Ads 468x60px

Alfonsus Maria de Liguori

Prolog
Saya mempunyai seorang sahabat muda dari tanah Jawa, yang kini bekerja di Thailand. Ia tinggal dekat MBK Centre, setiap hari ia menjadi seorang supir tuktuk, kendaraan khas di kota Bangkok, sejenis bajaj. Namanya Poniman; bisa berarti Pokoknya Ingin Beriman. Di sinilah, saya mengangkat seorang beriman bernama Alfonsus Maria de Liguori. Ia adalah seorang uskup, doktor Gereja, dan juga sekaligus pendiri Kongregasi Redemptorist. (CSsR; Redemptoris artinya Sang Penebus). Dengan segala usaha karya dan pelbagai bukunya, dia sungguh ingin menampilkan dan sekaligus mewartakan iman: pokoknya ingin beriman. Dia juga berani meninggalkan karirnya sebagai pengacara demi Tuhannya. Inilah juga yang menjadi harapan Gereja bahwa setiap orang juga mempunyai keinginan untuk pokoknya semakin ingin beriman”, bukan?

Sebuah Sketsa Profil
“Glorificate et portate Deum in corpora vestro
Muliakanlah Tuhan serta bawalah Dia di dalam tubuhmu ...”

Alfonsus Liguori (27 September 1696 – 1 Agustus 1787) terlahir dengan
nama Alphonsus Marie Antony John Cosmos Damien Michael Gaspard de
Liguori pada tanggal 27 September 1696 di Marianella, dekat Naples, Italia.
Keluarga Alfonsus adalah keluarga bangsawan Katolik yang saleh. Ayahnya,
Don Joseph de Ligouri, seorang laksamana militer Kerajaan Napoli dan
ibunya, Donna Anna Cavalieri, mendidik Alfonsus dengan disiplin yang
tinggi terutama dalam hal iman dan cara hidup Katolik. Alfonsus sendiri
sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, sering pergi retret bersama
ayahnya.

Orang tuanya juga mendidiknya ala militer. Dengan disiplin yang tinggi,
seminggu sekali ia diwajibkan tidur di lantai tanpa alas. Hal ini membuatnya
tidak manja dan terbiasa dengan pola hidup yang teratur. Dengan bakat dan
kemampuan yang luar biasa, Alfonsus belajar hukum pada usia tiga belas
tahun dan memperoleh gelar doktor hukum dengan predikat magna cum
laude, pada usia 16 tahun.

Pada awalnya, ia berpraktik menjadi pengacara yang cemerlang. Semua
kasus yang ditanganinya pasti dimenangkannya. Sampai suatu ketika,
akhirnya ia kalah dalam sebuah kasus. Ketika itulah, Alfonsus mengurung
diri selama tiga hari di kamar, merenungkan kekalahannya. Kekalahan ini
membuat batinnya tertekan. Akan tetapi, ternyata kekalahan ini malahan
membuatnya lebih dekat dengan Tuhan.

Suatu ketika, saat mengunjungi orang sakit di rumah sakit, Alfonsus
dua kali mendengar suara ajaib yang berkata, ”Tinggalkanlah dunia dan
serahkanlah dirimu kepada-Ku.” Lama-kelamaan, ia sadar bahwa itu adalah
suara Tuhan. Pada akhirnya dengan kesadaran ini, ia memutuskan untuk
menjadi seorang imam yang sepenuhnya mempersembahkan hidup bagi
Tuhan. Lalu Alfonsus pergi ke Gereja Maria Bunda Penebus, berdoa di
depan tabernakel dan semakin mantap untuk menjadi seorang imam.

Setelah belajar teologi, Alfonsus akhirnya ditahbiskan sebagai imam
pada tanggal 21 Desember 1726, dan berkarya di seluruh daerah Napoli.
Awal abad ke-18 merupakan masa kesombongan dalam berkhotbah di mana
banyak khotbah yang bertele-tele (buah dari masa Renaissance). Abad itu juga
merupakan masa di mana banyak terjadi penyimpangan dalam pengakuan
dosa (buah dari Jansenisme).

