Bulla Pemakluman Paus Fransiskus
YUBILEUM LUAR BIASA KERAHIMAN ILAHI
YUBILEUM LUAR BIASA KERAHIMAN ILAHI
Fransiskus,
Uskup Roma,Hamba Dari Para Hamba Allah
Kepada
Semua Pembaca Surat Ini:
Rahmat, Kerahiman, Dan Damai.
1. Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa. Kalimat ini, dengan tepat, merangkum
misteri iman kristiani. Kerahiman telah menjadi sosok yang hidup dan kasat mata
dalam diri Yesus dari Nazaret; dan dalam Dia kerahiman mencapai puncaknya.
Kepada Musa, Bapa yang “kaya dalam belas kasihan” (Ef. 2:4) telah menyatakan
nama-Nya yakni: “Allah Penyayang dan Pengasih, yang panjang sabar dan berlimpah
kasih serta kesetiaan-Nya.” (Kel. 34:6) Sejak saat itu, sepanjang sejarah,
dalam berbagai cara, tidak pernah berhenti Bapa menunjukkan kodrat ilahi-Nya.
Setelah “genap waktunya” (Gal. 4:4), ketika segala sesuatu telah diatur seturut
rencana keselamatan-Nya, Bapa mengutus Putra-Nya yang tunggal ke dunia, lahir
dari Perawan Maria, untuk menyatakan kasih-Nya kepada kita secara definitif.
Barangsiapa melihat Yesus, ia melihat Bapa (bdk. Yoh. 14:9). Lewat perkataan, tindakan,
dan seluruh pribadi-Nya, Yesus dari Nazaret mengungkapkan belas kasihan Allah.
2. Kita perlu terus-menerus merenungkan misteri belas kasihan Allah. Belas
kasihanan Allah adalah sumber suka cita, ketenteraman, dan damai. Keselamatan
kita bergantung pada belas kasihan Allah. Kata belas kasihan mengungkapkan
dengan tepat misteri Tritunggal yang Mahakudus. Belas kasihanan adalah tindakan
Allah yang paling agung dan paling tinggi; dengan belas kasihan, Allah datang
menjumpai kita. Belas kasihanan adalah hukum dasariah yang bersemayam dalam
hati setiap insan yang dengan tulus menatap mata saudara dan saudari
seperjalanan. Belas kasihan adalah jembatan yang menghubungkan Allah dan
manusia; belas kasihan menumbuhkan dalam hati kita harapan bahwa kita akan dikasihi
sepanjang masa meskipun kita berdosa.
3. Kadang-kadang kita dipanggil untuk dengan lebih sungguh-sungguh menyerap belas
kasihan Allah agar kita dapat menjadi tanda yang lebih efektif dari karya Bapa
dalam hidup kita. Karena alasan ini, saya memaklumkan Yubileum Luar Biasa
Kerahiman Ilahi sebagai masa istimewa bagi Gereja. Dalam Yubileum ini,
kesaksian kaum beriman hendaknya tumbuh semakin kuat dan semakin efektif.
Tahun
Suci ini akan dibuka pada 8 Desember 2015, bertepatan dengan Hari Raya Maria
Dikandung Tanpa Noda. Hari Raya liturgis ini mengingatkan kita akan karya Allah
semenjak awal sejarah umat manusia. Sesudah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa,
Allah tidak mau membiarkan manusia terkungkung dalam himpitan kejahatan. Karena
itu, terdorong oleh kasih, Allah berpaling kepada Maria, yang kudus dan tak
bernoda (bdk. Ef. 1:4), dengan memilih dia menjadi Bunda Penebus manusia.
Ketika menghadapi besarnya dosa manusia, Allah menanggapi dengan kepenuhan
belas kasihan. Belas kasihanan Allah akan selalu lebih besar dari pada dosa apa
pun, dan tidak seorang pun dapat memasang batas pada kasih Allah yang selalu
siap untuk mengampuni. Pada Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda, dengan penuh
suka cita saya akan membuka Pintu Kudus. Pada hari itu, Pintu Kudus akan
menjadi Gerbang Kerahiman Ilahi. Setiap orang yang masuk lewat pintu ini akan
mengalami kasih Allah yang memberikan penghiburan dan pengampunan, serta
menumbuhkan pengharapan.
Pada
Minggu berikutnya, yakni Minggu Adven III, Pintu Kudus katedral Roma - yakni
Basilika Santo Yohanes Lateran - akan dibuka. Dalam pekan-pekan berikutnya,
Pintu Kudus semua basilika kepausan yang lain akan dibuka. Pada hari Minggu
yang sama, saya akan memaklumkan agar di setiap gereja lokal, yakni di setiap
katedral - yang menjadi gereja induk kaum beriman di setiap keuskupan - atau di
ko-katedral dan di gereja lain yang mempunyai kedudukan istimewa, Pintu
Kerahiman hendaknya dibuka untuk sepanjang Tahun Suci. Atas kebijaksanaan
waligereja setempat, satu pintu seperti itu dapat dibuka di setiap tempat kudus
yang dikunjungi oleh banyak peziarah, karena kunjungan ke tempat kudus itu amat
sering merupakan saat-saat yang penuh rahmat, sebab di situ umat menemukan
jalan pertobatan. Oleh karena itu, setiap gereja katedral mempunyai peran
penting dalam penghayatan Tahun Suci ini sebagai suatu masa rahmat dan
pembaruan rohani yang luar biasa. Dengan demikian, Yubileum akan dirayakan baik
di Roma maupun di semua gereja katedral sebagai tanda kasat mata dari
persekutuan Gereja universal.
4. Saya memilih tanggal 8 Desember karena tanggal ini memiliki makna yang kaya
dalam sejarah Gereja akhir-akhir ini. Sungguh, saya akan membuka Pintu Kudus
pada ulang tahun kelima puluh penutupan Konsili Ekumenis Vatikan II. Gereja
menyadari bahwa sangatlah penting untuk menjaga agar peristiwa itu tetap hidup.
Dengan Konsili Vatikan II, Gereja memasuki suatu babak baru dalam sejarahnya.
Berkat embusan lembut dari Roh Kudus, para bapa Konsili sungguh-sungguh
menyadari perlunya berbicara mengenai Allah kepada manusia pada zaman itu
dengan cara yang lebih mudah dipahami. Tembok-tembok yang sudah terlalu lama
membuat Gereja menjadi seperti benteng harus dirobohkan, dan sudah tibalah
saatnya memaklumkan Injil secara baru. Ini adalah babak baru dari evangelisasi
yang sama, yang telah dilaksanakan sejak awal mula Gereja. Ini adalah upaya
baru dari semua orang kristiani untuk memberi kesaksian mengenai iman mereka
dengan gairah dan keyakinan yang lebih besar. Gereja menyadari tanggungjawabnya
untuk menjadi tanda yang hidup dari kasih Bapa di dunia.
Marilah
kita kenangkan kata-kata yang penuh makna dari Santo Yohanes XXIII. Ketika
membuka Konsili Vatikan II, ia menunjukkan lorong yang harus kita ikuti, “Kini,
Mempelai Kristus lebih senang menggunakan obat kerahiman dari pada mengacungkan
lengan kekerasan... Pada Konsili Ekumenis ini, Gereja Katolik mengangkat
tinggi-tinggi obor kebenaran katolik, dan dengan ini ia ingin menunjukkan diri
sebagai ibu yang penuh kasih kepada semua orang; ia sabar dan baik hati karena
tergerak oleh belas kasihan dan kebaikan kepada anak-anaknya yang terpisah.”
Pada penutupan Konsili, dengan nada yang sama, Beato Paulus VI berkata, “Kami
sangat senang menunjukkan betapa kasih telah menjadi ciri utama Konsili ini...
Kisah
lama tentang orang Samaria yang baik telah menjadi model spiritualitas
Konsili... Suatu gelombang afeksi dan kekaguman telah mengalir dari Konsili ini
ke dunia modern umat manusia. Memang, sesatan-sesatan sudah dikutuk, karena
itulah yang dituntut oleh kasih dan juga oleh kebenaran, tetapi setiap pribadi
harus tetap dihormati dan dikasihi; obat yang membesarkan hati lebih baik dari
pada diagnosis yang menakutkan; amanat kepercayaan yang mengalir dari Konsili
ini kepada dunia masa kini lebih baik dari pada ramalan-ramalan yang mengerikan.
Nilai-nilai dunia modern tidak hanya dihargai, tetapi dijunjung tinggi;
usaha-usahanya didukung, aspirasinya dimurnikan dan dikuduskan... Hal lain yang
harus kami tekankan adalah ini: semua pengajaran yang kaya makna ini disalurkan
ke satu arah, yakni pelayanan kepada umat manusia, dalam setiap situasi, dengan
segala kelemahan dan kebutuhannya.”
Diliputi
rasa syukur atas segala yang telah diterima oleh Gereja, dan dipenuhi rasa
tanggungjawab akan tugas yang membentang di depan, kita akan melangkahi ambang
Pintu Kudus dengan penuh keyakinan bahwa kekuatan Tuhan yang telah bangkit,
yang terus-menerus mendukung kita dalam peziarahan ini, akan menopang kita.
Semoga Roh Kudus, yang memandu langkah kaum beriman dalam bekerjasama dengan
karya keselamatan yang dirintis oleh Kristus, menuntun langkah umat Allah dan
menopang mereka sehingga mereka dapat menatap wajah kerahiman.
