Ads 468x60px

Ad Maiorem Dei Gloriam


Marie Madeleine Victore de Bengy        

PROLOG
Kisah nyata ini bermula dari seorang perempuan Prancis, yang sewaktu remaja mengalami gejolak sosial pasca Revolusi. Perawakan tubuhnya kecil dan tidak begitu cantik. Tetapi dengan mata yang bersinar dan senyum yang memancar serta kepandaian dan kepribadian yang hidup, dia selalu dianggap menarik. Namanya Marie Madeleine Victore de Bengy de Bonnault d'Houet. Sewaktu kecil dipanggil Gigi, semasa gadis disebut Victoire, sebagai seorang istri dan janda dikenal dengan nama Ibu Joseph. Bagi orang lain lagi, dia disebut Madame d'Houët. Yah, dia adalah seorang anak perempuan, saudari, teman, istri, janda, ibu sekaligus seorang pendiri kelompok religius yang disebut “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” (Faithful Companions of Jesus/FCJ)



SKETSA PROFIL

“Nama saya adalah  Madeleine.
Saya akan mengikuti santa pelindung saya
yang begitu mencintai Yesus, ...
dengan menemani Dia dalam perjalanan dan kerja-Nya,
melayani Dia bahkan sampai ke kaki Salib
bersama para perempuan kudus,
 yang tidak seperti para rasul yang meninggalkan Dia,
melainkan membuktikan diri
sebagai sahabat-sahabat setia Yesus.”

Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” (FCJ) dirintis-dirikan pada tahun 1820, Marie Madeleine berusia 38 tahun, dan dia masih hidup selama 38 tahun berikutnya.  Artinya apa? Ia mengalami dua fase hidup yang berbeda. Separuh pertama hidupnya: ia adalah seorang anak, istri dan ibu janda. Sementara separuh berikutnya: ia adalah seorang suster apostolik, pembawa kabar gembira, berjuang dengan segala cara untuk membuat Yesus semakin dikenal dan dicintai. Dua dimensi yang saling memperkaya, bukan? Siapakah sesungguhnya Marie Madeleine ini?

Marie Madeleine Victoire de Bengy de Bonnault d’Houët adalah seorang perempuan Perancis yang penuh inspirasi dan aspirasi. Ia terlahir di Châteauroux, Prancis pada tanggal 21 September 1781 dari sebuah keluarga berada yang hidup bahagia dan sejahtera. Mereka telah lama menetap di Berry, Prancis, dimana banyak anggota keluarganya yang memegang peranan penting, baik di gereja maupun di kerajaan. Tapi, bersama dengan pecahnya Revolusi pada tahun 1789, keluarga besar ini mengalami pelbagai duka, kerja keras, penjara dan bahkan pembuangan.

Gigi, sebagaimana ia dikenal semasa kanak-kanak, dekat dengan orang tuanya. Ibunya sendiri  merupakan seorang ibu yang penuh cinta dan bijaksana, bahkan ketika suaminya dipenjara oleh kaum revolusioner. Teladan ibunya akan kesetiaan pada doa dan kepercayaannya pada Allah diingat terus oleh Gigi.

Segera setelah ayahnya dibebaskan dari penjara, keluarga itu berpindah dari Châteauroux ke Issoudun. Victoire yang berusia 18 tahun, tidak lagi disebut Gigi, menapaki masa remajanya. Disinilah, Victoire berteman dengan seorang gadis sebaya bernama, Constance de Rochfort. Keduanya bersahabat akrab: mereka bisa berbicara berjam-jam, saling membagikan kegembiraan dan masalah mereka. Mereka kerap berkeliling kota, mengunjungi orang-orang yang sakit, menolong orang yang membutuhkan dan menjadi relawan yang melayani rumah jompo St. Roch.

Beberapa waktu kemudian, Victoire menikah dengan Joseph de Bonnault d'Houët di Katedral Bourges pada tanggal 21 Agustus 1804. Joseph dan Victoire merupakan pasangan yang serasi di Bourges. Mereka terbiasa membaca dan berdoa bersama. Bahkan, seperti yang dibuat bersama Constance, Victoire dan Joseph kerap mengunjungi orang sakit. Bahkan, Joseph juga mengunjungi serta memberikan makanan dan penghiburan para tahanan perang asal Spanyol yang ditahan di kota itu.

