Selibat: Pilihan dan Konsekwensinya
Selayang Pandang
A. Tahapan Dalam Kehidupan Selibat [1]
Dalam tulisannya Bernard R. Bornot membagi tahapan hidup selibat dalam 4 tahap berdasarkan pemikiran Erik Erikson. Erik Erikson membedakan tahapan hidup dalam suatu dilemma khusus untuk diatasi dan ditata. Setiap penanganan memiliki hasil yang berbeda, bisa positif atau negative. Pendekatan Erikson menampilkan bahwa tiap tahap hidup selibat diasosiasikan dengan sebuah dilemma yang khas dan menuntut kekuatan khusus untuk mengatasinya serta menumbuhkan keutamaan khusus pula.
1. Adolescent Celibacy (masa puber hingga masuk umur 20-an)
Tantangan pada tahap ini yaitu: mengembangkan sebuah visi hidup dalam model selibat sebagai hidup yang bernilai, dan bernegosiasi terhadap dorongan fisik seksualitas remaja untuk mengisinkan seseorang untuk berkomitmen pada hidup selibat (sebuah tugas yang sukar dalam budaya sekarang yang menekankan kesenangan diri dan hiperseksual). Tahap ini berelasi dengan tahap Identitas dari Erikson.
Dalam masa remaja, isu utama adalah bagaimana seseorang menangani dorongan fisik, kerinduan emosional, fantasi imajinatif dan hasrat psikologis yang terdalam. Kita berada dalam dunia yang menawarkan sex bebas tetapi sekaligus dunia dimana sex perlu dikontrol. Tahap pertama dari kehidupan selibat menuntut penanganan dilema seksualitas dengan tidak mengikuti dorongan seksual apapun. Orang yang tidak bernegosiasi dengan tantangan keremajaan ini harus akan bernegosiasi ulang seluruh perspektif dikemudian hari, seperti Agustinus, jika mereka mau menerima kemungkinan hidup selibat dan memutuskan untuk hidup di dalamnya.
Kekuatan yang dihasilkan dari penanganan yang sukses adalah hidup selibat dalam arti fisik. Keberhasilannya adalah sebuah kemampuan untuk menjadi sungguh manusia tanpa mesti aktif secara seksual dan tanpa merasa terganggu dan frustrasi.
2. Generative Celibacy (umur 20-an hingga awal 30-an)
Tantangan utamanya adalah kebutuhan akan pasangan dan anak (banyak orang mendefinisikan hidup mereka dalam arti ini). Tahap ini beda dengan tahap kehidupan psikososial dari Erikson. Erikson mengusulkan intimasi sebagai tantangan setelah identitas. Tapi dalam hidup selibat lebih menyangkut keturunan (generativity). Tahun-tahun dalam hidup selibat saat ini lebih berhubungan dengan kebutuhan akan keturunan (generativity).
Tahap kedua dalam hidup selibat menyangkut kebutuhan akan munculnya kerindu an untuk menjadi Bapa atau Ibu. Penanganan yang berhasil dari tahap pertama memampukan orang untuk komitment pada hidup selibat dengan hidup tanpa aktif seksual dalam arti fisik. Orang yang memutuskan untuk secara seksual aktif mencari patner lebih bersifat fisik daripada psikologi dari pasangannya. Ini bisa akan membawa perpisahan atau perceraian di kemudian hari.
Bagi yang tetap, dalam awal kedewasaan, orang selibat disibukkan dalam soal pendidikan dan latihan yang disyaratkan supaya secara tetap hidup dalam komunitas yang dia telah pilih sebagai sebuah konteks hidup yang bermakna, hidup seksual secara tidak aktif. Hingga 30 tahun yang lalu, formasi bagi hidup selibat membatasi tantangan keintiman dengan larangan yang keras terhadap teman eksklusif dan membatasi kontak dengan keluarga. Orang dewasa yang masih mudah menghayati hidup selibat umumnya tidak menghadapi tantangan yang mendalam dalam keintiman.
