Yesus Kristus menderita sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita -mengampuni dosa-dosa kita dan menawarkan kehidupan yang kekal di surga. Lebih dari itu, Ia menghendaki pelayanan penyembuhan pengampunan dosa-Nya terus berlanjut lewat Sakramen Pengakuan. Pada malam kebangkitan, Yesus menampakkan diri kepada para murid dan bersabda, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu... Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:21-23). Sebab itu, segenap umat beriman yang sadar akan dosa sepatutnya memanfaat rahmat rekonsiliasi bagi dirinya yang ditawarkan melalui Sakramen Pengakuan.
Ajaran ini secara jelas dinyatakan dalam abad kebingungan sebelumnya: Konsili Trente, menanggapi penolakan para pemimpin Protestan yang menyangkal Sakramen Tobat dan pentingnya pengakuan dosa, mengajarkan, “Dalam Pengakuan para peniten harus menyampaikan semua dosa berat, yang mereka sadari setelah pemeriksaan diri secara saksama … juga apabila itu hanya dilakukan secara tersembunyi dan hanya melawan dua perintah terakhir dari sepuluh perintah Allah; kadang-kadang dosa ini melukai jiwa lebih berat dan karena itu lebih berbahaya daripada dosa yang dilakukan secara terbuka” (Ajaran mengenai Sakramen Pengakuan).
Ajaran ini diulang kembali oleh almarhun Bapa Suci kita, Paus Yohanes Paulus II, dalam “Ecclesia de Eucharistia”: “Saya pun ingin menegaskan bahwa dalam Gereja tetap berlaku, sekarang dan akan datang, aturan yang diberikan oleh Konsili Trente dengan ungkapan konkret mengenai peringatan keras Rasul Paulus, katanya, agar dapat menyambut Ekaristi dengan layak, `seseorang harus lebih dahulu mengaku dosa, tatkala sadar akan dosa beratnya' (No. 36). … Bila nurani seorang beriman dibebani oleh dosa berat, maka perlulah jalan pertobatan lewat Sakramen Pendamaian untuk berpartisipasi dalam Kurban Ekaristi” (No. 37).
Satu-satunya pengecualian terhadap ketentuan ini, menurut Katekismus, adalah “kecuali ada alasan kuat untuk menerima komuni, dan kalau tidak mungkin baginya untuk mengakukan dosa” (No. 1457). Penekanan di sini wajib ditempatkan dalam frasa “alasan kuat” dan “tidak mungkin”.
Sakramen Pengakuan sungguh dibutuhkan bagi pengampunan dosa berat; Sakramen Pengakuan juga merupakan sarana yang teramat penting akan rahmat dan suatu praktek rohani yang baik bagi pengampunan dosa-dosa ringan. Paus Yohanes Paulus II, dalam suatu audiensi umum yang disampaikan pada tanggal 15 September 1999, mengingatkan para uskup akan “pentingnya bimbingan pastoral yang dibutuhkan dalam menanamkan penghargaan yang terlebih lagi akan sakramen [tobat] dalam Umat Allah, agar pesan rekonsiliasi, jalan pertobatan dan inti perayaan sakramen dapat menyentuh lebih dalam hati manusia masa kini.” Bapa Suci kita juga menyatakan, “Sebab itu, akan sungguh bodoh, juga pongah, hendak sewenang-wenang mengabaikan sarana rahmat dan keselamatan yang telah disediakan Tuhan dan, dalam kasus tertentu, menuntut untuk menerima pengampunan sementara melakukannya tanpa sakramen yang ditetapkan oleh Kristus justru untuk pengampunan dosa” (“Mengenai Rekonsiliasi dan Tobat, No. 31). Dengan demikian, seorang Katolik yang saleh hendaknya tidak pernah melalaikan praktek rohani pengakuan dosa, dari awal hingga akhir: mengambil waktu untuk secara tekun memeriksa batin, bertobat (misalnya menyesali dosa), berketetapan teguh untuk tidak berbuat dosa lagi, mengakukan dosa-dosanya, dan menerima absolusi serta rahmat yang menyembuhkan jiwa dari dosa, memulihkan sepenuhnya rahmat pengudusan dan memperkuatnya dalam melawan pencobaan di masa mendatang. Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur membantu individu untuk membentuk hati nurani melawan kecondongan yang jahat, waspada terhadap kesempatan-kesempatan dosa dan bertumbuh dalam hidup dalam Roh Kudus (bdk Katekismus, No. 1458).
Ya, berbicara secara tegas, Kitab Hukum Kanonik menyatakan, “Setiap orang beriman, sesudah sampai pada usia dapat menggunakan akal budi, wajib dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya, sekurang-kurangnya sekali setahun” (No. 988). Namun demikian, Kitab Hukum Kanonik juga menegaskan, “Dianjurkan kepada umat beriman kristiani agar juga mengakukan dosa-dosa ringan” (No. 988.2). (Peraturan ini merupakan sedikit variasi dari “Kewajiban Paskah” kuno yang ditetapkan oleh Konsili Lateran Keempat (1215) yang memaklumkan, “Setiap umat beriman baik laki-laki maupun perempuan yang telah sampai pada usia dapat menggunakan akal budi hendaknya sekurang-kurangnya sekali setahun dengan setia mengakukan segala dosa-dosanya secara rahasia kepada imamnya sendiri. Hendaknya ia berjuang semaksimal mungkin untuk menunaikan penitensi yang dikenakan atasnya, dan dengan hormat menyambut Sakramen Ekaristi, sekurang-kurangnya selama masa Paskah.”) Hanya seorang legalist (= yang menafsirkan hukum secara harafiah) yang akan mengatakan bahwa seorang perlu mengaku dosa hanya apabila dalam keadaan dosa berat, dengan demikian mengisyaratkan bahwa pengakuan dosa secara teratur tidak perlu. Pengakuan dosa secara teratur adalah resep kekudusan, dan segenap para kudus Gereja kita mengetahuinya. Sementara kita melanjutkan perayaan Paskah, janganlah kita lupa akan rahmat pengampunan dan pendamaian yang ditawarkan Kristus yang Bangkit kepada masing-masing kita melalui Sakramen Pengakuan Dosa.
0 komentar:
Posting Komentar