Dengan keprihatinannya terhadap imbas Renaissance dan Jansenisme,
sebagai seorang imam muda, ia terus berkhotbah di seluruh Kerajaan Napoli,
terutama di desa-desa dan daerah-daerah kumuh. Karyanya lumayan berhasil:
banyak orang kembali mengaku dosa, banyak pendosa berat kembali kepada
Sakramen Ekaristi yang menyembuhkan, banyak musuh-musuh berdamai,
dan konflik keluarga juga bisa didamaikan. Akan tetapi, Alfonsus merasa
belum maksimal dan masih sangat prihatin dengan keadaan Gereja waktu
itu.

Kebetulan, pada tahun 1729 ia menjadi imam kapelan di sebuah kolese
yang khusus mendidik para calon imam yang akan dikirim ke China. Di
sanalah, ia berkenalan dengan Mgr. Thomas Falcoia, seorang pribadi yang
memberi inspirasi dan dorongan kepadanya untuk mendirikan sebuah
institut yang baru. Kepadanya, Mgr. Falcoia menceritakan tentang kelompok
para suster binaannya di Scala yang menghayati cara hidup yang keras dalam
doa dan mati raga.

Terdorong oleh inspirasi dan semangat yang diberikan oleh Mgr. Falcoia,
ia kemudian mendirikan sebuah tarekat religius baru di Scala pada tanggal
9 Nopember 1732 dengan nama Sanctissimi Redemptoris (Sang Penebus,
Congregation of the Most Holy Redeemer/Congregatio Sanctissimi Redemptoris,
C.Ss.R atau CSSR).

Tarekat religius ini mengabdikan diri dalam bidang pewartaan Injil
kepada orang-orang pedesaan. Tanpa kenal lelah, mereka berkhotbah di alunalun,
mendengarkan pengakuan dosa dan memberikan bimbingan khusus
kepada orang muda, keluarga dan anak-anak. Sejak Mgr. Falcoia meninggal
pada tahun 1743, Alfonsus memimpin kongregasi barunya ini. Dengan
berbagai permasalahan internal ataupun eksternal, Alfonsus berusaha untuk
mendapat pengakuan raja, dan menjalankan tugas-tugas di seluruh Napoli
dan Sicilia. Setelah tahun 1752, ia mendedikasikan lebih banyak waktunya
untuk menulis buku. Ia juga menulis lagu puji-pujian, bermain organ dan
melukis. St. Alfonsus menulis enam puluh buah buku, di antaranya bukubuku
bertema moral kristiani.

Pada Juni 1767, Alfonsus diserang penyakit radang sendi yang tak dapat
disembuhkan dan menjadikannya lumpuh. Ia kehilangan pendengarannya
serta nyaris buta. Ia juga harus mengalami berbagai kekecewaan dan pencobaan
dari orang-orang dekatnya sendiri. Namun, Alfonsus memiliki devosi yang
amat mendalam kepada Sakramen Mahakudus dan Santa Perawan Maria,
seperti yang dapat kita ketahui melalui bukunya yang terkenal yang berjudul
Kemuliaan Maria. Dia juga yang mulai mengenalkan “Tujuh Duka Santa
Perawan Maria.”

Akhirnya Alfonsus meninggal dunia di Pagani, dekat Napoli, Italia pada
tahun 1787 dalam usia 91 tahun. Alfonsus dibeatifikasi pada tahun 1816,
dan dikanonisasi pada tahun 1839, serta dinyatakan sebagai Pujangga Gereja
pada tahun 1871.

Refleks i Teologi s
Bu Muaral: Budayakan Muatan Moral
Consuetudinis vis magna est.
Pengaruh sebuah kebiasaan sungguh luar biasa.