Imam muda atau religius dalam pelayanannya di paroki atau bidang lain berhadapan dengan keluarga-keluarga muda dengan anak. Pada saat ini semakin disadari konsekwensi dari pilihan untuk tidak memiliki pasangan hidup dan anak (keturunan). Yang utama disini bukan soal fisik dan psikologi tetapi perbadingan dan kesadaran akan kematian generasinya.
Dilema seorang selibat adalah perbandingan. Itu nampak ketika kita mengunjungi keluarga-keluarga di paroki atau saudara sepupuh yang berkeluarga, teman-teman yang berkeluarga dan melihat rumah dan cara mereka membesarkan anak yang penuh hidup dan kemudian membandingkan bahwa mereka seumur dengan kita dan bahkan lebih mudah dan dalam hati mungkin kita bilang: "Saya juga bisa" atau ada dorongan "Ayo kamu bisa". Ketika kita kembali ke biara kita merasa kosong dan tidak bermakna. Pengalaman ini mendorong kaum selibat untuk memiliki anak sendiri atau keluarga sendiri.
Penanganan terhadap tahap ini menuntut kaum selibat akan keradikalan dan kematian pribadi dari eksistensinya. Seorang selibat harus sadar bahwa pilihan untuk hidup selibat menyangkut bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga ketiadaan keturunan. Mungkin pernah dipikirkan sebelumnya tetapi sekarang sungguh menjadi suatu penderitaan yang luar biasa. Karena begitu menyakitkan pribadi harus meninjau kembali komitmen, berpikir ulang bahwa mungkin ia tidak pernah menyadari-nya apa artinya tidak memiliki anak atau keturunan.
Penanganan terhadap krisis ini memaksa kaum selibat terhadap makna yang lebih penuh dari ide generavitas Erikson: bukan hanya soal tanggungjawab terhadap keturunan dan pemeliharaan dari anak sendiri tetapi juga bagi komunitas sebagai keseluruhan, untuk kehidupan dan pendidikan dan kebaikan generasi kemudian dan masa depan semua generasi, untuk kebudayaan, untuk iman-harap dan kasih di bumi ini, untuk gereja, untuk kerajaan Allah. Pada tahap ini, kaum selibat harus menerima kenyataan bahwa selibat bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga ketidak aktifan peran Bapa dan ibu. Keberhasilan pada tahap ini adalah kemampuan untuk menjadi produktive dan bertang-gungjawab tanpa menjadi orang tua dan/atau merasa tercabut dan tidak sempurna.
3. Intimate Celibacy (umur 30-an tengah hingga 50-an)
Umur-umur ini menantang seorang selibat untuk membagi kehidupan batin dengan orang lain yang padanya ia memberi perhatian dan merupakan konsekwensi dari hasrat untuk masuk dalam persahabatan yang intim dengan orang tersebut. Hal ini sama dengan ide intimacy dari Erikson.
Tantangan di sini adalah keinginan, hasrat, kebutuhan dari kaum selibat untuk persahabatan, orang-orang yang kepadanya mereka membagi hidup keseharian. Isu pokoknya bukan sex, bukan anak dan keluarga tetapi Keintiman (bagaimana saya berhubungan dengan orang lain). Dalam tahapan ini, kaum selibat tiba pada pengalaman kesendirian, keheningan dan mungkin keterasingan karena dirinya dan hidupnya tidak disharingkan secara intim dengan orang lain. Orang berhasrat untuk membagi kepribadiannya, dalam kepenuhan dan kedalamannya dengan yang lain dan ingin orang lain melakukan yang sama. Intimasi menyangkut relasi antar pribadi, atau satu dengan beberapa seperti dalam sebuah keluarga, komunitas persaudaraan, sebagaimana juga dalam Trinitas. Kaum selibat sering menghadapi kenyataan bahwa dia tidak hidup dalam keintiman yang demikian. Keberhasilan pada tahap tiga ini adalah keintiman relasi: sebuah kemampuan untuk menjadi teman sharing dalam hidup bagi yang lain tanpa menikah dan tanpa merusak pemberian dirinya kepada Allah baik secara fisik atau psikologi.
