Pada tanggal 24 Agustus 1965 saya kembali ke
Jakarta, sesudah hampir selama lima tahun tinggal di Kolombo, ibukota Sri
Lanka, sebagai wakil Komite Nasional Indonesia Untuk Konperensi Pengarang Asia
Afrika pada Biro Tetap Pengarang-Pengarang Asia Afrika. Belum lagi sempat
menyadari suasana dan kenyataan yang serba baru di ibukota, pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 terjadi peristiwa
berdarah yang kemudian kita kenal sebagai “Peristiwa G30S”.
Saya kembali ke Tanah air tidak atas kehendak
sendiri, juga tidak karena panggilan organisasi di ibukota yang mengutus saya.
Tapi disebabkan oleh adanya pergantian politik di Sri Lanka, dengan tampilnya
pemerintah baru, PM Dudley Senanayake, yang dengan jalan pemilu berhasil
menumbangkan pemerintah PM Sirimavo Bandaranaike. Pemerintah baru yang
anti-Semangat Bandung itu, pada tiga hari pertama kekuasaannya, mengirim surat
pengusiran: Dalam tempo 2 x 24 jam saya harus sudah meninggalkan Sri Lanka.
Saya bawa surat “persona non grata” pemerintah Sri
Lanka itu ke KBRI. Dengan maksud mengadu dan minta perlindungan, karena saya
berpikir untuk bertahan dan menolak pengusiran. Tapi ternyata tanggapan Dubes
RI Ali Chanafiah justru menyokong politik kekerasan “negara sahabat”, walaupun
dinyatakannya dengan gaya berbahasa yang santun: “Sebaiknya Bung jangan
melawan, supaya hubungan persahabatan antara Sri Lanka dan RI tidak menjadi
rusak …”
Pengalaman itu mengajar pada saya, bahwa tindak
kekerasan bisa datang menimpa dengan kasar, tapi juga bisa datang dalam bentuk
sok-nasihat serta diutarakan dalam bahasa yang santun.
Dengan hati kecewa saya kembali ke Jakarta.
Ternyata hanya untuk menjadi “persona non grata” yang kedua kali. Kali ini di
negeri sendiri dan oleh pemerintah sendiri. Sejak Peristiwa G30S 1965 terjadi,
status saya seketika berubah drastik, dari manusia merdeka menjadi “oknum” yang
“unwanted” bagi penguasa. Pada tahun 1969 saya ditangkap oleh dua perwira intel
dari Ops. “Ikan Paus” ALRI.
“Mas,” kata yang seorang. “Sebenarnya kami tidak
tahu apa-apa tentang Mas. Tapi kami menerima surat dari Satgas Intel AD, yang
mengatakan adanya seorang oknum tinggal di keluarga ALRI. Oknum yang dimaksud
yaitu Mas.” Ketika itu saya tinggal di Tebet, di rumah adik saya, seorang
perwira KKO.
Pendek kata saya lalu “diamankan”. Saya tahu nama
dua perwira intel “Ikan Paus” itu. Itu kenyataannya. Tapi kebenarannya bukanlah
mereka yang “mengambil” saya. Saya diambil oleh sebuah lembaga alat kekuasaan
negara yang tak berbentuk, yang bertindak tidak atas kehendak sendiri,
melainkan atas petunjuk [untuk tidak saya katakan “atas perintah”] lembaga alat
kekuasaan negara yang lain. Itu artinya, saya berhadapan dengan satu sumber
energi kekerasan yang tidak berbentuk, namun bersamaan dengan itu ia adalah
sumber kekuatan – notabene kekuatan negatif -- yang tanpa batas.
