("Bulan Bintang
Matahari", Kanisius)
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang
yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
-Yohanes 15:13-
Homo Homini “SOCIUS” - Manusia adalah sahabat bagi sesamanya”. Itulah arti
pepatah Latin, yang saya ambil sebagai sebuah antitesis awal dari premis
politis seorang filsuf besar bernama Hobbes: “Homo homini lupus - manusia
adalah serigala bagi sesamanya.”“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang
yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
-Yohanes 15:13-
Bicara soal sahabat, secara psikis, saya langsung teringat-kenang masa kecil imut-imut saya. Dulu, saya mendapatkan sebuah hadiah dari ibu saya, yakni sebuah buku berjudul, “Sahabat-Sahabat Yesus”. Yesus dekat, akrab dan terkesan bersahabat dengan setiap orang beriman yang mau mengikutiNya, itulah isi pokok buku kecil tersebut. Sebuah acuan biblis, Yesus juga pernah bersabda dalam injil Yohanes 15:14-15: “Kamu sahabat-sahabat-Ku, jika kamu melakukan apa yang Aku perintahkan. Aku tidak lagi memanggil kamu hamba, karena hamba tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh tuannya. Aku memanggil kamu sahabat-sahabat-Ku, karena Aku sudah memberitahu kamu segala yang telah Aku dengar daripada Bapa-Ku.”
Saya mengangkat sebuah contoh lain persahabatan dalam kisah perwayangan: Pandawa Lima mempunyai sahabat yang disebut Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong). Punakawan yang berarti kawan yang mengiringi, hanya ada dalam kisah wayang ketika telah mengalami gubahan di tanah Jawa. Kisah kehidupan Punakawan begitu lama, dari sejak jaman Purwacarita sampai dengan jaman setelah kejayaan Parikesit.
Disinilah, kita bisa mencandra dengan lugas-jelas, bahwa kasih dan persahabatan adalah dua hal yang tak terpisahkan, bukan? Dalam Alkitab, persahabatan bahkan merupakan tingkat hubungan yang berharga: Abraham disebut sebagai "Sahabat Allah" (Yakobus 2:23b), Daud disebut sebagai “seorang yang berkenan di hati Allah” (1 Samuel 13:14),
Dalam kacamata biblis dan historiografi Gereja, terdapat juga banyak hubungan persahabatan bukan? Bunda Teresa dengan Bruder Roger. Daud dengan Yonathan. Ignatius Loyola dengan Xaverius. Fransiskus dengan Clara. Don Bosco dengan Dominikus Savio. Paulus dengan Barnabas. Bartolomeus dengan Yohanes. Yesus dengan Zakeus, Nikodemus, Bartimeus dan
Disinilah, ketika Yesus letih mengajar, kabarnya ia kadang mampir makan di rumah tiga sahabatnya: Lazarus, Maria dan Martha. Ketika Rama berjuang melepaskan Sinta dari cengkeraman Rahwana, ia dibantu oleh sahabatnya, Hanoman cs. Ketika kita sedih dan kebingungan, para malaikat pelindung datang sebagai sahabat yang setia menemani. Tapi, disinilah pertanyaan kritisnya: ketika, para “korban” butuh tempat berbagi pergulatan, apakah Gereja-kah sahabatnya?
Dalam intentio-pura inilah, sejak tahun 2008, saya bersama beberapa mantan narapidana membentuk sebuah rumah singgah, bernama “SOCIUS”. Socius dalam bahasa Latin berarti “sahabat”, mungkin dari sini juga berasal pemahaman dasar bahwa manusia adalah makluk sosial (Latin: bersifat bersahabat). Menyitir kata Alvin Toffler, perubahan tidak hanya berguna bagi hidup. Perubahan adalah hidup itu sendiri, maka para anggota SOCIUS ini juga ingin berubah, berbenah dan pastinya berguna sebagai manusia baru. Mereka sendiri berasal dari pelbagai penjara: Nusakambangan, Tangerang, Salemba, Cipinang dan
Disinilah, saya mengingat sebuah permenungan sederhana: Hidup ini permainan dengan empat pilihan main: anda menjadi orang yang bukan main, orang yang tahu aturan main, orang yang main-main, atau menjadi orang yang tidak tahu main alias menjadi korban permainan. Sebetulnya, kebanyakan dari para mantan napi ini adalah para korban permainan itu. Dalam bahasa seorang pemikir teoogi pembebasan, Ignatio Ellacuría, mereka adalah “rakyat yang tersalib - El pueblo crucificado”. Maka bagi saya sendiri, Gereja dipanggil menjadi sahabat bagi para korban, karena bukankah kita bisa semakin menemukan wajah Tuhan lewat persahabatan dengan mereka?
Maka, sebuah tema pokok yang mau saya angkat, adalah tiga penyekat daalm mengartikan sebuah kata sederhana penuh makna bernama “sahabat”. Bagi saya pribadi, kata “sahabat” ini imempunyai tiga penyekat, yakni: satu dalam suka, hadir dalam duka, serta berjabat dalam doa.
Sekat Pertama: Satu dalam Suka
Yesus hadir dalam sebuah peristiwa sukacita. Ia menjadi “satu”, terlibat dengan sukacita orang lain di sekitarnya (Yoh 2:1-11): Ia datang dalam sebuah pesta pernikahan di Kana yang di Galilea. Ia juga membuat mukjijat yang pertama kalinya dalam pesta pernikahan ini.
Sebuah niat membangun rumah singgah untuk para mantan napi, yang bersemangatkan nothing to loose ini terbentuk ketika pada awalnya di tahun 2007, saya mengunjungi pelbagai penjara, dan kadang ditemani oleh seorang awam dari paroki Tangerang bernama Bapak Wagiman. Pak Wagiman ini kerap mudah tersenyum dan tidak putus memberi harapan bagi para narapidana, entah di penjara remaja, dewasa, anak-anak, juga penjara wanita. Oleh sebab itulah, bagi saya sendiri, Wagiman bisa berarti: “Wajah Giat Beriman.” Selama dua tahun terakhir ini, para anggota rumah singgah SOCIUS, yang kebanyakan adalah muslim juga berusaha giat beriman. Mereka mencukupi kebutuhan hariannya dengan membuat pelbagai benda rohani: dari patung Hati Kudus Yesus,
Sekat Kedua: Hadir dalam duka
Lazarus (Eleazar: Tuhan telah menolong), dikenal di dalam Kitab Suci sebagai saudara Marta dan Maria. Bersama kedua saudaranya, Lazarus tinggal di Betania, sebuah desa kecil yang terletak di tebing Timur bukit Zaitun. Yesus bersahabat baik dengannya. Ketika Lazarus jatuh sakit dan akhirnya meninggal, Marta dan Maria mengirim kabar dukacita kepada Yesus untuk datang melihatnya. Dari persahabatan itu, kita menyaksikan terjadinya suatu peristiwa mukjizatNya yang terakhir: Yesus mau hadir dalam duka, Ia membangkitkan Lazarus dari kematian (Yoh 11:1-44) dan enam hari kemudian, bahkan Yesus menjadikannya sebagai teman makan semeja (Yoh 12:1-11). Tepatlah kata Amsal 17:17 yang mengatakan, "seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran". Setiap rabu kedua, saya kerap merayakan misa kudus dan kadang disertai pelayanan sakramen tobat di Rutan Salemba, disanalah saya bertemu dengan seorang Katolik bernama, Sinaga. Sinaga ini seorang muda yang hadir dan rajin memberikan dukungan dan sapaan bagi para narapidana. Satu ayat yang menjadi refleksinya, “Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku (Mat 25:36)..., sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Disinilah, bagi saya nama Sinaga bisa berarti, “siap naik ke surga.”
Dalam rumah singgah SOCIUS, yang terdiri dari belasan mantan napi, ada sebuah kisah nyata ketika seorang anggotanya, mantan napi dari Penjara Tangerang, yang anak bayinya sakit keras dan bingung mencari bantuan, ternyata setiap anggota SOCIUS rela memberikan hasil penjualan benda-benda rohani tersebut untuk membeli obat buat si bayi tersebut. Perlu juga diketahui, ternyata di balik keterbatasan mereka, malahan ada seorang mantan napi yang rela menjadi ayah angkat dari seorang anak tak berayah. Di balik pengalaman “malam gelap”, mereka berjuang untuk hadir dalam duka serta berbagi dari apa yang mereka punya. Iya, dengan hal-hal baik inilah, mereka juga belajar “siap naik ke surga”, sepakat dengan Abraham Lincoln, “dan pada akhirnya...bukanlah tahun-tahun dalam kehidupan anda yang penting, tetapi kehidupan dalam tahun-tahun anda.”
Sekat ketiga: Berjabat dalam Doa
Santo Thomas Aquinas, seorang imam Dominikan yang menjadi Pujangga Gereja dan penulis “Summa Theologia”, mengatakan, persahabatan berarti menghayati hidup bersama (living together), walau tidak melulu berarti satu atap. Dalam bahasanya Verbist, “cor unum et anima una - tetap sehati sejiwa, walaupun berbeda tempat. Disinilah, kita perlu mengingat bahwa Yesus saja berdoa kepada BapaNya di taman Getsemani juga di Gunung Kalvari. Bagaimana dengan kita? Koordinator SOCIUS pada dua tahun terakhir ini, bernama Bambang. Setiap hari dia mengendarai motor bebeknya menjelajah dari Bekasi sampai Tangerang, mencari relasi juga menjual pelbagai benda rohani yang mereka buat di rumah singgah, seperti kata Jalaludin Rumi: Aku ingin bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang mendengar dan apa yang mereka pikirkan. Tak pernah lelah, Bambang kerap berkata, “Gusti ora sare.” Disinilah, bagi saya Bambang bisa berarti, ”Bersama Allah makin berkembang.” Dia kerap mensharingkan pelbagai keheranannya bahwa rumah singgah ini masih bisa terus bertahan sampai sekarang.
Akhirnya, kita bisa belajar apa? Salah satu sekat tujuan hidup beriman adalah melakoni hidup dengan tujuan, maka selain belajar “meng-horisontal-kan” kerajaaan Allah, saya sendiri semakin meyakin-sadari bahwa menjadi pastor itu bukan hanya mesti berdaya-guna tapi juga berdaya-makna. Dan, lewat persahabatan dengan para mantan napi inilah, saya diajak memaknai bahwa mereka bukan lagi “lupus”, tapi “socius”: satu dalam suka, hadir dalam duka, berjabat dalam doa. “Humans change the world by acting on it”.
0 komentar:
Posting Komentar