Pada Misa Malam Paskah, api yang baru diberkati, lilin Paskah dinyalakan, dan madah indah
Exultet dilambungkan. Ayat-ayat pembukaan menghantar kita masuk ke dalam
perayaan Paskah:
“Bersukacitalah, bala surgawi! Bermadahlah, paduan suara para malaikat! Bersukarialah, segenap ciptaan sekeliling tahta Allah! Yesus Kristus Raja kita telah bangkit! Tiuplah terompet keselamatan!
Bersukacitalah, wahai bumi, dalam cahaya cemerlang, bersinar dalam kemilau Rajamu! Kristus telah menang! Kemuliaan memenuhimu! Kegelapan lenyap untuk selamanya!
Bersukacitalah, wahai Bunda Gereja! Bersukarialah dalam kemuliaan! Juruselamat yang bangkit bersinar atasmu! Kiranya tempat ini bergaung dengan sukacita, menggemakan madah segenap umat Allah!”
“Bersukacitalah, bala surgawi! Bermadahlah, paduan suara para malaikat! Bersukarialah, segenap ciptaan sekeliling tahta Allah! Yesus Kristus Raja kita telah bangkit! Tiuplah terompet keselamatan!
Bersukacitalah, wahai bumi, dalam cahaya cemerlang, bersinar dalam kemilau Rajamu! Kristus telah menang! Kemuliaan memenuhimu! Kegelapan lenyap untuk selamanya!
Bersukacitalah, wahai Bunda Gereja! Bersukarialah dalam kemuliaan! Juruselamat yang bangkit bersinar atasmu! Kiranya tempat ini bergaung dengan sukacita, menggemakan madah segenap umat Allah!”
Persiapan sepanjang Masa Prapaskah dengan berpuasa, bermatiraga dan berkurban telah usai. Sekarang Gereja merayakan kemuliaan, kemenangan dan kehidupan Paskah. Perayaan ini meliputi juga makanan yang dibagi bersama, pakaian yang dikenakan dan juga dekorasi lainnya.
Bermacam ragam santapan istimewa Paskah ada karena ketatnya puasa Masa Prapaskah sepanjang mana umat beriman berpantang dari makanan-makanan atau bahan-bahan ini. Pada umumnya, umat beriman berpantang dari segala bentuk daging (terkecuali ikan di sebagian wilayah Gereja) dan produk-produk hewani, termasuk telur, susu, mentega, dan lemak. Sebagai contoh, Paus St Gregorius (wafat tahun 604), menulis kepada St Agustinus dari Canterbury, menerbitkan peraturan berikut, “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”
Telur-telur berhias warna-warni merupakan tanda sukacita. Masyarakat Eropa Timur bahkan menghiasi telur dengan desain-desain yang amat rumit dan karya seni religius. Telur Paskah melambangkan kebangkitan: bagai seekor anak ayam kecil mematuk-matuk mengusahakan jalan keluar dari kulit telur untuk memasuki suatu kehidupan baru, demikian pula Kristus keluar dari makam kepada kehidupan yang baru dan kekal. Telur yang utuh melambangkan makam batu Tuhan kita; dan ketika dipecahkan, telur melambangkan bahwa Ia telah bangkit dari kematian. Pepatah Romawi kuno mengatakan, “Omne vivum ex ovo” (“Segala kehidupan berasal dari telur”); dengan mudah kita dapat melihat bagaimana pepatah yang demikian mengilhami umat Kristiani perdana untuk mempergunakan telur sebagai simbol yang pas bagi kehidupan yang baru dan kekal, yang dimenangkan bagi kita melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan kita.
Menurut suatu dongeng rakyat Ukranian, pada hari Jumat Agung ketika Tuhan kita disalibkan, seorang penjaja miskin pergi ke pasar di Yerusalem untuk menjual sekeranjang telur. Ia menyaksikan Yesus memanggul salib-Nya yang berat menyusuri jalanan, dengan dicaci-maki oleh para prajurit Romawi dan dicemooh oleh khalayak ramai. Para prajurit Romawi memaksa sang penjaja- Simon dari Kirene - untuk membantu, dan ia meninggalkan keranjangnya di tepi jalan guna membantu Yesus memanggul salib-Nya. Ketika kembali untuk memungut keranjang telurnya, Simon mendapati bahwa telur-telur telah berubah, berhias indah dalam aneka warna-warni menyala. Baru setelah Paskah dan kebangkitan Tuhan, Simon menyadari bahwa telur-telur ini merupakan simbol kelahiran baru bagi segenap umat manusia. Hingga hari ini, masyarakat Ukranian menghias pysanky sebagai bagian dari perayaan Paskah mereka.
Anak domba juga memiliki makna tersendiri dalam perayaan Paskah. Kue Paskah yang istimewa adalah kue berbentuk anak domba. Pada Abad Pertengahan, anak domba merupakan makanan yang biasa disantap pada hari Raya Paskah, dan merupakan menu utama pada perjamuan malam Paskah Bapa Suci. Patut diingat bahwa kaum Yahudi mengorbankan seekor anak domba Paskah sepanjang masa Musa; karena kurban Paskah ini, bangsa Yahudi dibebaskan dari perbudakan Mesir dan dibawa ke Tanah Terjanji. Kristus adalah Anak Domba Paskah yang baru, yang dikurbankan demi dosa-dosa kita dan yang darah-Nya dicurahkan bagi perjanjian yang sempurna dan kekal; Kristus telah membebaskan kita dari perbudakan dosa dan membuka pintu gerbang menuju Tanah Terjanji Surgawi yang sejati. Bersama-sama, misteri Perjamuan Malam Terakhir, kurban Jumat Agung, dan kebangkitan Paaskah membentuk Paskah yang baru.
