Ads 468x60px

Harapan dan Ingatan: “KADER ATAU KEDER?”

In Memoriam: 150 tahun Romo Van Lith 

Di Asia, khususnya di Indonesia, 
manusia kecil, lemah,
miskin umumnya tidak dihargai. 

Yang dihargai ialah mereka
yang kaya dan berkuasa ... 
Hukum rimba: siapa kuat, dia menang. 
Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia,
yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”


Johann Baptist Metz, seorang teolog politik pernah memberikan definisi tersingkat dari agama, yaitu interupsi (Unterbrechung). Agama itu berangkat dari interupsi Allah ke tengah dunia. Agama itu hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah
dunia yang carut marut. Agama-agama mengkhianati panggilannya apabila mereka berhenti membuat interupsi, bukan? Bagi saya, jelas bahwa Gereja juga perlu terus melakukan interupsi, baik terhadap dunianya sendiri maupun terhadap dunia yang ada di sekitarnya.

Dalam intensi seperti ini, Gereja dengan segala interupsinya hendaknya tidak meninggalkan manusia di pinggir jalan sendirian. Maka, di sinilah persis disadari bahwa Gereja butuh “kader” dalam dunia politik dan ranah publik, karena kita memang perlu berpolitik di ruang publik, tapi bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Kita menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikan. Politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi seluruh lapisan.” Romo Mangun bahkan pernah juga
mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita ... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Menurutnya, iman adalah tindakan, ya
tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani.

De facto, kalau dulu, Gereja Katolik berbangga memiliki banyak kader, maka sekarang bisa jadi Gereja Katolik "keder" karena minim kader, dan kalaupun ada kadang belum optimal dalam sinergisasi dengan suara kekatolikan. Kalau mau jujur, kadang Gereja lebih tampil sebagai "institusi" dan bukan saksi", organisasi dan bukan oganisme", lebih banyak menjadi seakan "pabrik kata-kata", gaduh dn hiruk pikuk tapi tak bergema secara nyata bagi masyarakat luas. Apakah karena para pastornya yang sibuk pada persinggungan kepentingan di antara mereka, atau gereja yang melulu berkutat-padat pada urusan altar (dimensi vertikal), sehingga melupa-luputkan urusan pasar (dimensi horisontal)? Dalam bahasa Carlo Matini: Bisa jadi, Gereja sungguh lelah dan terseok karena keberatan beban birokrasi yang sarat intervensi dan friksi melebihi proporsi dan beban liturgi yang kadang melulu ritualistik. Padahal, kalau mau jujur, pembaruan (Bhs Konsili Vatikan II: “aggiornamento”) gereja hanya bisa terjadi lewat “praksis komunikasi” terus menerus antara gereja dengan dunianya atau dengan semua umatnya yang berada di tengah carut marut dunia. Bukankah jika kita ingin membarui gereja, pembaruan itu hanya bisa datang dari dunia? Bukankah agama dan gereja itu cenderung konservatif, dan dunia lah yang menantang kita untuk progresif dan reformatif? 

Bukan mustahil, perjumpaan dan ”komunikasi terus menerus” terhadap dunia publik dan dunia pasar, dapat membukakan mata para fungsionaris agama terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam nadi-nadi hidup dan karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak orang miskin, cacat dan tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat semua umat beriman secara umum, dan hirarki secara khusus perihal kontribusi teologis dan sikap pastoral mereka sendiri terhadap kondisi ini. Gereja, teologi, pendidikan calon pastor dan praktik hidup para pastor memang mesti perlu semakin sering diinterupsi karena bisa jadi gereja tidak lagi menjadi ”duri yang menusuk” dan membuat tidur tidak aman, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur yang sangat mujarab.
Berangkat dari harapan dan ingatan sederhana inilah, saya mengangkat beberapa figur yang mungkin bisa menjadi titik inspirasi sederhana bagi keberimanan dan sekaligus keindonesiaan kita karena tepatlah kata Abraham Lincoln dalam ”A House Divided”, “Bila pertama-tama kita mencari tahu dulu di mana kita berada, serta kemana arah yang cenderung kita tempuh, kita akan bisa memutuskan secara lebih tepat, apa yang musti kita kerjakan, dan bagaimana melakukannya.”