Saya mengenal seorang ibu, berusia 70an tahun di daerah Utara Jakarta.
Namanya, Bu Muaral. Dia bersama beberapa relawan memimpin sekaligus
mengurus kegiatan harian sebuah sekolah (semacam Taman Kanak-kanak),
bagi anak-anak nelayan yang tidak mampu bersekolah karena terbentur
masalah dana. Nama sekolahnya kerap disebut “Lumba-lumba”. Mungkin
seperti ikan lumba-lumba yang kehadirannya menolong para awak kapal
atau nelayan yeng terjebak di laut, sekolah ini juga dihadirkan untuk
menolong orang-orang yang kurang mampu di sekitarnya. “Bu Muaral”
sendiri bagi saya bisa berarti Budayakan Muatan Moral. Lewat kehadiran
dan teladan karya Alfonsus Maria de Liguori, jelaslah bahwa ia juga ingin
membudayakan muatan moral. Dengan kata lain, moral itu tidak terlepas
dari hidup kita sehari-hari, juga tentunya dari hidup iman kristiani kita,
bukan?

Sebuah kisah, pada tahun 1762, di usia 66 tahun, Alfonsus dipilih
menjadi Uskup Agata dei Goti oleh Paus Klemens XIII. Agata merupakan
keuskupan kecil, dengan jumlah 30.000 jiwa, dengan 17 rumah biara dan
400 pastor. Di keuskupannya ini, terdapat banyak keluhan terhadap moralitas
para imam yang merayakan misa sedemikian terburu-buru sehingga merusak
makna ekaristi. Sebagai uskup, Alfonsus berusaha membarui moralitas dan
cara hidup para imamnya di keuskupan tersebut. Di sinilah, Alfonsus pernah
menulis sebuah risalah: Pastor di altar, kata Santo Siprianus, “mewakili Yesus
Kristus”. Akan tetapi, siapa yang diwakili para pastor saat ini? Mereka hanya
mewakili mata pencaharian mereka untuk memperoleh uang.

Di keuskupan inilah, ia mulai membenahi moralitas para imamnya. Ia juga mulai
menganjurkan dua hal bagi para imamnya: kesederhanaan dalam berkhotbah
serta kemurahan hati dalam pengakuan dosa. Dia juga mengajar dengan
menulis banyak buku bertema moral. Edisi pertama Teologi Moral Alfonsus
sendiri diterbitkan di Napoli pada tahun 1748. Edisi kedua, yang merupakan
karyanya yang jelas dan lengkap diterbitkan pada tahun 1753-1755. Tujuh
edisi berikutnya adalah autobiografi kehidupannya. Tulisan-tulisannya ini
sangat membantu para imam dalam bidang pelayanan sakramen tobat. Ia
juga tetap menganjurkan dua hal pokok bagi para imamnya: kesederhanaan
dalam berkhotbah serta kemurahan hati dalam pengakuan dosa. Oleh
sebab itulah, sekarang Alfonsus diangkat sebagai pelindung para konfesor
(imam yang memberikan sakramen tobat) dan para moralis karena sikapnya
yang begitu menghargai sakramen tobat dan tulisan-tulisan moralnya yang
begitu mendalam.

Seorang imam dari Keuskupan Napoli, Pastor Mazzini
mengatakan, “Jika saya Paus, saya akan mengkanonisasinya tanpa proses.” “Ia
dipenuhi dengan jalan yang sempurna, persepsi moralnya yang ilahi tentang
cinta Tuhan di atas segala-galanya, dengan seluruh hati dan dengan segenap
kekuatan sepertinya semua sudah dilihat dan seperti yang saya lihat, cinta kasih
Tuhan memancar dalam setiap tindakan dan perkataan, dalam cara berbicara
yang sangat berdevosi kepada Tuhan dan Bunda Maria, kontemplasinya yang
mendalam, penghormatannya terhadap Sakramen Mahakudus dan akan
kehadiran ilahi.”

Ep i log
Spe gaudentes, in tribulation patientes, oration instants
Bersukacitalah dalam pengharapan, bersabarlah dalam kesesakan,
dan bertekunlah dalam doa.”