Keranjang-keranjang Paskah, jauh sebelum masa orang mengisinya dengan permen, coklat dan marshmallow, diisi dengan roti-roti istimewa dan telur-telur yang dipersiapkan untuk perayaan Paskah. Keranjang-keranjang ini dibawa ke gereja pada pagi Sabtu Paskah di mana keranjang-keranjang diberkati oleh imam. Banyak paroki tetap meneruskan kebiasaan memberkati keranjang-keranjang Paskah ini.
Baju baru juga memiliki makna khusus. Pada masa Gereja Perdana, pada Malam Paskah, mereka yang dibaptis mengenakan busana putih, yang dikenakan sepanjang pekan Paskah. Seperti yang dinyatakan dalam ritual kita sekarang, busana putih ini merupakan lambang bahwa orang tersebut telah dilahirkan kembali dalam pembaptisan, dibebaskan dari dosa, dipenuhi rahmat dan diberi martabat dan identitas Kristiani yang baru. Meski umat beriman lainnya, yang telah dibaptis, tidak mengenakan busana putih, biasanya mereka mengenakan baju-baju baru untuk menunjukkan bahwa mereka telah bangkit ke dalam kehidupan baru melalui doa, puasa dan matiraga Masa Prapaskah. Busana putih dan baju baru merupakan tanda lahiriah akan pembaharuan iman dalam Kristus.
Lalu, bagaimana dengan kelinci Paskah? Kata “Easter” (= Paskah) berasal dari kata Eoster (juga dieja Eastre), nama dewi Teutonic, dewi terbitnya terang hari dan musim semi dan kurban-kurban tahunan sehubungan dengannya. (Patut diingat bahwa sementara bahasa-bahasa Romawi mempergunakan akar kata Ibrani-Yunani-Latin untuk menyatakan Paskah, seperti pernah diterangkan sebelumnya [lihat Paskah = Hari Raya Kafir?], bahasa-bahasa Jerman dan Inggris “membaptis” kata Eoster.) Musim semi adalah musin kesuburan, kehidupan dan kelimpahan. Dalam mitologi Teutonic, burung peliharaan Eoster bertelur dalam keranjang-keranjang dan menyembunyikannya. Dalam suatu kegilaan sesaat, Eoster mengubah burung peliharaannya menjadi seekor kelinci, yang terus bertelur. Kelinci sendiri merupakan lambang kafir bagi kesuburan, sebab itu ada pepatah, “Berkembang biak seperti kelinci,” dan kerap dipelihara di rumah-rumah sebagai binatang peliharaan. Dari kebiasaan kafir ini, di Jerman, pada abad kelimabelas, muncullah suatu cerita rakyat “Kelinci Paskah”. Namun demikian, kelinci Paskah tidak mewakili suatu makna religius ataupun lambang liturgis.
Bunga-bunga bakung Paskah merupakan tambahan yang baru-baru saja dalam perayaan Paskah. Bunga bakung Paskah yang putih bersih diperkenalkan di Bermuda dari Jepang pada pertengahan 1800-an. Pada tahun 1882, W. K. Harris, seorang ahli bunga-bungaan, memperkenalkan bunga ini ke Amerika Serikat. Karena bunga ini termasuk salah satu dari bunga-bunga bakung pertama yang mekar pada musim semi, maka ia segera dikenal sebagai “Bunga Bakung Paskah”. Dalam ikonografi Kristiani, bunga-bunga bakung putih senantiasa menjadi simbol keindahan, kemurnian dan kesucian. Bahkan dalam Injil Matius, Tuhan kita berbicara juga mengenai bunga-bunga bakung, “Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu” (Mat 6:28-29). Sungguh pantas, bunga-bunga bakung yang putih, besar dan elok ini menjadi sangat populer dalam dekorasi Paskah di gereja-gereja, melambangkan kehidupan baru dari Tuhan yang telah bangkit.
Sekedar tambahan, muncul sebuah legenda religius mengenai bunga bakung: Pada sore hari Kamis Putih, ketika Tuhan kita berada di Taman Getsemani, semua bunga - terkecuali bunga bakung yang paling elok, anggun dan angkuh - menundukkan kepala mereka dalam duka sebab sengsara yang diderita Tuhan kita. Pada akhirnya, setelah menyaksikan sendiri kerendahan hati dan pengorbanan Tuhan kita, bunga bakung pun menundukkan kepalanya karena malu, dan demikianlah ia tertunduk dalam kerendahan hatinya hingga sekarang ini.
Berbagai macam tradisi ini menyemarakkan sukacita perayaan Paskah kita. Keluarga-keluarga hendaknyalah memasukkan tradisi-tradisi ini ke dalam perayaan Paskah mereka, serta mempergunakannya sebagai suatu sarana untuk mengajarkan iman kepada anak-anak.
0 komentar:
Posting Komentar