5. Tahun Yubileum akan ditutup dengan perayaan liturgis Hari Raya Kristus Raja
pada 20 November 2016. Pada hari itu, sementara menutup Pintu Kudus, kita akan
dipenuhi, terutama, dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Tritunggal yang
Mahakudus karena telah memberi kita masa rahmat yang luar biasa. Kita akan
memercayakan kehidupan Gereja, segenap umat manusia, dan seluruh alam semesta kepada
Tuhan Yesus Kristus, sambil memohon kepada-Nya supaya mencurahkan kerahiman-Nya
atas kita ibarat embun pagi, sehingga semua orang dapat bekerjasama membangun
masa depan yang lebih cerah. Betapa besar keinginan saya agar kita dapat
menjalani tahun yang akan datang ini dalam kerahiman, sehingga kita dapat
menyapa setiap orang dengan membawa kebaikan dan kasih Allah! Semoga belas
kasihan memenuhi hati setiap orang, baik yang sudah beriman maupun yang masih
jauh, sebagai tanda bahwa Kerajaan Allah sudah ada di tengah kita!
6. “Sungguh tepat bagi Allah untuk mengamalkan belas kasihan, dan dengan cara
itulah Ia menyatakan kemahakuasaan-Nya.” Kata-kata St. Thomas Aquino
menunjukkan bahwa belas kasihan Allah bukanlah tanda kelemahan tetapi,
sebaliknya, tanda kemahakuasaan-Nya. Karena alasan ini, dalam salah satu doa
pembuka yang paling tua, liturgi mengajak kita berdoa, “Ya Allah, Engkau
mengungkapkan kuasa-Mu terutama dalam belas kasihan dan pengampunan-Mu...”
Sepanjang sejarah umat manusia, Allah selalu tampil sebagai Sosok yang sungguh
hadir, dekat, akrab, kudus, dan penuh belas kasihan.
“Sabar
dan murah hati.” Dalam Perjanjian Lama, kata-kata ini sering dipadukan untuk
melukiskan sifat khas Allah. Dengan tepat, Allah menunjukkan sikap murah
hati-Nya dalam banyak karya sepanjang sejarah keselamatan; di sini kebaikan
Allah melampaui penghukuman dan penghancuran. Secara istimewa mazmur-mazmur
menampilkan keagungan karya Allah yang murah hati. “Dia mengampuni segala
kesalahanmu, dan menyembuhkan segala penyakitmu. Dia menebus hidupmu dari liang
kubur, dan memahkotai engkau dengan kasih setia serta rahmat.” [Mzm. 103:3-4].
Mazmur
lain, bahkan dengan cara yang lebih eksplisit, menyajikan bentuk-bentuk nyata
dari belas kasihan Allah: “Tuhan menegakkan keadilan untuk orang-orang yang
diperas, memberi roti kepada orang-orang yang lapar. Ia membebaskan orang-orang
yang terkurung, dan membuka mata orang-orang buta. Ia menegakkan orang yang
tertunduk, dan mengasihi orang-orang benar. Ia menjaga orang-orang asing, menegakkan
kembali anak yatim dan janda, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya.” [Mzm.
146:7-9]
Berikut
ini beberapa ungkapan lain dari Pemazmur, “Tuhan menyembuhkan orang-orang yang
patah hati dan membalut luka-luka mereka ... Ia menegakkan kembali orang-orang
yang tertindas, tetapi merendahkan orang-orang fasik sampai ke tanah. [Mzm.
147:3,6].
Pendek kata, belas kasihan Allah bukanlah gagasan yang abstrak,
tetapi realitas yang sungguh nyata; lewat belas kasihan, Allah mengungkapkan
kasih-Nya seperti halnya seorang ayah atau seorang ibu, yang sungguh-sungguh
tergerak hatinya oleh kasih kepada anak mereka. Sama sekali tidak berlebihan
kalau kita mengatakan bahwa itulah kasih yang “sepenuh hati.” Secara naluriah,
kasih itu membual dari lubuk hati, penuh kelembutan dan kasih sayang, kemanjaan
dan belas kasihan.
7.
“Karena kekal abadi kasih setia-Nya.” Inilah refrein yang diulang sesudah setiap ayat Mazmur 136 yang mengisahkan sejarah pewahyuan Allah. Karena belas kasihan, semua kejadian dalam Perjanjian Lama dipenuhi dengan makna keselamatan yang mendalam. Belas kasihan memenuhi sejarah keselamatan bangsa Israel. Dengan terus-menerus mengulang seruan “karena kekal abadi kasih setia-Nya,” seperti dilakukan dalam mazmur, kita merasa telah menembus dimensi ruang dan waktu, menyisipkan segala sesuatu yang ada di dunia ini ke dalam misteri kasih abadi. Seolah-olah kita mau mengatakan bahwa tidak hanya di masa lampau, tetapi juga di masa yang akan datang, manusia selalu berada dalam tatapan mata Allah Bapa yang penuh belas kasihan. Bukanlah suatu kebetulan bahwa umat Israel mendaras mazmur ini - yang biasa disebut “Halel Agung” - dalam pesta-pesta liturginya yang paling penting.
“Karena kekal abadi kasih setia-Nya.” Inilah refrein yang diulang sesudah setiap ayat Mazmur 136 yang mengisahkan sejarah pewahyuan Allah. Karena belas kasihan, semua kejadian dalam Perjanjian Lama dipenuhi dengan makna keselamatan yang mendalam. Belas kasihan memenuhi sejarah keselamatan bangsa Israel. Dengan terus-menerus mengulang seruan “karena kekal abadi kasih setia-Nya,” seperti dilakukan dalam mazmur, kita merasa telah menembus dimensi ruang dan waktu, menyisipkan segala sesuatu yang ada di dunia ini ke dalam misteri kasih abadi. Seolah-olah kita mau mengatakan bahwa tidak hanya di masa lampau, tetapi juga di masa yang akan datang, manusia selalu berada dalam tatapan mata Allah Bapa yang penuh belas kasihan. Bukanlah suatu kebetulan bahwa umat Israel mendaras mazmur ini - yang biasa disebut “Halel Agung” - dalam pesta-pesta liturginya yang paling penting.
Menjelang
sengsara-Nya, Yesus berdoa dengan mazmur belas kasihan. Matius menuturkan hal
ini dalam Injilnya ketika ia berkata bahwa “Sesudah melagukan nyanyian pujian,”
[Mat. 26:30] pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun. Sementara Ia
menetapkan Ekaristi sebagai kenangan abadi akan Diri-Nya dan akan kurban
Paskah-Nya, secara simbolis Ia menempatkan puncak pewahyuan ini dalam terang
belas kasihan-Nya. Dalam kerangka belas kasihan yang sama, Yesus memasuki
sengsara dan wafat-Nya, sambil menyadari misteri kasih yang agung, yang harus
Ia genapi di kayu salib. Kenyataan bahwa Yesus sendiri berdoa dengan mazmur ini
membuat mazmur ini semakin penting bagi kita orang kristiani, sekaligus
menantang kita untuk mengulang-ulang refrein di atas dalam kehidupan
sehari-hari dengan mengucapkan kata-kata pujian “karena kekal abadi kasih
setia-Nya.”
8. Sambil memandangi tatapan mata Yesus yang penuh kasih, kita mengalami kasih
Tritunggal yang mahakudus. Misi yang diterima Yesus dari Bapa adalah
mengungkapkan misteri kasih ilahi dalam kepenuhannya. “Allah adalah kasih” (1
Yoh. 4:8,16). Demikianlah Yohanes menegaskan untuk pertama kalinya dan hanya
satu kali itu di dalam seluruh Alkitab. Kasih ini sekarang menjadi kasat mata
dan dapat diraba dalam seluruh kehidupan Yesus. Sosok Yesus tidak lain adalah
kasih, suatu kasih yang diberikan dengan berlimpah-ruah. Relasi yang Ia bangun
dengan umat yang menghampiri Dia merupakan sesuatu yang sungguh-sungguh unik
dan tiada duanya. Tanda-tanda yang Ia kerjakan, khususnya tanda-tanda demi
keselamatan orang berdosa, orang miskin, kaum tersisih, orang sakit dan orang
menderita, semuanya dimaksudkan untuk mengajarkan belas kasihan. Segala sesuatu
dalam diri Yesus berbicara tentang belas kasihan.
Dalam
diri-Nya hanya ada kasih sayang, tidak ada yang lain.
Melihat orang banyak yang mengikuti diri-Nya, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena Ia menyaksikan mereka itu letih dan terlantar, sesat dan tanpa pemandu. (Bdk. Mat. 9:36) Terdorong oleh cinta yang penuh belas kasihan, Ia menyembuhkan orang sakit yang diantar ke hadapan-Nya. (Bdk. Mat. 14:14), dan hanya dengan beberapa potong roti serta ikan Ia mengenyangkan khalayak yang amat besar jumlahnya (bdk. Mat. 15:37). Yang menggerakkan Yesus dalam semua situasi itu tidak lain adalah belas kasihan; karena belas kasihan itu, Ia membaca isi hati orang-orang yang dijumpai-Nya dan menanggapi kebutuhan mereka yang paling dalam. Ketika Ia berjumpa dengan janda dari Nain yang sedang mengantar jasad anaknya ke kubur, Ia sangat tergerak oleh penderitaan luar biasa dari ibu yang sedang berduka itu. Maka, Ia membangkitkan anak itu dari kematian lalu mengembalikannya kepada sang ibu (bdk. Luk. 7:15). Di daerah Gerasa, sesudah membebaskan orang yang kesurupan, Yesus memercayakan kepada orang itu perutusan ini, "Pulanglah kepada kaum kerabatmu, dan beritahukanlah kepada mereka betapa besar karya yang telah diperbuat Tuhan atasmu dan betapa Tuhan telah menyatakan belas kasihan-Nya kepadamu!" (Mrk. 5:19).
