tujuan mewujudkan kemerdekaan yang langgeng dan berdayaguna. Inilah makna konkret dari aksioma 100% Katolik, 100% Indonesia . 

Pada tahun 1948, Mgr. Soegija juga mengungkapkan peranannya yang aktif dalam mengatasi embargo yang diberlakukan oleh penjajah Belanda dengan menerbitkan sebuah artikel dalam mingguan Katolik Amerika Commonwealth. Beliau menentang secara gigih prakarsa pemerintah Belanda yang telah mendukung manuver politis Partai Komunis Indonesia, yang gagal melakukan coup d’état, 18 September 1948.

Mengacu pada Surat Gembala 12 Februari 1952, Mgr. Soegija mengatakan ada dua prima causa, semacam alasan dasar mengapa orang Katolik perlu terlibat dalam masyarakat. Pertama, kewajiban kerasulan berasal dari keadaan hidup kita: “Sedjak kita dipermandikan, berkat kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.” 

Kedua, kewajiban kerasulan berasal dari sifat sosial kita: “Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”

Selain Mgr Soegija, baiklah kita juga mengingat salah seorang tokoh kawakan seperti I.J. Kasimo yang pernah menjadi anggota Kabinet sebanyak dua kali. Ketika Jogjakarta diduduki pasukan Belanda pada Desember 1948, banyak juga orang Katolik yang bergabung dalam pasukan gerilya memerangi agresi Belanda. Dua dari putera Katolik terbaik yang yang gugur dan kemudian dinyatakan sebagai pahlawan nasional adalah Ignatius Slamet Rijadi dan Agustinus Adisutjipto. 

Dalam tahun-tahun yang sama, Vikarius Apostolik di Semarang Mgr. Soegija, tidak berada di takhtanya (Semarang), melainkan di Jogjakarta. Sikap taktis-politis dan compassion Mgr. Soegija ini mau memperlihatkan bahwa pemimpin Gereja lokal berada di posisi berpihak pada gerak hati nurani seluruh bangsa Indonesia, yang memindahkan (ad interim) ibukota negara ke Jogjakarta. Di kota inilah, Mgr. Soegija acapkali berkontak dengan para pemuka pemuda Republik. Ketika Soekarno dibuang ke luar Jawa (Desember 1948 - Juli 1949), Mgr. Soegija mempedulikan dan mencurahkan perhatian pada keluarga Presiden Pertama Republik ini.

Selain itu, di antara anggota dan para ahli delegasi Indonesia dalam traktat pengalihan kedaulatan yang berlangsung di Den Haag, terdapat pula beberapa orang Katolik, antara lain R.V. Sudjito, ketua perwakilan Jawa Tengah. Tiga minggu sebelum pengalihan kedaulatan, berlangsunglah juga KUKSI-Kongres Katolik seluruh Indonesia di Jogjakarta. Mgr. Soegija dan I.J. Kasimo memimpin kongres ini, yang dihadiri oleh Soekarno-Hatta. Di antara keputusan Kongres yang perlu dicatat ialah bahwa semua partai politik Katolik yang didirikan antara 1945-1949 dipersatukan dalam satu partai politik Katolik yang bertaraf nasional, Partai Katolik. Dengan demikian komunitas Katolik Indonesia masuk dalam Republik: kendati secara kuantitatif tidaklah seberapa jumlah anggotanya, namun sejak awal komunitas ini berperan secara nasional. Fakta ini memperlihatkan, ada martabat dan kesetaraan yang dicapai sejak kemerdekaan. Hal ini juga memungkinan orang-orang Katolik mengemban tanggungjawab di pelbagai kehidupan masyarakat warga, mengingat menjadi Katolik berarti menjadi Indonesia di bumi Indonesia. Sejak sejarah republik ini bergulir orang-orang Katolik (meski jumlahnya relatif sangat kecil) berintegrasi sepenuhnya dan menjadi bagian konstitutif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan lebih daripada di kebanyakan negara di Asia. 

Penutup
Memang, selama dasawarsa pertama abad ke-20, kekatolikan lebih banyak bercorak klerus -oriented. Tegasnya, para pemeran utama dan “pembuka hutan” wilayah misi adalah para misionaris. Dominasi kaum klerus sangat besar, sampai-sampai Gereja nyaris bisu dan sepi tanpa klerus. 

Menelisik kenyataan tersebut: metode klasik evangelisasi yang masih dominan hingga dewasa ini, meski tidak secara langsung mengumbar kristenisasi adalah pelayanan kesehatan dan karya sosial. Berkaitan dengan kegiatan sosial yang paling mencolok mata adalah keterlibatan orang-orang Katolik (pada mulanya adalah para misionaris) dalam penyelenggaraan pendidikan (umum) untuk anak-anak melalui sekolah (kejuruan, kursus), asrama-asrama, di samping pemanfaatan fasilitas perawatan di balai-balai pengobatan dan penyediaan tenaga-tenaga medis di pelbagai rumah sakit Katolik. Tidak kurang juga hadirnya sentra-sentra sosial yang nantinya memperlihatkan dengan gamblang keterlibatan orang-orang Katolik dalam bidang organisasi (politik, sosial, keagamaan), perintisan media cetak (Januari 1922, Percetakan Kanisius mulai beroperasi dan pada awalnya juga dipercayakan kepada Tarekat Bruder FIC), kerja sama dengan pemerintah, pemeluk agama lain, pelestarian kebudayaan setempat, dsb. 

