Ads 468x60px

JANDA - JAgo bercaNDA

 @Buku "XXX - Family Way" (RJK, Kanisius)

Tertawalah dan dunia akan tertawa bersamamu. 
Mendengkurlah dan kau akan tidur sendirian 
-- Laugh and the world laughs with you. Snore and you sleep alone.

Ada janda kembang, ada janda muda, ada juga sebuah judul buku tentang janda, bertajuk “Kebangkitan Kaum Janda, Akar Teologi-Spiritual Kaum Papa, yang ditulis oleh seorang cendekiawan muslim, Dr Ahmad Munir. Dipaparkannya, bahwa keberadaan kaum janda sering ternafikan dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang mengakibatkan mengapa seorang janda selalu dianggap jablai: lemah sapa, lemah cinta, termasuk lemah secara ekonomi karena harus mencari nafkah sendiri. Meski ini terbilang sangat relatif--karena banyak juga janda kaya. Selain itu, dalam sejarah peradaban bangsa Arab, kaum janda pernah menempati kedudukan strata sosial paling bawah. Mereka beranggapan bahwa janda merupakan status yang hina dan rendah serta lemah karena tidak mempunyai sosok pelindung, yakni laki-laki (suami).

Tapi pada kali ini, bagi saya, kata “janda” juga mempunyai arti lain, yakni: “jago bercanda.” Pada kesempatan inilah saya juga mengingat-kenang sebuah nama: Margono Setyawan. Itulah nama salah satu teman dekat saya di bangku Sekolah Dasar, yang cukup mengenal keluarga saya dan pernah juga bersama saya menjalani panggilan sebagai seminaris selama beberapa tahun. Wawan panggilannya. Wawan sendiri tampil sebagai pribadi yang humoris dan punya banyak koleksi lawakan segar. Wawan kerap saya sebut dengan julukan di atas, “janda: jago bercanda.” Disini, “janda” adalah bahasa universal, yang mengandaikan sekaligus membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Dalam bahasa Henri Bergson, “Bercanda dan tertawa itu sesuatu yang amat humanis dan hanya manusialah yang mampu bercanda dan tertawa.” Lewat humor yang kerap penuh gelak canda inilah, kita diajak menertawakan diri sendiri juga menertawakan hidup ini sekaligus mengakui bahwa tidak ada manusia yang sempurna: bisa salah, bisa mengganggu orang lain, bisa kurang pas dengan nalar, bisa tidak beres. Saya juga lekat-sepakat pada pernyataan sederhana Reinhold Niebuhr, seorang teolog Jerman, “humor adalah awal dari beriman, dan tertawa penuh canda adalah permulaan doa”.

Bicara lebih lanjut soal humor, saya mau mengangkat sebuah survei di Inggris. Survey ini menunjukkan bahwa setiap orang (baik pria maupun wanita) menginginkan rekan, sahabat terlebih pasangan yang mempunyai selera humor yang baik. Urutan berikutnya adalah kebersihan tubuh. Sedangkan wajah cantik/tampan serta intelektual berada di bawahnya. Survei yang dilakukan untuk perusahaan asuransi Prudential tersebut melibatkan 246 responden yang masih bujangan. 
Dari hasil survey, tercandra bahwa seorang wanita mendambakan seorang pria yang (berturut-turut mulai dari yang terpenting):

1. Memiliki sense of humor 
2. Kebersihan tubuh terjaga
3. Intelektualitas di atas rata-rata
4. Tampan/ ganteng
5. Jaminan materi
6. Karir
7. Kemampuan mengatur keuangan

Sedangkan seorang pria mendambakan seorang wanita yang (berturut-turut mulai dari prioritas tertinggi):

1. Kebersihan tubuh
2. Sense of humor
3. Intelektualitas
4. Kecantikan
5. Kemampuan mengkelola keuangan
6. Materi
7. Karir

Kepemilikan sense of humor menempati prioritas tertinggi baik untuk wanita maupun pria. Kalau kita sendiri bicara soal humor, kerap terlintas langsung segala hal yang lucu: dagelan Extravaganza, lawakan Srimulat, anekdot Tukul, Gogon, Tessy, Charlie Chaplin dan Mr. Bean. Humor seakan menjadi sekedar alat glamour untuk melepaskan diri dari “terror”, semacam obat dari rutinitas dan kebosanan akan hidup sehari-hari. Padahal, humor bukan sekedar soal lucu atau tidak lucu, bukan? 

Bagi saya sendiri, humor tidak harus diidentifikasikan dengan lawak, dagelan, dan plesetan. Humor itu lebih luas, soal cita rasa. Ibarat bumbu, humor membuat kehidupan menjadi selalu menarik untuk dijalani, bahkan pada saat-saat sulit-terjepit. Seorang Doris Donnelly (Doris Donnelly, “Divine Folly: Being Religious and the Exercise of Humor” dalam Theology Today, 1992, hlm. 385-399), mengatakan, paling tidak ada dua unsur humor, yaitu penerimaan terhadap hal-hal yang tidak nyambung dalam hidup ini (the incongruities of life) dan kemampuan untuk bercanda - tidak menganggap diri terlalu serius (the ability not to take ourselves too seriously).