Pentingnya intimasi ditekankan oleh Keith Clark dalam bukunya Being Sexual and Celibate dan An Experience of celibacy: a creative reflection on intimacy, loneliness, sexuality and commit-ment. Dalam dua buku ini dibicarakan banyak soal Intimacy. "Ada suatu kebutuhan yang lain yang memberikan makna kepada seksualitas manusia. Kebutuhan itu adalah keintiman relasi dengan orang lain. Kebutuhan itu adalah kebutuhan pribadi yang terdalam yang kita miliki, dan itu adalah juga kebutuhan spiritual.... Seksualitas manusia adalah menyangkut soal keintiman". Bagi kita religius intimacy berarti tanpa sek, tanpa keluarga dan anak. Saya pikir disinilah makna Persaudaraan Fransikan kita untuk mengekspresikan kasih Sang Ilahi karena disadari bahwa sebagai manusia kita butuh cinta dan dicintai dan kita dipanggil menuju kemurnian cinta dalam ziarah pertobatan yang tak pernah akhir.
4. Integral Celibacy (umur 50-an akhir, pensiunan atau kematian)
Umur ini menantang kaum selibat untuk memelihara makna dan harapan ketika puncak sumbangan kepada kemanusiaan semakin menurun. Yang menjadi perhatian mereka bukan pada pertanyaan yang tidak ada gunanya tetapi yang memiliki kegunaan bagi keseluruhan; untuk menemukan alasan untuk menguatkan teman-teman dan kelompok pensiun atau yang mendekati kematian. Dan untuk merasa secara pribadi bernilai dan penting ketika tidak seorangpun secara intim hadir bersamanya yang dengannya ia telah membagi semuanya. Ide ini sama dengan ide Erikson yang ke delapan dan tahap terakhir yaitu: kebijaksanaan.
Tetapi kaum selibat mesti antisipasi beberapa krisis baru pada tahap ini, sekalipun ia telah berhasil bernegosisi pada tahap-tahap sebelumnya. Orang yang tidak mampu bernegosiasi dengan kenyataan ini akan merasa terpisah, lelah atau kecewa. Sementara yang berhasil akan memahami makna yang mendalam dan kelayakan hidup mereka dan akan dengan positif menghadapi pengalaman baru mereka termasuk kesempatan baru untuk membagi kebijaksanaan. Peribadi yang demikian akan tetap hadir kepada komunitas. Mereka tetap akan terlibat secara fisik, generatif, intim dengan potensi yang kreatif yang akan memahkotai hidup mereka dan membawa berkat yang besar kepada orang (saudara) yang dengannya mereka sharing.
B. Usaha Tanpa Akhir
Hidup selibat bukanlah putusan yang satu kali dibuat. Kedewasaan dalam hidup selibat adalah hal pencapaian keutamaan dari setiap tahap dan semua tahap. Kehidupan selibat memiliki kelebihan, bukan hanya sekedar soal ketidakaktifan seksual, tidak menikah, gersang, hidup sendiri. Tiap tahap menuntut kekhususan motivasinya sendiri dan memiliki rationalitasnya sendiri. Hidup kita harus masuk akal bagi kita sendiri jika kita mau orang lain memahaminya dan bertahan terhadap tantangan dalam persiarahan hidup yang kita pilih sendiri. Tantangan selalu berbeda seturut perjalanan umur dan juga rasionalitasnnya berbeda pula. Untuk hidup selibat dengan baik hanya dengan cara menjalani pertobatan yang terus menerus melewati tahap-tahap kehidupan dan tantangannya. Inilah makna panggilan kita sebagai religius Fransiskan untuk senantiasa selalu dalam proses pertobatan. Maka panggilan kita menjadi Fransiskan selalu dalam proses pertobatan yang tanpa akhir sampai kematian menjeput kita. Dengan melihat tahap hidup religius kita bisa saling mengerti dan saling menguatkan dalam perziarahan panggilan kita.
