Selayang Pandang...
Sebuah kenyataan yang terjadi, kadang sebuah keluarga atau komunitas menjadi tidak rukun dan tidak memiliki hikmah ketika salah satu pihak terus menuntut untuk dipenuhi semua kebutuhan psikologisnya, tanpa berusaha untuk berempati dengan yang lainnya. Tentunya, pihak yang dirugikan pasti menghasilkan suatu reaksi tidak rukun dan tidak berhikmah, diakibatkan adanya sakit hati atau kecewa. Reaksinya bisa dua macam: mengampuni atau mendendam. Secara ideal, dalam kacamata iman, setiap anggota keluarga yang ingin belajar hidup rukun dan penuh hikmah, diajak untuk mengampuni dan tidak mendendam, mengingat sebuah pesan Yesus dalam Kotbah di Bukit, “yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah.” (Mat 5:7).
Di lain matra, Etika Kristiani memang selalu menekankan hubungan timbal balik. Kita ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Kita minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitupula bila kita mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti kita bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni: ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13). Atau juga pesan Yesus yang bangkit: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:22-23). Yah, inilah modal dasar membangun sebuah “rumah – rukun dan penuh hikmah,” yakni pengampunan.
Sebuah kenyataan yang terjadi, kadang sebuah keluarga atau komunitas menjadi tidak rukun dan tidak memiliki hikmah ketika salah satu pihak terus menuntut untuk dipenuhi semua kebutuhan psikologisnya, tanpa berusaha untuk berempati dengan yang lainnya. Tentunya, pihak yang dirugikan pasti menghasilkan suatu reaksi tidak rukun dan tidak berhikmah, diakibatkan adanya sakit hati atau kecewa. Reaksinya bisa dua macam: mengampuni atau mendendam. Secara ideal, dalam kacamata iman, setiap anggota keluarga yang ingin belajar hidup rukun dan penuh hikmah, diajak untuk mengampuni dan tidak mendendam, mengingat sebuah pesan Yesus dalam Kotbah di Bukit, “yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah.” (Mat 5:7).
Di lain matra, Etika Kristiani memang selalu menekankan hubungan timbal balik. Kita ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Kita minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitupula bila kita mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti kita bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni: ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13). Atau juga pesan Yesus yang bangkit: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:22-23). Yah, inilah modal dasar membangun sebuah “rumah – rukun dan penuh hikmah,” yakni pengampunan.
Sejauh saya amati, seperti yang saya tulis dalam buku “XXX-Family Way” (Kanisius), secara umum terdapat dua buah jenis pengampunan, yakni:
a.”pengampunan formal”, yang berarti: mulut memaafkan, tapi hati tetap panas. Pemazmur menegur pengampunan jenis ini: ”Biarlah doanya menjadi dosa” (Mazmur 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji-muji Tuhan, tapi dengan hati yang masih sesak oleh amarah yang tertahan, dan rasa dendam yang tak terlampiaskan, adalah dosa. Imbasnya adalah pribadi yang bersangkutan masih mempunyai kebencian atau dendam. Padahal, Norman Vincent Peale pernah menegaskan, “kebencian atau dendam ini tidak menyakiti orang yang tidak Anda sukai. Tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan, perasaan itu akan menggerogoti kita, bukan?
b.”pengampunan sementara”, yang berarti: sekarang memaafkan, tapi siap untuk mengungkit-ungkitnya kembali kemudian. Dkl: Kesalahan-kesalahan orang atau pasangan cuma disimpan di ”gudang”. Padahal, sebenarnya orang-orang yang tidak pengampun, adalah orang-orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri, karena begitu mudahnya minta pengampunan, tetapi begitu sulitnya mengampuni, begitulah tukas Chrysostomus.
Satu hal yang paling penting dan paling benar ditegaskan dari dua jenis pengampunan di atas adalah, bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang-orang yang pengampun! Penginjil Markus mengutip sebuah pesan Yesus, “dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu. Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” (Markus 11:25-26).
Memang pada kenyataannya, setiap orang kerap memakai ‘topeng’-nya pada setiap relasi persahabatan (termasuk juga relasi pernikahan dan keluarga), kadang dengan maksud baik: Ia tak mau hal-hal buruk mengenai dirinya terlihat. Ingatlah Jim Carrey dalam kisah ‘The Mask’ : seseorang bisa begitu hebat dalam topengnya tetapi akhirnya yang menang dan berharga adalah diri sesungguhnya. Disinilah, mengacu pada sebuah pernyataan, bahwa setiap relasi persahabatan (termasuk juga relasi pernikahan dan keluarga) itu 70% memaafkan, 30% mencintai, maka marilah kita belajar menjadi diri yang asli, dalam bahasanya Ariel Peter Pan, “buka dulu topengmu”, sekaligus menjadi diri yang pengampun, terlebih mengampuni keluarga dan pasangan hidup kita masing-masing, sehingga kita semakin bisa menjadi orang yang “rukun dan penuh hikmah”, terlebih dalam keluarga: seminari dasar kita bersama.
“Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,
penuh kasih mesra dan saling mengampuni,
sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Rasul Paulus, Efesus 4 : 32
0 komentar:
Posting Komentar