Dengan kata lain, “Never again” mengacu pada
kenyataan bahwa orang `hidup bersama dengan ancaman. Wajar kita berharap
malapetaka itu tak terjadi lagi. Tapi bagaimana sebuah peristiwa negatif tak
terulang lagi? Bukankah peristiwa sebagai peristiwa adalah unik dan singular?
Di sinilah diskursus tentang trauma dalam diri kita menjadi relevan. Di lain matra, trauma adalah bekas, semacam torehan dari suatu peristiwa negatif. Mereka terseret ke dalamnya dan menjadi bagian darinya tanpa mampu mengendalikan dirinya. Dalam hal ini, trauma terjadi ketika nilai-nilai kemanusiaan (peradaban) mengalami suatu degradasi makna menjadi dehumanisasi (kebiadaban). Ketika manusia tidak lagi menjadi tuan atas kemanusiaannya.
Di sinilah diskursus tentang trauma dalam diri kita menjadi relevan. Di lain matra, trauma adalah bekas, semacam torehan dari suatu peristiwa negatif. Mereka terseret ke dalamnya dan menjadi bagian darinya tanpa mampu mengendalikan dirinya. Dalam hal ini, trauma terjadi ketika nilai-nilai kemanusiaan (peradaban) mengalami suatu degradasi makna menjadi dehumanisasi (kebiadaban). Ketika manusia tidak lagi menjadi tuan atas kemanusiaannya.
Konteks Dunia Sekular, suatu Benang Kusut?
Sebuah laporan studi dari David Harvey (The Condition of Postmodernity), seorang pemikir Geografi Marxis, menggambarkan kondisi global yang kini dialami manusia modern, antara lain: lahirnya pelbagai manipulasi atas realitas; kegamangan akan masa depan; hilangnya kedalaman hidup; maraknya sikap hidup instan; individualitas yang mencuat, hedonisme yang merajalela, dan susahnya memegang komitmen sebagai akibat dari mudahnya orang untuk membuang segala sesuatu termasuk nilai-nilai (cermin masyarakat pembuang – throwaway society: easy come-easy go). Fenomena ini berjalan seiring dengan semakin canggih dan berkembangnya teknologi telekomunikasi dan transportasi yang lahir dari rahim kapitalisme.
Mengartikan konteks
Cerminan masyarakat pembuang, seperti yang dikemukakan David Harvey di atas, semakin nampak ketika membunuh dimuliakan sebagai keutamaan konflik. Ketika pemahaman Homo Hominis Socius (manusia adalah sahabat bagi yang lainnya) begitu saja dibuang dan diganti menjadi Homo Homini Lupus ala Hobbes (manusia adalah serigala bagi yang lainnya).
Pelbagai fenomen ini adalah fakta, sebuah realitas sosial sejati! Seperti ramalan Celestine, pelbagai kejadian hidup dan fakta realitas sosial di atas bukanlah sekedar kebetulan belaka. Bila pelbagai kejadian itu dipertemukan, dirangkai menjadi sebuah untaian, maka akan lahirlah makna, pesan serta kenangan yang berguna.
Ini adalah zaman dimana segala nilai dan otoritas telah di-demistifikasi-kan. Tak ada lagi nilai dan otoritas yang sungguh dianggap sakral. Modernitas dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas segala pola kultural, tapi karena ia tampil justru sebagai ideal yang memikat, menggoda dan menjanjikan ekstase kenikmatan di tengah arus kontemporer.
Maka, ketika dunia berlari kencang tanpa kendali pasti inilah, kita mengalami situasi trauma: tercerabut dari akar tradisi, serba terpencar, lepas dari ikatan yang tetap dan aman, berada di antara pelbagai konstelasi nilai dalam realitas serba heterogen amburadul.. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa pengalaman ketraumaan ini membuat kita linglung mencari potret wajahnya sendiri dan mudah menjadi anarkis (an: tak, arche: beraturan). Martin Heidegger memiliki istilah yang tepat, yaitu Gedankenlosigkeit, ketidakberpikiran [Discourse on Thinking]. Kita tidak pelupa, melainkan tidak berpikir dalam kebiadaban kita.
Sebuah ajakan
Kita hidup dalam dan bersama trauma, maka pendidikan dan pengasuhan dalam diri harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati kemanusiaannya. Kita perlu diam, tetapi bukan membisu, karena orang yang membisu cenderung bicara, hingga tak mampu bungkam. Agar dapat diam orang harus memiliki sesuatu untuk dikatakan. Berdiam mengandaikan pemahaman [Heidegger, Sein und Zeit, paragraf 34]. Latihan untuk diam bagi kita ini adalah: belajar memahami masa, yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah kebiadaban.
Berangkat dari hal inilah, menyitir Helder Camara, selain pendidikan dan pengasuhan mendengarkan suara hati, maka maaf dan pengampunan dari para korban juga merupakan unsur tak terduga yang dapat memutus spiral kekerasan dan pelbagai bentuk dehumanisasi.
Kita bisa melihat, bahwa memaafkan (baca: rekonsiliasi) adalah bertindak yang menurut seorang filsuf Yahudi, Hannah Arendt adalah “memulai sesuatu yang baru”, “lahir lagi”, yakni merelakan yang lewat. Di lain segi, dendam dalam diri para korban trauma adalah bagian dari ketidakmampuan untuk memulai sesuatu yang baru (Vita activa). Kekhilafan (tresspassing) menurut Arendt merupakan kejadian harian. Disinilah maaf dan rekonsiliasi selalu dibutuhkan agar dengan membebaskan manusia dari perbuatan ketidakberpikirannya, hidup bisa dilanjutkan. Semoga!!
0 komentar:
Posting Komentar