“Bersama Tuhan, penebusan berlimpah.” Itulah kalimat singkat-padat yang
pernah dikatakannya kepada para pengikutnya di CSsR. Jelaslah, bahwa pelbagai
keutamaan dan ciri khas kebajikannya merupakan tujuan iman yang murni. Pada
setiap hal dalam seluruh waktu, ia bertindak untuk, dalam dan yang pasti bersama
Nama Tuhan. Bukankah merupakan hal yang benar jika segala sesuatu itu dikerjakan
bersama Tuhan, maka segala sesuatu itu – seberapa pun beratnya, akan terasa lebih
indah dan lebih mudah? Alfonsus Maria de Liguori telah memberikan contohnya.
Bagaimana dengan kita sendiri?

DOA KEPADA SAKRAMEN MAHAKUDUS
oleh St. Alfonsus Maria de Liguori

Tuhanku Yesus Kristus, kasih-Mu yang dahsyat kepada umat manusialah
yang menahan-Mu siang malam dalam Sakramen ini, penuh belas kasihan
dan cinta, menanti, mengundang, dan menyambut semua yang datang
mengunjungi-Mu. Aku percaya bahwa Engkau sungguh hadir dalam
Sakramen dari altar. Dari kedalaman ketiadaanku, aku memuja-Mu; dan
aku bersyukur kepada-Mu atas begitu banyak rahmat yang telah Kau
anugerahkan kepadaku, teristimewa anugerah Diri-Mu sendiri dalam

Sakramen ini, anugerah Bunda-Mu yang Tersuci sebagai perantaraku, dan
anugerah hak istimewa mengunjungi-Mu dalam Gereja ini.
Sekarang aku berbicara kepada Hati-Mu yang Maharahim dengan tiga
intensi: untuk mengucap syukur kepada-Mu atas anugerah agung Diri-Mu
sendiri; untuk menyilih segala penghinaan yang ditimpakan para musuh
ke atas-Mu dalam Sakramen ini; dan untuk menyembah-Mu di mana pun
Kehadiran Ekaristi-Mu dicemarkan atau diabaikan.

Yesusku, aku mengasihi Engkau dengan segenap hatiku. Aku sungguh
menyesal atas segala tidak tahu terima kasihku atas kebajikan-Mu yang
tak terbatas. Sekarang aku berbulat hati, dengan pertolongan rahmat-Mu,
untuk tidak pernah menghina Engkau lagi. Aku orang yang berdosa ini
mempersembahkan kepada-Mu segenap keberadaanku, segenap kehendakku,
kasihku, kerinduan dan segalanya yang aku miliki. Mulai saat ini, perbuatlah
padaku dan pada segala milikku seperti yang Engkau kehendaki. Aku
merindukan dan menginginkan hanya kasih-Mu, ketekunan hingga akhir,
dan rahmat untuk senantiasa melakukan kehendak-Mu yang kudus.

Aku mohon pengantaraan-Mu bagi jiwa-jiwa di api penyucian,
teristimewa jiwa-jiwa yang paling berdevosi kepada Sakramen Mahakudus
dan kepada BundaMu yang Tersuci. Aku mempersembahkan kepada-Mu
pula, segenap pendosa yang malang. Dan yang terakhir, Juru Selamatku
terkasih, aku mempersatukan segenap kerinduanku dengan kerinduan Hati-
Mu yang Maharahim. Bersatu dengan-Mu, aku persembahkan segala doaku
kepada Bapa-Mu yang kekal, dan mohon kepada-Nya dalam Nama-Mu
dan demi kasih-Nya kepada-Mu untuk mendengarkan dan menjawab doadoaku.
Amin.

“Totus tuus ego sum et omnia mea Tua sunt.
Accipio Te in me omnia.
Praebe mihi cor Tuum, Maria”
“Aku adalah milikmu
dan segala milikku adalah milikmu.
Engkau kuterima dalam diriku seluruhnya.
Berikan aku hatimu, ya Maria.”
(Alfonsus Maria de Liguori)

0 komentar:

Posting Komentar