Sebuah Permenungan Untuk Perayaan Natal 2013 MPR DPR RI
Kai ho logos sarx egeneto.
Kai eskennoosen en hemin.
Firman itu telah menjadi daging
dan berkemah di antara kita
(Yoh 1:14)
Ketika kita meninggal, kerap ada tulisan “RIP” – “Rest in Peace” (Beristirahatlah dalam Damai), tapi kini ketika kita sampai pada momentum permenungan Natal, “RIP” juga bisa berarti “Race In Peace” (Berpacu dalam Damai). Ya, pada mulanya adalah nada dasar “D” yakni Damai, entah sedang “beristirahat”, entah sedang “berpacu”. Konsep damai sendiri membawa konotasi positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian, bahkan perdamaian kerap identik dengan harapan, ingatan dan pesan bijak bestari Natal (Bdk: Pesan Natal 2013: “Datanglah Ya Raja Damai”).
Damai sendiri memiliki aneka-ria arti. Sebuah definisi yang sederhana dari damai adalah “ketiadaan perang” (Absentia Belli, ketiadaan perang). Dengan definisi seperti ini, kita dapat menganggap Congo, Sudan, dan mungkin Korea Utara dalam keadaan damai karena mereka tidak sedang berperang dengan musuh dari luar. Kenetralan yang kuat juga telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama.
Di lain segi, membatasi konsep perdamaian hanya pada ketiadaan perang internasional bisa menutupi genocide, terorisme, dan aneka kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Oleh karena itu, ada definisi 'damai' yang lain yakni sebagai “ketiadaan kekerasan”, tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan (evil, Absentia Mallo). Dari sudut pandang ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King, Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat di mana suatu kelompok ditekan oleh kelompok lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian.
Sebuah arti damai yang lebih menyeluruh tampak di wilayah Danau Besar Afrika: Disana, kata damai adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara manusia dan dunia alam lainnya: “kosmos” dan bukan “khaos”, “harmonis dan tidak mudah bersikap sinis”, “tulus dan tak penuh akal bulus.” Pandangan kedamaian ini lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang", “ketiadaan setan” atau bahkan "kehadiran keadilan".
Mengacu pada bingkai biblis, dalam bahasa Ibrani, kata “damai” kadang diterjemahkan sebagai “syalom”. Sebenarnya, kata ini mempunyai makna yang sangat luas, tidak sekadar atau hubungan yang harmonis antara kita dengan orang lain, tetapi juga ‘keutuhan’, ‘kesejahteraan’, ‘kesehatan’, ‘kesembuhan’, bahkan ‘pembebasan’ dan ‘keselamatan’. Karena itu kata “shalom” dalam bahasa Yunani kerap diterjemahkan dengan tiga matra, yaitu “eirene” (“kedamaian”), “hugianinein” (“kesehatan”) dan “soteria” (“keselamatan”).
Bagi saya sendiri, setiap kali saya mendengar kata “damai”, kerap yang terlintas-pintas adalah sebuah kota bernama Yerusalem (Ibrani: “Kota Damai”) yang kerap disebut sebagai pintu gerbang menuju surga: “Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami ada di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.” (Mzm 122). Di dalam peta, Yerusalem bahkan dianggap sebagai kota yang paling terkenal di dunia. Karen Amstrong pernah menyebut Yerusalem sebagai “kota tiga agama satu Tuhan” karena disanalah hidup dan berkembang tiga agama monoteis besar yang sebenarnya juga merupakan satu keluarga besar umat Allah: Ada Islam dengan Masjid Al-Aqsa, ada Yahudi dengan Tembok Ratapan, dan ada juga agama Kristiani dengan Taman Getsemani dan Gereja Makam Suci di Kalvari. Di kota Yerusalem inilah, jelas terdapat banyak warisan sejarah, semacam historiografi agama-agama monoteis. Sebagai contoh, di Yerusalem, terdapat Bukit Moria, tempat Abraham, Bapa Orang Beriman mengorbankan Ishak anaknya. Raja Daud pernah juga menetapkan Yerusalem sebagai ibukota kerajaan Israel. Raja Salomo, juga pernah membangun Bait Suci, kediaman Allah di kota ini. Bagi banyak orang Islam, Yerusalem diyakini sebagai tempat naiknya Muhammad ke surga, tempat inspirasi bagi banyak nabi – seniman - penyair dan ilmuwan. Bagi umat Kristiani sendiri, Yesus banyak mengajar, disengsarakan, wafat di salib dan bangkit di kota Yerusalem ini.