C. Dinamik Seksual dalam Pelayanan [2]
Semua kita memiliki reaksi seksual. Dalam survey lebih dari 500 psikoterapis, 87 persen (95 persen laki-laki dan 76 persen perempuan) melaporkan bahwa mereka tertarik secara seksual terhadap klien mereka dan banyak (63 persen) merasa bersalah, cemas atau bingung tentang daya tarik ini. Kita, sebagai religius yang terlibat dalam berbagai pelayan, mungkin memiliki reaksi yang sama terhadap orang yang kita layani secara dekat. Hal ini cukup menantang ketika kita membantu orang dalam kesulitan mereka terutama kaum perempuan yaitu bahaya transferensi dan countertransferensi. Mereka menemukan dalam diri kita sesuatu yang hilang dalam hidup seperti: perhatian, cinta, figur orang tertentu ynag menjadi harapan mereka, dll dan kita bisa mengalami hal yang sama, menemukan pada orang yang kita bantu: figur ibu atau figur anak, atau figur orang yang pernah kita jatuh cintah kini datang kembali dalam diri orang lain. Bila tidak disadari, tidak direfleksi, semua hal ini akan secara pelan-pelan menumbuhkan perasaan cinta yang tidak sehat.
Maka amat perlu untuk merefleksikan hidup seksualitas kita sendiri: kelemahannya dan kekuatannya. Tetapi juga sebenarnya perlu orang lain sebagai "pembimbing rohani" untuk membagi pergumulan hidup. Saya baru menyadari pentingnya hal ini dalam kehidupan kita sebagai religius terutama sebagai sahabat untuk bersama-sama membedakan roh yang baik dan jahat. Tetapi soalnya kita tidak terbiasa untuk membicarakan kehidupan seksual kita, entah karena faktor budaya, agama, teologi, dan sebagainya sehingga kita amat malu ketika orang tahu apa yang sedang terjadi dalam diri kita. Ketika orang lain "jatuh cintah" kita lebih berpikir: "ada sesuatu yang tidak beres" dan pikiran yang sama kita proyeksikan kepada orang lain ketika kita mengalami hal yang sama sehingga kita tidak berani untuk mensharingkannya kepada orang lain yang memiliki kemampuan untuk membantu kita menghadapi tantangan hidup karena kita takut dihakimi dan dipersalahkan. Kita berpikir bahwa orang lain sama seperti cara kita berpikir yang sempit dan terbatas tetapi ada saudara lain yang memiliki kebijaksanaan.
D. Selibat Menuntut Duka
Diakui bahwa penanganan yang sehat dari kehilangan akan kemungkinan untuk menikah, keintiman seksual, anak, atau hidup berkeluarga menuntut kaum selibat untuk berduka dan meratap. Ada beberapa proses yang penting [3].
a. Pengakuan akan realitas dari kehilangan
Seorang selibat tidak dapat mulai dengan proses kedukaan sampai dia menerima kebenaran dari kehilangan itu: Saya tidak akan pernah menjadi seorang suami, saya tidak akan pernah berhubungan seksual dengan seorang yang saya cinta, saya tidak akan pernah memiliki anak sendiri, saya tidak akan pernah menjadi seorang kakek. Bagaimana kita merasakan semua kehilangan ini? Kita perlu membayangkan kemungkinan pasangan atau anak kita. Kita harus melihat mereka, bicara dengan mereka, mengatakan kepada mereka mengapa mereka tidak bisa ada dan katakan selamat tinggal untuk mereka.
b. Indentifikasi dan ekspresikan perasaan duka itu
Seorang selibat harus mengekspresikan dalam kata, perasaan ketegangan bahwa rekan perjalanan hilang daripadanya. Proses penyembuhan sangat banyak dibantu ketika perasaan ini dibagikan dengan orang yang dipercaya. Dengan mensharingkan peng-alaman ini, emosi yang "sakit" kepada orang lain, seorang membuat sebuah pernyataan yang aktif akan kepercayaan kepada orang lain. Kepercayaan ini memindahkan batas keisolasian, sinisme dan ketidakpercayaan yang begitu muda timbul kembali setelah sebuah rasa kehilangan mempertinggi rasa mudah terluka. Adalah penting untuk diingat bahwa banyak religius dituduh melakukan pelecehan seksual adalah orang yang merasa terasing dan tidak percaya pada orang lain.