Homo proponit, sed Deus disponit - Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan. Ternyata, Joseph menderita demam parah selama 6 bulan. Akhirnya, Joseph meninggal sebelum genap satu tahun pernikahan. Victoire yang saat itu sedang hamil sangat berduka cita dan seluruh penduduk kota kaget dengan kematian Joseph yang mendadak. Bukankah tepat seperti kata Cicero, Nihil lacrima citius arescit - tak ada lebih cepat mengeringkan dibanding air mata. Di antara banyak surat-surat ungkapan belasungkawa, terdapat sebuah surat dari Constance de Rochfort: “Sahabat terkasih, engkau mempunyai iman yang hidup, engkau bijaksana. Dalam dirimu sendirilah engkau akan menemukan sumber penghiburan yang terbesar. Dalam dua status yang telah diberikan Allah padamu, engkau telah menjadi teladan bagi para putri dan istri. Sebentar lagi, engkau juga akan menjadi teladan bagi para ibu.”

Adapun hadiah pernikahan yang diterima Victoire dari kedua orang tuanya adalah rumah besar di desa Parassy: sebuah rumah yang indah, dikelilingi padang rumput, ladang dan kebun anggur. Dua minggu setelah Joseph meninggal, Victoire kembali ke sana, mencoba mengatasi rasa kehilangannya. Anaknya, Eugène, lahir pada 23 September 1805 dan perlahan-lahan dia pulih dan kembali bekerja seperti yang telah dibuatnya saat suaminya masih hidup. Seiring berjalannya waktu, terserap oleh upaya membesarkan Eugène, pengelolaan rumah dan tanahnya serta kewajibannya dalam keluarga, Victoire bertumbuh dalam perannya sebagai orang tua tunggal. Efek dramatis akibat kematian Joseph dan situasinya yang menjanda secara begitu cepat perlahan-lahan mulai terlupakan. Victoire mulai terlibat lagi di dalam masyarakat. Deus vult - Tuhan menghendakinya!

Berdasarkan nasehat Abbé Gaudin, seorang pastor yang suci dan penasehat rohaninya yang bijaksana, Victoire, sebagai janda muda, yang waktu itu berusia 28 tahun membawa semua rencana hidupnya dalam doa: Sebagai single-parent ia sangat menjaga dan “memanjakan” anaknya. Sebagai anak, ia sangat bertanggung jawab terhadap hidup orang tuanya. Sebagai seorang kakak, ia adalah seorang figur yang penuh cinta bagi adik-adiknya. Sebagai orang beriman, ia menunjukkan dirinya memiliki kesadaran sosial yang kuat bagi sesamanya, terlebih yang berkekurangan.

Di lain segi, ia juga menikmati pergaulan sosial dan secara serius kadang mempertimbangkan untuk menikah lagi. Namun, dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia merasakan “panggilan yang lain” dan perlahan-lahan dia mengikuti panggilan ini. Tremens et fascinans!
Yah, beberapa waktu kemudian, kesenangan indrawi menjadi kurang penting  bagi Victoire. Doanya makin berakar dan ia mulai rutin mengikuti misa harian. Doanya adalah agar dia dapat mengerjakan apa yang Allah minta darinya, dan melakukannya dengan setia dan penuh kegembiraan. Santa Maria Magdalena serta para perempuan dalam Injil adalah inspirasi bagi dirinya.

Pada tahun 1814, Uskup Amiens mengundang para imam Jesuit untuk membuka sekolah baru, Kolese St. Acheul di kota Amiens. Victoire menyambut berita ini dengan sukacita dan mengirim Eugène ke sekolah baru yang dikelola oleh para imam Jesuit tersebut. Melalui kontaknya dengan kolese St. Acheul, Victoire menjadi mengenal dan menghargai misi dan karya para imam Jesuit. 

Suatu kejadian yang penting pada tahun 1815: Victoire menawarkan perlindungan di Parassy kepada Joseph Varin. Varin sendiri dulunya adalah seorang tentara Kerajaan dan sekarang menjadi imam Jesuit, tapi kini sedang menjadi buronan. Romo Varin pun tinggal di rumah Victoire selama lima bulan. Berkat Romo Varin inilah, Victoire semakin mengenal serta menyerap semangat Serikat Jesus.  Ia semakin mendalami hidup rohani dan terbiasa untuk ber-discerment, semacam proses pembedaan roh. Kualitas kepribadian Victoire juga menjadi lebih dewasa dan reflektif.

