Ads 468x60px

“Gerejaku, Gerejamu, Gereja Kita Bersama ?

- sebuah tinjauan kritis tentang pembangunan fisik gereja - 

Aristoteles mengatakan virtus stat in medio. Keutamaan itu berada di tengah. Ia tidak condong ke kiri, juga tidak condong ke kanan. Ia tidak berlebihan. Sebagai contoh: keberanian adalah keutamaan. Ia berada di antara kepengecutan dan kenekadan. “Di tengah” tidak berarti setengah-setengah. Inilah kiranya point yang patut dipikirkan dalam polemik pembangunan gereja ini.

Arti Gereja (ecclesia) sendiri pada dasarnya adalah paguyuban orang beriman. Jelas, bahwa Gereja lebih luas dari sekedar bangunan gereja! Memang, Gereja sebagai sebuah teks termasuk bangunannya tak bisa lepas dengan konteksnya. Jika dulu, bangunan gereja cukup dengan pendapa cukup luas, berlantaikan plesteran semen yang sudah banyak berlubang dan bangku-bangku kayu melingkar, maka kini banyak gereja yang sudah berlantaikan keramik bahkan marmer dengan sound yang baik. Gereja sebagai bait Allah, tempat umat bertemu dengan Dia, tempat umat dan gembala saling menyapa mau tidak mau memang harus “layak” menurut ukuran jaman dan situasi-kondisi umat setempat.


Banyak dari kita sadar bahwa bangunan gereja merupakan sarana pendukung yang cukup penting untuk membantu umat menghayati imannya. Tapi, yang perlu tetap lebih disadari: jangan sampai sarana itu malahan menjadi batu sandungan untuk mencapai tujuan, yakni mengalami perjumpaan dengan Tuhan sendiri. Hal ini sangat bisa terjadi ketika kita jauh lebih sibuk memberi perHATIan pada bangunan fisik gereja kita daripada bangunan rohani jemaat. Wajar jika kemudian ada umat yang berkomentar, “jika paroki mampu membeli bunga lebih dari 1.000.000,- perbulan, mengapa mereka tidak mampu membiayai anak-anak putus sekolah di parokinya? Mengapa dana yang ada banyak dihabiskan untuk membangun sarana fisik, bukankah akan lebih baik bila dana itu diprioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan iman umat?

Romo Mangunwidjaya dulu pernah berkata, dua tantangan khas gereja adalah “admiranda et amanda (dikagumi tapi juga sekaligus dicintai). Memang banyak umat kita, bahkan juga umat dari lain agama yang berdecak kagum melihat megahnya bangunan gereja kita, tapi apakah bangunan gereja yang dikagumi itu juga sekaligus dicintai dan mendapat tempat di hati mereka? Apakah bangunan itu sungguh mencerminkan hadirnya kerajaan Allah yang menjadi misi utama Yesus sendiri ?

Memang merupakan suatu keharusan ketika ada sarana bangunan yang rusak dan mengganggu peribadatan, maka perlu segera diperbaiki dan dicarikan solusinya. Hal ini juga wajar berlaku ketika daya tampung gereja dirasa sudah tidak mencukupi lagi. Tapi merupakan suatu kenaifan yang berlebihan, ketika kita (entah pastornya atau umatnya) melulu sibuk dengan pembangunan fisik yang kelewat megah jika dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Dari fakta ini, tampak jelas apa yang dikatakan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia: “Gereja tak dapat menunaikan misinya tanpa bersifat lokal. Gereja hanya menjadi Gereja jika mendarah daging, di tempat yang khusus dan waktu yang khusus pula.“ Artinya: Sudahkah kita membaca dan mengerti bahasa masyarakat: mengerti dan bersolider pada suka duka dan keprihatinan masyarakat sekitar.

Banyak dari kita tahu, di tengah menggilanya harga BBM dan sembako: kemiskinan datang mengaras, menindas pun melenyapkan harta, tubuh dan sejarah sosial banyak orang. Gereja jelas hidup di tengah nyatanya jerit kaum tertindas yang tak bisa menjerit. Merupakan sebuah keprihatinan, jika bangunan gereja tidak lagi memperhitungkan kenyataan dunia sekitarnya, kesaksian kita berada dalam bahaya menjadi tidak nyata, berjalan di atas awan. Sungguh kontradiktif…ketika di depan altar kita sibuk bicara soal kasih dan kerendahan hati, tapi di lapangan kita sibuk memegahkan diri dengan terus membangun kemegahan tanpa mencoba untuk bersolider dengan pergulatan masyarakat.

Sangat mungkin, kehadiran bangunan gereja yang begitu megah malahan menimbulkan sinisme dan menjadi simbol kecemburuan sosial bagi lingkungan sekitarnya. Tapi juga, di lain pihak, jangan lantas kita berpikir bahwa tidak perlu sama sekali adanya pembangunan gereja. Seiring dengan perekembangan jaman, bangunan gereja tetap perlu terus diperbaiki tentunya sejauh itu semakin membantu umat mengalami perjumpaan dengan Tuhan (a church in permanent genesis). Hal pokok yang perlu diingat terus adalah jangan sampai bangunan gereja kita malahan memudarkan kesaksian imannya sendiri, karena terkesan elitis, borjuis dan sama sekali tidak merakyat, baik bagi umatnya sendiri maupun bagi masyarakat sekitarnya. Tapi juga jangan sampai bangunan gereja kita menjadi kotor, tidak nyaman dan rusak sana-sini karena tidak pernah direnovasi. Di sinilah kita perlu mengingat lex agendi-lex essendi (cara bertindak mesti menyesuaikan dengan cara berada).

Pertanyaan kritis akhirnya, sejauh mana gereja dengan bangunannya mampu menjadi batu-batu yang hidup, menjadi sarana perjumpaan, oase kehidupan dan inspirasi iman bagi umat dan masyarakat sekitarnya? Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari jatuhnya umpan itu?

0 komentar:

Posting Komentar