Saya lalu diinterogasi. Tiga hari-tiga malam
interogator mengajak “wayangan”. Di hari kedua, di atas meja di depan saya,
ditaruh dua buah foto berukuran kartupos. Saya ingat benar, yang satu foto
“Sekolah Lekra” Lekra Cabang Yogyakarta yang saya buka tahun 1960; yang lain
foto peringatan Hari Sumpah Pemuda oleh KBRI di Sri Lanka tahun 1962. Untuk
foto pertama, saya harus akui sebagai brifing penyiapan “Peristiwa G30S/PKI”,
yang saya berikan kepada para kader PKI di Yogya beberapa hari sebelum 30
September 1965. Untuk foto kedua, saya harus akui sebagai foto rombongan
kesenian dan delegasi CCPKI ke negara-negara komunis di Asia yang saya pimpin.
Tentu saja kedua tuduhan yang tidak benar dan mereka paksakan itu saya tolak.
Itulah satu contoh tentang energi kekerasan yang
sumbernya tidak berbentuk, yaitu “makhluk” yang bernama “politik”, namun
mempunyai kuasa dan kekuatan sewenang-wenang yang tanpa batas.
Tahun 1971 saya dipindah, dari tempat
tahanan-operasional di Cilandak, melalui Ditpom [Direktorat Polisi Militer AD]
di Jalan Guntur, ke RTC [Rumah Tahanan Chusus] Salemba. Begitu tiba di sana
saya diinterogasi ulang, difoto dari semua sisi [kecuali dari atas dan bawah!],
lalu diberi nomor. Sebelum diijinkan keluar ruangan untuk menuju blok dan masuk
sel, seorang dari alat kekuasaan di situ menasihati saya. dengan disertai
ancaman.
“Nomor fotomu. Hafalkan! Jangan lupa. Awas kalau
lupa!”
Saya mengangguk dan melangkah keluar digiring dua
pengawal.
“Hei! Berapa nomormu?” Hardiknya menguji.
“Tiga satu sembilan enam!” Teriak saya sambil
berpaling dari ambang pintu.
Ingatan saya galau, melayang ke masa anak-anak.
Suatu ketika saya pernah melihat film di “Indra” depan Beringharjo. Judul film
itu “Achter de wolken”, Di balik Awan, yang menceritakan tentang keadaan
masyarakat dan negeri Belanda usai PD II. Salah satu adegannya berkisah tentang
para tawanan Nazi di kamp konsentrasi Auschwitz. Tubuh-tubuh kurus-kering,
berbalut seragam lorek-lorek. Di dada mereka terlihat angka-angka bukan nama!
Begitulah saya sekarang, sejak masuk RTC Salemba.
Nama boleh lupa, tapi nomor foto tidak boleh. Sejak itulah, oleh kekuatan
kekerasan Negara, sejatinya saya sudah tidak lagi mempunyai jatidiri. Jatidiri
itu sudah dicabut dengan perkosa dan kekerasan oleh kekuatan duniawi yang
maha-perkasa. Tapol tidak lagi beda dari lembu-lembu yang mendapat cap
angka-angka di punggung, sebelum menanti giliran dibawa ke abatoir.
Sekitar satu tahun kemudian, saya bersama sekian
ratus tapol lainnya, dipindah dari RTC Salemba ke RTC Tangerang. Sesudah
beberapa minggu di sana, kami 850 tapol diangkut dengan kapal KM “Tokala” ke
Pulau Buru. Pada saat-saat terakhir sebelum berangkat, kami dikumpulkan di
lapangan apel RTC. Mendengarkan perintah-perintah dalam bahasa kekerasan dan
tentang kekerasan, harus begini dan harus begitu, serta dilarang begini dan
dilarang begitu. Lalu kami semua menerima pembagian beraneka bekal hidup: satu
ember plastik 20 liter, satu ompreng dan satu sendok-bebek aluminium, satu
bantal dan sehelai tikar, satu topi pandan dan satu setel pakaian kerja dari
bahan khaki berwarna hijau-gadung. Pembagian pakaian kerja inilah yang paling
penting. Karena pada dada baju pembagian itu tercetak hitam mencolok
nomor-nomor urut yang disebut Nomor Baju. Untuk kedua kalinya tapol mendapat
nomor sebagai pengganti jatidiri. Nomor Baju, seperti halnya Nomor Foto, sama
sekali tidak boleh kami lupakan [Nomor Baju saya 438]. Karena nomor inilah yang
akan menentukan tempat masing-masing kami di dalam barisan, dan selanjutnya di
barak mana kami termasuk, serta di “kapling” mana di barak itu tapol yang
bersangkutan akan “tinggal”.