Perlahan tapi pasti, kesadaran akan karya panggilan Allah dalam keseluruhan hidupnya semakin tajam, dan pada bulan November 1816 Marie Madeleine menjalani retret dibimbing oleh Pastor Sellier SJ. Pada tahun inilah, demikian cerita Victoire, dia menerima terang yang begitu jelas dan memberi penghiburan bahwa Allah menginginkannya menjadi religius  tetapi bukan menjadi seorang Karmelit sebagaimana yang sering dibayangkannya, melainkan untuk bekerja secara aktif bagi keselamatan jiwa-jiwa. 

Pada Hari Raya Hati Kudus tanggal 13 Juni 1817, kerinduan kudus itu kembali terasakan. Saat itu Victoire mendengar suara dari salib di atas altar: “Aku haus.” Tulisnya, “Saya sangat tergerak oleh kata-kata ini. Saya berlutut menyembah dan menyerahkan diri saya kepada Allah dengan segenap hati saya untuk semua yang Dia minta dari saya.”

Berbulan-bulan lamanya, Victoire terus berdoa dan memohon agar mengetahui apa yang Allah inginkan dan agar dia dikuatkan untuk mampu melakukan hal itu, dengan setia dan gembira: “Aku pergi ke gereja  St. Geneviève dan tinggal di sana lama sekali.  Hanya Allah yang mampu mengubah hatiku dan mengalahkan penolakanku. Sungguh, itulah yang dibuat-Nya sekali lagi dalam kebaikan-Nya yang tak terhingga dan menerima dariku apa yang pasti akan ditolak orang lain dalam situasi yang sama”.  

Dengan kepercayaan yang sungguh-sungguh, pada tanggal 9 Desember 1817, dia mengikrarkan kaulnya: “Pada saat yang sama itu, semua ketakutan dan kekhawatiranku lenyap selamanya. Hari itu, saat yang terindah dalam hidupku, telah menjadi sumber penghiburan yang luar biasa dan alasanku untuk bersyukur yang tiada habis-habisnya sampai saat ini.

Pada tahun 1820, Victoire  pulang ke Parassy karena ibunya meninggal: “Meninggalnya ibu merupakan pengorbanan ganda karena ayahku yang sekarang tua dan tidak tahu apa yang sedang kuperbuat, mendesakku untuk tinggal bersama dia. Jika aku hanya punya satu keinginan dalam seluruh hidupku, pasti di atas segala hal lain adalah untuk merawat ayah dan memberi dia segala bukti cintaku.  Hatiku sungguh-sungguh terkoyak. Ayahku tidak mengerti.  Pengorbanan ini bagiku adalah yang terbesar dari semuanya.  Saat meninggalkan dia, aku begitu sedih dan tidak bisa dihibur oleh apa pun.”

Di tengah perjuangan, penderitaan dan kesedihan Victoire, di tengah keraguan dan ketidakpastian, saat dia menangis di sebuah taman, suatu terang baru terbit: “Nama saya Madeleine (Magdalena); saya berharap akan menjadi seperti santa pelindung saya yang begitu mencintai Yesus Tuhannya sehingga ia melayani kebutuhan-Nya, dan mengikuti Yesus dalam perjalanan dan tugas-Nya sampai di kaki Salib. Tidak seperti para rasul, Magdalena dan para perempuan kudus tidak meninggalkan Yesus saat Dia membutuhkan, dan sepanjang masa hidup Yesus di depan umum mereka telah membuktikan diri sebagai sahabat-sahabat setia-Nya.

Victoire mencapai identitas baru. Sekarang ia adalah Marie Madeleine yang menjadi sahabat Yesus, baik dalam perbuatan dan kebenaran. Saat Kamis Putih di Paris, 30 Maret 1820,  Rm Varin memberitahu Marie Madeleine: “Sebaiknya saya mengaku seluruhnya.  Saya percaya bahwa Allah menginginkan pekerjaan ini. Saya sangat yakin, dan walaupun saya telah memberi kamu banyak pencobaan yang harus kau tahan dan menunjukkan ketidakpastian, sebenarnya saya tidak pernah meragukan hal ini sedetik pun.”