c. Memperingati Kehilangan
Semua kebudayaan memiliki ritual dan kebiasaan untuk berduka untuk membantu proses kedukaan. Ritual perlu dikembangkan untuk kaum selibat supaya pantas berduka apa yang dia tinggalkan - mungkin sebagai bagian dari postulat, kaul pertama, atau kaul kekal.
d. Mengakui Keambivalensian
Langkah ini adalah tantangan yang paling besar dalam proses kedukaan: untuk mengakui konflik perasaan. Kehilangan jarang meninggalkan sebuah luka yang bersih, tetap ada bekas. Menerima selibat adalah pengakuan kebaikan dari seksualitas manusia dan pernikahan. Selibat bukanlah pilihan sebuah yang baik di atas sebuah yang buruk. Konflik perasaan sungguh hadir.
e. Penanganan Keambivalensian
Orang yang berduka harus mencapai sebuah keseimbangan antara konflik perasaan sehingga perasaan positif dan negatif sungguh diakui dan ditempatkan dalam perspektif. Kaum selibat harus menjadi sungguh sukacita dan penuh damai dalam penerimaan akan hidup selibatnya sebagai jalan hidup untuk mencapai level dari penanganan ini. Ini hanya terjadi atas pemurnian motivasinya untuk masuk dalam panggilan hidup selibat (saya masuk seminari bukan untuk menyenangkan orang tua). Seorang harus bebas dalam panggilannya ketika ia sungguh memiliki panggilan itu. Kepemilikan ini datang hanya setelah konfrontasi yang jujur dengan motivasi sejati darinya untuk mengejar panggilan yang demikian.
f. Rela melepaskan
Hal penting di sini adalah kesediaan untuk mengatakan selamat tinggal pada tingkat perasaan daripada intelektual. Ini hanya terjadi setelah semua langkah sebelumnya dilewati.
g. Bergerak maju
Tugas ini menuntut perubahan orientasi sekarang dan masa depan. Harapan, mimpi, rencanam dan aspirasi harus ditata dan dibentuk lagi dalam pemahaman terhadap realitas yang baru. Tahap ini, tergantung pada tahap yang lain, melibatkan pelepasan harapan, mimpi, rencana dan aspirasi yang mengelilngi pilihan yang bukan dipilih. Selibat harus bebas dan penuh sukacita untuk memilih langkah ini - sebuah tugas yang sungguh merupakan sebuah proses hidup yang panjang. Jika proses duka ini diabaikan, dihindar, diganggu, religius berada dalam risiko untuk memanifestasikan resolusi duka yang distorsi: alkoholisme, workaholism, sexual abuse, marah, introversi, dll.
h. Sebuah Psikologi Kehampaan
William F. Kraft dalam bukunya A Psychology of Nothingness menulis: "Nothingness (kesepian, kesendirian, depresi, kecemasan, rasa salah, frustrasi, marah, bosan, apatis dan derita) adalah sebuah pengalaman yang penting dalam penemuan dan pengembangan sebuah hidup yang sehat dan bermakna. Tesis utamanya adalah: pengalaman akan kekosongan atau kehampaan yang menyakitkan adalah penting untuk menjadikan hidup lebih bermakna dan penuh secara sehat. Di sinilah kita bisa memahami apa artinya penderitaan Kristus. Kraft membagi 5 tahap periode kehidupan manusia (awal remaja, dewasa muda, dewasa, tengah umur dan usia lanjut). Tiap tahap ini memiliki kekhasan akan pengalaman Nothingnessnya sendiri.