Nah, secara sederhana, Natal adalah “a channel of peace”, saluran penuh kedamaian. Natal adalah sebuah “khalwat: semacam ruang kedamaian pertama untuk masuk ke “Yerusalem” kita masing-masing, karena bukankah jalan pertama menuju “Yerusalem” adalah “Betlehem”? Sederhananya, lewat Natal, kita diajak untuk menuju “Yerusalem” dengan berjuang menjadi "Betlehem”, "Rumah Roti" yang siap dipecah dan dibagi bagi demi kedamaian di tengah tantangan ketidakdamaian di sekitar kita. Adapun beberapa tantangan ketidakdamaian, antara lain:
Pertama: tantangan kemajemukan kultural, entah hal ini disadari, diyakini atau diingkari. Kemajemukan itu mempunyai makna penting, yaitu untuk mengajak kita bersaudara (“se-udara”), membangun kerjasama. Bukankah karena kita tidak sama, maka mungkin sekali bekerjasama demi kepentingan dan kesejahteraan bersama?
Kedua: tantangan komunikasi global. Dunia kita menjadi dunia hiruk pikuk yang amat sempit. Apa yang terjadi di bumi ini, mudah sekali dikenali dan mau tidak mau ikut menantang sikap dan kualitas keberimanan kita. Bagaimanakah dalam dunia global itu kita tidak menjadi “gagap” tapi “tanggap”, tidak “kuper” tapi “supel” sekaligus tidak kehilangan jatidiri kita sebagai orang Katolik?
Ketiga: tantangan kemiskinan sosial. Kita diajak untuk menyadari kemiskinan bersama, bukan hanya dalam hal materi. Kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskinan moral dan spiritual, kemiskinan perilaku dan budaya. Bagaimanakah kejujuran dan ketulusan hati akhirnya ikut melibatkan kita semua dalam keterlibatan nyata terhadap mereka yang “miskin”?
Mencandra misteri dan intisari Natal, terdapatlah “Pancasila Iman” untuk mengatasi tantangan dan semakin ber-“race in peace”, berpacu dalam kedamaian, yakni:
1.Sukacita:
Ada sebuah lagu Natal yang kerap kita nyanyikan: “Hai dunia gembiralah.” Natal mengajak kita bersukacita karena pada hari itu dirayakan kelahiran seorang bayi. Sosok bayi selalu mendatangkan sukacita (gaudium), apalagi bayi yang delapan hari kemudian diberi nama Yesus ini, “menjadikan segala-galanya baik” (Markus 7:37). Tatapan mata bening dan tangan lembutnya menyapa siapa saja yang memandangnya dengan sukacita. Jelasnya, rahasia Natal terjadi di dalam kita, kalau "rupa Kristus menjadi nyata" (Gal 4:19) di dalam kita karena Natal adalah misteri sukacita, "pertukaran yang mengagumkan": "O pertukaran yang mengagumkan! Pencipta sudi menjadi manusia dan lahir dari perawan. Tidak diperanakkan oleh seorang laki-laki, Ia datang ke dunia dan menganugerahkan kepada kita kehidupan ilahi" (Antifon Ibadat Sore 1 Januari).