Melihat orang banyak yang mengikuti diri-Nya, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena Ia menyaksikan mereka itu letih dan terlantar, sesat dan tanpa pemandu. (Bdk. Mat. 9:36) Terdorong oleh cinta yang penuh belas kasihan, Ia menyembuhkan orang sakit yang diantar ke hadapan-Nya. (Bdk. Mat. 14:14), dan hanya dengan beberapa potong roti serta ikan Ia mengenyangkan khalayak yang amat besar jumlahnya (bdk. Mat. 15:37). Yang menggerakkan Yesus dalam semua situasi itu tidak lain adalah belas kasihan; karena belas kasihan itu, Ia membaca isi hati orang-orang yang dijumpai-Nya dan menanggapi kebutuhan mereka yang paling dalam. Ketika Ia berjumpa dengan janda dari Nain yang sedang mengantar jasad anaknya ke kubur, Ia sangat tergerak oleh penderitaan luar biasa dari ibu yang sedang berduka itu. Maka, Ia membangkitkan anak itu dari kematian lalu mengembalikannya kepada sang ibu (bdk. Luk. 7:15). Di daerah Gerasa, sesudah membebaskan orang yang kesurupan, Yesus memercayakan kepada orang itu perutusan ini, "Pulanglah kepada kaum kerabatmu, dan beritahukanlah kepada mereka betapa besar karya yang telah diperbuat Tuhan atasmu dan betapa Tuhan telah menyatakan belas kasihan-Nya kepadamu!" (Mrk. 5:19).
Pemanggilan
Matius juga disajikan dalam konteks belas kasihan. Ketika melewati gardu cukai,
Yesus menatap Matius dengan sorot mata-Nya yang tajam. Inilah tatapan yang
penuh belas kasihan yang mengampuni dosa-dosa Matius, seorang pendosa dan
pemungut cukai, yang dipilih Yesus - melawan keragu-raguan para murid - untuk
menjadi salah satu dari kedua belas murid. Ketika mengomentari kutipan Injil
ini, Santo Beda Venerabilis menulis bahwa Yesus menyelamatkan Matius dengan mengasihani
dan memilihnya: miserando atque eligendo. Ungkapan ini sangat menyentuh hati
saya sehingga saya memilihnya menjadi motto episkopal saya.
9. Dalam perumpamaan-perumpamaan tentang belas kasihan, Yesus mengungkapkan kodrat
Allah sebagai seorang Bapa yang tidak pernah menyerah sebelum Ia mengampuni
orang yang salah dan mengatasi penolakan dengan kasih sayang serta belas
kasihan. Perumpamaan-perumpamaan itu kita kenal dengan baik, khususnya tiga
perumpamaan berikut: domba yang hilang, dirham yang hilang, dan anak yang
hilang (bdk. Luk. 15:1-32). Dalam perumpamaan-perumpamaan ini, Allah selalu
ditampilkan sebagai sosok yang penuh suka cita, khususnya ketika Ia memberikan
pengampunan. Dalam perumpamaan-perumpamaan itu kita menemukan intisari dari
Injil dan iman kita, sebab belas kasihan disajikan sebagai kekuatan yang
mengalahkan segala sesuatu, yang memenuhi hati dengan kasih, dan yang membawa
penghiburan lewat pengampunan.
Dari
perumpamaan lain, kita memetik suatu pelajaran yang penting untuk kehidupan
kristiani kita. Ketika menjawab pertanyaan Petrus mengenai berapa kali orang
harus mengampuni sesama, Yesus berkata, “Bukan sampai tujuh kali, tetapi sampai
tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22). Kemudian Ia menuturkan perumpamaan
tentang “hamba yang jahat.” Ketika dipanggil tuannya untuk melunasi hutangnya
yang sangat besar, sambil bersujud hamba itu memohon belas kasihan. Tuan itu
menghapus semua hutangnya. Tetapi kemudian hamba itu berjumpa dengan seorang
rekan hamba yang berhutang hanya beberapa sen kepadanya. Rekan hamba ini
bersujud di hadapannya dan memohon belas kasihan. Tetapi hamba yang pertama itu
menolak permintaan temannya dan menjebloskan dia ke dalam penjara. Ketika
mendengar hal itu, tuan hamba itu menjadi sangat marah. Ia memanggil kembali
hamba pertama tadi dan berkata, “Bukankah engkau pun harus berbelaskasihan
kepada kawanmu seperti aku telah berbelaskasihan kepadamu? (Mat. 18:33).
Yesus
menutup pengajaran-Nya dengan berkata, “Demikianlah Bapa-Ku yang di surga akan
berbuat terhadap setiap orang dari kamu, apabila kamu tidak mengampuni
saudaramu dengan segenap hati." (Mat. 18:35).
Perumpamaan
ini mengandung pelajaran yang sangat mendalam bagi kita semua. Yesus menegaskan
bahwa belas kasihan bukan hanya tindakan yang dilakukan oleh Bapa. Belas
kasihanan juga menjadi kriteria untuk menentukan siapa anak-anak Bapa yang
benar. Jelasnya, kita dipanggil untuk menunjukkan belas kasihan sebab kita
sudah lebih dulu mendapatkan belas kasihan. Mengampuni pelanggaran sesama
merupakan ungkapan yang paling jelas dari cinta yang penuh belas kasihan, dan
bagi kita orang-orang kristiani pengampunan merupakan tindakan yang harus kita
laksanakan, tidak dapat tidak. Kadang-kadang begitu sulit rasanya memberi
pengampunan! Tetapi pengampunan adalah alat jitu yang ditempatkan dalam tangan
rapuh kita untuk memperoleh ketenangan hati.
Membuang
kemarahan, kegusaran, kekerasan, dan balas dendam merupakan tuntutan mutlak
untuk hidup dengan damai. Oleh karena itu, marilah kita mendengarkan anjuran
Rasul Paulus, “Jangan biarkan matahari terbenam sebelum padam amarah” (Ef.
4:26). Di atas semuanya, marilah kita mendengarkan kata-kata Yesus yang membuat
belas kasihan sebagai ideal kehidupan dan kriteria untuk kesungguhan iman kita,
“Berbahagilah orang yang murah hati karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat.
5:7); inilah sabda bahagia yang harus menjadi aspirasi kita dalam Tahun Suci
ini.
Seperti
dapat kita lihat di dalam Alkitab, belas kasihan merupakan kata kunci yang
mengungkapkan tindakan Allah terhadap kita. Allah tidak hanya menyatakan
kasih-Nya, tetapi juga membauat kasih itu kasat mata dan bisa diraba. Bagaimana
pun, kasih tidak pernah sekedar gagasan yang abstrak. Sedari hakikatnya, kasih
menunjukkan sesuatu yang konkret: niat, sikap, dan peri laku yang diungkapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Belas kasihanan Allah tampak dalam kepedulian-Nya
yang penuh kasih terhadap setiap orang dari kita. Allah merasa
bertanggungjawab; artinya, Ia menginginkan kesejahteraan kita dan ingin melihat
kita bahagia, penuh suka cita, dan hidup dalam damai. Inilah jalan yang harus
ditempuh juga oleh kasih orang-orang kristiani yang murah hati. Sama seperti
Allah itu murah hati, demikianlah kita dipanggil untuk bermurah hati satu sama
lain.
10. Belas kasihanan adalah dasar dari kehidupan Gereja. Semua kegiatan pastoral
Gereja hendaknya diwarnai kasih sayang yang ia ungkapkan kepada kaum beriman;
setiap khotbah dan kesaksian Gereja kepada dunia hendaknya selalu dilengkapi
dengan belas kasihan. Kredibilitas Gereja tampak dalam cara-cara ia menunjukkan
kasih yang murah hati dan penuh belas kasihan. Gereja “memiliki keinginan yang
tanpa akhir untuk menyatakan belas kasihan.” Barangkali sudah lama kita lupa
bagaimana menunjukkan dan menghayati jalan belas kasihan. Di satu pihak, godaan
untuk memusatkan perhatian melulu pada keadilan membuat kita lupa bahwa upaya
keadilan ini barulah langkah awal, meskipun langkah ini penting dan tidak dapat
diabaikan.
Tetapi,
di lain pihak, Gereja harus melangkah maju dan berjuang untuk suatu tujuan yang
lebih tinggi dan lebih penting, yakni belas kasihan. Memang, kita harus
mengakui bahwa, dalam banyak kebudayaan, pengamalan belas kasihan sudah pudar.
Dalam sejumlah kasus, tampak bahwa dunia telah melupakan belas kasihan. Tetapi,
tanpa kesaksian mengenai belas kasihan, kehidupan akan menjadi tanpa buah dan
mandul, ibarat tanaman di padang gurun yang tandus. Telah tiba saatnya bagi
Gereja untuk sekali lagi memenuhi panggilan untuk mengamalkan belas kasihan
dengan penuh suka cita. Sekaranglah saatnya untuk kembali ke basis dan untuk
ikut merasakan keprihatinan serta pergulatan saudara-saudari kita. Belas
kasihan adalah kekuatan yang membangkitkan kita untuk kembali menjalani
kehidupan baru dan mengobarkan dalam hati kita keberanian untuk memandang masa
depan dengan penuh harapan.
11. Janganlah kita melupakan ajaran agung Santo Yohanes Paulus II yang dipaparkan
dalam ensikliknya yang kedua, Dives in Misericordia [Kaya dengan Belas
Kasihan]; waktu itu orang merasa bahwa ensiklik ini muncul secara tak terduga,
dan temanya membuat banyak orang tersentak. Di sana ada dua ayat yang secara
khusus ingin saya tekankan. Pertama, Santo Yohanes Paulus II menggarisbawahi
kenyataan bahwa, dalam budaya masa kini, kita telah melupakan tema belas
kasihan, “Mentalitas manusia masa kini, barangkali lebih dari mentalitas
manusia di masa lampau, tampak menentang gagasan tentang Allah yang
berbelaskasihan. Manusia masa kini cenderung untuk menjauhkan gagasan mengenai
belas kasihan dari kehidupan sehari-hari dan menyingkirkannya dari lubuk hati
manusia.
