@GARAM yang Kurang Asinnya...
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %.
Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal
sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah
“terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya
kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin,
tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
(“Anawim” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 30.
William Shakespeare dalam drama romantik, Romeo and Juliet, mengatakan, “what’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Shakespeare ingin mengatakan, bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain “mawar”, baunya akan tetap sama. Di lain matra, sekarang kabarnya beberapa romo-romo diosesan (projo) termasuk di Pulau Jawa (KAJ, KAS, KeBo, KEBan, KEPur, KeSU dan KAM) sedang mencari dan menentukan identitas dan etintas namanya. Maka untuk membedakan diri dengan anggota tarekat, romo-romo projo kadang memakai tambahan gelar atau sebutan di depan namanya, yakni" RD", tentunya bukan "RaDEn" atau "Rodo Dumeh" tapi berarti "Reverend Dominus" (Tuan Pastor). Dan gelar itu kerap terpampang di beberapa media, termasuk di Majalah HIDUP sebagai Mingguan Umat Katolik.
Bukankah nama "Pr" (Yun: presybyter: imam) atau "Projo" lebih indah, sederhana sekaligus kaya makna? Bukankah "RD" berkesan feodal, "Tuan Pastor" (padahal Tuhan dan Bunda Gereja sendiri datang sbg pelayan dengan semangat HAMBA). Bukankah sebutan "projo" memberikan nada kerendahan hati/humilitas dan kesederhanaan/simplicitas di dalamnya? Ada nada kerendahan hati sebagai seseorang yang mau melayani dan mengabdi pada "ke-lokal-annya" bukan?
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %.
Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal
sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah
“terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya
kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin,
tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
(“Anawim” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 30.
William Shakespeare dalam drama romantik, Romeo and Juliet, mengatakan, “what’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Shakespeare ingin mengatakan, bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain “mawar”, baunya akan tetap sama. Di lain matra, sekarang kabarnya beberapa romo-romo diosesan (projo) termasuk di Pulau Jawa (KAJ, KAS, KeBo, KEBan, KEPur, KeSU dan KAM) sedang mencari dan menentukan identitas dan etintas namanya. Maka untuk membedakan diri dengan anggota tarekat, romo-romo projo kadang memakai tambahan gelar atau sebutan di depan namanya, yakni" RD", tentunya bukan "RaDEn" atau "Rodo Dumeh" tapi berarti "Reverend Dominus" (Tuan Pastor). Dan gelar itu kerap terpampang di beberapa media, termasuk di Majalah HIDUP sebagai Mingguan Umat Katolik.
Bukankah nama "Pr" (Yun: presybyter: imam) atau "Projo" lebih indah, sederhana sekaligus kaya makna? Bukankah "RD" berkesan feodal, "Tuan Pastor" (padahal Tuhan dan Bunda Gereja sendiri datang sbg pelayan dengan semangat HAMBA). Bukankah sebutan "projo" memberikan nada kerendahan hati/humilitas dan kesederhanaan/simplicitas di dalamnya? Ada nada kerendahan hati sebagai seseorang yang mau melayani dan mengabdi pada "ke-lokal-annya" bukan?
Di samping itu, "Pr" adalah sebuah penciptaan istilah yang khas di tanah Jawa, sebuah istilah yang sangat inkulturatif dan memiliki historiografi dalam menentukan sebutan bagi para imam diosesan di tanah Jawa. Lagipula, "projo" tidak sekedar berarti "kepeng-abdi-an" tapi juga kemuliaan dan kejayaan. Tidakkah dalam khazanah Jawa, bila kita mempunyai sesuatu yang patut dibanggakan, maka orang akan mengatakan: iku projone", artinya: itulah yang patut dibanggakan darinya? Semoga istilah yang begitu menyejarah (historis) dan membudaya (kulturis) ini diganti begitu saja dengan "RD", yang mungkin banyak orang termasuk calon imam juga tidak tahu persis artinya apa. Rasanya ini perlu diutarakan dengan jujur, karena kekhawatiran ini sungguh realistis di tengah gereja kita yang cenderung untuk menjadi semakin hirarkis dan klerikalis, dan tidak lagi mudah menjadi gereja yang mengumat memasyarakat dan merakyat. "Church in permanent genesis!"
"......Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa.
Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri.
Mudah membuat orang menjadi sombong.
Karena itulah orang seperti kami harus selalu "aware" jangan sombong.”
(“Saya Tak Mau Jadi Godfather” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin
Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 28.)
0 komentar:
Posting Komentar