2.Sederhana:
Menurut kisah klasik Natal, Yesus terbaring diantara orang sederhana di sebuah kandang Betlehem yang hina. Kita bisa melihat Yesus kecil dengan tangan lemah terulur dan terbuka lebar. Ia memohon bantuan orang lain: “Aku membutuhkan engkau”. Sebetulnya, kalau manusia membutuhkan Allah, itu hal biasa. Tapi, di Natal ini tampaklah bahwa Allah membutuhkan manusia. Ia menanggalkan segala kemuliaannya dan berkenan datang dalam sosok yang kecil-lemah dan dalam kandang yang sederhana. Ia menjadi teman dalam kelemahan. Ia datang ke dunia secara sederhana: dalam sebuah kandang dan keluarga yang bersahaja bersama dengan para gembala yang sederhana. Dalam kesederhanaan ini, bersinarlah kemuliaan surga: “Perawan melahirkan hari ini Yang Abadi dan bumi menyediakan gua untuk yang tidak dapat dihampiri, para malaikat dan gembala memuji Dia dan para majus mendekat dengan bintang, karena Engkau dilahirkan tuk kami,
Engkau Anak mungil, Engkau Allah abadi!” (Kontakion oleh Romanos).
3.Setia:
Menurut Injil Lukas, Maria mengetahui dari malaikat bahwa dia telah mengandung dari Roh Kudus tanpa persetubuhan. Setelah itu dengan setia, Maria ditemani Yusuf meninggalkan rumah di Nazaret untuk berjalan ke rumah leluhur Yusuf di Betlehem, untuk setia mendaftar dalam sensus yang diperintahkan oleh Kaisar Romawi, Agustus. Yusuf juga setia, walaupun dia tidak tahu siapa dan apa rencana Tuhan bagi keluarganya, dia tetap setia menemani Maria sampai akhir hidupnya. Dalam sebuah kandang, Tuhan menyatukan kesetiaan para gembala sederhana dengan tiga raja yang mulia. Ia menyatukan kesetiaan para malaikat kudus dengan Maria dan Yosef yang tulus.
4.Sabar:
Ada tiga Majus, kerap di-identifikasi sebagai Kaspar, Melkior dan Baltasar yang terus mencari Yesus. Dalam suatu karya tulis berjudul “Excerpta et Collectanea”: “Para majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama bernama Melkior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang, yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Kaspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya kemerah-merahan, menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi seorang imam yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Baltasar… dengan persembahan mur-nya memberikan kesaksian bahwa Ia akan wafat sebagai nabi.” Jelasnya, mereka bertiga dengan sabar terus mengikuti bintang untuk mencari dan menjumpai Tuhan di Betlehem.
5.Saling Memberi:
Tiga raja memberikan emas, kemenyan, dan mur kepada bayi Yesus. Malaikat memberikan kabar sukacita kepada dunia: "Damai sejahtera di bumi, diantara manusia yang berkenan kepadanya " (Lukas 2:14). Para gembala memberikan kesiap-sediaannya untuk bergegas pergi ke kandang Yesus. Para Nabi, dari Yesaya sampai Yohanes Pembaptis memberikan kesaksian dan nubuatnya tentang kedatangan Tuhan: “bertobatlah-siapkan jalan bagi Tuhan!” Yosef memberikan perasaannya karena tunangannya hamil terlebih dahulu sebelum dinikahi. Maria memberikan rahimnya buat Yesus. Dan terakhir serta tak terlupakan: Allah sendiri memberikan Putera Tunggalnya kepada kita semua.
Akhirnya, bersama momentum Natal dan Tahun Baru, marilah kita terus ber-“race in peace”, berpacu dalam damai, mempersembahkan tidak hanya kemenyan, emas dan mur, tidak hanya nubuat - maklumat atau nasehat, melainkan juga persembahan-persembahan rohani, yang lebih luhur daripada yang dapat dilihat dengan mata. Pastinya, bukankah setiap kali kita meng-ejawantahkan “pancasila Natal” ini dalam “KUD”, karya ucapan dan doa, kita bisa melahirkan Natal kembali setiap hari dalam hati kita, bukan? “Pacem in terris – Pacem in cordis. Damai di bumi – Damai di hati!”
@Romo Jost Kokoh Prihatanto. (Artikel “RIP” ini adalah bahan kotbah refleksi akhir tahun menyambut Natal 2013, untuk para anggota MPR/DPR RI, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta Selatan)
Kai ho logos sarx egeneto.