Istilah
‘belas kasihan’ dan gagasan mengenai ‘belas kasihan’ tampak menimbulkan
ketidaknyamanan dalam diri manusia yang, berkat perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang luar bisa, yang belum pernah terjadi dalam sejarah
sebelumnya, telah menjadi tuan atas bumi, dan telah menaklukkan serta
menguasainya (bdk. Kej. 1:28). Penguasaan bumi, yang kadang-kadang dimengerti
secara sempit dan dangkal, tampak tidak mempunyai ruang untuk belas kasihan ...
Dan inilah sebabnya, di tengah situasi yang melanda Gereja dan dunia dewasa
kini, banyak orang dan kelompok yang dipandu oleh cita iman yang hidup sedang
berpaling - menurut saya secara spontan - kepada belas kasihan Allah.”
Selanjutnya,
Santo Yohanes Paulus II mendorong untuk dilaksanakan pemakluman dan kesaksian
yang lebih mendesak mengenai belas kasihan dalam dunia masa kini, “Langkah ini
harus diambil demi kasih kepada manusia dan kepada segala sesuatu yang sungguh
manusiawi yang, menurut intuisi banyak orang zaman ini, sedang diancam oleh bahaya
yang amat besar. Misteri Kristus ... mewajibkan kita untuk memaklumkan belas
kasihan sebagai perwujudan kasih Allah yang murah hati, yang telah diungkapkan
dalam misteri Kristus yang sama. Misteri Kristus juga mewajibkan kita untuk
berpaling kepada belas kasihan dan untuk sungguh-sungguh memohonnya dalam babak
sejarah Gereja dan dunia yang sulit serta kritis ini.” Ajaran ini lebih
mendesak dari kapan pun dan harus diwujudkan kembali dalam Tahun Suci ini.
Marilah
kita sekali lagi mendengarkan kata-katanya, “Gereja sungguh-sungguh menghayati
suatu kehidupan yang autentik apabila ia mengakui dan memaklumkan belas kasihan
- sifat yang paling menakjubkan dari Sang Pencipta dan Penebus - dan apabila ia
membawa manusia makin dekat ke sumber belas kasihan Sang Juruselamat, yang
telah dipercayakan kepadanya dan terus-menerus disalurkan olehnya.”
12. Gereja dipanggil untuk memaklumkan belas kasihan Allah, denyut jantung Injil,
yang dengan caranya sendiri harus meresapi hati dan pikiran setiap orang.
Mempelai Kristus harus membentuk peri lakunya seturut peri laku Putra Allah
yang menghampiri setiap orang tanpa kecuali. Di masa kini, Gereja mengemban
tanggungjawab untuk melaksanakan evangelisasi baru. Oleh karena itu, Gereja
harus terus-menerus memunculkan kembali tema belas kasihan dengan gairah baru
dan dengan kegiatan pastoral yang diperbarui.
Sungguh
mutlak perlu bahwa Gereja sendiri, demi kredibilitas pewartaannya, menghayati
dan memberi kesaksian mengenai belas kasihan. Perkataan dan perbuatan Gereja
harus menyalurkan belas kasihan, guna menyentuh hati semua orang dan mengilhami
mereka sekali lagi untuk menemukan jalan yang mengantar mereka kepada Bapa.
Kebenaran
utama yang dimaklumkan Gereja adalah kasih Kristus. Gereja harus membuat
dirinya menjadi hamba kasih Kristus dan menyalurkannya kepada semua orang:
kasih yang mengampuni dan yang terungkap nyata dalam pemberian diri sendiri.
Oleh karena itu, di mana pun Gereja hadir, belas kasihan Bapa harus menjadi
nyata. Di paroki-paroki, komunitas, persekutuan, dan gerakan-gerakan kita,
pendek kata, di mana pun ada orang kristiani, di sana setiap orang harus
menemukan oasis belas kasihan.
13. Kita mau menjalani Tahun Yubileum ini dalam terang sabda Tuhan: Murah hati
seperti Bapa. Penginjil mengingatkan kita mengenai ajaran Yesus yang berkata,
“Hendaklah kamu murah hati seperti Bapamu murah hati” (Luk. 6:36). Ini
merupakan suatu program hidup yang harus diwarnai dengan suka cita dan damai.
Perintah Yesus ditujukan kepada setiap orang yang mau mendengarkan suara-Nya
(bdk. Luk. 6:27). Oleh karena itu, untuk dapat bermurah hati, kita pertama-tama
harus membuka hati untuk mendengarkan sabda Allah. Ini berarti bahwa kita harus
menemukan kembali nilai keheningan untuk merenungkan sabda yang disampaikan
kepada kita. Dengan cara ini, akan terbukalah bagi kita kemungkinan untuk
merenungkan belas kasihan Allah dan mengambil alihnya menjadi pola hidup kita.
14. Pelaksanaan ziarah mempunyai tempat istimewa dalam Tahun Suci ini, sebab ziarah
menggambarkan perjalanan hidup yang ditempuh oleh setiap orang dari kita. Hidup
sendiri adalah suatu ziarah, dan jati diri manusia adalah seorang musafir,
seorang peziarah yang terus-menerus berjalan menuju tujuan yang didambakan.
Demikian juga, untuk mencapai Pintu Kudus di Roma atau di tempat ibadat mana
pun di dunia ini, setiap orang, sesuai dengan kemampuannya, harus melakukan
suatu ziarah. Perjalanan ini akan menjadi tanda bahwa belas kasihan merupakan
suatu tujuan untuk dicapai dan menuntut dedikasi serta pengurbanan. Semoga
ziarah menjadi pendorong untuk bertobat: dengan melangkahi ambang Pintu Kudus,
kita akan menemukan kekuatan untuk merengkuh belas kasihan Allah dan
mendedikasikan diri kita untuk bermurah hati kepada sesama sebagaimana Bapa
sudah bermurah hati kepada kita.
Tuhan
Yesus menunjukkan kepada kita langkah-langkah peziarahan untuk mencapai tujuan
kita. "Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi.
Janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah, dan kamu
akan diampuni; berilah, dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang
dipadatkan, yang digoncang, dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam
ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan
kepadamu." (Luk. 6:37).
Di atas
semuanya, Tuhan minta kepada kita untuk tidak menghakimi dan tidak menghukum.
Kalau orang ingin menghindari penghakiman Allah, hendaknya ia sendiri tidak
menjadi hakim atas saudara atau saudarinya. Manusia, kapan pun mereka
menghakimi, hanyalah melihat permukaan, sedangkan Allah melihat sampai ke lubuk
hati. Betapa menyakitkan ucapan-ucapan kita kalau didorong oleh rasa iri dan
dengki! Berbicara jelek tentang orang lain membuat mereka mendapat penilaian
yang buruk, merusak nama baik mereka, dan membiarkan mereka menjadi mangsa
gosip. Menarik diri dari penghakiman dan penghukuman berarti menerima kebaikan
dalam diri orang lain dan membebaskan dia dari penderitaan yang mungkin terjadi
karena penghakiman kita yang berat sebelah atau karena pengandaian bahwa kita
telah mengenal segala sesuatu tentang dia. Tetapi ini belumlah cukup untuk
mengungkapkan belas kasihan. Yesus juga meminta agar kita memberikan
pengampunan dan belas kasihan. Hendaknya kita menjadi alat belas kasihan karena
kita telah lebih dulu menerima belas kasihan dari Allah. Hendaknya kita murah
hati kepada sesama karena kita tahu bahwa Allah telah menaburkan kebaikan-Nya
atas diri kita dengan kemurahan hati yang luar biasa.
Oleh
karena itu, “motto” Tahun Suci ini adalah “Murah Hati Seperti Bapa.” Dalam
kemurahan hati atau belas kasihan, kita menemukan bukti betapa Allah mengasihi
kita. Ia memberikan diri seuturhnya, terus-menerus, secara ikhlas, tanpa
meminta balasan apa pun. Ia datang membantu kita kapan pun kita memanggil-Nya.
Sungguh merupakan hal yang indah bahwa Gereja memulai doa hariannya dengan
kata-kata, “Tuhan, bersegeralah menolong aku. Tuhan, bergegaslah menolong aku”
(Mzm. 70:2)! Bantuan yang kita minta sudah merupakan langkah pertama belas
kasihan Allah terhadap kita. Ia datang untuk membantu kita dalam kelemahan
kita. Dan pertolongannya tampak dalam membantu kita untuk menerima kehadiran
dan kedekatan-Nya kepada kita. Hari demi hari, tergerak oleh belas kasihan
Allah, kita juga dapat berbelaskasih kepada sesama.