Malam itu, saat Marie Madeleine berlutut di depan Sakramen Mahakudus sambil merenungkan misteri yang sedang dirayakan, yaitu misteri Ekaristi, derita dan wafat Yesus, dia kembali menyerahkan dirinya dengan seluruh hatinya, untuk menjadi sahabat setia Yesus, mulai dari palungan sampai kaki salib. Bertahun-tahun kemudian, Marie Madeleine tidak pernah lelah mengingatkan para susternya bahwa pada malam Kamis Putih itulah, di antara Ruang perjamuan terakhir dan Kalvari, Serikat ini didirikan.

Sejak awal pendirian Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” (FCJ) di Amiens tahun 1820 inilah, ia beserta para pengikutnya setia merawat anak-anak miskin. Mereka juga mengajarkan katekismus,  membaca dan berhitung serta bermain bersama supaya anak-anak miskin itu bisa menikmati masa kanak-kanak dengan selayaknya. Dengan bertambahnya para suster baru yang bergabung dalam Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus”, maka Marie Madeleine memerlukan tempat yang lebih luas.  Nil sine numini -  Tak ada yang dapat terjadi tanpa kehendak Ilahi: Karena terkesan oleh karya Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” ini, pemerintah kota memberikan bangunan kementerian yang sudah tidak dipakai lagi untuk digunakan oleh para suster.

Terinspirasi oleh kehidupan para imam Jesuit yang dia jumpai  di Kolese St Acheul, Amiens, Marie Madeleine mengambil  Konstitusi  Serikat Jesus  untuk serikat FCJ. Dengan demikian, Spiritualitas Ignasian memperdalam dan merasuk  pada seluruh bagian hidup Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” (FCJ).  Tujuan utama yang diperjuangkannya adalah tujuan akhir Yesus sendiri untuk datang  ke dunia, demi kemuliaan dan pelayanan yang lebih besar kepada Tuhan: “Peraturan yang kami pilih adalah yang Peraturan St. Ignatius, tidak untuk mengikuti jejak dia melainkan untuk mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus.”

Ketika ditanya oleh Kardinal Bertazzoli yang mewakili Paus Leo XIII tentang Konstitusi FCJ, Marie Madeleine menjawab bahwa Konstitusi ini lebih berharga daripada hidupnya. Akhirnya, pada tahun 1985 Bapa Suci mengesahkan Konstitusi FCJ, bersama beberapa modifikasi, tetapi setia pada prinsip-prinsip utama, antara lain:
-        Persahabatan apostolik, dalam melakukan discernment untuk karya misi.
-        Pelayanan bagi kemuliaan nama Allah yang lebih besar.
-        Persatuan dan keberagaman (Unitas et Diversitas)
-        Unggul dalam ketaatan dalam misi perutusan.
-        Formasio kebebasan batin dan adanya kedewasaan roh.

Di masa-masa awal pendirian Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” (FCJ) inilah, Marie Madeleine merintis-lakukan banyak perjalanan. Ia mendirikan pelbagai komunitas di banyak keuskupan di Perancis, Savoy (Italia), Inggris, Swiss dan Irlandia.  Dua kali ia mengunjungi Roma, tahun 1826 dan 1837, untuk mencari pengesahan atas Serikat yang masih muda ini. Marie Madeleine mendapat penerimaan kepausan dan persetujuan akan nama “Sahabat-sahabat Setia Yesus” (FCJ), dari Paus Leo XII pada tahun 1826.  Ketika ia kembali ke Roma tahun 1837, Paus Gregorius XVI mengatakan kepadanya: “Engkau mempunyai nama yang indah, tetapi engkau harus menanggung akibatnya dan sebagai Sahabat-sahabat Yesus menderita bersama Dia”.