Kai eskennoosen en hemin.
Firman itu telah menjadi daging
dan berkemah di antara kita
(Yoh 1:14)
Ketika kita meninggal, kerap ada tulisan “RIP” – “Rest in Peace” (Beristirahatlah dalam Damai), tapi kini ketika kita sampai pada momentum permenungan Natal, “RIP” juga bisa berarti “Race In Peace” (Berpacu dalam Damai). Ya, pada mulanya adalah nada dasar “D” yakni Damai, entah sedang “beristirahat”, entah sedang “berpacu”. Konsep damai sendiri membawa konotasi positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian, bahkan perdamaian kerap identik dengan harapan, ingatan dan pesan bijak bestari Natal (Bdk: Pesan Natal 2013: “Datanglah Ya Raja Damai”).
Damai sendiri memiliki aneka-ria arti. Sebuah definisi yang sederhana dari damai adalah “ketiadaan perang” (Absentia Belli, ketiadaan perang). Dengan definisi seperti ini, kita dapat menganggap Congo, Sudan, dan mungkin Korea Utara dalam keadaan damai karena mereka tidak sedang berperang dengan musuh dari luar. Kenetralan yang kuat juga telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama.
Di lain segi, membatasi konsep perdamaian hanya pada ketiadaan perang internasional bisa menutupi genocide, terorisme, dan aneka kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Oleh karena itu, ada definisi 'damai' yang lain yakni sebagai “ketiadaan kekerasan”, tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan (evil, Absentia Mallo). Dari sudut pandang ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King, Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat di mana suatu kelompok ditekan oleh kelompok lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian.
Sebuah arti damai yang lebih menyeluruh tampak di wilayah Danau Besar Afrika: Disana, kata damai adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara manusia dan dunia alam lainnya: “kosmos” dan bukan “khaos”, “harmonis dan tidak mudah bersikap sinis”, “tulus dan tak penuh akal bulus.” Pandangan kedamaian ini lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang", “ketiadaan setan” atau bahkan "kehadiran keadilan".
Mengacu pada bingkai biblis, dalam bahasa Ibrani, kata “damai” kadang diterjemahkan sebagai “syalom”. Sebenarnya, kata ini mempunyai makna yang sangat luas, tidak sekadar atau hubungan yang harmonis antara kita dengan orang lain, tetapi juga ‘keutuhan’, ‘kesejahteraan’, ‘kesehatan’, ‘kesembuhan’, bahkan ‘pembebasan’ dan ‘keselamatan’. Karena itu kata “shalom” dalam bahasa Yunani kerap diterjemahkan dengan tiga matra, yaitu “eirene” (“kedamaian”), “hugianinein” (“kesehatan”) dan “soteria” (“keselamatan”).
Bagi saya sendiri, setiap kali saya mendengar kata “damai”, kerap yang terlintas-pintas adalah sebuah kota bernama Yerusalem (Ibrani: “Kota Damai”) yang kerap disebut sebagai pintu gerbang menuju surga: “Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami ada di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.” (Mzm 122). Di dalam peta, Yerusalem bahkan dianggap sebagai kota yang paling terkenal di dunia. Karen Amstrong pernah menyebut Yerusalem sebagai “kota tiga agama satu Tuhan” karena disanalah hidup dan berkembang tiga agama monoteis besar yang sebenarnya juga merupakan satu keluarga besar umat Allah: Ada Islam dengan Masjid Al-Aqsa, ada Yahudi dengan Tembok Ratapan, dan ada juga agama Kristiani dengan Taman Getsemani dan Gereja Makam Suci di Kalvari. Di kota Yerusalem inilah, jelas terdapat banyak warisan sejarah, semacam historiografi agama-agama monoteis. Sebagai contoh, di Yerusalem, terdapat Bukit Moria, tempat Abraham, Bapa Orang Beriman mengorbankan Ishak anaknya. Raja Daud pernah juga menetapkan Yerusalem sebagai ibukota kerajaan Israel. Raja Salomo, juga pernah membangun Bait Suci, kediaman Allah di kota ini. Bagi banyak orang Islam, Yerusalem diyakini sebagai tempat naiknya Muhammad ke surga, tempat inspirasi bagi banyak nabi – seniman - penyair dan ilmuwan. Bagi umat Kristiani sendiri, Yesus banyak mengajar, disengsarakan, wafat di salib dan bangkit di kota Yerusalem ini.