15. Dalam Tahun Suci ini, kita menatap ke depan, ke pengalaman membuka hati kepada
orang-orang yang hidup di luar lingkup persekutuan kita, yakni lingkup yang
diciptakan oleh masyarakat modern. Di dunia dewasa ini, betapa banyak situasi
yang meprihatinkan dan serba tidak pasti! Betapa banyak luka yang ditanggung
oleh orang-orang yang tidak mempunyai suara karena teriakan mereka diredam dan
dibenamkan oleh sikap acuh tak acuh dari orang-orang kaya! Dalam Yubileum ini,
Gereja dipanggil, bahkan dengan suara yang lebih lantang, untuk menyembuhkan
luka-luka itu, untuk menenangkan hati mereka dengan minyak penghiburan, untuk
merengkuh mereka dengan belas kasihan, dan menyembuhkan mereka dengan
solidaritas dan kepedulian yang nyata. Marilah kita berusaha untuk tidak jatuh
ke dalam sikap acuh-tak acuh yang congkak atau ke dalam rutinitas monoton yang
menghalangi kita untuk menemukan apa yang baru! Marilah kita membuang jauh-jauh
sikap sinis yang menghancurkan! Marilah kita membuka mata dan melihat
keprihatinan dunia, memperhatikan luka-luka saudara dan saudari kita yang
diingkari martabatnya. Marilah kita menyadari bahwa kita didesak untuk
mendengarkan teriakan mereka minta tolong! Semoga kita dapat menjangkau mereka
dan memberikan dukungan kepada mereka sehingga mereka dapat merasakan
kehangatan karena kehadiran kita, persahabatan kita, dan persaudaraan kita!
Biarlah seruan mereka menjadi seruan kita, dan bersama mereka kita
menghancurkan sikap tak acuh yang terlalu sering menutupi dan menyelubungi
kemunafikan serta egoisme kita!
Keinginan
saya sungguh bernyala-nyala agar, selama Yubileum ini, umat kristiani
merenungkan karya-karya belas kasihan ragawi dan rohani. Cara ini akan
membangkitkan kepedulian kita, yang sudah terlalu lama menjadi tumpul dalam
menghadapi kemiskinan. Dan marilah kita masuk lebih dalam ke jantung Injil di
mana orang miskin mempunyai pengalaman istimewa mengenai belas kasihan Allah.
Dalam khotbah-Nya, Yesus memperkenalkan karya-karya belas kasihan ini kepada
kita sehingga kita dapat mengetahui apakah kita sudah hidup sebagai murid-Nya
atau belum.
Marilah
kita menemukan kembali karya-karya belas kasihan ini: memberi makan orang yang
lapar, memberi minum orang yang haus, memberi pakaian kepada orang yang
telanjang, memberi tumpangan kepada orang asing, menyembuhkan orang sakit,
melawat orang yang ada dalam penjara, dan menguburkan orang mati. Dan marilah
kita tidak melupakan karya-karya belas kasihan rohani, yakni: memberi nasihat
kepada orang yang bimbang, mengajar orang yang tidak tahu, menasihati orang
berdosa, menghibur orang yang tertindas, mengampuni pelanggaran, menanggung
dengan sabar orang-orang yang melukai hati kita, dan berdoa bagi orang yang
masih hidup dan yang sudah meninggal.
Kita
tidak dapat menghindar dari kata-kata Tuhan yang ditujukan kepada kita; semua
itu akan menjadi ukuran dengan mana kita akan dihakimi: apakah kita sudah
memberi makan kepada orang yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus,
memberi tumpangan kepada orang asing, dan memberi pakaian kepada orang yang
telanjang, atau meluangkan waktu bersama orang sakit dan orang yang ada di
dalam penjara (bdk. Mat. 25:31-45).
Lebih
dari itu, kita akan ditanya apakah kita telah membantu sesama untuk keluar dari
kebimbangan yang membuat mereka jatuh ke dalam keputusasaan dan yang sering kali
menjadi sumber kesepian; apakah kita telah membantu mengalahkan sikap acuh tak
acuh yang melanda jutaan orang, yang mengakibatkan anak-anak tidak mendapatkan
sarana-sarana yang perlu untuk membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan;
apakah kita telah mendampingi orang yang kesepian dan tertindas; apakah kita
sudah memaafkan mereka yang telah melukai hati kita, dan apakah kita telah
menolak semua bentuk kemarahan dan kebencian yang menjerumuskan kita ke dalam
kekerasan; apakah kita memiliki kesabaran yang ditunjukkan Allah, yang
sedemikian sabar terhadap kita; dan apakah kita menyerahkan saudara-saudari
kita kepada Tuhan lewat doa-doa kita?
Dalam
diri “orang-orang kecil” ini, Kristus sendiri hadir. Tubuh-Nya menjadi kasat
mata dalam tubuh manusia yang disiksa, yang dihancurkan, yang didera, yang
tidak terawat, dan yang terbuang... yang harus kita perhatikan, kita jamah, dan
kita rawat. Marilah kita tidak melupakan kata-kata St. Yohanes dari Salib, “di
saat kita bersiap-siap untuk meninggalkan kehidupan ini, kita akan dihakimi
atas dasar kasih.”
16. Dalam Injil Lukas, kita menemukan unsur lain yang penting, yang akan membantu
kita menjalani Tahun Yubileum dengan penuh iman. Lukas menulis bahwa Yesus,
pada hari Sabat, kembali ke Nazaret dan, seperti biasanya, ia masuk ke dalam
sinagoga. Umat meminta Dia membaca Alkitab dan memberikan renungan. Kutipan
yang dibaca Yesus diambil dari Kitab Yesaya di mana tertulis, “Roh Tuhan Allah
ada padaku, karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang
yang remuk hatinya, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan kelepasan dari penjara kepada orang-orang yang terkurung, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan” (Yes. 61:1-2).
Suatu
“Tahun rahmat Tuhan” atau “Tahun Kerahiman.” Tahun inilah yang dimaklumkan
Tuhan dan inilah yang Ia inginkan supaya kita jalani. Tahun Suci ini akan
menampilkan kekayaan perutusan Yesus yang digemakan lewat kata-kata nabi: untuk
membawa kata-kata dan tindak-tindak penghiburan kepada orang miskin, untuk
memaklumkan pembebasan kepada orang-orang yang terbelenggu oleh bentuk-bentuk
baru perbudakan dalam masyarakat modern, untuk memulihkan penglihatan
orang-orang yang tidak lagi dapat melihat karena mereka terkungkung dalam diri
sendiri, untuk memulihkan martabat semua orang yang sudah dirampas. Sekali
lagi, khotbah Yesus harus diamalkan secara nyata dalam tanggapan iman yang
harus ditunjukkan oleh orang-orang kristiani lewat kesaksian hidup mereka.
Semoga kata-kata Rasul Paulus menyertai kita: barangsiapa melakukan karya belas
kasihan, hendaknya ia melakukannya dengan suka cita (bdk. Rom. 12:8).
17. Masa Prapaskah dalam Tahun Yubileum ini hendaknya dihayati dengan lebih
sungguh-sungguh sebagai masa istimewa untuk merayakan dan mengalami belas
kasihan Allah. Betapa banyak ayat Alkitab yang sangat cocok untuk direnungkan
selama pekan-pekan Prapaskah guna membantu kita menemukan kembali wajah Bapa
yang murah hati! Kita dapat mengulangi kata-kata Nabi Mikha dan menjadikannya
kata-kata kita sendiri: Ya Tuhan, Engkau yang mengampuni dosa, dan yang
memaafkan pelanggaran; yang tidak terus bertahan dalam murka, melainkan
berkenan menunjukkan belas kasihan. Ya Tuhan, Engkau akan kembali menyayangi
umat-Mu. Engkau akan menghapus kesalahan-kesalahan kami dan mencampakkan segala
dosa kami ke dalam tubir-tubir laut. (bdk. Mikh. 7:18-19}
Kutipan-kutipan
dari kitab Nabi Yesaya juga dapat direnungkan secara konkret selama masa doa,
masa puasa, dan masa meningkatkan karya amal ini. “Bukankah ini puasa yang
Kukehendaki, yakni: supaya engkau meretas belenggu-belenggu kelaliman, dan
melepaskan tali-tali kuk; supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan
mematahkan setiap kuk; supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah; dan apabila engkau
melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak
menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan
merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi
barisan depanmu dan kemuliaan Tuhan menjadi barisan belakangmu. Pada waktu
itulah engkau akan memanggil Tuhan dan Ia akan menjawab, engkau akan berteriak
minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan
kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari serta
memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan
sendiri, dan memuaskan hati orang yang tertindas, maka terangmu akan terbit
dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. Tuhan akan
menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan
akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik
dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan (Yes. 58:6-11).
Gagasan
“24 Jam untuk Tuhan,” yang harus dirayakan pada hari Jumat dan Sabtu sebelum
Minggu Prapaskah IV, hendaknya dilaksanakan di setiap keuskupan. Begitu banyak
orang, termasuk kaum muda, sedang kembali ke Sakramen Rekonsiliasi; lewat
pengalaman rekonsiliasi ini, mereka menemukan kembali jalan pulang kepada
Tuhan, menghayati saat doa yang sungguh khusyuk, dan menemukan makna dari
kehidupan mereka. Marilah kita menempatkan Sakramen Rekonsiliasi pada pusat
kehidupan kita sehingga sakramen ini akan memampukan manusia menyentuh
keagungan belas kasihan Allah dengan tangan mereka sendiri. Bagi setiap
petobat, sakramen ini akan menjadi sumber damai batin yang sejati.