1.Rama Van Lith: 
Misionaris Belanda di Jawa Tengah, pada awal abad 20. Ia istimewa karena diberi julukan “Orang Belanda yang berhati Jawa”. Untuk, membedakan dengan “Orang Jawa yang berhati Belanda” (penjajah). Bisa dibayangkan dari sebutan itu seperti apa dia. Ada sebuah kutipan salah satu tulisannya, ketika harus berhadapan dengan penjajah yang sebangsanya: “Setiap orang sekarang tahu kami, para misionaris, ingin bertindak sebagai penengah. Itu konfilik antara penjajah yang dijajah. Tapi setiap orang tahu juga bahwa seandainya terjadi perpecahan meskipun tak diharapkan sedangkan kami terpaksa memilih, kami akan berdiri di pihak golongan pribumi, golongan yang dijajah dan dihisap.” Bukankah ini jelas pemihakan, pilihan sikap ketika berhadapan dengan situasi konkret dengan inspirasi iman mewartakan kerajaan Allah, Rm Van Lith memilih orang-orang setempat. Ia tak memilih orang-orang Belanda meskipun dia adalah orang Belanda. Waktu itu belum bisa dikatakan keindonesiaan, tapi jiwanya ada di situ. Yang juga sangat menarik, Rm Van Lith, yang adalah pastor, yang adalah Belanda, dicalonkan oleh partai Sarikat Islam untuk menjadi anggota “volkstraat” waktu itu, semacam anggota DPR. Secara historis, Pastor Van Lith-lah yang membaptis umat Katolik Jawa yang pertama tanggal 14 Desember 1904 di daerah Sendangsono. Peristiwa baptisan Katolik ini, diakui sebagai tanda kehadiran Gereja Katolik di daerah Jawa. Van Lith sambil belajar bahasa dan budaya jawa, dengan jubah hitamnya selalu bersepeda dan berkunjung ke rumah anak-anak didiknya. Ia mendirikan sekolah dan asrama guru (Kweekschool) di Muntilan (Betlehem Van Java): bukan untuk semata membabtis orang, tapi untuk membentuk rasul-rasul awam yang tangguh. Ia tidak ambil pusing berapa banyak yang bisa dibabtis, ia hanya ingin mewartakan injil seluas dunia. Tahukah anda bahwa figur Van Lith inilah yang membuat banyak orang Belanda ingin menjadi imam dan bermisi di Jawa?


2.Bapak IJ.Kasimo: 
Ia adalah seorang pejuang politik. Dia berjuang dalam politik bukan hanya sebagai politikus biasa tapi sebagai politikus yang berinspirasi pada iman Katolik, Ketika ia diwawancarai mengenai sikap dasarnya dalam berpolitik, yakni: Pertama: sederhana. Kedua: jujur, dan yang ketiga: Politik tidak semata-mata perjuangan duniawi tapi juga perjuangan iman. Ini mengesankan bukan? Kalau kita bahasakan dengan bahasa injili politik “demi Kerajaan Allah”


3.Mgr. Soegijapranata: 
Ia adalah seorang yang istimewa. Beberapa hal dalam kehidupan beliau yang belum banyak diketahui selain semboyan “100% Katolik 100% Indonesia”, ketika ibukota pindah dari Jakarta ke Yogya, ia memindahkan keuskupan dari Semarang ke Yogya. Bukan karena Semarang gedungnya rusak. Tapi karena dia ingin menunjukkan pada seluruh dunia dan pada rakyat indonesia bahwa gereja Katolik adalah bagian dari bangsa indonesia yang mempertahankan kemerdekaannya. Ini tindakan kenabian yang bukan main besar artinya. Semarang terkenal dengan perang 5 hari, Jepang menyerang dan Inggris datang sehingga Semarang akan dihanguskan. Ia menjadi penengah dan pendamai, antara jenderal Jepang dan Inggris.
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun pernah mengungkapkan bahwa Soegijapranata adalah gurunya. Ia mengungkapkan, “Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh, nama pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain, juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.” Soegijapranata adalah seorang imam dan uskup pribumi pertama yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan. Beliau kemudian diangkat sebagai pemimpin Gereja Katolik untuk wilayah Semarang pada tahun 1940. Situasi negara yang sedang bergolak saat itu menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan seputar altar, tetapi juga memberikan sumbangan bagi kehidupan bersama masyarakat. Keterlibatannya dalam situasi negara ditunjukkan dengan kemauannya mengikuti gerak perjuangan bangsa Indonesia saat itu. 
Romo Mangun memandang bahwa Mgr. Soegija adalah seorang Gerejawan besar yang kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia: “Saya tidak dapat menggambarkan bagaimana akan jadinya Gereja Katolik Indonesia seandainya dulu Mgr. A. Soegijapranata tidak ada.”