Nah, secara sederhana, Natal adalah “a channel of peace”, saluran penuh kedamaian. Natal adalah sebuah “khalwat: semacam ruang kedamaian pertama untuk masuk ke “Yerusalem” kita masing-masing, karena bukankah jalan pertama menuju “Yerusalem” adalah “Betlehem”? Sederhananya, lewat Natal, kita diajak untuk menuju “Yerusalem” dengan berjuang menjadi "Betlehem”, "Rumah Roti" yang siap dipecah dan dibagi bagi demi kedamaian di tengah tantangan ketidakdamaian di sekitar kita. Adapun beberapa tantangan ketidakdamaian, antara lain:
Pertama: tantangan kemajemukan kultural, entah hal ini disadari, diyakini atau diingkari. Kemajemukan itu mempunyai makna penting, yaitu untuk mengajak kita bersaudara (“se-udara”), membangun kerjasama. Bukankah karena kita tidak sama, maka mungkin sekali bekerjasama demi kepentingan dan kesejahteraan bersama?
Kedua: tantangan komunikasi global. Dunia kita menjadi dunia hiruk pikuk yang amat sempit. Apa yang terjadi di bumi ini, mudah sekali dikenali dan mau tidak mau ikut menantang sikap dan kualitas keberimanan kita. Bagaimanakah dalam dunia global itu kita tidak menjadi “gagap” tapi “tanggap”, tidak “kuper” tapi “supel” sekaligus tidak kehilangan jatidiri kita sebagai orang Katolik?
Ketiga: tantangan kemiskinan sosial. Kita diajak untuk menyadari kemiskinan bersama, bukan hanya dalam hal materi. Kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskinan moral dan spiritual, kemiskinan perilaku dan budaya. Bagaimanakah kejujuran dan ketulusan hati akhirnya ikut melibatkan kita semua dalam keterlibatan nyata terhadap mereka yang “miskin”?
Mencandra misteri dan intisari Natal, terdapatlah “Pancasila Iman” untuk mengatasi tantangan dan semakin ber-“race in peace”, berpacu dalam kedamaian, yakni:
1.Sukacita:
Ada sebuah lagu Natal yang kerap kita nyanyikan: “Hai dunia gembiralah.” Natal mengajak kita bersukacita karena pada hari itu dirayakan kelahiran seorang bayi. Sosok bayi selalu mendatangkan sukacita (gaudium), apalagi bayi yang delapan hari kemudian diberi nama Yesus ini, “menjadikan segala-galanya baik” (Markus 7:37). Tatapan mata bening dan tangan lembutnya menyapa siapa saja yang memandangnya dengan sukacita. Jelasnya, rahasia Natal terjadi di dalam kita, kalau "rupa Kristus menjadi nyata" (Gal 4:19) di dalam kita karena Natal adalah misteri sukacita, "pertukaran yang mengagumkan": "O pertukaran yang mengagumkan! Pencipta sudi menjadi manusia dan lahir dari perawan. Tidak diperanakkan oleh seorang laki-laki, Ia datang ke dunia dan menganugerahkan kepada kita kehidupan ilahi" (Antifon Ibadat Sore 1 Januari).
2.Sederhana:
Menurut kisah klasik Natal, Yesus terbaring diantara orang sederhana di sebuah kandang Betlehem yang hina. Kita bisa melihat Yesus kecil dengan tangan lemah terulur dan terbuka lebar. Ia memohon bantuan orang lain: “Aku membutuhkan engkau”. Sebetulnya, kalau manusia membutuhkan Allah, itu hal biasa. Tapi, di Natal ini tampaklah bahwa Allah membutuhkan manusia. Ia menanggalkan segala kemuliaannya dan berkenan datang dalam sosok yang kecil-lemah dan dalam kandang yang sederhana. Ia menjadi teman dalam kelemahan. Ia datang ke dunia secara sederhana: dalam sebuah kandang dan keluarga yang bersahaja bersama dengan para gembala yang sederhana. Dalam kesederhanaan ini, bersinarlah kemuliaan surga: “Perawan melahirkan hari ini Yang Abadi dan bumi menyediakan gua untuk yang tidak dapat dihampiri, para malaikat dan gembala memuji Dia dan para majus mendekat dengan bintang, karena Engkau dilahirkan tuk kami,
Engkau Anak mungil, Engkau Allah abadi!” (Kontakion oleh Romanos).
3.Setia:
Menurut Injil Lukas, Maria mengetahui dari malaikat bahwa dia telah mengandung dari Roh Kudus tanpa persetubuhan. Setelah itu dengan setia, Maria ditemani Yusuf meninggalkan rumah di Nazaret untuk berjalan ke rumah leluhur Yusuf di Betlehem, untuk setia mendaftar dalam sensus yang diperintahkan oleh Kaisar Romawi, Agustus. Yusuf juga setia, walaupun dia tidak tahu siapa dan apa rencana Tuhan bagi keluarganya, dia tetap setia menemani Maria sampai akhir hidupnya. Dalam sebuah kandang, Tuhan menyatukan kesetiaan para gembala sederhana dengan tiga raja yang mulia. Ia menyatukan kesetiaan para malaikat kudus dengan Maria dan Yosef yang tulus.
4.Sabar:
Ada tiga Majus, kerap di-identifikasi sebagai Kaspar, Melkior dan Baltasar yang terus mencari Yesus. Dalam suatu karya tulis berjudul “Excerpta et Collectanea”: “Para majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama bernama Melkior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang, yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Kaspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya kemerah-merahan, menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi seorang imam yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Baltasar… dengan persembahan mur-nya memberikan kesaksian bahwa Ia akan wafat sebagai nabi.” Jelasnya, mereka bertiga dengan sabar terus mengikuti bintang untuk mencari dan menjumpai Tuhan di Betlehem.
5.Saling Memberi:
Tiga raja memberikan emas, kemenyan, dan mur kepada bayi Yesus. Malaikat memberikan kabar sukacita kepada dunia: "Damai sejahtera di bumi, diantara manusia yang berkenan kepadanya " (Lukas 2:14). Para gembala memberikan kesiap-sediaannya untuk bergegas pergi ke kandang Yesus. Para Nabi, dari Yesaya sampai Yohanes Pembaptis memberikan kesaksian dan nubuatnya tentang kedatangan Tuhan: “bertobatlah-siapkan jalan bagi Tuhan!” Yosef memberikan perasaannya karena tunangannya hamil terlebih dahulu sebelum dinikahi. Maria memberikan rahimnya buat Yesus. Dan terakhir serta tak terlupakan: Allah sendiri memberikan Putera Tunggalnya kepada kita semua.
Akhirnya, bersama momentum Natal dan Tahun Baru, marilah kita terus ber-“race in peace”, berpacu dalam damai, mempersembahkan tidak hanya kemenyan, emas dan mur, tidak hanya nubuat - maklumat atau nasehat, melainkan juga persembahan-persembahan rohani, yang lebih luhur daripada yang dapat dilihat dengan mata. Pastinya, bukankah setiap kali kita meng-ejawantahkan “pancasila Natal” ini dalam “KUD”, karya ucapan dan doa, kita bisa melahirkan Natal kembali setiap hari dalam hati kita, bukan? “Pacem in terris – Pacem in cordis. Damai di bumi – Damai di hati!”
@Romo Jost Kokoh Prihatanto. (Artikel “RIP” ini adalah bahan kotbah refleksi akhir tahun menyambut Natal 2013, untuk para anggota MPR/DPR RI, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta Selatan)
0 komentar:
Posting Komentar