“Nama”, di dalam kata Jawa, ialah “jeneng”, dan
“jeneng” ialah “subjek”. Dengan pemberian nomor untuk kedua kali sebagai
pengganti nama, itu berarti pula untuk kedua kalinya nama kami telah dihapus;
itu berarti kedudukan kami sebagai “subjek”, sebagai rechtspersoon, telah
ditiadakan. Jatidiri kami telah dimatikan. Kemanusiaan kami telah dirampas.
Kami tinggal sebagai “hewan-hewan” berbicara yang diberi hidup hanya karena
tenaga kerja hewan-hewan itu hendak dimanfaatkan di Pulau Buru, sehingga
karenanya pulau pengasingan itu pun mendapat sebutan resmi sebagai “tefaat”,
tempat pemanfaatan.
Hewan-hewan itu sudah kehilangan segala-galanya
kecuali ngalamun atau “muter film”, istilah tapol [karena ngalamun tidak bisa
dikontrol] dan bernafas. Bernafas pun harus hati-hati. Karena bersin, menguap
atau terbatuk di depan pos tonwal, hewan-hewan itu bisa dihukum. Juga dalam
berbicara. Hewan-hewan itu dilarang bicara dalam bahasa ibu masing-masing, yang
oleh penguasa unit disebut “basa-basa”, melainkan harus bicara dalam bahasa
yang tunggal, bahasa kekuasaan, yaitu Bahasa Indonesia. Itu pun tidak sembarang
tempat dan waktu tapol boleh menggunakannya. Di tengah jam kerja dan sesudah
apel malam tapol dilarang bicara. Di Tefaat Pulau Buru hidup-mati tapol di
tangan kekuasaan mutlak militer. Di sana Tuhan pun sepertinya telah kehilangan
kuasaNya.
Kekerasan, sebagai cara bersikap dan bertindak
dengan cara tidak menghormati oranglain, mengingkari eksistensi oranglain, yang
memuncak pada menghendaki kematian oranglain. Bukan sekedar kematian fisik,
tapi bahkan pun kematian jatidiri. Adapun kekuasaan ialah kemampuan orang atau
kelompok orang untuk melakukan tindakan sepihak, apa pun yang menjadi dasar
atau alasan tindakan itu. Ada kekerasan yang dilakukan demi alasan kekuasaan
politik, seperti kisah-kisah di atas; tapi ada pula kekerasan yang dilakukan
demi kekuasaan kapital, seperti kisah berikut ini..
Kisah ini kisah kekerasan korporatif beberapa modal
nasional, saya peroleh beberapa waktu lalu di kota Yogyakarta, yang pernah
mendapat julukan sebagai “kota kebudayaan”.
Sekitar 10-14 hari lalu saya liwat perempatan
Monjali. Sebuah baliho besar yang dipasang mencolok di sudut perempatan,
membikin saya terpana dan merasa sangat terpukul. Gambar pada baliho ialah
sebungkus rokok Djarum 76 warna cokelat di atas agak ke kanan, dan di bawahnya
lukisan potret sedada almarhum Y.B. Mangunwijaya bercaping bambu warna kuning,
dengan kumis dan jenggotnya yang putih bersih tersenyum ramah. Ia seolah
menyambut gembira pada sepatah kalimat yang tertera di depannya: kalimat ucapan
selamat ulang tahun ke-76 untuk Romo Y.B. Mangunwijaya.
Sambil menindas nafsu yang bergolak, dalam hati
saya bertanya-tanya. Ini siapa mengiklankan siapa? Djarum 76 mengiklankan Romo
Mangun, atau Romo Mangun mengiklankan Djarum 76? Jawaban yang berbisik di hati
saya menolak kedua-duanya. Tidak mungkin Romo Mangun mau beriklan untuk produk
rokok Djarum 76. Bahkan andaikata ia dipaksa dengan jalan suap atau dengan
ancaman kekerasan sekalipun. Y.B. Mangunwijaya yang pembela petani Kedungombo,
dan sahabat terpercaya para eks-tapol dan keluarga mereka, khususnya para
eks-tapol Pulau Buru itu, tidak mungkin menjadi juru iklan sebuah perusahaan
rokok besar!
Romo Mangun seorang rohaniwan yang dengan sepenuh
hati telah mengabdikan hidupnya bagi orang-orang yang kesrakat. Tidak mungkin
ia, justru sesudah di Alam Barzakh, mengabdikan dirinya pada kapital. Budayawan
yang terhormat itu mustahil, dengan tersenyum gembira mejeng di jalan-prapatan,
untuk menjajakan produk kaum pemodal yang tidak akan membebaskan orang-orang
yang kesrakat yang dibelanya itu.
Sebaliknya juga tidak mungkin Djarum 76 beriklan
untuk Romo Mangun! Yang sesungguhnya telah terjadi, saya yakin saya benar, Roh
dan Semangat Rohaniwan dan Budayawan Y.B.Mangunwijaya telah dirampas dengan
kekerasan oleh kekuatan modal yang tak berbatas, demi kebesaran dan pembesaran
kekuasaannya. Baliho yang dirancang dengan selera artistik tinggi itu,
sejatinya, adalah ekspresi dari estetika kapitalistik yang kosong dari nilai
kebudayaan dan kerohanian. Tapi sayang sekali, di bawah lukisan pada baliho yang
indah artitik tapi kosong estetik ini, terbaca sebuah nama seorang seniman
terhormat dan sederet nama-nama perusahaan sponsor, termasuk perusahaan yang
bergerak di bidang kebudayaan!
Harkat spiritualitas Y.B. Mangunwijaya telah
dirampas habis-habisan, dan yang tersisa tinggallah wadag atau jasadnya yang
hampa. “S.D. Mangunan” telah lama bubar. Entah mengapa “Api Mangunan” menjadi
padam. Nama “Yusuf Bilyarta Mangunwijaya” telah kehilangan Roh dan Semangatnya
yang sejati, dan telah digantikan oleh Roh dan Semangat globalisasi kapital.
“Mangunwijaya” telah dikomersialisasi. “Roh dan Semangat idealisme Mangunwijaya
sudah dibikin habis oleh perkosa kekerasan politik dagang. Bagaimana ini? Kita
tinggal bisa berkata ‘mang-unceki dewe-dewe’ …” Silakan masing-masing
menelaahnya! Kata empat mahasiswa “Atma Jaya”, saudara-saudara muda saya, yang
suatu hari datang ngobrol bersama saya.
Begitulah contoh-contoh kisah, bagaimana ketika
kekuatan politik [negara] dan ekonomi [kapital] menyatakan nafsu kekuasaannya;
dan bagaimana dalam menjabarkan nafsu kekuasaannya ia pun mengabsahkan semboyan
“tujuan menghalalkan cara”. Ada kalanya dengan ancaman dan kekerasan, namun ada
kalanya juga dengan “ramah-tamah ala baliho” atau “gemerlap pestaraya” …
Silakan renung dan telaah. “Mang onceki
dewe-dewe!”***
Kekerasan Negara – Kekerasan Kapital (sebuah testimoni dari seorang korban)
Label:
Diskursus (Pemikiran)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar