Sekali pun kita bekerja di sebuah tempat yang paling tersudut di dunia,
kita harus tetap membuka dan terbuka terhadap aneka perjuangan global...”
.
A. Globalisasi sebagai Teks
Bicara soal zaman global, ada empat pilar dasar yang mesti ditilik-ulang terlebih dulu: Apa itu globalisasi? Bagaimana faktor-faktor globalisasi? Siapakah aktor-aktor globalisasi? Serta apa saja masalah dan dampak globalisasi?
Pilar pertama, apa itu “globalisasi”?
Globalisasi ”not just internet, not merely “economic”, tapi globalisasi itu sebuah INTERCONNECTIVITY (keterhubungan). Atau bahasanya Nokia, ”...connecting people...” Globalisasi juga adalah sebuah historiografi, semacam fakta sejarah, bukan hanya barang seperti Mac Book Air dari Apple atau teve plasma Sony atau tas Gucci - Hermes dan Louis Vuitton yang begitu saja bisa diterima atau ditolak. Justru, karena ia merupakan kondisi sejarah, perdebatan pro dan kontra menjadi mandul. Globalisasi juga bukan gejala alami, seperti musim semi atau gempa bumi. Ia adalah gejala yang muncul dari praktek dan konteks pemikiran manusia. Seperti halnya gejala lain dalam hidup manusia, globalisasi juga mengandung ambivalensi. Sebagai contoh analogi: HP bisa dipakai seorang “pastor” untuk karya pastor(al)nya, tetapi bisa juga dipakai untuk bermesraan entah dengan siapa. Dan jelas, bahwa ambivalensi globalisasi itu tidak akan lenyap. Sejarah ke depan akan ditandai dengan semakin banyaknya ambivalensi. Dalam bahasa Paulo Coelho, penulis novel The Alchemist yang tersohor itu, "that is our human condition".
Pilar kedua, apakah aneka faktor pendorong terjadinya globalisasi?
Ada beberapa faktor, seperti: perkembangan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi, perkembangan ilmu manajemen, liberalisasi pasar keuangan sejak 1970-an, maraknya organisasi internasional - seperti PBB (1945) dan cabang-cabangnya - IMF (1948) - World Bank (1948) - GATT (1948-1994) - World Trade Organisation (1995) – INTELSAT – ITU – UNESCO, peluncuran satelit komunikasi oleh Amerika pada 1965, pemasangan kabel fibre-optic lintas Atlantik pada 1988 serta lonjakan volume telepon internasional dari 12,7 milyar per-menit pada 1982 menjadi 42,7 milyar per-menit pada 1992, dan 67,5 milyar per-menit pada 1996 dan pastinya terus meningkat tajam pada tahun 2000an ini.
Pilar ketiga, siapa saja para aktor globalisasi?
Kita bisa menyebutnya yakni: Negara, Organisasi internasional (IGO), LSM internasional (INGO), Perusahaan multinasional (MNC/TNC), Kejahatan terorganisasi juga para individu. Sejarah globalisasi sendiri sebetulnya sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, dengan “Jalan Sutra” dan Kolonialisme-nya. “Globalisasi” jaman ini dengan semua ciri-ciri di atas pada tingkat yang maksimal sendiri di ulai sekitar 1980-an.
Pilar keempat, adakah dampak globalisasi?
Dampaknya sendiri berimbas pada aneka bidang, seperti: politik, ekonomi, sosial, psikologis dan kultural. Secara singkat, masalah yang ditimbulkan, al: jurang kaya-miskin makin melebar, perusakan lingkungan, serta ”peradaban pasar”. Menurut Sekretariat Keadilan Sosial Roma, (“Challenges and Situation”, Social Justice Secretariat, Roma), tercandra adanya enam tantangan kerasulan, al:
- migrasi,
- proses marginalisasi global,
- kekerasan dan perang,
- gerakan sosial,
- ekologi dan lingkungan hidup
- pemerintahan, demokrasi dan partisipasi pasar.
Pasar yang disebut di sini berbeda dengan pasar kampung. Pasar kampung justru merupakan sebuah komunitas yang mengembangkan seluruh kehidupan lokal. Sedangkan, pasar global menjajakan produknya lewat iklan raksasa yang hadir dengan lebih intensif dan massif lewat teknologi komunikasi yang canggih, didukung sepenuhnya oleh mall yang tumbuh seperti jamur, “memaksa” jutaan orang untuk menonton dan akhirnya terayu-larut dan hanyut untuk mengkonsumsi. Salah satu efek pasar semacam ini adalah hancurnya makanan dan pekerjaan tradisional. Kesenjangan berbagai grup dalam masyarakat juga semakin meluas dan mengganas. Diperparah oleh konsumerisme yang secara cerdik menawarkan (dan memaksa) orang untuk mengikuti gaya hidup baru yang penuh dengan “bungkus” wangi parfum dan komestik harum yang kebanyakan menawarkan “mimpi”.
Hal ini dipertajam-runyam oleh sebuah kenyataan bahwa kita hidup di dunia pasca-aksara, di sebuah dunia digital dimana image (citra) menjadi acuan kesadaran kita. Dalam ajang dunia virtual seperti inilah, mimpi dan kenyataan berlapis-lapis: membuat sesuatu yang nyata kadang seperti maya atau yang sebaliknya, yang maya menjadi nyata. Masalahnya: yang sedang banyak diintegrasikan secara simultan dalan hidup kita lewat media sekarang adalah mimpi-mimpi indah dan keinginan kita yang kerap tak melulu sesuai dengan realita. Bukankah wajar jika kekesalan dan kemarahan yang meluap dan meluber pada tindakan anarkis dan narsis akan semakin menumpuk karena terasa semakin jauhnya loncatan antara mimpi dan kenyataan?
B. Sebuah Konteks: Pastor(al) di Era Global
Carut marut dan hiruk pikuk perubahan serta perkembangan di zaman yang serba tunggang langgang ini ternyata tidak hanya didorong oleh globalisasi semata, tapi juga tiga master trend lainnya, yakni: industrialisasi, urbanisasi dan modernisasi. Disinilah, seorang “pastor” (gembala), entah gembala di keluarga, di sekolah atau di masyarakat secara pribadi dipanggil untuk mengikuti Yesus dalam Gereja dan bersamaNya secara real-aktual dan operasional mewartakan kerajaan Allah di dunia-yang kini menjadi sebuah ‘global village’.
Apa boleh buat, pelbagai imbas globalisasi seringkali terasa wajar, seperti udara yang kita hirup dan seperti balon raksasa yang cepat membesar dari waktu ke waktu, menggempur-tempur semua ruang hidup kita sejak jalan raya sampai ke kamar paling pribadi. Mungkin bukan menggempur karena ia tak memaksa atau menindas, melainkan menyihir, menyegarkan, merayakan, dan menghidupkan. Tak cuma Coca Cola atau pelbagai produk rokok, tapi lihat saja channel tv swasta kita yang penuh dengan telenovela, iklan sabun mandi, sinetron, tarian dan musik dangdut, film Hollywood dan Bollywood. Jangan-jangan kalau ada premis sebuah tesis, agama adalah fenomen budaya, kini premis itu mendapatkan antitesisnya, fenomen budaya menjadi agama? Ketika televisi kini menjadi tabernakel, ketika pariwara iklan asyik menjadi pengganti kotbah-kotbah moral, ketika hand-phone-internet-mutimedia dsbnya seakan menjadi idol-idol baru, bisa jadi seperti kata Voltaire, ”dalam perkara uang, semua orang mempunyai agama yang sama.”
Di lain segi, menjadi jelas juga bahwa pelbagai karya dan ruang pastor(al) tak bisa lepas dari konteks real. Memang lewat globalisasi dengan pelbagai master trend-nya, sekat lama runtuh menjadi satu kampung”, tetapi sekaligus sebetulnya tembok tebal dan tinggi yang lebih kokoh sedang dibangun. Mereka yang memiliki passport untuk menikmati keuntungan dari globalisasi ini hanyalah mereka yang mampu bergerak lebih leluasa dengan realitas dunia yang semakin tanpa batas ini. Dan sebaliknya, ada bagian besar dalam masyarakat global yang tidak bisa menikmati keleluasaan ini.
Di bidang komunikasi: kita kini mempunyai pelbagai sarana komunikasi dengan aneka smart phone yang memungkinkan berkomunikasi dengan aktif dan produktif. Pada kenyataannya sarana-sarana komunikasi tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berkepunyaan dan bermodal, dengan menyampaikan pesan-pesan dan keputusan-keputusan yang mempunyai dampak besar secara global.
Di bidang transportasi: kita kini mencapai kemajuan besar yang memungkinkan pengangkutan orang dan barang dengan kecepatan yang tinggi dan bobot yang besar. Lagi-lagi pada kenyataannya sarana-sarana transportasi ini lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berkepunyaan dan lebih lagi oleh mereka yang mempunyai modal untuk kepentingan-kepentingan mereka dengan mengangkut orang dan barang yang mereka perlukan untuk diri sendiri dan terlebih untuk kepentingan perdagangan yang menguntungkan mereka.
Dua contoh realita global di atas bisa memberikan gambaran dan fenomena tantangan dan ancaman yang sedang kita hadapi, bahwa jelas ada korban. Contoh lain, media global sekarang ini sendiri didominasi oleh 7 perusahaan multinasional): AOL (Time Warner), Sony, Disney, News Corporation, Viacom, Vivendi, Bertelemann. Mereka nampaknya saja berkompetisi satu dengan lainnya. Yang terjadi sesungguhnya adalah bekerjasama, yaitu dengan membangun kapling-kapling. Inilah sebuah oligopoli global! Yang paling berjaya dari tujuh perusahaan tersebut adalah News Corporation (milik Rupert Murdoch), yang investasi perusahaannya menggurita ke segala penjuru dunia: TV satelit di benua-benua Asia, Eropa, Amerika Latin, Star TV yang mendominasi pasar televisi Asia, Phoenix TV di Cina, Twentieth Century Fox Films, Fox TV Network, Harper Collins serta ratusan majalah yang beredar-tebar di belahan dunia yang tersebar-pencar.
Di lain matra, sebetulnya terdapat tri-matra yang muncul bersamaan dengannya, antara lain;
a. pesan (informasi, iptek, keputusan),
b. barang (hasil teknologi, dagangan),
c. modal, yang bergerak dengan cepat sesuai dengan kehendak dan kemampuan penguasanya.
Ketiga matra ini (pesan, barang, dan modal) dapat membanjir ke suatu tempat ataupun menyingkir dari suatu tempat di muka bumi. Maka, “para pastor” sebagai gembala yang hidup di zaman global diharapkan mampu mengenal arus trilogi “pesan, barang, dan modal” serta mampu memilih-memilah dan mempergunakan pesan, barang, dan modal yang tepat untuk pastoralnya. Mengapa? Karena, “pesan, barang dan modal” yang dipilih, diterima, dipergunakan dan dihayati akan membentuk jati diri seorang “pastor”: Pesan-pesan kekerasan, kenikmatan, dan keindahan fisik yang disaksikan berulang-ulang dapat menjadikan seseorang memeluk sifat-sifat tersebut. Di lain matra, pesan-pesan kemurahan hati dan kesetiakawanan yang diterima dengan sadar dapat membuat seseorang mewujudkan keutamaan tersebut.
Di sinilah, seorang “pastor” yang seturut teladan Yesus berniat melayani dengan sikap bermurah hati dan bersetiakawan pada mereka yang menderita (baca: menjadi korban) amatlah diharapkan di zaman global sekarang, terlebih karena solidaritas dengan mereka yang terpelanting dari kompetisi global menjadi ajaran yang tidak selalu kuat gemanya lagi, bukan?
C. Sebuah Praktek: Menjadi “Minoritas”
Pada World Social Forum Mumbai, India beberapa tahun lalu, aktivis globalisasi dari seluruh dunia berkumpul. Mereka menyatakan, Another world is possible! Perusahaan-perusahaan besar yang diganti dengan komunitas-komunitas lokal yang memainkan peran atas hidup dan anggota-anggotanya itu mungkin.
Celakanya, ideologi globalisasi sudah meresapi Gereja Katolik di negara-negara berkembang. Tidak sedikit bagian Gereja Katolik Dunia Pertama berpikiran, “Tidak mungkin dunia tanpa globalisasi”. Another world is impossible!” Tidak terkecuali Gereja Katolik di Indonesia ini. Dengan beberapa pengecualian, kita boleh mengatakan bahwa Gereja itu memang kaya, sehingga seluruh gaya hidup di sekitar Gereja (gedung, liturgi, umat, pastor) justru mengasingkan diri dari masyarakat yang menjadi korban globalisasi.
Korban globalisasi? Ya, ada di hadapan kita sejumlah data sebagai berikut: 20 % penduduk terkaya di dunia mendapatkan 86 % kekayaan seluruh dunia. Sementara 20 % penduduk termiskin hanya menerima 1 % remah-remahnya. Kalau ini masih belum membuat kita shock, masih ada satu angka lagi: Tiga gelintir orang terkaya di dunia menguasai aset sebanyak output yang dihasilkan 48 negara termiskin di dunia.
Di sinilah “para pastor” dipanggil menjadi kaum minoritas. Minoritas – bukan seperti yang dipahami secara populer di Indonesia – tapi minoritas sebagai pilihan, sebuah pilihan yang berpihak pada mereka yang KLMTD (Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difable) karena bukankah Tuhan juga datang ke dunia sebagai dia, yang membiarkan dirinya disepak keluar dari dunia? Pilihan menjadi minoritas inipun tidak melulu cukup hanya dengan karya-karya karitatif, memberi ikan, umpan atau kail melulu. Lalu bagaimana caranya?
Satu bidang di mana Gereja Katolik memiliki nama harum dan dianggap champion dalam sejarah pembentukan peradaban dunia, adalah sumbangannya dalam kerasulan intelektual. Nah, kalau ratusan tahun lalu, Gereja lewat pusat riset/perpustakaan/biara/
Dalam prakteknya, “para pastor” diharapkan ”berakar sekaligus bersayap. Artinya: mereka selalu mau memperdalam keberakarannya dalam iman personal pada Yesus serta sekaligus berani memperluas sayap-sayapnya pada pelbagai perjumpaan dan reksa pastoral lewat pelbagai jejaring dan ruang komunikasi publik. Dalam proses inilah, pemahaman serta pandangan yang dikembangkannya akan semakin ‘up to date’ karena bukankah Gereja seharusnya juga selalu “in permanent genesis”?
Terlebih, dalam dunia modern sekarang, sebenarnya tak ada lagi penonton. Setiap orang telah menjadi anggota pelakon. Dalam ‘pesawat angkasa bumi’ ini, tak ada lagi penumpang. Semua dari kita adalah kru. Menanggapi betapa dahsyatnya kekuatan komunikasi dalam era digital ini, Gereja seharusnya merasa bersalah jika tidak memakai secara optimal sarana ini yang dari hari ke hari disempurnakan oleh kepandaian manusia karena disinilah jelas terdapat tantangan bagaimana ”sensus catholicus”, semacam iman dan citarasa katolik benar-benar dihayati, dihidupi dan sekaligus diwartakan. Akhirnya, beranikah “para pastor” ‘bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebar jala untuk menangkap ikan lebih banyak’ (duc in Altum) di tengah dunia ini? Adalah tugas kita sekarang sebagai “para pastor” untuk merakit kembali segala bentuk pemisahan pemikiran keberimanan dari wilayah publik, tanpa harus menjadi dangkal dan sloganistik. Bukankah sungguh sebuah niat baik dan patut dirayakan, jika kita berusaha mengembalikan lagi bahasa dan refleksi iman kita ke wilayah publik, tidak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga sungguh hidup di tengah pasar kehidupan? Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari jatuhnya umpan itu?
Salam interupsi.
@ Romo Jost Kokoh Prihatanto
NB:
Ensiklik pertama yang memang dikhususkan bagi komunikasi sosial adalah ensiklik tentang perfilman, Vigilanti Cura, yang dipromulgasikan oleh Paus Pius XI (29 Juni 1936). Kemudian dapat disebut ensiklik tentang Perfilman, Radio, dan Televisi, Miranda Prorsus yang dikeluarkan juga oleh Paus Pius XI (1957). Inter Mirifica (1963) adalah dokumen resmi Gereja pertama yang dikeluarkan Vatikan II. Pada Agustus 1964, Paus Paulus VI menetapkan sebuah Dewan Komunikasi Sosial, yang bertanggungjawab dalam penyusunan Instruksi Pastoral, tentang perangkat Komunikasi Sosial. Instruksi Pastoral itu ialah Communio et Progressio (1971). Communio et Progressio dapat dihitung sebagai Magna Charta komunikasi kristiani. Instruksi pastoral ini memberi petunjuk bahwa “komunikasi antar manusia menemukan puncak idaman terluhur dan contohnya yang tertinggi dalam Allah yang telah menjadi manusia: Kristus menjadi Komunikator Sempurna lewat penjelmaan-Nya (art.10). Dua dasawarsa sesudah Communio et Progressio, munculah Instruksi Pastoral yang baru yaitu Aetatis Novae. Instruksi pastoral baru tentang media komunikasi sosial, yang tanggal 17 Maret 1992 dipresentasikan di Kantor Berita Vatikan. Dokumen ini muncul sebagai tanggapan atas situasi perkembangan alat-alat komunikasi yang sedemikian pesat. Penggunaan satelit, televisi kabel, optik, video kaset, compact disc teknologi komputer, dsb, menyebabkan munculnya “bahasa-bahasa baru” bagi pelayanan pastoral Gereja. Dalam ensiklik Redemptoris Missio (1990), Paus Yohanes Paulus II melihat dunia komunikasi bukan hanya sebagai ‘aeropagus’ zaman modern, tapi juga sebagai ‘pemersatu manusia’ dan mengubah dunia menjadi suatu ‘global village’. Tapi, hal itu juga menimbulkan pelbagai persoalan baru. Gereja menganggap media sebagai “anugerah Allah” yang menuntut sikap positif dan terbuka tetapi juga sikap hati-hati dan kritis. Secara resmi, Gereja mengakui betapa pentingnya media komunikasi bagi penanaman nilai-nilai moral dan religius masyarakat. Pengakuan ini diwujudkan dengan mengadakan perayaan khusus untuk Hari Komunikasi Sedunia yang diperingati setiap tahun oleh Gereja Katolik sedunia.
0 komentar:
Posting Komentar