Saya
tidak akan pernah merasa lelah mendesak agar para bapa pengakuan menjadi tanda
autentik dari belas kasihan Bapa. Kita tidak secara otomatis menjadi bapa
pengakuan yang baik. Kita menjadi bapa pengakuan yang baik apabila, di atas
semuanya, kita membiarkan diri kita sendiri menjadi petobat guna mendapatkan
belas kasihan Allah. Hendaklah kita tidak pernah lupa bahwa menjadi bapa
pengakuan berarti ambil bagian dalam perutusan Yesus untuk menjadi tanda nyata
dari kasih ilahi yang tak henti memberi pengampunan dan keselamatan. Kita para
imam telah menerima karunia Roh Kudus untuk mengampuni dosa, dan kita
bertanggungjawab untuk ini. Tak seorang pun dari kita mempunyai kuasa atas
sakramen ini; sebaliknya, lewat sakramen ini kita sungguh menjadi hamba-hamba
setia dari belas kasihan Allah. Setiap bapa pengakuan harus menerima orang
beriman seperti bapa dalam perumpamaan tentang anak yang hilang: seorang bapa
yang lari menyongsong anaknya meskipun anak itu sudah memboroskan semua harta
warisannya. Para bapa pengakuan dipanggil untuk merangkul anak yang menyesali
kesalahannya lalu pulang ke rumah, dan ia harus mengungkapkan suka cita karena
sudah mendapatkan anak itu kembali.
Marilah
kita tidak pernah lelah menjangkau anak lain yang berdiri di luar, yang tidak
mampu menikmati suka cita, guna menjelaskan kepadanya bahwa hukuman yang ia
anggap kejam dan tidak adil itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan belas
kasihan bapa yang tak berbatas. Hendaknya para bapa pengakuan tidak mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada gunanya tetapi, seperti bapa dalam
perumpamaan itu, hendaknya ia dengan arif menyala percakapan yang sudah
disiapkan oleh anak yang hilang itu. Dengan demikian, para bapa pengakuan akan
belajar mendengarkan ratapan minta pertolongan dan belas kasihan yang mengalir
dari hati setiap petobat. Pendek kata, para bapa pengakuan dipanggil untuk
menjadi tanda belas kasihan kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apa
saja.
18.
Selama Masa Prapaskah dalam Tahun Suci ini, saya bermaksud mengutus misionaris-misionaris kerahiman. Mereka akan menjadi tanda perhatian bundawi Gereja terhadap umat Allah, dengan cara membantu mereka agar mampu memasuki kekayaan luar biasa dari misteri kerahiman yang begitu fundamental bagi iman kita. Sejumlah imam akan saya beri wewenang untuk mengampuni bahkan dosa-dosa yang selama ini wewenang pengampunannya dikhususkan untuk Takhta Suci. Dengan demikian cakupan mandat mereka sebagai bapa pengakuan akan menjadi lebih jelas.
Selama Masa Prapaskah dalam Tahun Suci ini, saya bermaksud mengutus misionaris-misionaris kerahiman. Mereka akan menjadi tanda perhatian bundawi Gereja terhadap umat Allah, dengan cara membantu mereka agar mampu memasuki kekayaan luar biasa dari misteri kerahiman yang begitu fundamental bagi iman kita. Sejumlah imam akan saya beri wewenang untuk mengampuni bahkan dosa-dosa yang selama ini wewenang pengampunannya dikhususkan untuk Takhta Suci. Dengan demikian cakupan mandat mereka sebagai bapa pengakuan akan menjadi lebih jelas.
Di atas
semuanya, mereka akan menjadi tanda yang sangat jelas dari kesediaan Bapa untuk
menyambut orang-orang yang mencari pengampunan. Mereka akan menjadi misionaris
kerahiman karena mereka akan menjadi fasilitator demi terjadinya perjumpaan
yang sungguh-sungguh manusiawi, yang menjadi sumber pembebasan; mereka juga
mengemban tanggungjawab besar untuk mengatasi hambatan-hambatan pertobatan dan
untuk mengembalikan hidup baru yang bersumber pada pembaptisan. Dalam perutusan
ini, mereka akan dipandu oleh kata-kata Rasul Paulus, “Sebab Allah telah
mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan
kemurahan hati-Nya atas mereka” (Rom. 11:32).
Sungguh,
setiap orang, tanpa kecuali, dipanggil untuk menikmati belas kasihan. Semoga
para misionaris kerahiman ini menghayati panggilannya dengan penuh keyakinan
bahwa mereka dapat menatap Yesus, “Imam Agung yang menaruh belas kasihan dan
setia melayani Allah” (Ibr. 2:17).
Saya minta kepada saudara-saudara saya, para uskup, untuk mengundang dan menyambut para misionaris kerahiman ini sehingga mereka, di atas semuanya, dapat menjadi khotbah yang meyakinkan mengenai belas kasihan. Hendaknya setiap keuskupan mengatur “perutusan mereka kepada umat” sedemikian rupa sehingga para misionaris kerahiman ini dapat menjadi bentara suka cita dan pengampunan. Saya minta para uskup merayakan Sakramen Rekonsiliasi bersama umat mereka sehingga masa rahmat yang digelar oleh Tahun Yubileum ini memungkinkan banyak putra-putri Allah sekali lagi menempuh perjalanan kembali ke rumah Bapa.
Hendaklah
para imam, khususnya selama Masa Prapaskah, gigih memanggil kembali kaum
beriman “ke takhta rahmat, sehingga kita boleh menerima belas kasihan dan
mendapatkan rahmat” (Ibr. 4:16).
19. Semoga warta belas kasihan menjangkau setiap orang, dan semoga tidak seorang
pun acuh tak acuh terhadap panggilan untuk mengalami belas kasihan. Dengan
penuh harapan saya menyampaikan undangan untuk bertobat ini kepada orang-orang
yang kelakuannya menjauhkan mereka dari rahmat Allah. Secara khusus, saya ingat
akan laki-laki dan perempuan yang bergabung dengan organisasi-organisasi
kriminal, apa pun bentuknya.
Demi
kebahagiaan mereka, saya mohon agar mereka mengubah hidupnya. Saya memohon hal
ini kepada mereka dalam nama Putra Allah yang, memang menolak dosa, tetapi
tidak pernah menolak orang berdosa. Janganlah jatuh ke dalam perangkap pola
pikir yang mengerikan, yang beranggapan bahwa kebahagiaan bergantung pada uang
dan bahwa, dibandingkan dengan uang, semua yang lain tidak ada nilai atau
martabatnya. Semua ini hanyalah khayalan! Kita tidak dapat membawa uang ke
kehidupan di alam baka. Uang tidak membawa kita kepada kebahagiaan. Kekerasan
yang ditimpakan kepada orang lain demi menimbun kekayaan yang berlumuran darah
tidak akan mampu membuat seorang pun berkuasa atau tidak akan mati. Setiap
orang, cepat atau lambat, akan tunduk kepada penghakiman Allah, dan tak seorang
pun dapat lolos darinya.
Undangan
yang sama saya sampaikan kepada orang-orang yang melakukan korupsi atau
terlibat di dalamnya. Luka-luka yang bernanah ini merupakan dosa berat yang
berteriak keras ke surga untuk mendapatkan pembalasan, karena luka itu
merongrong dasar-dasar kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Korupsi
membuat kita tidak mampu melihat masa depan dengan penuh harapan, karena
kerakusannya yang lalim itu menghancurkan harapan-harapan kaum lemah dan
menginjak-injak orang yang paling miskin di antara kaum miskin. Korupsi adalah
suatu kejahatan yang melekat pada kegiatan hidup sehari-hari, merajalela, dan
menyebabkan skandal publik yang berat. Korupsi adalah tindak pengerasan hati
penuh dosa yang mengganti Allah dengan khayalan bahwa uang adalah suatu bentuk
kekuatan. Korupsi adalah suatu karya kegelapan, yang dipupuk oleh kecurigaan
dan tipu daya. Corruptio optimi pessima, kata St. Gregorius Agung dengan alasan
yang tepat, sembari menegaskan bahwa tidak seorang pun kebal terhadap godaan
ini. Apabila kita ingin mengusirnya dari kehidupan pribadi dan kehidupan
masyarakat, kita memerlukan kebijaksanaan, kewaspadaan, loyalitas,
transparansi, dan keberanian untuk menolak setiap perbuatan jahat. Apabila
korupsi tidak diperangi secara terbuka, cepat atau lambat, setiap orang akan
menjadi kaki tangannya, dan semuanya akan berakhir dengan penghancuran
kehidupan kita sendiri.
Sekaranglah
kesempatan yang baik untuk mengubah hidup kita! Inilah saatnya kita membiarkan
hati kita disentuh! Apabila kita menghadapi perbuatan-perbuatan jahat, juga
menghadapi kejahatan yang berat, inilah saatnya kita mendengarkan teriakan
orang tak bersalah yang dirampas hartanya, martabatnya, perasaannya, bahkan
hidupnya. Melekat pada jalan kejahatan hanya akan membiarkan diri diperdaya dan
dirundung duka. Hidup sejati adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Allah
tidak pernah lelah menghampiri kita. Ia selalu siap mendengarkan; demikian juga
saya dan saudara-saudara saya para uskup dan para imam. Yang harus dilakukan
oleh setiap orang adalah menerima undangan untuk bertobat dan menyerahkan diri
kepada keadilan yang dalam masa kerahiman yang istimewa ini ditawarkan oleh
Gereja.
20. Sungguh tepatlah kalau pada saat ini kita merenungkan hubungan antara keadilan
dan belas kasihan. Keduanya bukanlah realita yang saling bertentangan, tetapi
dua dimensi dari realitas tunggal yang terus berkembang sampai memuncak pada
kepenuhan kasih. Keadilan adalah suatu gagasan fundamental dari masyarakat
sipil, yang dikendalikan oleh peraturan undang-undang. Keadilan juga merupakan
suatu nilai yang sangat serasi untuk setiap pribadi. Dalam Alkitab, ada banyak
acuan mengenai keadilan ilahi dan “penghakiman” yang dilakukan oleh Allah.
Dalam kutipan-kutipan itu, keadilan dipahami sebagai kepatuhan penuh kepada
Hukum dan sebagai peri laku yang baik selaras dengan perintah-perintah Allah.