Selain pelayanan kesehatan dan karya sosial, tentunya tak boleh kita lupakan vitalnya karya pendidikan melalui sekolah. Selain para imam Jesuit dan para suster Fransiskanes, kita juga mengingat peran para bruder FIC. Lima bruder FIC pertama datang dari Belanda ke Yogyakarta pada bulan September 1920 dan langsung mengajar di HIS. Kedatangan para bruder berikutnya mampu memekarkan karya pendidikan Katolik di kota-kota lain seperti Muntilan (1921), Surakarta (1926), Ambarawa (1928) dan Semarang (1934). 

Secara khusus, mengacu pada hadirnya Sekolah “MOENDOET“- Moentilan dan Mendoet, dimana semua siswa Moentilan adalah laki-laki, sedangkan murid-murid Mendoet adalah perempuan. Mereka ini tidak dipungut biaya alias gratis. Sinyalemen berikut ini dapat dikategorikan sebagai bentuk evangelisasi yang berhasil dalam bidang persekolahan: Hampir semua murid yang masuk sekolah-sekolah itu tidak Katolik. Kemudian semua yang tamat dari sekolah-sekolah itu pasti beragama Katolik dengan semangat “HAMBA“ - Hangat Andal Militan Bahagia Aktual. Mereka menjadi orang Katolik yang tulen dan sejati, dalam bahasa Romo Mangun: “Betlehem steel, Made in Kalvari“. Apakah mungkin di sekolah-sekolah itu terjadi “brain-washing“ oleh para misionaris terhadap peserta didik, sehingga mereka mudah digiring untuk memeluk agama Katolik?

Yang pasti, para alumni tersebut nantinya menjadi kader Gereja Katolik dimanapun mereka berada. Alumni kedua sekolah-sekolah tersebut kadang dipertemukan dan akhirnya membentuk keluarga Katolik yang satu kudus dan apostolik. Mereka mendapat nasehat: “Berkembangbiaklah dan jadilah keluarga yang besar! Dari keluarga-keluarga kalianlah sedapat mungkin dilangsungkan pendidikan Katolik dan ciptakanlah suasana Katolik dalam keluarga agar daripadanya muncul panggilan suci untuk menjadi biarawan-biarawati dan imam.” Saya sendiri meyakini ada beberapa imam atau tokoh Katolik yang “menjadi kurban pelaksanaan nasehat “Moendoet“ - Moentilan Mendoet”. 
Mendut dan Muntilan pada tempo dulu tidak hanya terkenal karena sekolah dan asramanya saja, tetapi dari sekolah ini juga dapat ditemukan generasi pertama keluarga-keluarga yang menjadi Katolik di Jawa, bahkan di kemudian hari banyak siswa Muntilan dan siswi Mendut yang “merasul” dalam meluaskan agama Katolik di Jawa. Jadi, keberhasilan pendidikan di Muntilan dan Mendut bukan hanya semata memajukan kepandaian para murid dalam hal otak, melainkan juga dalam hal watak dan akhlak (Bdk: Balada Dara-Dara Mendut, Rama Mangunwidjaya). 
Ya, secara tidak langsung, sekolah Muntilan dan Mendut ini menjadi inti kaderisasi elite politisi Katolik di Indonesia, seperti pak Kasimo, Frans Seda, Mgr Soegijapranata dan sejumlah tokoh lain.

Paus Yohanes Paulus II, saat berpidato di Yogyakarta tanggal 10 Oktober 1989, mengungkapkan isi hatinya. Ia melukiskan hari itu sedang berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang mereka yang telah meletakkan dasar bagi gereja, yaitu Rama van Lith dan dua muridnya, Mgr Soegijapranata dan Bapak Kasimo (Frans Seda masih hidup waktu itu). Bukankah nama-nama ini adalah produk yang lekat-dekat dengan sekolah Muntilan? 
Sedangkan Mendut? Bukankah banyak dikisahkan bahwa kecantikan Roro Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati Pragola penguasa Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiroguno,panglima perang SultanAgung dari Kerajaan Mataram yang sangat berkuasa saat itu. Namun, Roro Mendut bukanlah wanita yang lemah. Dia berani menolak keinginan Tumenggung Wiroguno yang ingin memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan dan jujur menunjukan kecintaannya pada pemuda lain pilihannya, yakni Pronocitro. Roro Mendut adalah figur orang yang berani, bersemangat dan dapat diandalkan.Artinya? Walaupun bangunan fisik Muntilan dan Mendut telah dibakar dan dihancurkan oleh massa pada tahun 1948. Meski semua bangunan asli sudah rruntuh berlalu bersama tragedi sejarah, tapi api ‘semangat Muntilan dan Mendut’ tak akan kunjung padam. Berbeda dengan bangunan sekolah Mendut yang nyaris tak berbekas sama sekali, kompleks sekolah Muntilan masih punya petilasan. Selain gereja Paroki Muntilan yang sudah berusia ratusan tahun ini, di sana masih ada sekolah berasrama, SMU van Lith. Syukurlah juga, pada tanggal 15 Juli 1995, para siswi eks Mendut dan keluarganya mempersembahkan bangunan kapel yang didirikan di atas puing kapel di masa kejayaan Sekolah Mendut. Kapel yang dirancang oleh Rama Mangunwidjaja (salah seorang anak dari siswi eks Mendut, ibu Maria Yohanna Sudarmi) itu diberi nama ‘Gereja Santa Maria Sapta Duka’.

Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!

0 komentar:

Posting Komentar