4.Ignatius Slamet Riyadi: 
Pada usia 23 tahun, dia menjadi wakil pemerintah Indonesia untuk menerima penyerahan kota Solo dari penjajah Belanda. Masih sangat muda pangkatnya “overste”, ketika komandan Belanda bertemu dan geleng-geleng kepala: “ini tokh anak yang mencelakakan kami terus, tak pernah bisa ditangkap”. Dalam posisi yang setinggi itu dalam karir militer kenegaraan, waktu itu belum Katolik, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi Katolik, (Sekarang: Untuk mencari jabatan publik, iman Katolik kadang ditinggalkan. Dulu: Slamet Riyadi terbalik: Ketika ia ingin menyempurnakan aktualisasi dirinya sebagai manusia maka dia memberikan dirinya untuk dibaptis, ini istimewa sekali). Nama baptisnya “Ignatius” dan ia dibaptis sekitar bulan Desember. Aneh kalau dia mendapat nama baptis Ignasius karena St Ignasius dirayakan pada akhir bulan Juli dan bukan Desember. Berhubung dia tentara dan Ignasius juga tentara, kelihatannya dia memilih nama itu rupanya. Ia memilih nama Ignatius untuk menyempurnakan pengabdiannya sebagai manusia beriman kristiani. 


5.Rama Mangunwijaya, Pr:
Saya ingin membayar utang kepada rakyat... Inilah ungkapan “si Burung Manyar”, Romo Mangun dalam sebuah wawancara dengan MATRA.”. Atas peristiwa ini, Michael Bodden berkomentar, “Setelah revolusi, Mangunwijaya memutuskan untuk mengabdikan dirinya pada upaya melunasi utang angkatan perang pada rakyat Indonesia atas dukungan dan pengorbanan mereka. namun, karena keinginan untuk menghindari korupsi moral dan spiritual, ia memutuskan untuk menjadi seorang pastor untuk melunasi utangnya sebagai seorang individu yang bebas dari kebutuhan mengejar kekuasaan dan uang.”
Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam ruwet-renteng persoalan dalam masyarakatnya. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik. Pengalaman hidupnya di Code, Gigrak, Gunungkidul, Kedungombo, Boyolali mengungkapkan betapa ia punya HATI terhadap aneka persoalan kemanusiaan.

Tentang perjuangan Romo Mangun ini, Julius Kardinal Darmaatmaja. menuliskan:
“Cinta dan perhatian beliau kepada kaum papa dan terhadap masalah kemanusiaan seluas kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang menyebabkan beliau tak terkurung oleh sekat perbedaan agama, suku, dan budaya. Inilah yang membuat beliau berjuang melawan ketidakadilan bagi siapapun, inilah yang menjadi dasar dan kekuatan bagi perjuangan beliau di hampir segala bidang kehidupan.”
Di lain segi, sebagai warga Gereja, Romo Mangun kerap lantang menyerukan suara kemanusiaannya juga: “Setiap rohaniwan gereja Katolik (yang notabene terkenal sebagai agama yang kaya raya dan kaya kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”

“..Ingatlah bahwa rasul itu adalah 
orang Katolik yang sadar. 
Mereka insjaf betul 
bahwa mereka telah menerima kurnia dari Tuhan 
jang banjak djumlahnja itu 
tiada hanja untuk menghibur hati mereka belaka, 
akan tetapi pun djuga untuk membakar djiwanja 
dengan semangat jang berkobar, 
dalam menguduskan hati sendiri 
dan orang lain. ..”
(Mgr. Soegijapranata).

Pro Patria et Ecclesia!

0 komentar:

Posting Komentar