Humor sendiri, jika ditelusuri dari akar katanya, berasal dari kata umor (bahasa Latin), yang berarti “cair atau mengalir”. Maka, humor adalah sesuatu yang cair, yang mengalir dalam diri kita dan mampu menyegarkan pandangan kita, memberi warna baru pada kebiasaan kita dan menjaga keseimbangan hidup kita. Ada pula orang yang mengatakan rasa humor sebagai kemampuan untuk menghargai dan memahami sekaligus menerima segala kejadian yang tak terpahami, mengherankan, tak nyambung dan tak sesuai harapan. Di sinilah humor diartikan sebagai penerimaan atas hal-hal yang tidak nyambung dalam hidup. Sikap macam ini membuat kita dapat menanggung beban hidup ini. Bukankah dalam hidup dan jatuh bangun relasi kita, banyak kejadian yang tak kita mengerti, tak kita harapkan, tak kita duga, dan tidak cocok dengan harapan kita? 

Lebih lanjut, bolehlah dikatakan, rasanya, belum ada telaah tentang peran humor secara lebih mendalam. Belum ada Filsafat humor. Tidak pernah disebut adanya Teologi humor atau bahkan Spiritualitas humor, meskipun humor jelas-jelas merupakan segi kehidupan nyata keseharian manusia. Perlukah juga psikologi humor? Saya yakin 100%, humor sangat diperlukan dalam perjalanan hidup ini. Jelas, kita kerap mengalami banyak hal yang sulit dipahami dan tidak nyambung, bukan? 

Sebuah ilustrasi yang cukup ironis seputar dunia yang kadang tidak kita mengerti: Alkisah di suatu negeri lewatlah seorang pertapa. Ia mengumumkan pada orang-orang di negeri itu bahwa dalam tempo sebulan negeri ini akan dilanda gempa, dan bahwa sehabis gempa semua air minum akan membuat orang menjadi gila. Tentu saja orang-orang menertawakan si pertapa gila itu, kecuali seseorang tua yang bijak. Ia mulai mengumpulkan air dan membawanya ke suatu tempat sampai penuh cukup untuk seumur hidupnya. Betul, selang sebulan negeri itu ditimpa gempa. Semua air minum menyebabkan orang yang meminumnya menjadi gila. Lalu semua penduduk negeri itu menjadi gila, kecuali si orang tua tadi yang bersembunyi jauh dengan air yang telah dikumpulkannya. Setelah lama sekali, orangtua itu pun merasa kesepian, lalu turun ke desa menemui kawan-kawannya. Tetapi apa yang terjadi? Semua orang menertawakannya. Ia pulang dengan kecewa dan karena tidak kuat kesepian ia kembali lagi ke desa dan memilih meminum air yang membuat orang menjadi gila, sehingga ia pun ikut menjadi gila, hingga ia bisa berteman lagi.

Di lain matra, kalau kita mengamati sebuah tradisi Gereja Katolik, yakni kekayaan teladan orang kudusnya. Ternyata, para santo-santa tersebut juga mempunyai rasa humor. Santo Philipus Neri misalnya, ketika melihat rencananya kandas, ia biasa berkata, “Terima kasih Tuhan, karena rencanaku tidak berjalan sesuai kehendakku, tetapi sesuai kehendak-Mu.” Beato John Kemble pada hari eksekusinya minta waktu sebentar, pertama untuk menyelesaikan doanya, dan berikutnya untuk merokok dengan pipanya. Yang nampak di sini adalah kontrol diri ketika berhadapan dengan kematian dan penderitaan yang berat. Hal serupa juga muncul dalam diri Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Dalam keadaan sakit TBC parah, ia masih suka bercanda: “Aduh, aku batuk terus, seperti kereta api yang tiba di stasiun. Tak apalah, aku memang sudah sampai di stasiun: surga. Perhatian-perhatian!”

Dari contoh nyata beberapa santo/a di atas, kita juga bisa melihat bahwa ciri orang yang humoris adalah mampu menerima segala sesuatu, termasuk yang mengejutkan dan tidak diharapkan dan tidak sesuai rencana. Ia tidak memaksakan rencana dan keinginannya pada realitas, tetapi menyambut realitas dengan hati lapang. Disinilah menjadi tepat apa yang dikatakan oleh Thomas Merton bahwa, inti humor adalah kebebasan. Bebas berarti berani menertawakan diri yang palsu, diri yang sombong dan angkuh, diri yang serba pasti, dan diri yang kerap egois. Bebas berarti mempercayakan segalanya pada Allah dan menyerahkan seluruh hidup kepada-Nya. Bukankah sebuah relasi dan keluarga akan lebih baik jika semua anggotanya juga mau belajar mempercayakan segalanya pada Allah dan menyerahkan seluruh hidup kepada-Nya? Sekali lagi, lewat humor. Ingatlah pesan populer pada pelbagai sekuel film “si janda: jago bercanda” alias Warkop DKI era 1980an, “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” Ha ha ha.......ha ha ha ha........ha ha ha ha ha........

Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, 
dan lidah kita dengan sorak-sorai. 
Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: 
"TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!"
Mazmur 126:2

0 komentar:

Posting Komentar