Tetapi, pandangan seperti itu seringkali menjerumuskan orang kepada sikap
legalisme yang menyimpangkan makna asli dari keadilan dan mengaburkan nilai
hakikinya. Untuk mengatasi sikap legalistik ini, kita harus mengingat bahwa,
dalam Kitab Suci, keadilan dimengerti pertama-tama sebagai penyangkalan diri
sendiri untuk taat kepada kehendak Allah.
Beberapa
kali Yesus berbicara bahwa iman lebih penting dari pada ketaatan kepada hukum.
Dalam arti inilah kita harus memahami kata-kata Yesus ketika Ia, sewaktu makan
bersama Matius dan pemungut cukai lain serta para pendosa, berkata kepada
orang-orang Farisi yang menyatakan keberatan kepada-Nya, “Pergilah dan
pelajarilah makna dari firman ‘Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan
persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan
orang berdosa” (Mat. 9:13).
Dihadapkan
dengan visi mengenai keadilan sebagai sekedar ketaatan kepada hukum yang
menghakimi manusia hanya dengan membagi mereka ke dalam dua kelompok - orang
benar dan orang berdosa - Yesus terdorong untuk mewahyukan karunia agung belas
kasihan yang mencari orang berdosa dan memberi mereka pengampunan serta
keselamatan. Atas dasar visi kerahiman sebagai sumber kehidupan baru yang
membebaskan, orang dapat memahami mengapa Yesus ditolak oleh orang Farisi dan
para ahli taurat lainnya. Dalam upaya untuk tetap patuh kepada hukum, mereka
senantiasa meletakkan beban di atas bahu orang lain dan merongrong kerahiman
Bapa. Tuntutan untuk taat penuh kepada hukum tidak boleh mengabaikan perhatian
yang harus diberikan kepada masalah-masalah yang menyentuh martabat pribadi
orang.
Yesus
menaruh perhatian besar pada teks yang dikutip dari kitab Nabi Hosea: Aku
menyukai kasih, dan bukan kurban sembelihan (Hos. 6:6). Perhatian ini penting
dalam kaitan dengan belas kasihan. Yesus menegaskan bahwa, mulai saat itu,
pedoman hidup murid-murid-Nya harus dipusatkan pada belas kasihan, sebagaimana
ditunjukkan oleh Yesus sendiri dengan makan bersama dengan orang-orang berdosa.
Sekali lagi, belas kasihan ditampilkan sebagai unsur fundamental dari perutusan
Yesus. Hal ini merupakan tantangan berat bagi para pendengar-Nya, yang
mengedepankan perghormatan formal terhadap hukum.
Di lain
pihak, dengan menjalin hubungan dengan orang-orang yang oleh hukum dipandang
sebagai pendosa, Yesus sungguh melampaui ketentuan hukum; tindakan ini membuat
kita sadar akan dalamnya belas kasihan Yesus.
Rasul
Paulus menempuh perjalanan yang serupa. Sebelum berjumpa dengan Yesus pada
jalan ke Damsyik, dengan gigih ia mendedikasikan hidupnya untuk menegakkan
keadilan menurut hukum Taurat (bdk. Flp. 3:6). Pertobatannya kepada Kristus
mengantar dia untuk membalikkan visinya sebagaimana terlihat dalam surat yang
ia tulis kepada Jemaat di Galatia, “Kami telah percaya kepada Kristus Yesus,
supaya kami dibenarkan karena iman akan Kristus dan bukan karena hukum Taurat.
Sebab tidak ada seorang pun yang dibenarkan karena melakukan hukum Taurat.”
(Gal. 2:1).
Pemahaman Paulus mengenai keselamatan berubah secara radikal. Sekarang ia menempatkan iman pada tempat pertama, bukan keadilan. Keselamatan datang bukan karena ketaatan kepada hukum, tetapi karena iman akan Yesus Kristus, yang lewat kematian dan kebangkitan-Nya membawa keselamatan dan belas kasihan yang menyelamatkan. Sekarang, bagi orang-orang yang tertindas oleh perbudakan dosa dan antek-anteknya, keadilan Allah menjadi kekuatan yang membebaskan. Keadilan Allah adalah belas kasihan-Nya (bdk. Mzm. 51:11-16).
21. Belas kasihanan tidak bertentangan dengan keadilan. Sebaliknya, belas kasihan
menunjukkan cara Allah menghampiri orang berdosa, sembari menawarkan kepadanya
kesempatan baru untuk mawas diri, bertobat, dan percaya. Pengalaman Nabi Hosea
dapat menolong kita melihat bagaimana belas kasihan mengatasi keadilan. Era di
mana Nabi Hosea hidup merupakan suatu masa dramatis dalam sejarah Bangsa
Yahudi. Kerajaan Israel mengalami kegoncangan sampai di ambang kehancuran; umat
Israel tidak setia kepada perjanjian; mereka telah menjauh dari Allah dan
kehilangan iman nenek moyang. Menurut logika manusia, sungguh beralasan kalau
Allah menolak bangsa yang tidak setia itu; mereka tidak lagi mematuhi
perjanjian mereka dengan Allah dan karena itu sudah sepantasnya dihukum; dengan
kata lain: dibuang.
Kata-kata
nabi menyatakan hal itu, “Mereka harus kembali ke tanah Mesir, dan Asyur akan
menjadi raja mereka, sebab mereka menolak untuk bertobat. (Hos. 11:5). Tetapi,
setelah mereka memohon pengampunan, secara radikal sang nabi mengubah nada
bicaranya dan menampilkan wajah sejati Allah, “Masakan Aku membiarkan engkau,
hai Efraim? Masakan Aku menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan
engkau seperti Adma, dan membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik sama
sekali, belas kasihan-Ku bangkit seketika. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku
yang bernyala-nyala, dan tidak akan membinasakan Efraim. Sebab Aku ini Allah
dan bukan manusia! Aku ini Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku datang bukan
untuk membinasakan.” (Hos. 11:8-9). Santo Agustinus, ketika mengomentari
kata-kata nabi ini berkata, “Bagi Allah, lebih mudah meredakan murka-Nya dari
pada menarik belas kasihan-Nya.” Jadi, murka Allah berlangsung hanya sesaat,
sedangkan belas kasihan-Nya berlangsung sepanjang masa.
Kalau
Allah membatasi diri hanya pada keadilan, Ia tidak akan lagi menjadi Allah!
Sebaliknya, Ia akan menjadi seperti manusia yang hanya menuntut agar hukum
dihormati. Tetapi keadilan saja tidaklah cukup. Pengalaman menunjukkan bahwa
mendewakan keadilan hanya akan mengakibatkan hancurnya keadilan itu sendiri.
Itulah sebabnya Allah mengunggulkan belas kasihan dan pengampunan-Nya di atas
keadilan. Tetapi, ini tidak berarti bahwa keadilan akan kehilangan maknanya
atau diberi nilai yang berlebihan. Pada dasarnya, setiap orang yang melakukan
kesalahan haus membayar harganya. Tetapi, ini barulah awal dari pertobatan,
bukan titik akhir, sebab pada saat itu orang baru mulai merasakan kasih sayang
dan belas kasihan Allah. Namun, Allah tidak mengingkari keadilan.
Sebaliknya,
Ia meningkatkan keadilan dan menyempurnakannya dengan tindakan lain yang jauh
lebih besar di mana kita mengalami kasih sebagai landasan untuk keadilan yang
sejati. Kita harus memperhatikan dengan saksama celaan yang dikatakan oleh
Santo Paulus tentang orang-orang Yahudi pada masanya kalau kita tidak ingin
melakukan kesalahan yang sama, “...mereka tidak mau mengenal kebenaran Allah,
tetapi mereka terus berusaha untuk mengunggulkan kebenaran mereka sendiri. Maka
mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah. Sebab Kristus adalah kegenapan
hukum Taurat, sehingga kebenaran sejati hanya didapatkan oleh tiap-tiap orang
yang percaya kepada Kristus.” (Rom. 10:3-4). Keadilan Allah adalah belas
kasihan yang Dia berikan kepada setiap orang sebagai rahmat yang mengalir dari
wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Demikianlah, salib Kristus adalah
penghakiman Allah atas kita semua dan atas seluruh dunia, sebab lewat salib itu
Ia memberi kita kepastian mengenai kasih dan kehidupan baru.
22. Suatu Yubileum selalu menganugerahkan indulgensi. Kebiasaan ini akan memperoleh
makna yang bahkan lebih penting dalam Tahun Suci Kerahiman. Pengampunan Allah
tidak mengenal batas. Dalam wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, Allah membuat
kasih-Nya bahkan tampak lebih gamblang, dan sekaligus menampakkan dengan lebih
jelas kuasa kasih untuk menghancurkan segala dosa manusia. Pendamaian dengan
Allah dimungkinkan berkat misteri paskah dan pengantaraan Gereja. Demikianlah,
Allah selalu siap mengampuni, dan Ia tidak pernah lelah mengampuni dengan cara
yang terus-menerus baru dan menakjubkan. Meskipun demikian, kita semua tahu
dengan baik bagaimana rasanya jatuh ke dalam dosa.