Nilai yang paling penting dari nothingness adalah bahwa ia membawa sebuah perjuangan penuh derita demi makna yang penting dan tetap. Nothingness adalah perlu sebagai awal yang mengantar kepada kebaikan dan kegembiraan hidup sejauh orang mengolahnya. Kesepian eksistensial mengantar kepada cinta yang otentik. Kesendirian eksistensial mengantar kepada penyerahan yang bermakna. Depresi esksitensial mengantar kepada kemudahan hidup. Kecemasan eksistensial mengantar kepada kedamaian jiwa. Rasa salah eksistensial mengantar kepada proses menjadi yang kreatif. Frustrasi yang eksistensial mengantar kepada kepenuhan yang kekal. Kemarahan eksistensial mengantar kepada pandangan yang bijaksana. Kebosanan eksistensial mengantar kepada keterlibatan yang menyenangkan. Apatis eksistensial mengantar kepada kepedulian yang penuh kasih. Dan penderitaan eksistensial mengantar kepada pembebasan yang damai.
Refleksi Kraft ini menantang kita dan sekaligus menantang budaya modern yang diwarnai oleh usaha untuk lari dari pengalaman Nothingness dengan tawaran nikmat-murah-meriah dan menyenangkan (obat-obat terlarang, seks, korupsi) tetapi tidak mengajak orang untuk menemukan makna apa artinya hidup. Maka tepatlah apa yang ditulis oleh William Kirk Kilpatrick dalam buku Psychological Seduction: The Failure of Modern Psychology bahwa psikologi (tidak semua) begitu mempengaruhi kehidupan kita dalam cara berpikir dan bertindak tetapi apa yang ditawarkan tidak memiliki nilai yang amat mendalam. Hal ini dipertegas oleh Benedict J. Groeschel dalam bukunya Spiritual Passages: The Psychology of Spiritual Develompent. Ia mengatakan bahwa psikologi seperti musik memiki aliran klasik, semi klasik dan populer. Yang sangat mempengaruhi kehidupan kita justru psikologi populer (pop) dan tidak semua ide mereka membantu untuk mengembangkan kehidupan spiritualitas kita. Tak dapat disangkal bahwa ada yang menawarkan terapi psikologi lebih diwarnai oleh bisnis daripada memberi makna akan nilai apa artinya hidup sebagai manusia dan lebih untuk memenuhi hasrat kepuasan manusia modern yang berciri nikmat-murah-meriah. Maka kita perlu untuk kritis terhadap setiap pemikiran yang kita anut dan terima.
Tetapi bagaimana kita mensintesiskan ide psikologi modern tentang aktualisasi diri, perealisasian diri, jadilah dirimu sendiri dengan paham kekristenan akan penyangkalan diri dan penyerahan total? Walter E. Com dalam buku The Desireng Self: Rooting Pastoral Counseling and Spiritual Direction in Self-Transendence mengatakan bahwa jika perealisasian diri berarti pemenuhan diri dalam pengertian narsistik dari pemuasan setiap keinginan, maka harus ditolak bukan karena anti nilai kekristenan tetapi anti kemanusiaan. Pemenuhan yang demikian adalah sebuah ilusi yang mustahil. Jika penyangkalan diri berarti menyangkal atau mengorbankan diri yang sejati dan radikal, maka harus ditolak bukan hanya karena anti kemanusiaan tetapi anti nilai kekristenan. Penyangkalan yang demikian akan mengorbankan kemungkinan dari cinta. Tetapi kita mesti menegaskan bahwa perealisasian diri sebagai pemenuhan dari kemutlakan diri yang sejati, demikian pula bahwa penyangkalan diri sebagai penolakan segala kepentingan, hasrat, keinginan diri yang mengganggu perealisasian diri yang sejati.
Maka transendensi diri merupakan penyatuan yang otentik antara perealisasian diri dan penyangkalan diri yang sejati demi pengembangan kemanusian dan spiritualitas kekristenan. Perealisasian dan penyangkalan diri didorong oleh makna, kebenaran, nilai dan cinta untuk menolok segala bentuk cinta diri yang mengejar kebahagiaan yang hampa. Transendensi diri terjadi dalam tanggapan yang efektif terhadap hasrat yang radikal dari roh manusia pada makna, kebenaran, nilai dan cinta.
