Ads 468x60px

"Cinta dan teman-temannya....

Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.
(Kutipan dari drama karya Edward Forsett, Pedantius babak I adegan 3)

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak, yaitu : ada CINTA, KEKAYAAN, KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN dan sebagainya. Awalnya mereka hidup baik, berdampingan dan saling melengkapi.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki CINTA. tak lama CINTA melihat KEKAYAAN sedang mengayuh perahu. "KEKAYAAN! KEKAYAAN! Tolong aku!" teriak CINTA. Lalu apa jawab KEKAYAAN, "Aduh! Maaf,CINTA!" kata KEKAYAAN. "Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu KEKAYAAN cepat-cepat mengayuh perahunya, ia pergi meninggalkan CINTA tenggelam dan sendirian merana dalam derita.

CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya KEGEMBIRAAN lewat dengan perahunya. "KEGEMBIRAAN! Tolong aku!", teriak CINTA. Namun apa yang terjadi,KEGEMBIRAAN terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tuli tak mendengar teriakan CINTA. Air makin tinggi membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik.

Tak lama lewatlah KECANTIKAN. "KECANTIKAN! Bawalah aku bersamamu!", teriak CINTA. Lalu apa jawab KECANTIKAN, "Wah, CINTA, kamu basah dan kotor.Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut KECANTIKAN. CINTA sedih sekali mendengarnya. CINTA mulai menangis terisak-isak. Apa kesalahanku, mengapa semua orang dan bahkan teman-teman dekat melupakan aku kini? Saat itu lewatlah KESEDIHAN. Lalu CINTA memelas, "Oh, KESEDIHAN, bawalah aku bersamamu", kata CINTA. Lalu apa kata KESEDIHAN, "Maaf, CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja...", kata KESEDIHAN. CINTA sangat putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. CINTA terus berharap kalau dirinya dapat diselamatkan.... Lalu ia berdoa kepada Tuhannya, oh Tuhan, tolonglah aku....., apa jadinya dunia tanpa aku, tanpa CINTA?

Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "CINTA! Mari cepat naik ke perahuku!" CINTA menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua reyot berjanggut putih panjang sedang mengayuh perahunya. Lalu cepat-cepat CINTA naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Kemudian di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan CINTA dan ia segera pergi lagi...Pada saat itu barulah CINTA sadar, bahwa ia sama sekali tak mengetahui siapa orang tua yang baik hati menyelamatkannya itu. CINTA segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah "WAKTU". Lalu CINTA bertanya "Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya,” tanya CINTA. Sebab", kata orang itu, "hanya WAKTU-lah yang tahu berapa nilai dari CINTA itu...


Ya, waktu telah membuktikan bahwa Tuhan sungguh CINTA kita. Ia mau mati tuk kita supaya kita yang mati jadi hidup. Waktu telah membuktikan juga bahwa Tuhan kita yang mati juga adalah Tuhan yang bangkit. Waktu juga membuktikan bahwa tiada kebangkitan tanpa salib, tiada Paskah mulia tanpa Jumat Agung sengsara. Bukankah ketika hidup kita menjadi CINTA, CINTA juga semakin hidup dalam hidup kita? (Mimbar Altar, Kanisius 2009)

0 komentar:

Posting Komentar