Pada hari Senin Paska, Senin Paska 5 April 1858 dengan dikelilingi oleh para susternya , ia meninggal. Ia dimakamkan di pekuburan kecil dekat panti asuhan yang didirikankannya di Gentilly, bagian barat laut Paris. Kuburnya tetap di Gentilly sampai tahun 1904.  Kemudian, karena gerakan anti gereja di Prancis dan adanya tekanan yang kuat terhadap rumah-rumah biara, jenasahnya diambil, dengan ijin penuh dari pemerintah gereja dan lokal, dan dibawa ke Biara FCJ Upton Hall, dekat Birkenhead, Inggris. Jasadnya tetap di sana sampai bulan Juni 1980 ketika sekali lagi ia dipindahkan, kali ini atas permintaan Postulator yang mengurus Proses Beatifikasi dan Kanonisasinya. Tubuh Marie Madeleine kini beristirahat di kapel biara Stella Maris (Bintang Samudra, sebuah gelar Maria) Broadstairs, Kent, Inggris. Biara  Stella Maris, yang terletak disamping mercusuar North Foreland ini adalah biara pusat (Generalate) FCJ, tempat tinggal dan tempat kerja untuk administrasi pusat dari Serikat Suster Sahabat Setia Yesus.

Pada tahun 1878, proses untuk kanonisasi Marie Madeleine diajukan kepada Paus Leo XII. Pada tahun 1916, Paus Benedictus XV menandatangani proses yang mengawali permohonan kanonisasi Marie Madeleine dan dia dinyatakan “Yang Diberkati”. Bulan November 1970, Paus Paulus VI memaklumkan sebuah dekrit yang menyatakan kebajikan serta kepahlawanannya. Dekrit ini merupakan deklarasi resmi Gereja bahwa Marie Madeleine telah sungguh-sungguh hidup sebagai seorang kudus. Langkah terakhir sebelum kanonisasi adalah beatifikasi, dan hal ini masih berlangsung sampai saat buku ini ditulis.

Dum spiro, spero - selama saya masih bernafas, saya tetap berharap: Setelah kematian Marie Madeleine di tahun 1858, komunitas-komunitas FCJ tersebar-pencar di banyak penjuru dunia. FCJ menjadi sebuah serikat internasional yang tinggal dan berkarya di benua Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Misalnya di pelbagai daerah di Australia, Kanada, Skotlandia, Belgia serta Amerika. Di tahun-tahun belakangan ini, juga ada pengembangan karya baru yang semakin mendalam sekaligus meluas di Sierra Leonne, Indonesia, Filipina, Argentina, Rumania, Mexico dan Myanmar. Para suster FCJ berkarya dalam beragam kerasulan, dari perihal pendidikan, katekese sampai aneka karya social dan gender. Di atas segalanya, misi mereka adalah untuk menjadi sahabat-sahabat Yesus yang hidupnya menyingkapkan Yesus kepada dunia.


REFLEKSI TEOLOGIS

SAHABAT
“SAtu dalam suka. HAdir dalam duka. BerjaBAT dalam doa.”

“Katakanlah satu sama lain
beranilah, berani dan percaya diri. 
Itulah yang diperlukan
(Surat Marie Madeleine  kepada Suster Maria Lebesque , 1830).

Bicara soal Serikat “Sahabat-sahabat  Setia Yesus” (FCJ), tak lepas dari karisma dan spiritualitas companion atau “sahabat”. Marie Madeleine bersama para suster FCJ mengungkap-wartakan sebuah karisma persahabatan, kepada dunia dan gereja. Bukankah Yesus, sahabat sejati juga pernah berbicara soal persahabatan: “Kamu sahabat-sahabat-Ku, jika kamu melakukan apa yang Aku perintahkan. Aku tidak lagi memanggil kamu hamba, karena hamba tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh tuannya. Aku memanggil kamu sahabat-sahabat-Ku, karena Aku sudah memberitahu kamu segala yang telah Aku dengar daripada Bapa-Ku” (Yohanes 15:14-15).

Dalam Alkitab, bukankah persahabatan juga merupakan tingkat hubungan yang berharga? Abraham disebut sebagai "Sahabat Allah" (Yakobus 2:23b), Daud disebut sebagai “seorang yang berkenan di hati Allah” (1 Samuel 13:14), Santa Maria - para malaikat dan orang kudus juga disebut sebagai “sahabat-sahabat terbaik Allah” (Katekismus Bab 4).
Dalam kacamata biblis dan historiografi Gereja, terdapat juga banyak hubungan persahabatan bukan? Maka, bersama dengan karisma Marie Madeleine dan para suster FCH, kata “sahabat” ini sesungguhnya bisa mempunyai tiga entitas dasar, yakni: satu dalam suka, hadir dalam duka, serta berjabat dalam doa. 

- Satu dalam suka: Ada sebuah lukisan indah yang tergantung di atas makam Marie Madeleine di Kapel Stella Maris, Broadstairs, Kent, Inggris. Di bagian atas seluruh lukisan itu, terdapat sebuah pelangi, yang merupakan lambang perjanjian Allah, tanda harapan akan masa depan. Mereka meyakini keutuhan dan kasih Allah sebagai sahabat terbaik yang setia dan terus melingkupi pelbagai karya kasih mereka dengan sukacita. Syukur akan rahmat panggilan merupakan daya hidup dan energi dari karisma persahabatan mereka. Disinilah, sebagai suster-suster FCJ, mereka bersama setiap komunitasnya bersatu mensyukuri serta mengalami panggilan Tuhan melalui pengalaman hidup sehari-hari. Mereka juga memiliki kerinduan untuk diutus bersama Yesus dan untuk menyertai-Nya dengan kesetiaan yang penuh kasih.

- Hadir dalam duka: Selain spiritualitas Ignasian, Marie Madeleine juga mendapatkan inspirasi iman dari para perempuan yang setia berdiri di kaki salib Yesus. Bukankah salib dan orang-orang yang berada di dekat salib adalah lambang derita, sengsara dan hidup yang penuh duka lara? Teriakan Yesus dari salib, “Aku haus”(Yoh 19:28), yang merupakan wasiat Yesus yang keenam begitu mempengaruhi hidup Marie Madeleine bersama para suster FCJ. Mereka semua membaktikan diri untuk menanggapi jeritan Yesus ini dengan hidup dan hadir sebagai sahabat Yesus di tengah pergulat-geliatan umat-Nya.

-Berjabat dalam doa: Semangat Marie Madeleine kerap digambarkan dengan nyala api bersama dengan empat sahabat yang melambangkan suster-suster FCJ pertama sekaligus empat “sahabat rohani” mereka, yakni: “kemiskinan, kerendahan hati, ketaatan dan kelemahlembutan”, yang telah dijanjikan Allah akan selalu bersama Marie Madeleine dan Serikat yang di dirikannya. Disinilah, Marie Madeleine dan para suster FCJ menyadari perlunya berjabat dalam doa. Doa, sebagai akar karya, yang mengingatkan setiap orang akan panggilan Marie Madeleine untuk menjadi seperti bejana kosong di tangan Allah yang siap menerima segalanya dari Allah.

Tujuan dari Serikat Sahabat Setia Yesus adalah mengabdikan diri berkat rahmat Allah, bukan saja untuk keselamatan dan kesempurnaan anggota-anggotanya melainkan dengan rahmat yang sama itu bekerja sekuat tenaga dalam membantu keselamatan dan kesempurnaan sesamanya. Untuk mencapai tujuan ini secara lebih efektif maka Serikat mengambil tiga kaul religius untuk melengkapi hidup doa para suster FCJ, yakni:

a. Kemiskinan - kebebasan untuk memberikan diri: Dalam komunitas, mereka berbagi sarana yang digunakan secara umum, mengenali hasrat untuk memiliki dan akibatnya bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan.

b. Kemurnian - kebebasan untuk mencintai.
Dengan kaul kemurnian,  mereka mempersembahkan seluruh diri kepada Tuhan agar mampu mengasihi seluruh ciptaan-Nya. 


c. Ketaatan - kebebasan untuk hidup. 
Kaul ketaatan mendorong mereka untuk mendengarkan kehendak Allah secara seksama, terbuka akan kehadiran orang lain dalam hidup dan keputusan kami.


Jelaslah, karisma persahabatan yang tersusun-rukun dari ketiga entitas arti sahabat di atas mendorong setiap orang beriman pada kesatuan, memeluk semua orang dan semua hal, tidak mengecualikan seorang pun dan sesuatu pun dari cinta dan belas kasih kita. Dan, bukankah tepat seperti kata Marie Madeleine: "Untuk menyandang nama ini, Sahabat Setia Yesus, aku akan mempersembahkan segala yang kupunya – seluruh diriku."



EPILOG
Hargailah namamu yang indah, dengan cintamu pada Yesus-
  cinta yang tidak sekedar ditunjukkan dengan
kata-kata  atau hasrat yang kosong, 
                   tetapi dengan keberanian dalam pelayanan Tuhan.     
(Marie Madeleine)

Ignasius Loyola menyebut dirinya sebagai peziarah, dan perjalanan hidup Marie Madeleine membawanya juga menjadi peziarah ke berbagai tempat jauh dari tempat asalnya di Châteauroux dan melampaui pengalaman para perempuan sejamannya. Secara sederhana, kita bisa menyebut perjalanan hidupnya sebagai sebuah peziarahan, peregrinatio pro Christo!


Sebagaimana ditulis oleh Bríd Liston FCJ dalam “A Pilgrim's Handbook”, peziarahan adalah suatu perjalanan iman untuk mencari keutuhan. Ini adalah perjalanan ke tempat suci dengan tujuan yang religius. Dalam hidup, eksistensi kita mendesakkan pertanyaan-pertanyaan semisal siapakah kita, dari mana kita berasal dan kemanakah kita menuju. Jadi, inti dari peziarahan menggemakan kepada kita pertanyaan-pertanyaan yang datang dari perjalanan batin yang lebih dalam. Dalam diri kita ada peziarah yang terbangunkan secara bertahap. Perziarahan bukan sekedar perjalanan menuju sembarang tempat, melainkan menuju suatu tempat di mana nampak suatu nilai yang signifikan. Itu adalah perjalanan menuju tempat suci.

Nah, bukankah seperti Ignatius Loyola dan Marie Madeleine, kita semua juga adalah seorang peziarah, homo viator (Jw: jiarah: siji sing diarah). Satu hal yang pasti, lewat pelbagai tahap peziarahan, kita bisa memaknainya lebih mendalam. Sebagai contoh sederhananya:  
-     “Keberangkatan”: mengungkapkan keputusan kita untuk melangkah menuju tujuan sejati dan terbuka pada keindahan spiritual dari panggilan baptisan sebagai pintu masuk kristianitas;
-     “Berjalan”: mengarahkan kita dalam solidaritas dengan saudara-saudari dalam persiapan yang semestinya guna berjumpa dengan Allah;
-     “Kunjungan ke tempat-tempat suci” mengundang kita untuk mendengarkan sabda Allah, untuk mendengarkan di mana Allah berada dalam keseharian dan rutinitas hidup;
-     “Kembali setelah akhir perjalanan”: mengingatkan kita akan tugas iman dalam hidup,yakni sebagai saksi akan harapan.

Lepas dari pelbagai pemaknaan indah di atas, satu dasar yang mutlak diingat dalam setiap lekak-lekuk peziarahan kita sebagai sahabat-sahabat Yesus yang setia, adalah, semuanya ini demi kemuliaan nama Tuhan yang lebih besar, bukan? Semua demi kemuliaan, pengabdian dan penghormatan kepada Allah yang lebih besar. Tujuannya adalah mencari pengenalan dan cinta Allah yang lebih besar, menimbang-nimbang karya sehingga mempunyai devosi yang lebih besar dan rasa aman di dalam Allah, untuk menanggapi kebutuhan yang lebih besar, untuk bekerja di mana hasil yang lebih besar dapat diharapkan, dan semua demi kemuliaan ilahi yang lebih besar. Ad Maiorem Dei Gloriam!!!


ASPIRASI
“Sebagai ‘Sahabat Setia Yesus’ yang menanggapi panggilan Tuhan, perhatian kita tertuju pada kumpulan orang, banyak dari mereka yang mengalami pemiskinan, diperdagangkan, dipinggirkan, putus asa atau jauh dari negara asal mereka. Bersama mereka kita menyuarakan keadilan. Kita pun sadar akan begitu banyak orang, khususnya kaum muda, ingin mengetahui secara lebih dalam tentang iman dan makna hidup mereka dan mencari sahabat untuk berjalan bersama mereka.
(General Chapter Decree 2008)


Berkat Tradisional Serikat:
Santa Maria, Perawan Tak Bernoda, Ratu, Pemimpin Umum Serikat kami, Bunda kami, Bunda para novis, postulant dan sahabat-sahabat dalyam perutusan, serta Bunda semua orang yang kepada mereka kami diutus….Doakanlah kami

0 komentar:

Posting Komentar