Penutup
Mengakhiri tulisan ini saya mau berefleksi dari segi doa dalam hubungan dengan pilihan hidup selibat. Pilihan selalu memiliki konsekwensi. Konsekwensi-konsekwensi atas pilihan itu akan selalu hadir setiap saat kehidupan kita sebagai religius yang menantang kita untuk berpikir ulang dan membaharui komitmen kita. Panggilan hidup selibat tidak akan mudah dipahami tanpa mencari jawabannya dalam Allah. Karena itu doa menjadi amat penting sebagai sumber dan dasar kekuatan kita dalam menjalani panggilan hidup ini. John Chapman menulis dalam Spiritual Letters, "Semakin engkau kurang berdoa maka semakin buruk yang terjadi".
Tetapi soalnya bagaimana kita berdoa. Kita biasa berdoa brevir, ekaristi dan kalau ada yang bertahan untuk meditasi sebelum atau sesudah ibadat bersama. Apakah itu cukup? Apa masih ada waktu untuk doa pribadi? Doa memang menghabiskan waktu (apalagi saat-saat ujian dengan banyak tugas) tetapi justru disitulah sumber kekuatan kita. Doa bersama memang penting tetapi menyediakan waktu untuk sendiri tidak kalah pentingnya karena justru pada saat itulah kita bertemu secara pribadi dengan Allah. Sebab tanpa suatu relasi yang kuat dengan Dasar panggilan kita, kita akan mudah kehabisan tenaga dan kita hangus menjadi abu (burnout). Maka dalam relasi pribadi dengan Tuhan dituntut suatu kejujuran dari kita untuk menjadikan seluruh pergumulan, pergolakan perasaan menjadi sumber doa kita. Dalam kitab Mazmur ada begitu banyak contoh doa yang mengungkapkan situasi nyata pergumulan pemazmur dalam relasinya dengan Tuhan termasuk kemarahannya akan situasi yang sedang ia hadapi "Mengapa semua ini terjadi padaku?" tetapi dibalik kemarahan itu terlintas iman dan harapan akan Belaskasih Allah dan keselamatan.
Kita mungkin diajar untuk menjauhkan diri dari segala gangguan dalam berdoa, misalnya tiba-tiba kita ingat seorang cewek yang dekat dengan kita atau keluarga dan kita harus "menyangkal" semua ini supaya relasi kita dengan Tuhan bisa berjalan baik. Sebagai latihan untuk kedisiplinan itu baik tetapi justru hal-hal inilah yang menjadi sumber doa kita yang amat pribadi kepada Allah dan untuk dibicarakan kepadaNya. Ann & Barry Ulanov dalam Primary Speech A Psychology of Prayer membahas panjang lebar tentang doa dalam hubungan dengan hasrat, proyeksi, fantasi, ketakutan, aggresi, seksualitas. Semua hal ini akan menjadi sumber doa untuk direfleksikan bersama Tuhan dan sekaligus memohon kekuatan dan penyembuhan dari Tuhan dalam kesulitan dan tantangan hidup kita sehingga kita menemukan diri yang sejati dihadapan Allah. Dalam Doa kita akan menemukan kesejatian diri kita dihadapan Allah yang menerima kita sebagaimana kita ada dan sekaligus membiarkan diri untuk dibawa kemana pun Ia mau. Maka tepatlah orang mengatakan bahwa semakin kita mengenal Allah kita semakin memiliki harga diri yang sehat. Karena hanya orang yang memiliki harga diri yang sehat bisa mengembangkan cinta yang sejati pula.