Kita
tahu bahwa kita dipanggil kepada kesempurnaan (bdk. Mat. 5:48); tetapi kita
merasakan beban dosa yang sangat berat. Memang, kita merasakan kuasa rahmat
yang menyelamatkan. Tetapi, kita juga merasakan dampak dari dosa yang merupakan
ciri khas dari keadaan kita yang telah jatuh. Meskipun dosa sudah diampuni,
dampak dari dosa yang saling bertentangan itu masih tetap ada. Dalam Sakramen
Rekonsiliasi, Allah mengampuni dosa-dosa kita, yang sungguh-sungguh Ia
hapuskan; tetapi dosa itu meninggalkan dampak negatif pada cara kita berpikir
dan bertindak. Namun kerahiman Allah jauh lebih kuat dari pada dampak negatif
itu. Hal ini sangat berkenan di hati Allah yang, lewat Mempelai Kristus, yakni
Gereja, menghampiri orang berdosa yang sudah diampuni dan membebaskan dia dari
setiap noda yang masih tertinggal, sembari memampukan dia untuk bertindak
dengan kasih dan bertumbuh dalam kasih sehingga tidak jatuh kembali ke dalam
dosa.
Gereja
hidup dalam persekutuan dengan orang-orang kudus, yang merupakan karunia dari
Allah. Dalam Ekaristi, persekutuan ini menjadi kesatuan rohani yang mengikat
kita dengan para santo-santa dan beato-beata yang tidak terbilang jumlahnya
(bdk. Why. 7:4). Kekudusan mereka merupakan bantuan bagi kita untuk mengatasi
kelemahan dengan cara-cara yang memampukan Gereja untuk, dengan doa-doa
bundawinya dan dengan cara hidupnya, memperkuat kelemahan sejumlah anggota
dengan kekuatan anggota yang lain. Karena itu, menjalani Tahun Suci dengan
segenap hati berarti menghampiri kerahiman Bapa dengan penuh keyakinan bahwa
pengampunan-Nya menjangkau seluruh kehidupan kaum beriman. Memperoleh
indulgensi berarti mengalami kekudusan Gereja, yang melimpahkan kepada semua
orang buah-buah penebusan Kristus, sehingga kasih Allah dan pengampunan-Nya
dapat menjangkau setiap tempat. Marilah menjalani Tahun Yubileum ini dengan
sungguh-sungguh, sambil memohon kepada Bapa agar Ia berkenan mengampuni
dosa-dosa kita dan membasuh kita dalam “indulgensi”-Nya yang murah.
23. Kerahiman itu melampaui batas-batas Gereja. Kerahiman menghubungkan kita dengan
Yudaisme dan Islam; kedua agama ini juga memandang kerahiman sebagai sifat
Allah yang paling penting. Israel adalah bangsa pertama yang menerima pewahyuan
tentang kerahiman, yang berlanjut dalam sejarah, sebagai sumber kekayaan yang
tak kunjung kering untuk dibagikan kepada segenap umat manusia. Seperti telah
kita lihat, halaman-halaman Perjanjian Lama penuh dengan percik kerahiman,
sebab halaman-halaman itu menuturkan karya-karya yang dilakukan Tuhan demi
umat-Nya pada saat-saat yang paling sulit dalam sejarah mereka.
Dalam
Islam, satu di antara nama-nama unggul yang disematkan kepada Sang Pencipta
adalah “Pengasih dan Penyayang.” Seruan ini sering kali meluncur dari bibir
kaum beriman Muslim yang merasa diri didampingi dan ditopang oleh belas kasihan
Allah dalam kelemahan sehari-hari mereka. Mereka juga percaya bahwa tidak
seorang pun dapat membatasi belas kasihan ilahi sebab pintunya selalu terbuka.
Saya
yakin bahwa Tahun Yubileum yang merayakan belas kasihan Allah akan meningkatkan
perjumpaan Gereja dengan agama-agama ini dan dengan tradisi-tradisi luhur semua
agama; semoga keyakinan ini membuka hati kita kepada dialog yang bahkan lebih
hangat sehingga kita dapat mengenal dan memahami satu sama lain dengan lebih
baik; semoga Tahun Yubileum ini menghapus setiap bentuk kepicikan dan
pelecehan, dan membasmi setiap bentuk kekerasan serta diskriminasi.
24. Kini, pemikiran saya berpaling kepada Bunda yang Berbelaskasih. Semoga dalam
Tahun Suci ini wajahnya yang manis selalu memandang kita, sehingga kita semua
dapat menemukan kembali suka cita karena merasakan kasih Allah. Tak seorang pun
menyelami misteri inkarnasi yang sangat mendalam itu seperti Maria. Seluruh
hidup Maria dibentuk seturut kehadiran belas kasihan Allah yang menjelma
menjadi manusia. Bunda Yesus Yang Tersalib dan Bangkit telah masuk ke dalam
tempat kudus kerahiman ilahi sebab ia berpartisipasi secara penuh dalam misteri
kasih-Nya.
Dipilih
untuk menjadi Bunda Putra Allah, Maria, sejak kelahirannya, telah disiapkan
oleh kasih Allah untuk menjadi Tabut Perjanjian antara Allah dan manusia. Maria
menyimpan kerahiman ilahi di dalam hatinya dalam harmoni yang sempurna dengan
Putranya Yesus. Kidung pujiannya, yang dilagukan di ambang pintu rumah
Elisabet, didedikasikan kepada kerahiman Allah yang mengalir turun-temurun dari
“angkatan ke angkatan” (Luk. 1:50). Kita juga dimasukkan ke dalam kata-kata
profetis Perawan Maria ini. Ini akan menjadi sumber penghiburan dan kekuatan
bagi kita pada saat kita melintasi ambang Tahun Suci untuk menikmati buah-buah
kerahiman ilahi.
Di
bawah kaki salib, bersama dengan Yohanes murid yang terkasih, Maria menjadi
saksi kata-kata pengampunan yang diucapkan Yesus bagi orang-orang yang
menyalibkan-Nya. Kerahiman terhadap mereka itu merupakan ungkapan tertinggi
dari kerahiman yang menunjukkan kepada kita puncak yang dapat dijangkau oleh
kerahiman Allah. Maria menyaksikan bahwa kerahiman Putra Allah tidak mengenal
batas, dan menjangkau setiap orang, tanpa kecuali. Marilah kita menyapa Maria
dengan kata-kata Salve Regina, suatu doa yang sudah sangat tua tetapi sekaligus
selalu baru, sehingga ia tidak pernah lelah memalingkan pandangannya yang penuh
kasih kepada kita, dan membuat kita layak untuk menatap wajah belas kasihan,
yakni Yesus, Putranya.
Marilah
kita juga mohon doa kepada para santo-santa dan beato-beata yang menghayati
belas kasihan sebagai perutusan mereka sepanjang hayat. Saya mengenang khususnya
rasul agung kerahiman, Santa Faustina Kowalska. Semoga ia, yang diundang
memasuki lubuk kerahiman ilahi, mengantar doa-doa kita dan memperoleh bagi kita
rahmat untuk selalu hidup dan berjalan seturut belas kasihan Allah dan dengan
penyerahan yang tak tergoyahkan kepada kasih-Nya.
Oleh
karena itu saya mempersembahkan Tahun Yubileum Luar Biasa ini, yang
didedikasikan untuk, dalam kehidupan sehari-hari, menghayati belas kasihan yang
terus-menerus dilimpahkan Allah kepada kita semua. Dalam Tahun Yubileum ini,
marilah kita membiarkan Allah untuk membuat kita takjub. Ia tidak pernah lelah
untuk terus-menerus membuka pintu hati-Nya dan menandaskan bahwa Ia mengasihi
kita dan ingin membagikan kasih-Nya kepada kita. Gereja merasakan dorongan yang
sungguh mendesak untuk memaklumkan kerahiman Allah. Hidup Gereja akan tampak
autentik dan dapat dipercaya hanya kalau ia menjadi bentara kerahiman yang
meyakinkan. Gereja tahu bahwa tugas utamanya, khususnya pada saat yang penuh
keprihatinan dan gejala-gejala pertikaian ini, adalah memperkenalkan kepada
setiap orang misteri agung kerahiman Allah dengan menatap wajah Kristus. Gereja
dipanggil pertama-tama untuk menjadi saksi yang pantas dipercaya tentang
kerahiman, dengan cara mengakui dan menghayatinya sebagai intisari pewahyuan
Yesus Kristus.
Dari
jantung hati Tritunggal, dari lubuk misteri Allah, bengawan agung kerahiman
membual dan mengalir tanpa henti. Inilah mata air yang tak pernah kering,
berapa pun banyaknya orang yang menimba darinya. Kapan saja orang membutuhkan,
ia dapat menghampirinya, sebab kerahiman Allah tidak pernah berakhir. Kedalaman
misteri yang menyelimuti kerahiman ilahi juga tak kunjung kering sebagaimana
kekayaan yang membual darinya.
Dalam
Tahun Yubileum ini, semoga Gereja menggemakan sabda Allah yang bergaung kuat
dan jelas sebagai amanat serta tanda pengampunan, kekuatan, pertolongan, dan
kasih. Semoga Gereja tidak pernah lelah menaburkan belas kasihan, dan selalu
sabar menyalurkan kasih sayang serta penghiburan. Semoga Gereja menjadi suara
setiap orang, dan dengan penuh keyakinan mengulang tanpa akhir, “Ingatlah akan
segala rahmat dan kasih setia-Mu, ya Tuhan, sebab semuanya itu sudah ada sejak
purbakala. (Mzm. 25:6).
FRANSISKUS
Salam
HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/54E255C0.
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/54E255C0.
NB:
SKI – Sekolah Kerahiman Ilahi
Jumat 18 Desember 2015, 08.00 – 10.00
@ Sekolah St Laurentius Alam Sutera.
Sabtu 19 Desember 2015, 09.00 - 12.00
@ Sekolah St Ursula Jakarta.
SKI – Sekolah Kerahiman Ilahi
Jumat 18 Desember 2015, 08.00 – 10.00
@ Sekolah St Laurentius Alam Sutera.
Sabtu 19 Desember 2015, 09.00 - 12.00
@ Sekolah St Ursula Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar