Yang ada warga Muslim, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu
Karena patokan NKRI bukan Islam, tapi PANCASILA!
“GADO-GADO” DALAM SATU PIRING BERNAMA INDONESIA
1. Kebutuhan Dasariah Kita
Tahun tahun ini, mungkin banyak hati kita yang sedih lagi perih, karena hampir setiap hari ada saja berita tentang teror dan horor, bentrokan fisik antar kelompok, yang kadang menjadikan agama sebagai kendaraan politiknya. beragama.
Puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan jiwa melayang karena terhunus kelewang dan parang yang garang. Manusia (yang katanya: persona citra sang Khalik), menjadi kejam-membunuh sesamanya dengan bambu tajam. Mereka saling melempar batu-membuat kalbu menjadi kaku dan beku. Mereka tak segan-segan membakar segala aral yang melintang-nyawa dan hartapun melayang hilang. Di ranah global, banyak negara menjadi korban teror dan horor, dari Amerika, Eropa sampai Timur Tengah. Di ranah lokal, dari timur sampa barat nusantara, dan entah dimana lagi banjir darah akan tertumpah. Padahal ribuan nyawa itu, tak peduli apapun agamanya, sungguh tak layak untuk sebuah peperangan yang amat absurd itu.
Kita tahu bahwa masing-masing agama sama-sama mempunyai tujuan luhur. Namun, ungkapannya berbeda-beda. Perbedaan inilah yang bisa menimbulkan ketegangan. Dan, ketegangan itu bisa meletus menjadi peperangan antar etnis dan pemeluk agama, seperti juga yang terjadi di Kashmir, Irlandia Utara, Kurdistan, dan sebagainya. Di Srilanka, misalnya penduduk Sinhala Budha dan Tamil Hindu saling melakukan tindak kekerasan. Sebagai orang beragama, mungkin banyak dari kita yang merasa sedih melihat itu. Apakah: “Lebih baik tidak usah ada agama lagi, kalau agama malahan menceraiberaikan dan menghancurkan manusia ”
Memang, hidup berdampingan dan saling berdamai merupakan ungkapan yang enak untuk didengarkan dan dibicarakan. Keduanya mengacu pada kerukunan sebagai saudara, yang pada intinya merupakan kebutuhan dasar setiap orang. Mengapa disebut kebutuhan dasar? Karena kerukunan menciptakan perasaan tenang dan aman, karena disana orang merasa dihargai dan bukan dilecehkan. Karena disana orang merasa bebas dan bukannya was-was. Kiranya kondisi serupa inilah, yang memungkinkan orang bisa hidup sungguh-sungguh sebagai manusia dan hidup secara manusiawi.
2. Pluralisme: Sebuah Fakta Real-Antara Harapan dan Kenyataan
Sudah sering kita dengar, bahwa negeri kita adalah multi etnis dan multi religius, pun pula multi rasial. Ketunggalan dan kesatuan dalam keanekaragaman tetap menjadi cita-cita kita. Mengapa menjadi cita-cita? Rupanya kita berhadapan dengan kenyataan yang menunjukkan cita-cita itu belum tampak. Kenyataan itu menjadi tantangan yang senantiasa menggugah sekaligus mengugat kita untuk memperbaikinya. Kalau benar, bahwa keanekaragaman itu sudah ada di bumi kita, kita seolah-olah menjadi tersentak, bahwa ternyata sekarang kita masih perlu membicarakannya. Malah pembicaraan tentang keanekaragaman itu menjadi semarak, ketika kita mengangkat sinonim kata keanekaragaman yang kita ambil dari bahasa asing, yaitu pluralisme.
Kita mengetahui bahwa keanekaragaman sudah ada sejak dahulu kala, bukan perkara asing bagi kita, apalagi jika kita ingat bahwa warisannya sering kita terima begitu saja. Kini kita hendak membicarakannya pula, karena rupanya keanekaragaman agama itu belum lama kita sadari. Sejarah pertikaian agama sudah mencatat fakta yqng sulit dilupakan, dan rupanya masih akan terus membekas, entah disadari atau tidak. Jika tidak sadar, maka persoalannya menjadi semakin rentan. Jika disadaripun, maka persoalannya belum tuntas juga. Jika persoalannya cenderung ditutup-tutupi, maka resikonya sama-sama tidak kecil.
Bahwa pluralisme agama itu kini dibicarakan, rupanya juga karena pemeluk agama-agama itu ingin hidup rukun, damai berdampingan. Namun keinginan itu tidak mudah diwujudkan, karena disana-sini masih saja kita lihat adanya hambatan. Mengapa seolah-olah kita baru menyadari perlunya kerukunan itu, sehingga sekarang kita masih merasa perlu untuk berbicara tentang hal itu? Padahal bukankah itu kerinduan setiap agama pada tarap penghayatan kerohaniannya?
Atau, kalau kita berbicara tentang pluralisme, kemudian langsung muncul kesan bahwa agama-agama itu sama saja, sehingga kita tak perlu membicarakannya lagi. Atau benarkah ini era post-modernisme: ‘orang menyadari keberbedaannya (keanehan yang disayanginya) masing-masing, dan mencari konsensus dalam kehidupan bersama ini. Tidak banyak berpikir tentang adanya keanekaragaman agama karena malah bikin pusing. Bukankah yang paling penting adalah bertindak, bekerja dan berbuat.’
Kalau mau terus terang, bagi orang banyak, justru keanekaragaman diantara kita belum sungguh-sungguh menjadi, bagaikan indahnya susunan warna-warni pelangi yang enak dinikmati dan dikagumi. Sikap saling menghormati dan tenggang rasa pada sesama masih ada pada taraf intelek dan di atas kertas. Kondisi kerukunan umat jarang dapat dijumpai oleh banyak orang dalam kesehariannya. Sebaliknya, yang ada adalah sikap saling curiga, klaim mutlak kebenaran pandangannya sendiri, dan bahkan sikap yang menganggap bahwa Allah itu selalu hanya berpihak pada dirinya sendiri dalam konfrontasi dengan yang lainnya. Yang ada adalah ketakutan akan yang lain, yaitu akan orang maupun pandangan lain. Orang takut kehilangan identitasnya sendiri bila harus mengakui kelainan dari orang beragama lain. Orang takut jatuh pada sikap indiferent, yaitu sikap acuh tak acuh yang merelatifkan imannya sendiri. Walau demikian, harus diakui bahwa upaya membina kerukunan antar umat dalam masyarakat kita yang pluralis dan multi religius ini adalah sebuah tuntutan pokok.
Kini, mungkin bagi sementara rekan ada yang merasa, bahwa orang Kristen sekarang ini banyak yang merasa ketakutan menghadapi gelombang kebangkitan Islam. Sebagai contoh: Tablig akbar di pelbagai daerah, kiprah politikus Islam yang radikal dan banyak menguasai pelbagai sektor vital, kebijakan politik yang seringkali merugikan kaum minoritas, gegap gempita pelbagai perayaan agama Islam, pembaruan serta peningkatan kualitas dalam bidang pendidikan-seni dan budaya, proyek jilbabnisasi, penerbitan buku-buku-siaran radio serta pemberitaan media massa, dan juga pelbagai dakwah yang kerap terkesan sengaja menjatuhkan dan menusuk perasaan kaum minoritas, belum lagi maraknya posko jihad, munculnya pelbagai forum Islam, seperti FPI, Pemuda Ka’bah, CIDES, KISDI, dan sebagainya.
Tidak kalah hebat pula teman-teman Islam yang resah-gelisah, karena kristenisasi terus merajalela dimana-mana. Semua yg dilakukan oleh orang Kristen, bahkan juga dalam bentuk yang paling tidak bersifat keagamaanpun. Misalnya: perjuangan HAM, pembelaan kaum miskin (pengentasan anak-anak jalanan, pemulung, gelandangan), pemberian bahan makanan dan pengobatan gratis, segala jenis gerakan turun ke jalan (termasuk demonstrasi mahasiswa) adalah kristenisasi, hojatan kepada Nabi Muhamad SAW, dan pelecehan terhadap pelbagai ucapan qur’aniah terus saja berlangsung. Apakah itu dialog agama, kalau bukan suatu jenis baru dari kristenisasi? Bukankah setiap agama berhak untuk menjalankan ibadahnya sendiri? Orang Kristen itu begitu sedikit, tapi mengapa mereka begitu banyak mempengaruhi kepentingan umum dalam masyarakat?
Begitu mungkin daftar pertanyaan yang berasal dari pengalaman masing-masing pemeluk agama, paling tidak yang sementara ini relevan di sekitar kita, yaitu antara Islam dan Kristen. Masing-masing bertolak dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, yang jelas pasti tidak akan bertemu.
Dan, setiap terjadi konflik agama, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar pokok masalah, dan seringkali akar masalahnya adalah non teologis, tapi lebih pada persaingan politik-ekonomi dari para elite pemimpin. Konflik agama sifatnya sangat emosional dan destruktif, maka emosi massa yang terlibat akan sangat mudah dikobarkan dengan cara dihasut. Bagi pihak yang merasa dirugikan, sulit untuk berdamai, sebelum melakukan pembalasan setimpal. Dan pihak yang merasa unggul, akan semakin agresif agar lawan benar-benar lumpuh, sehingga peluang pembalasan semakin kecil. Markas kebatilan dan ladang kezalimanpun tercipta di negara yang katanya ber-Bhinneka Tunggal Ika ini.
Ternyata memang benar prediksi para pemikir dunia: Jika pasca perang dunia II, yang dianggap potensial sebagai sumber konflik adalah ideologi kebangsaan (nasionalime), maka di penghujung abad ke-20 ini, sumber konflik itu bergeser pada kebangkitan sentimen agama dan etnisitas yang militan. Oleh karenanya, pelbagai istilah seperti “Jewish militant, Muslim fundamentalist, Christian Coalition” telah masuk dalam acara politik dengan konotasi negatif. Dibeberapa pelosok bumi, tak ketinggalan di Indonesia, (bahkan di Indonesia, daerah bentrokannya semakin menjalar) kita menyaksikan bahwa misi dan eksistensi agama yang selama ini diperjuangkan sebagai juru damai, tiba-tiba tampil sebagai senjata perusak dan membunuh. Orang mulai dihinggapi perasaan ragu dan pesimis terhadap kemampuan agama sebagai sumber pencerahan memasuki milenium baru ini.
3. Sikap Hidup Beriman Kita: Takut Berkontak?
Sebenarnya pluralisme agama itu merupakan gangguan atau berkat? Yang jelas, tak bisa dipungkiri bahwa kita memang hidup dalam keanekaragaman. Senang tidak senang, kenyataan ini mesti kita hadapi sebagai realitas. Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap realitas pluralime agama ini?
Seringkali kita dengar ungkapan: ‘Hanya ada satu agama yg benar.” Mungkin pandangan ini yang banyak diyakini para pemeluk, terutama masa lalu. Pandangan semacam ini sebenarnya wajar dan masuk akal. Agama sebagai pemberi orientasi hidup yang terdalam haruslah pasti dan satu. Keanekaragaman sering secara spontan cenderung dilihat sebagai ketidakpastian. Akibat ungkapan di atas, kita bisa sulit menerima serta memahami adanya fakta pluralime beragama. Agama lain dipandang sebagai saingan, musuh bebuyutan, bahkan dicap ‘kafir’. Pandangan ini melahirkan pelbagai eklusivisme yang destruktif dalam interaksi satu sama lain, Sejarah mencatat pelbagai pengalaman pahit atas pandangan ini.
Ada juga ungkapan lain yang berbunyi: ‘Semua agama itu sama saja.’ Semuanya mencari kesucian, kebaikan serta mempunyai tujuan yang sama. Pandangan ini sangat populer, dan sering digunakan dalam konteks masyarakat yang pluralistis untuk meredam pelbagai konflik. Dunia kita memang satu, persis seperti apa yang dikatakan Stevie Wonder: We are the world. Kita sebagai satu komunitas keagamaan ditantang untuk menanggapi persoalan yang justru menyentuh aspek kemanusiaan, yang tidak melulu berbicara tentang manusia dalam konteks primordial. Karena masing-masing kita adalah manusia kembara yang sedang dalam berproses menjadi. Setiap individu tidak bisa berkembang dengan wajar tanpa kontak dengan individu lainnya. Individu menemukan jatidirinya justru dalam keterkaitannya dengan individu lainnya. Proses ini berlaku juga dalam agama. Pluralime mendorong agama berhadapan satu sama lain. Interaksi itu mengakibatkan agama tersebut mengalami rasa identitas baru, reorientasi baru. Interaksi ini disatu pihak, tidak menuju suatu peleburan, dilain pihak tidak puas sekedar hidup bersama dengan ketidakpedulian. Interaksi ini tidak menghilangkan keunikan agama yang bersangkutan, tapi justru memperkayanya.
Jaman dulu, orang meyakini hanya ada satu kebenaran. Hal yang putih tidak bisa sekaligus hitam. Kebenaran adalah soal either Or, soal ini atau itu. Cara pandang semacam ini cenderung memutlakan suatu kebenaran dengan sekaligus menolak kebenaran pihak lain. Tapi, kini, keyakinan semacam itu mulai diragukan dan ditinggalkan. Orang belajar dari sejarah bahwa banyak kebenaran yang dulu DIAN ggap mutlak dan pasti ternyata setiap kali dipatahkan oleh penemuan baru. Dalam dunia ilmiahpun, kini tak ada lagi pretensi mencari kepastian pengetahuan. Yang ada adalah mencari hipotesis yang probabilitasnya tinggi. Kini, orang tidak dengan gampang melihat sesuatu sebagai satu-satunya kebenaran. Orang mulai mengakui adanya kebenaran diluar kebenaran yang diakuinya. Pola pikir orang tentang kebenaran berubah dari Either or menjadi Both-and. Kebenaran pada dasarnya membutuhkan kebenaran lain. Dalam bahasa lain, dapat dikatakan bahwa ‘saya bukan anda, tapi bahwa saya adalah bagian dari anda juga.”
Dalam konteks agama, hal itu berarti orang tidak akan sungguh-sungguh memahami identitas religiusnya yang sejati, selama ia tidak berani berkomunikasi dengan yang lain. Tapi agama adalah ibarat gado-gado dalam satu piring. Namanya memang sama, yaitu gado-gado. Tapi dalam gado-gado itu, ada yang namanya toge, ada yang namanya kerupuk, ada yang namanya kacang, ada yang namanya pecel, dan sebagainya. Semua itu justru dibutuhkan untuk sungguh-sungguh membuat suatu ramuan gado-gado yang teracik dan akhirnya bisa disajikan dengan cita rasa lezat.
4. Dialog : Pencerahan Baru - Mengelola Konflik
Hampir setiap orang pasti pernah mengenal pepatah: ‘asam di gunung, garam di laut bertemu dalam belanga.” Pepatah ini mau mengatakan bahwa meski latar belakangnya berlainan sama sekali, namun semuanya ternyata bisa disatukan dalam kebersamaan. Contoh sederhana misalnya, pernikahan orang yang umur keduanya beda jauh. Sebut saja, antara mantan Menko Polkam, Sudomo yang berusia enam puluhan tahun, dengan Fransiska, wanita muda belia, yang masih tiga puluhan.
Apa yang ada dibalik pepatah itu sebenarnya suatu cita-cita. Suatu usaha keras ataupun angan yang muluk dan utopis. Hal ini kiranya juga berlaku bagi pluralisme agama di negara kita. Perlu diingat bahwa: ‘Asam dan garam memang berbeda rasa, tapi tetap masih bisa membuat masakan menjadi lezat kalau kita tahu takarannya. Nah, mungkinkah pemeluk agama yang berlainan bisa duduk satu meja, berdialog dan membicarakan suatu permasalahan bersama?” Itu jelas mungkin dan akhir-akhir ini sedang terus diusahakan.
Dialog adalah kata yang kini amat populer, lantaran kata itu mampu memberi harapan yang didambakan manusia abad ini. Kata ini berusaha memberikan kepastian kepada setiap orang bahwa kita punya martabat sebagai manusia. Kata ini berjanji menghapus pelbagai bentuk penghinaan martabat, penindasan dan perpecahan
Pertanyaan kita sekarang adalah: ‘Kalau begitu, apakah upaya membangun hidup berdampingan tidak dapat dibina lewat dialog lintas agama? Bukankah dialog merupakan cara hidup beriman kita (our being), yang selalu mencari bersama untuk mendekati kebenaran yang mutlak itu? Bukankah kerukunan yang dibina lewat dialog ini merupakan model penghayatan iman yang cocok untuk masyarakat kita?’
Dialog antar umat beragama meneguhkan ciri keragaman masyarakat, bangsa Indonesia. Secara yuridis-konstitusional, semua ini terjamin dengan pasti. Disamping itu, dengan menggalakkan dialog, nilai moral spiritual kebangkitan agama yang dalam dekade terakhir ini sangat terasa kiprahnya semakin diteguhkan dan ditantang kemurnian misinya. Lewat dialog, kitapun juga membangun semangat kerjasama untuk menyumbangkan atau menawarkan nilai moral spiritual yang bermakna bagi rakyat banyak, teristimewa bagi mereka yang dilanda pelbagai kepahitan, kemurungan kalbu, kemumetan batin, kegagalan hidup serta kekosongan diri, karena mentalitas global sekularisme. Fanatisme dan fundamentalisme sosio religius yang biasanya muncul bersamaan dengan kebangkitan agama-agama, dapat dijauhkan lewat dialog yang tulus. Pun pula segala kecenderungan pengkotak-kotakan berdasarkan suku, ras, ideologi agama yang mudah merebak bisa dihindarkan. Bahkan indiferentismepun bisa diatasi. Justru disinilah segenap partisipan saling memperkaya penghayatan iman untuk bersama-sama mencari jalan menemukan kehendak Allah dalam situasi konkret.
Dialog harus dilakukan atas nama umat manusia. Orang perlu memiliki wawasan kemanusiaan yang mengatasi wawasan sektarian dan primordial. Kita perlu juga mengusahakan minat dan pemahaman yang memadai antar agama dan tradisi religius lain, lewat penelusuran warisan rohani yang ada dalam sejarah kita. Dari sini diharapkan, fundamentalisme dan fanatisme picik yang notabene sering desktruktif bisa diatasi. Bahkan Prof. Mukti Ali, mantan menteri agama kita, pernah menganjurkan suatu dialog intermonastik. Beliau menjelaskan demikian: ‘pemimpin suatu agama hidup untuk jangka waktu tertentu di pusat agama lain untuk membangkitkan rasa saling pengertian dan penghargaan demi kerjasama yang lebih besar. Misalnya: pemimpin agama Hindu tinggal dan hidup satu minggu di biara Budhis, pemimpin agama Kristen di pondok pesantren, dan begitu sebaliknya.’
Yang perlu diingat oleh setiap orang, ialah pentingnya dialog antar umat beriman sebagai upaya untuk mengangkat fungsi kritis-korektif agama terhadap dunia, yakni terhadap keadaan kontemporer, khususnya pembangunan sosial-ekonomi, moral politik yang seringkali sangat represif terhadap rakyat kecil. Dengan kata lain: sejauh mana agama-agama yang ada telah menjadi agen reformator? (menciptakan langit dan bumi yang baru!) Janganlah sekali-kali agama dijadikan mesin instrumental keagamaan masing-masing yaitu strategi efektif untuk pertobatan orang beragama lain, tapi sebagai sarana untuk menyumbangkan sesuatu bagi pembangunan dunia agar menjadi tempat yang “layak huni” (baca: manusiawi).
Dialog-dialog antara kita, dalam ujud spiritualitas yang bagaimanapun tetap harus dibuka dan dijadikan wacana atau diskursus untuk sampai pada kemanusiaan itu sendiri. Sehingga dialog tidak lagi berdasarkan rasa curiga, tapi berdasar keyakinan bahwa agama lainpun sangat mungkin mempunyai kebenaran. Sikap ini mesti dibarengi dengan keterbukaan: terbuka terhadap kemungkinan untuk berubah. Perubahan yang dimaksud terutama adalah perubahan pemahaman. Maka, keterbukaan berarti kebenaran untuk melepas praduga-praduga semula, baik tentang agama sendiri, maupun agama orang lain. Keterbukaan akhirnya juga berarti keberanian untuk menerima anggapan pihak lain sebagai oto kritik: kritik terhadap ajaran serta pandangan kita sendiri.
5. Dialog Alternatif: Dialog Doa-Suatu Terobosan Baru
Dialogpun adalah arena untuk ‘belajar hidup’, mencari makna hidup sejati. Maka, dialog pasti membutuhkan banyak pengorbanan, namun hasilnyapun menakjubkan. Bulan Oktober 1986, Paus Johanes Paulus II (pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma) mengundang para pemimpin agama untuk mengadakan dialog ‘DOA’. Para pemimpin agama diseluruh dunia berkumpul di kota Assisi, Italia untuk berdoa dan berpuasa demi terciptanya perdamian dunia. Kharisma santo Fransiskus (seorang kudus dari Gereja Katolik, si poverello dari Assisi) mampu memberi inspirasi bagi mereka. Mereka benar-benar bisa bersatu dalam doa yang mereka panjatkan pada Allah dengan cara mereka sendiri-sendiri.
Jujur saja, selama ini, memang jarang sekali dipikirkan bahwa doa dapat menjadi sarana dialog yang sangat efektif. Kaau orang ingin berdialog, yang selalu muncul di kepala adalah soal seminar, diskusi ilmiah yang butuh tingkat pengetahuan tertentu, percakapan serius yang dapat menghasilkan sesuatu yang dapat dilihat mata, serba jelas dan konkret. Memang itu semua merupakan usaha yang amat baik dan pantas dijunjung tinggi, namun dapatlah dikatakan juga bahwa itu semua belum cukup.
Dialog dalam doa tidak perlu pendidikan teologi atau pemikiran religius yang serba canggih, lantaran dialog ini menekankan pengalaman religius serta pengalaman mistik yang biasa. Dialog model ini hanya butuh keterbukaan hati untuk membiarkan Allah berkarya dan menyatukan mereka. Ketika kita berdoa bersama, dengan sepenuh hati, akan muncul getaran batin yang biaa mempersatukan kita, inilah yang sering disebut “inner dialogue” (meminjam istilah dari William Johnson). Kitapun harus sadari bahwa dialog itu adalah melulu sarana untuk mengabdi kemanusiaan, kemanusiaan yang begitu dicintai Allah. Kita harus berani berdialog, lantaran kita tahu bahwa segala konfrontasi dan konflik lintas agama hanya akan mengantar umat manusia menuju kehancuran.
Dialog ini menjadi penting dan mendesak lantaran tidak ada alternatif lain untuk menyatukan umat manusia bila kita bersikukuh pada kebenaran subyektif kelompok kita sendiri. Dan juga, kita tak perlu risau jika kita tidak atau belum bisa terlibat dalam usaha dialog antar agama dalam bentuknya yang formal. Dalam pergaulan dan ditengah masyarakat, kita bisa praktekkan dialog lewat doa dalam bentuk yang paling sederhana. Misalnya, bagi umat Kristen: ‘Apakah kita terganggu dengan adzan yang berkumandang melalui corong mesjid? Bagi umat Islam: Apakah kita mau ikut bnewrgembira pada saat natal datang dengan mau saling bersilahturahmi?’
6. Penutup : Fajar Kebenaran
Syukurlah bahwa akhirnya pluralime agama, yang dulu masih menjadi seonggok fakta, kini sudah menjadi secercah kesadaran. Kesadaran akan dialog ini, tentu saja menjadi tantangan kita. Kesadaran ini menuntut banyak hal dari kita. Kita tidak bisa menunggu dan menanti. Kita harus bertindak dan bangkit dari prahara ini. Lewat tulisan kecil ini, saya menegaskan gagasan betapa pentingnya dialog dalam mengelola konflik ditengah pluralisme agama.
Saat ini, kita ada di tengah-tengah kekacauan hidup beragama, yang juga katanya dibumbui intrik politik. Kini, banyak kidung kesedihan muncul menggeliat penuh dahaga akan cita rasa kedamaian di tengah pelbagai krisis. Kini, kita memang hidup di tengah krisis. Pepatah Cina kuno pernah mengatakan bahwa “di tengah masa krisis, orang biasanya menjadi lebih kritis. Krisis yang tampaknya melulu sebagai batu sandungan, ternyata bisa juga berarti krisis sebagai batu loncatan.“
Krisis menjadi kritis, batu sandungan dapat terubah menjadi batu loncaran? Mana mungkin? Jawabannya: Mungkin! Sebagai contohnya, kita lihat di Srilanka. Di tengah konflik berdarah antar etnis dan agama, ternyata tumbuh benih-benih persatuan. Di kota Kandy, sudah beberapa tahun ini berdiri sebuah pusat dialog antar etnis dan agama, bernama Satayodaya, (yang berarti fajar kebenaran), yang dikelola oleh para anggota Serikat Yesus. Para anggotanya hidup bekerjasama untuk memajukan perdamaian dan keserasian antara pemeluk agama melalui dialog kehidupan. Paguyuban semacam itu terdapat juga di Dhaka, Bangladesh. Suasananya sungguh memberi harapan akan tumbuhnya persaudaraan antar agama di masa mendatang. Anak-anak muda dengan latar belakang agama yang berbeda-beda hidup bersama. Mereka beribadat menurut agamanya masing-masing, tapi untuk mewujudkan imannya, mereka mengerjakan pelbagai proyek sosial yang sama, misalnya menjenguk orang sakit, ataupun mendampingi kaum buruh.
Pelbagai bentuk dialog antar umat beragama juga sudah mulai tumbuh di Indonesia secara kecil-kecilan. Misalnya: kerja bareng Pemuda Kristen dengan Banser NU dalam mengamankan Natal, Tahun Baru dan Idul Fitri, lesehan haul Gus Dur di Ciganjur, urun rembug para pemimpin agama, pun pula tim relawan kemanusiaan yang anggotanya terdiri dari multi agama.
Dan pertanyaannya kini: ‘apakah kita sudah mendukung timbulnya semangat dialog tadi? Ataukah kita malah menggalakkan pandangan yang menganggap orang lain sebagai musuh atau saingan?’ Untuk menyongsong terbitnya kebenaran yang dinantikan banyak orang, baiklah kita juga menimba inspirasi dari Ghandi: “Jika kita percaya pada Tuhan, maka tidak hanya dengan kepandaian, tapi dengan seluruh diri kita, kita akan mencintai seluruh umat manusia, tanpa membedakan ras, kelas, bangsa bahkan agama. Kita akan bekerja demi kesatuan umat manusia.”
Semangat diatas sungguh indah, tapi memang tidak mudah. Yah tidak mudah untuk membuat suatu ramuan gado-gado plus, yang pas rasanya dalam satu piring. Inilah oleh-oleh yang sekaligus merupakan pekerjaan rumah kita di awal tahun 2017!
0 komentar:
Posting Komentar