Tetapi sering kita mengalami kegersangan dalam doa. Doa menjadi sulit atau mungkin hampir mustahil. Allah nampaknya jauh dan tidak bisa dimengerti. Nampak tak ada makna dalam segala sesuatu, ketika motivasi secara total lemah dan hancur berantakan. Kita berada dalam darkness (kegelapan) menurut istilah John dari Salib. Kegelapan itu merupakan bagian dalam proses pengenalan akan Allah yang lebih mendalam.
Untuk mengenal Allah kita sering memberi nama secara posotif dan terkadang hal ini membawa konsekwensi Allah yang kita pahami begitu kecil sehingga kita tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi dalam hidup kita. Akibatnya kita putus asa dan lari dari padaNya. Dalam doa sering kita "berkata" kepada Allah "Terjadilah kehendaku seperti apa yang kukatakan!" Padahal Allah memiliki rencananya sendiri atas hidup kita tetapi kita tidak mau dengar karena dipengaruhi oleh banyak hal, terutama titik-titik kepekaan yang mudah terluka dalam diri kita masing-masing yang mempengaruhi proses membuat keputusan atau pilihan dalam hidup keseharian.
Dari pada memaksa Allah maka kita perlu rendah hati (hambah yang merendah) di hadapan Tuhan untuk memohon terang RohNya sehingga kita tahu apa kehendakNya atas diri kita (tetapi dalam keputusan tertentu kita butuh orang lain dalam proses pembedaan roh /discerment sebab kita sering sulit mengambil jarak dalam hal yang mau kita putuskan). Maka Maria, Yesus dan Fransiskus menjadi teladan bagi kita dalam mencari kehendak Allah dalam kerendahan hati mereka dihadapan Allah. "Terjadilah padaku menurut perkataanmu" (Maria), "Ya Bapaku, jikalau Engkau mau, ambilah cawan ini daripadaKu, tetapi bukanlah kehendaKu, melaikan kehendakMulah yang terjadi" (Yesus) dan Doa di depan Salib merupakan suatu pergumulan Fransiskus dalam pencarian kehendak Allah tapi seluruh kepribadiannya menyatakan perendahan diri yang total dihadapan Allah.
Di sisi lain kita menyadari bahwa Allah itu mistery dan tak pernah digapai seluruhnya oleh daya tangkap manusia maka doa contemplasi memungkinkan kita suatu cakrawala yang luas untuk memahami Allah dari hanya sekedar memasukkan Allah dalam kotak kecil pemahaman kita. Doa kontemplasi lebih diartikan "menanti" Allah meraja dalam hidup kita. Dalam contemplasi kadang terjadi suatu pengalaman "tiba-tiba" ada sesuatu yang berubah dalam hidup kita, cara kita memahami kenyataan, meskipun kita tidak mengerti seluruhnya dan tidak mampu menjelaskannya dalam kata-kata. Maka pengalaman manusia akan Allah sangat ditentukan oleh relasi pribadi dengan Allah. Kita mengenal Allah secara pribadi justru dalam pengalaman seperti ini. Pengalaman 'tersentuh' inilah yang mengantar orang kepada pertobatan. Maka tepatlah apa yang diperjuangkan oleh Bonaventura untuk menjadikan teologi sebagai bagian yang tidak terpisah dari spiritualitas. Teologi yang hanya menekankan segi intelektual hanya menghasilkan orang yang tahu bicara tentang Allah tetapi tidak pernah berbicara dengan Allah.
NB:
[1] Bernard R. Bornot, "Stages in a Celibate's Life", Human Development 16/3 (1985), 18-22.
[2] Jane F. Becker & David I. Donovan, "Sexual Dynamics in Ministry Relationship" Human Development 16/3 (1985), 23-27)
[3] Gerald D. Coleman, "Celibacy Demands Grieving" Human Development 15/4 (1994), 17-19. Proses seperti ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari ide Elisabeth Kubler-Ross tentang lima tahap pengalaman orang menjelang kematian. Lima tahap itu: penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Gagasan ini banyak dipakai untuk proses penyembuhan diri dan untuk memahami dan membantu orang lain dalam pergumulan hidup mereka.
Label:
Diskursus (Pemikiran)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar