Ads 468x60px

Alpha et Omega


PUSTAKALOKA

Qui dormit non peccet/peccat
Barang siapa tidur, dia tidak berdosa.
Qui habet aures audiendi audiat
Barang siapa yang bertelinga, hendaklah dia mendengar.
Qui rogat, non errat.
Barang siapa bertanya, dia tidak akan melakukan kesalahan.
Qui tacet consentit
Barang siapa diam, berarti ia setuju
Qui scribit, bis legit
Barang siapa menulis, ia membaca dua kali



1.  HER STORY -  

Sketsa Spritualitas Perintis

Prolog
Cherchez la Femme
 “...Door nacht tot licht,
Door storm tot rust,
Door strijd tot eer Door,
 leed tot lust”

Dua kalimat dalam bahasa Belanda di atas adalah rangkaian sajak seorang perempuan bernama RA. Kartini, yang berarti, “Habis malam datanglah siang, Habis topan datanglah reda, Habis perang datanglah menang, Habis duka datanglah suka.” Seperti kita ketahui, pada tahun 1911 terbit antologi surat-surat Kartini dalam format buku yang disusun oleh J.H. Abendanon, seorang direktur pada departemen pendidikan, industri dan agama pemerintah Hindia-Belanda di awal abad ke-20, berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’, dan kemudian diterjemahkan Armijn Pane sebagai ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ (terbit 1951), di mana Kartini dianggap sebagai ‘pembawa obor pencerahan’.

Kata 'pencerahan' sendiri beberapa kali memang muncul dalam korespondensi Kartini (misalnya dalam surat kepada Steela Zeehandelar 12 Januari 1900). Sudah barang tentu, seperti tersebut dalam beberapa surat Kartini yang lain, 'pencerahan' juga ada hubungannya pula dengan emansipasi, khususnya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera. "Kemerdekaan perempuan akan merupakan buah dari penderitaan dan kepedihan kami', tulis Kartini dalam sepucuk surat bertanggal 1 Agustus 1903.

Seperti Kartini, semua tokoh yang ditampil-kenangkan dalam buku ini adalah para perempuan. Sepanjang sejarah dunia, terlebih Gereja Katolik, memang ada banyak sekali tokoh perempuan yang menonjol. Untuk tulisan ini saya mengambil beberapa pribadi saja dari daftar panjang puteri-puteri terbaik yang pernah hadir di tengah dunia. Kebanyakan dari mereka adalah para ibu pendiri, yang menonjol dalam bidangnya masing-masing. Entah dalam hal kesucian hidupnya, kepeloporannya dalam hal pembaharuan gereja dan dunia, menjadi pembawa damai, pekerja sosial, perintis emansipasi, perawat pendidik, melayani orang-orang miskin dan tersisihkan. Tapi, ada pula yang mistikus dan berperan sebagai nabiah pada zamannya, dan lain sebagainya. Ada yang biarawati, ada yang awam. Ada yang ratu, keturunan bangsawan, ada pula yang berasal dari keluarga miskin. Ada yang berpendidikan, ada pula yang berlatar pendidikan ala kadarnya, malah ada yang buta huruf.

Di balik itu semua, kata perempuan sendiri mempunyai akar katanya, ‘empu’, arti idealnya yakni seorang guru kehidupan. Tapi realnya, banyak peempuan sungguh mengalami diskriminasi dalam pelbagai ranah kehidupan, bukan? Banyak orang mengidentikkan kaum per’empu’an dengan stereotif 3 m (macak/dandan, masakmanak/melahirkan), 3 ur (dapur, sumur  dan kasur), 4 wa (wadah, wadi, waduk, wadon) serta 5 ah, yaitu: tunggu omah, olah-olah, momong bocah, asah-asah, mlumah (jaga rumah, masak, asuh anak, menyuci, melayani suami). Kalau begitu adanya, bagaimana dengan pepatah lama, surga ada di bawah telapak kaki ibu? Belum lagi adanya pelbagai ”KDRT” dan aneka pelecehan seksual, yang kerap korbannya adalah perempuan.

Di lain matra, sebetulnya ada perbedaan mencolok antara kekuasan lelaki dan perempuan. Kekuasaan pria itu condong power over, sifatnya merusak-menindas, sedangkan kekuasaan perempuan itu power to, membagi dan konstruktif. Idealnya, seorang perempuan mempunyai tempat dalam masyarakat dan juga Gereja tentunya. Hal ini terjadi bukan melulu karena keperempuannya yang demikian khas, tapi karena kepribadiannya sebagai seorang manusia dan warga masyarakat serta Gereja, dan yang lebih penting lagi karena nilai dari tugas-tugas bermanfaat yang berhasil diselesaikannya, begitulah ujaran seorang tokoh feminis Rusia, Aleksandra Mikhailovna.

Dalam bahasa Romo Mangun ”Si Burung Manyar”, esensi perempuan juga sebetulnya ada pada rahim serta cita rasanya menghadapi suami, anak-anak dan kehidupannya. Kerahiman perempuan adalah salah satu lambang religiositas, karena rahim itu mengemban dan menumbuhkan benih kehidupan. Jelas, bahwa kaum perempuan adalah roh pengemban kehidupan.

Maka, kalau dulu, ada sebuah slogan khas Perancis, Cherchez la femme: carilah perempuan! Di mana, perempuan dicari untuk menjadi (dijadikan) biang keladi-semacam victim: kambing hitam bagi setiap konflik dalam masyarakat patriarkal. Tapi kini, paling tidak lewat membaca kembali penggalan kisah para pendiri ordo perempuan dan aktivis sosial perempuan beserta roh zamannya, kita diajak lagi untuk bersama-sama berkata, Cherchez la femme ! Kita mencari perempuan bukan lagi sebagai problem maker, tapi karena para perempuan itu sungguh bisa menjadi problem solver.  Silakan renung dan telaah, “mang onceki dewe-dewe!“


Epilog
Bercerita Untuk Melawan Lupa

“…Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan...”.
(Sutan Takdir Alisjahbana, “Jangan Tanggung Jangan Kepalang”).

Sepanjang sejarah dunia, banyak sekali bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang terselip sebagai “her-story” diantara mainstream “his-story” para tokoh laki-laki . Pribadi-pribadi luar biasa yang sesungguhnya lebih daripada seorang Kendedes, Srikandi atau Dewi Shinta pada masanya. Kiranya  semuanya sesuai rencana Allah sendiri, karena dengan kharisma dan talenta masing-masing mereka tampil pada saat Gereja dan dunia membutuhkannya.

Perempuan-perempuan yang diangkat dalam buku sederhana ini memang datang dari pelbagai kalangan masyarakat. Mereka digerakkan oleh penderitaan dan ketidaktenangan sosial di sekitar mereka. Mereka membaktikan diri demi mengurangi kemiskinan dan duka derita kaumnya. Mereka menghibur orang sakit dan yang akan meninggal. Mereka juga menolong pendidikan anak-anak dan kaum perempuan. Tremens et fascinans!

Di lain matra, kaum feminis sering mengkritik sejarah dominan, yang terfokus pada peranan laki-laki, sehingga pantas disebut his-story. Sebagai anti-tesisnya, mereka ajukan sejarah dari kacamata perempuan, yang mereka sebut her-story (Al-Hibri 1982; Umar 2002: 115)Di sinilah, dengan membaca buku sederhana ini dan melihat agama sebagai gerakan sosial yang diperjuangkan oleh para perempuan, dan sebagaimana diteruskan  oleh para pengikut mereka, buku ini menjadi semacam her-story dari sebuah his-story sejarah Gereja yang kaya makna:  “Saatnya akan datang, dan nyatanya sudah datang, dimana panggilan kaum perempuan akan diakui kepenuhannya; saat dimana kaum perempuan di dalam dunia ini memperoleh pengaruh, hasil dan kuasa yang tak pernah dicapainya hingga saat ini. Itulah sebabnya pada saat ini dimana bangsa manusia tengah mengalami transformasi yang begitu mendalam, kaum perempuan, penuh dengan semangat Injil, dapat berbuat banyak untuk menolong manusia agar tidak jatuh” (Pesan Konsili Vatikan II, kepada kaum perempuan, tanggal 8 Desember 1965; dikutip dalam Mulieris Dignitatem, 1).

Mengutip ungkapan dr. Zhivago dalam novel klasik Boris Pasternak, “ Perjuangan manusia melawan  kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Jelasnya, buku sederhana ini adalah sebuah ruang juang. Yah sebuah ruang bercerita di ranah publik untuk melawan lupa bahwa para perempuan juga berperan banyak dalam menggambar wajah Allah di tengah ruwet renteng sejarah dan hiruk-pikuk dunia harian kita. Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan kan terpancing, ataukah cuma sekedar gelombang kecil yang menyebar?





2.  “80 DMD” - Dara Masuk Desa

Prolog
Kisah dan Kasih

“..Anak dara usia belasan
Mengapa hanya padamu….
Gita batin biasanya mendayu
Jadi sumbang tak tentu lagu…
Merekah ketika saatnya berbunga
Manis sealun nada riangku..”
(Katon Bagaskara, Anak Dara)

Sejak Abad Pertengahan, pokok pedagogi orang muda dirumus-sarikan oleh Cassiodorus sebagai artes liberales, yang terdiri dari trivium (gramatika, retorika dan dialektika) dan quadrivium (aritmetika, geometri, musik dan astronomi). Dari sinilah, carut marut dunia pedagogi kita hingar bingar dengan aneka cara berpikir  dengan budi, entah secara rasional, reflektif, dialektis, ataupun inklusif.

Berpikir rasional: Rasio digunakan sebagai alat pemecahan persoalan hidup manusia. Berpikir reflektif: Kemampuan refleksi untuk menolong orang sadar akan adanya. Dengan kesadaran reflektif, ia terbantu untuk menata hidup lebih baik dari hari ke hari. Berpikir reflektif ini juga dapat tampil sebagai kawan bagi kesadaran praktis (mekanis). Berpikir dialektis-inklusif: Inilah sebuah cara berpikir secara “tesis-antitesis-sintesis” dan seterusnya (sintesis menjadi tesis baru yang perlu diantitesis), yang mensyaratkan inklusivitas.

Di lain matra, dalam bahasa Giddens, di tengah konteks dunia yang berlari tunggang langgang, bahkan dunia yang lepas kendali ini (runaway world), mengacu pada Marcuse, manusia itu makhluk multi-dimensi, maka berpikir dengan budi tidaklah cukup. Tercandra, perlunya keseimbangan dialektis antara berpikir dengan budi dan berpikir dengan hati, karena hati dapat menyingkap kedalaman sekaligus keluasan suatu realitas. Demikianlah gagasan Blaise Pascal tentang le coeur (hati).

Sehubungan dengan itu, lewat hadirnya buku sederhana berisi gado-gado kisah narasi yang dibuat oleh 80 anak dara (remaja putri), para siswi SMU Santa Ursula Jakarta ini, terdapatlah empat metode konkret untuk semakin mendorong pelbagai upaya habitus berpikir dengan hati, al:

Pertama, iklim dialog (diskursus).
Sebelum acara live-in, mereka diajak dan didorong serta dibiasakan untuk berpikir dan mengemukakan gagasannya, dalam bahasa Habermas, “diskursus, perbincangan bersama”. Yah, tentunya secara lisan kepada orang di sekitarnya (guru, orangtua dan teman). Jelasnya, ada diskursus, yang dilandasi keterbukaan antara guru dan murid, antara orang tua dan anak. Ketika live-in, mereka juga ditantang untuk bisa berbicang dengan ‘tuan rumah’ yang mereka tempati. Menyitir Socrates, bukankah, dalam diri setiap orang ada rahim kebenaran yang perlu terus “dipancing” supaya dari situ lahirlah butir-butir kebenaran?

Kedua, menulis.
Setelah live-in, mereka didorong oleh para gurunya untuk menuliskan percak-percik pengALAMan selama menjalani proses. Kompilasi narasi “80 Dara Masuk Desa” ini sendiri berangkat dari proses sederhana supaya local wisdom (kearifan lokal) yang tersebar-pencar ini bisa dibukukan, tanpa bermaksud mem”BAKU”kan, apalagi mem”BEKU”kannya sama sekali. Dengan menulis, bukankah kita juga dipacu untuk menyusun gagasan dalam alur logika yang clara et disctinta, jelas dan terpilah-pilah? Baiklah kita ingat juga kelakar seorang Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”  Tentunya, untuk menulis, diperlukan pula habitus membaca, bukan?

Ketiga, mencintai seni.
Bagi seorang Antonio Gramsci, pendidikan yang semata-mata didedikasikan demi kepentingan industri, adalah pendidikan yang berat sebelah. Maka, perlulah pendidikan dibarengi dengan kedekatan pada ranah seni (musik, lukis, teater, vokal, dll). Seni mengajak kita untuk mengolah hati dan semakin peka diri (3 C: Conscience, Competence,  dan Compassion). Hal ini diperlukan demi pembentukan karakter yang utuh dan menyeluruh. Diharapkan, orang semakin masuk ke dalam jati dirinya yang otentik. Itu sebabnya, di sela-sela kesibukan nyantrik di desa, mereka juga diajak mengisi koor di Gereja dan menyiapkan acara kreatif  bersama pada malam terakhir di desa tersebut.

Keempat, live-in.
Menurut Jean-Francis Lyotard[1]efektivitas telah menjadi roh bagi masyarakat yang berteknologi maju. Tapi, lewat live-in inilah, afektivitas menjadi lebih bermakna.Artinya, belajar hidup dalam lingkungan yang “asing”, dalam keterasingan dan ketidakberdayaan, untuk lebih mengenal diri dan the others (sesama, alam, Tuhan), terutama untuk membentuk hati yang mencinta, yang afektif-dan bukan melulu efektif. Lebih dari itu, metode ini harus dijauhkan dari metode yang indoktrinatif-sentralistik, yang hanya “mencetak” pribadi mekanis. Dengan demikian, menjadi orang yang berilmu, bukanlah demi kepentingan praktis. Tapi, memiliki nilai pada dirinya sendiri. Meminjam istilah Henry Newman, “…pengetahuan itu bernilai karena ia ada dan hadir didalam diri kita, meski ia sama sekali tidak digunakan untuk kepentingan apapun, atau bahkan jika tidak diarahkan demi tujuan tertentu[2]” Dan, inilah yang dilihat, dibuat dan dicecap-recap secara tersirat maupun tersurat oleh 80 anak dara, dalam buku sederhana ini. Tolle et Legge, ambil dan bacalah!


Epilog
Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.
(Kutipan dari drama karya Edward Forsett,
Pedantius babak I adegan 3)


Kita bisa mencandra seorang atheis sekaligus penulis kontemporer, Iris Murdoch (1919—1999), dalam bukunya The Sovereignty of Good, yang menekankan pentingnya sikap yang mau “mengunyah-kunyah” pengalaman menjadi pemaknaan penuh perHATIan dalam mengambil sikap. Ia menyatakan bahwa dengan memandang “pengalaman“ dengan penuh “kunyahan” (perHATIan), orang semakin mencapai pengertian dan pemaknaan yang sesungguhnya, dan karenanya ia seolah-olah dengan sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Hal ini terjadi karena jiwa sudah terarahkan pada idea “Yang Baik”, yang mengatasi energi keterpusatan-pada-diri-sendiri yang hidup dalam diri manusia.  O beata solitudo, O sola beatitudo!

Nah, semoga dengan hadirnya buku sederhana “80 Dara Masuk Desa” ini, semakin banyak budi yang mau “terkunyah“ dan terlebih ruang hati yang rela “tersapa”, bahwa hidup itu sesungguhnya indah dengan pelbagai ceritanya masing-masing, “la vita e bella!” Bagus juga direnung-menung tentang angka “80”: Dua angka ini sama-sama tak terputus, bukan? “8” adalah sebuah angka yang penuh dan utuh lekukannya, begitu juga dengan angka “0”. Seperti kata ramalan Celestine, tentu ini bukan sebuah kebetulan belaka.  Yang pasti, semoga lekukan kisah dan rajutan kasih dalam buku sederhana ini tidak pergi begitu saja, tapi terus menyentuh-ampuh kehidupan harian kita, entah di kota, entah di desa, entah ketika live-in atau live-out.
Finita est!  Selesailah sudah!





3.  CARPE DIEM:  Tetralogi “OBOR

Prolog

Sed fugit interea,
fugit inreparabile tempus
Sementara waktu yang tak tergantikan lekas berlalu
(Kutipan dari karya VergiliusGeorgicon III:284).

Suatu ketika, Dalai Lama ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia ini?” Dia menjawab, ”manusia.” Yah, karena ketika muda, manusia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang. Lalu ketika tua mengorbankan uangnya demi kesehatan, dan sangat kuatir akan masa depannya, sampai tidak sempat  menikmati masa kini.” Yah, kadang orang kurang mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc) bukan?  Wajarlah, orang Romawi kerap mengatakan, “Diem perdidi”  - Saya telah kehilangan satu hari! Kalimat ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari bahwa satu hari terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna.

Disinilah, baik kita mengingat slogan orang Romawi, “Carpe Diem”, yang dalam bahasa Inggris kerap diartikan, “Seize the Day”, secara lugas berarti, “Reguklah Hari Ini”. Kalimat lengkapnya adalah, “Carpe diem, quam minimum credula postero”, yang berarti,  "reguklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok."

Kutipan filosofi dari karya Horatius Carminum ini dimaksudkan agar setiap orang belajar memaknai hidup dengan arif, duc in altum - bertolak lebih dalam, untuk “hidup lebih hidup” dari hari ke hari. Dalam kacamata iman yang lebih positif, seperti nats pemazmur yang mendaraskan, “Tuhan ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)

Dalam edisi tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, bersama dengan ulang tahun tahbisan imamat saya yang kelima, ditampil-kenangkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang Kudus setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat santo/a dan Gereja tentang Bunda Maria”, “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah Makin Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati, Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan terakhir, adalah “365 kata-kata seputar Requiem (kematian), dari para santo/a, satrawan, budayawan dan ilmuwan.

Harapannya, semoga tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, seperti namanya, “OBOR”, bisa juga menjadi obor, semacam lentera atau pelita yang menyala, terus menerangi serpihan lika-liku hidup dan carut-marut perguatan iman kita. Fiat Lux!





4.  “BBM” - Beriman Bersama Maria

Prolog:

Secara kebetulan, ketika saya  belajar filsafat di bilangan Rawasari Jakarta, saya mengenal ungkapan ini: "Bicara tentang Maria, tak akan ada habisnya!" Begitu jugalah yang kerap terjadi dengan kita bukan? Secara kebetulan juga, kalau saya amati, Maria banyak menyapa saya secara pribadi:

Dulu ketika berjalan kaki: berangkat dan atau pulang sekolah, saya kerap berdoa Rosario dengan jari tangan saya. Ketika saya masih sering mendaki gunung, saya juga terbiasa mendaraskan Salam Maria dari kaki gunung sampai puncaknya. Ketika  di Seminari Menengah, jika saya merasa sedih, biasanya saya langsung bernovena Tiga Salam Maria. Menjelang masuk Seminari Tinggi KAJ, saya pernah menyempatkan diri berziarah ke macam-macam Goa Maria di Jawa. Tiga lagu yang saya suka dari dulu juga ternyata berkisah banyak soal Maria, “Ave Maria”, Ndherek Dewi Mariyah” dan “Ave Ave”.

Kini, secara kebetulan juga, saya ditahbiskan persis tanggal 15 Agustus (ketika Gereja merayakan pesta Maria diangkat ke surga), dan tugas pertama saya sebagai pastor muda adalah belajar menjadi gembala di sebuah paroki tua di kawasan Tangerang, yang berlindung dibawah nama Santa Maria. Bahkan satu stasi di Teluk Naga, yang saya dampingi juga bernama stasi St.Maria Immaculata. Di kamar kerja saya, juga terpampang sebuah lukisan besar, hadiah seorang sahabat, dengan judul, “Maria, Sang Penasehat yang Baik”. O sancta simplicitas! O sebuah kesederhanaan nan kudus.

Dan, di awal prolog ini, tak lepas dari figur Bunda Maria yang penuh warna, saya juga ingin mengangkat kisah St.Agustinus ketika mendapat penampakan. Begini kisahnya, ketika ia sedang berjalan-jalan di pantai dan mencoba merenung-menungkan banyak misteri Allah yang tak bisa langsung dimengerti, ia melihat anak kecil yang bemain air dipantai. Agustinus mendekati anak itu dan bertanya : "Sedang apa kau di sini ?" Anak itu menjawab: "Saya ingin memasukkan seluruh air lautan ini dalam botol" Agustinus tertawa mendengar jawaban anak itu, katanya: "Bodoh benar kau ini, mana mungkin seluruh air lautan ini bisa kau masukkan dalam botol" .

Tak dinyana, anak itu balas menjawab : "Sama seperti kau juga, mana mungkin bisa memasukkan Allah dalam otak manusia yang juga sebesar botol ini.” Setelah berkata anak itu menghilang. Agustinus terkejut dan sekaligus sadar akan kebodohannya. Betapa benar kata-kata anak dalam penglihatannya itu, bukan?  Kita ibarat ingin memasukkan seluruh air lautan ini ke dalam botol, jika mau mengerti misteri Allah yang sesungguhnya. Semoga kita juga bisa mendapatkan sedikit pencerahan dari buku kecil ini. Semoga!! Amor vincit omnia. Cinta mengalahkan semuanya!





5.  “MAP” - Mimbar Altar Pasar

Prolog

Kini dan di sini, dalam konteks di mana kehidupan publik tidak beres dan mengidap patologi, wajar kalau banyak yang khawatir teks-teks kita, terlebih teks kultural, akan dibayangi-bayangi kecemasan pemikir Jerman, Theodor Adorno tatkala ia berujar “menulis puisi setelah Auschwitz adalah tindakan barbar“,  juga kecemasan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya:

“Aku tidak bisa menulis puisi lagi, Sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi di lempar ke kamar gas sehingga lemas mati, Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak di Afrika Selatan pejoang pejoang anti apartheid disekap berpuluh tahun tanpa diadili, Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak di Birma para pengunjuk rasa bergelimpangan dibedili tentara secara keji, Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel mematahkan lengan anak-anak Palestina yang melawan dengan batu, Keindahan punah dari bumi, ketika becak-becak dicemplungkan ke laut karena abang becak melanggar Per-Da, Ketika rakyat berbondong-bondong digusur dari kampung halamannya yang akan disulap jadi real estate dan pusat rekreasi, Ketika petani dipaksa tanam tebu buat pabrik-pabrik, sedangkan hasil padi dan kedelai lebih mendatangkan
untung daripada rugi, Ketika teruk-teruk di jalan raya di cegat penegak hukum yang langsung meminta pungli, Ketika keluarga tetangga menangisi kematian anaknya korban tabrak lari......Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak keindahan punah dari bumi, ya aku tak bisa menulis puisi lagi.

Maka, di tengah maraknya usaha untuk cuci tangan atau menurut terminologi Juergen Habermas, ‘melunakkan masa lampau’ (defusing the past), Kita mesti terus membangun sebuah Zwischenraum, Ruang Antara, sebagai kontrol terhadap hegemoni kekuasaan, salah satunya semoga bisa lewat buku kecil ini. Buku ini sendiri, (yang awalnya) terbagi atas tiga bagian besar (Mimbar, Altar, dan Pasar),  terdiri atas pelbagai artikel yang pernah dimuat di pelbagai media, entah lokal-global, sakral atau profan, yang terkait-paut dengan dunia yang lebih luas dan ganas. Memang, penulis buku kecil dengan tema yang terrsebar-pencar ini, perlu menekankan pula bahwa aneka jumputan tulisan dalam buku ini tidak berkaitan dengan pembentukan teori representasi apalagi formulasi dan definisi. Ia merupakan sebuah elemen diskursif dalam suatu wacana. Mengikuti pandangan Michel Foucault, wacana adalah mediasi-mediasi segmen-segmen acak (diskontinu) yang tidak bertujuan untuk mencari rangkaian, keseragaman atau kesimpulan yang stabil. Wacana adalah himpunan pelbagai elemen diskursif yang interaksinya bermakna strategis.

Seperti kegiatan yang dilakukan oleh penyair Wiji Thukul dari Yogyakarta yang coba memperkenalkan seni puisi tentang, untuk dan kepada pelbagai kelompok menengah bawah seperti kalangan tukang becak, atau para pekerja bangunan dari kelompok dan kelas sosial yang sama. Demikianlah buku ini tak hendak sepi iseng sendiri. Semoga saja buku ini bisa menjadi teman kecil anda juga.  Semoga  juga seperti judulnya “Mimbar Altar Pasar” (baca: “MAP”), buku kecil ini bisa menjadi “map”, semacam peta kecil untuk melihat “Mimbar, Altar dan juga Pasar” lebih luas sekaligus mendalam.


Epilog
Khotbah di Bukit

Tapi di masa ini bukit sudah ada. Teknologi, terutama, telah meratakannya. Di masa ini, suara suara disiarkan melalui corong-corong dan titik-titik lubang pada kotak ajaib multi media – dari yang paling primitive (seperti TOA di menara), maupun yang tercanggih (misalnya streaming siaran langsung pada telepon seluler). Televisi adalah yang paling jamak.

Lihatlah! Lihatlah ini manusia – yesus menatap bukitnya yang telah rata dan menjadi tahu bahwa suara tak lagi harus disampaikan dari ketinggian ideal, pun tak bisa disampaikan dalam keheningan obtektif.

Sebab, bahkan di puncak Gunung Lawu pun orang bisa membuat interupsi berkat alat komunikasi. Alat komunikasi itu, yang tetap bisa bordering  dalam misa dan bioskop –menghubungkan orang dengan tempat lain  dengan cara memutus hubungan orang tersebut dengan lokasi beradanya hic et nunc, disini dan sekarang. Tak ada lagi keheningan obyektif.

Maka mafhumlah yesus bahwa bukit telah menjadi sekedar metafora bagi mimbar ideal: mimbar dimana ia bisa mewartakan keselamatan, juga kutukan, kepada orang-orang yang mendongak kepada dia. Yang saling bertatap wajah dengan dia. Dalam sebuah ketenangan. Ia tak perlu berteriak kepada mereka. Sebab mereka yang datang di lingkaran terdekat memang hadir untuk mendengarkan dia. Ah, bukit benarlah area kotbah yang jinak.

Tapi bukit itu telah diratakan sekarang. Bahkan orang-orang yang ke gereja tidak datang untuk mendengar apa yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang untuk hal-hal lain selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi mendengarkan kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi pengkotbah juga.

Yesus pun meninggalkan  bukitnya yang telah datar dan tibalah ia di pasar. Ini dia, pasar yang terbentuk di sekitar Bait Allah. Mudah sekali dibayangkan. Kira-kira seperti tenda biru  yang terbentuk di sekitar mesjid Atta’awun di puncak, tenda-tenda yang merusak hijau hening kebun the. Atau bedeng-bedeng yang mengerumuni Borobudur. Atau kios pedagang yang dulu mangkal di Monas atau Senayan, atau yang kini masih meyesaki lahan menuju Kebun Raya Bogor atau Cibodas, tumpah ke jalan bersama sampah-sampahnya. Disana burung-burung diperdagangkan dengan rebut. Burung itu bakal persembahan. Juga kambing, domba dan bandot. Bakal kurban. Mata uang dipertukarkan dengan pelbagai muslihat. Orang-orang yang takut akan Allah dibujuk justru karena ketakutannya akan Allah. “Belilah burungku, burung surgawi.” Pojok lain berteriak, “semakin berat kambing yang anda korbankan, semakin ringan dosa yang anda tanggung.” Di sudut lain, “kambing kami bisa dikredit, bunga ringan.”

Kita tahu, di pasar yang demikian, Yesus meradang. Ia menjungkir meja-meja dan menghambur-hamburkan uang: dinar, dirham, talenta – secara harafiah. Satu-satunya gambaran secara eklsplisit tentang pasar dalam Injil  adalah pasar ini. Pasar burung dan kambing, money changer yang memanfaatkan sebuah pusat keberimanan. Para seniman senang melukiskan Yesus dengan mata melotot dan rambut berdiri berkibar-kibar. Tangannnya menunjuk berang!

Tapi di jaman ini, pasar telah lebih cerdik daripada ular, dan suka berlagak tulus seperti merpati. Pasar yang barbar tentu tetap ada. Menjual burung dan hewan terlarang lainnya. Tapi pasar juga masuk ke ruang, atau kotak kaca, dimana bujuk membujuk terjadi, transaksi terjadi, tapi pertemuan yang sesungguhnya tidak terjadi lagi. Dulu, pertemuan terjadi di pasar tradisional, juga di bukit perkotbahan. Sekarang, ia tidak terjadi di televisi. Yang terjadi di televisi, kini dan di sini adalah komersialisasi.

Yesus mengintip lewat kaca depan sebuah rumah dan melihat sebuah kotak pipih menyala dengan gambar. Di depannya satu keluarga asyik menonton. Di dalam layar kacanya yang pipih seseorang berkotbah. Setelah itu iklan, obat sakit maag, obat batuk, detergen pemutih baju, bumbu penyedap dll.  Disanalah mimbar dan pasar kini menyatu. Bait Allah dan kios kambing, burung dan mata uang dalam bentuk rapi dan lebih berbinar. Tidak ada bau tahi hewan atau keringat manusia  dan orang tak perlu berangkat kesana. Sebab pasar yang satu ini datang ke ruang keluarga tanpa mengetuk pintu atau memijit bel. Ia bahkan juga bisa melawat dalam kendaraan pribadi, yang dilengkapi tv set (yang sekali lagi, yang memutuskan orang dari hubungan disinui dan sekarang).

Di mimbar begini, orang harus berteriak-teriak. Tak seperti di bukit, melainkan seperti di pasar.  Dan yesus pun menulis. Barangkali itulah pentingnya Romo Jost Kokoh, si “yesus kecil” (yesus dengan huruf kecil) menulis. Sebab, bukit telah rata dan kotbah telah jadi banal. Di gereja, ia menjadi rutin. Lagipula seremonial; tak bisa dibantah meskipun imam dan umat bertatap-tatapan. Di televisi, kadang ia hanya terdengar jika sudi merendahkan standar selera. 

Kembalilah pada membaca dan menulis. Sebab di jaman ini tak ada lagi keheningan obyektif. Maka kita harus meruapkannya di dalam ruang-ruang itu sendiri, ruang hati, ruang jeda diantara hiruk pikuk. Menulis dan membaca menyediakan ruang jeda itu. Ruang retret dan meditasi yang rendah hati. Lagipula, bukankah banyak wisma dan tempat retret kita yang tak lagi bisa mempertahankan keheningan karena banyaknya “suara-suara kehidupan” motor dan “toa”?) Membaca dan menulis bukan hanya ruang jeda yang rendah hati, tapi juga yang cerdik dan niscaya.    

Dan sesungguhnya, buku-buku ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh Prihatanto, mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus seperti merpati. Tulisan-tulisan dalam buku ini memang tidak disiapkan untuk menjadi satu kesatuan yang mengalir, melainkan lebih merupakan sebundel catatan dan pemikiran, terpisah juga terulang, sederhana juga kaya makna. Tapi, bukankah kita juga terbiasa dengan Alkitab yang juga merupakan satu bundel narasi, surat, puisi, prosa yang terpisah dan juga terulang di banyak bagian, (seperti di Injil Sinoptik, Matius Markus Lukas misalnya)? Buku ini member kesempatan pada pembacanya untuk masuk dari banyak pintu  dan mencoba menyusuri pertanggungjawaban sekaligus refleksi mini seorang pastor muda di sebuah Negara, dimana Gereja Katolik yang minoritas, senantiasa berusaha merumuskan peran  dan keberadaannya dalam masyarakat yang beragam dan berbeda, yang mengandung unsur tradisional maupun modern, sekaligus. Gereja ingin menyatakan keunikan imannya, sekaligus terbuka pada pelbagai kebenaran nilai di luar dirinya, dan prakteknya , ini bukan pekerjaan mudah. Disinilah anggota Gereja tak boleh dan tak bisa menutup diri dari khazanah di luar Gereja. Sebab, Gereja senantiasa dalam dialog dengan yang lain- dengan nilai-nilai yang berbeda kadar, dan dengan orang yang berbeda iman. 

Buku ini adalah sebuah altar, tempat pemikiran dan pengalaman dipersembahkan bagi kita. Agar kita, gembala juga domba, imam juga awam, menyediakan  ruang jeda dalam diri untuk menyelami yang mudah dimengerti, maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri. Dan, jelaslah lewat  yesus-yesus kecil inilah, , diantara pasar, mimbar dan altar. Tentulah altar yang paling menakjubkan!





6.    “TANDA” – kaTA, aNgka dan naDA

Prolog
‘Tempus mutatur et nos mutamur in illud’
Waktu berputar dan kita diubah olehnya....

Utak-atik gatuk, begitulah orang Jawa punya peribahasa. Artinya, diutak-atik pas, cespleng, tandes, joss, klop, nyambung. Biasanya ini berhubungan dengan pemaknaan, dan inilah yang juga sebetulnya terjadi ketika saya asyik menyusun-rukun sepenggal buku kecil ini.

Ya, sepakat dengan kata Ernst Cassier, bagi saya, kita memang adalah “animale symbolicum”,… untuk menciptakan dan merenungkan, menyampaikan simbol-simbol dan dengan demikian mengungguli  binatang”, dan “hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi (Dillistone, hlm. 22 & 10; bdk Fontana, hlm 9-17). Kata “simbol” sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, sym-bollein yang berarti “mencocokkan” atau “menghubungkan” antara dua bagian atau dua entitas yang berbeda (Bdk: utak-atik gatuk).

Berangkat dari inilah, persis di ulang tahun saya yang ke-30, saya mencoba utak atik gatuk mengumpulkan pelbagai serpihan makna dan tanda, yang terserak gerak dan terpencar sebar. Inilah sebuah kompilasi TANDA, yang terdiri dari pelbagai kisah dan permenungan saya sebagai seorang pastor muda selama setahun terakhir ini.

Buku ini sendiri, yang terdiri dari tiga matra pokok (30 Angka, 30 Kata dan 30 Nada) tentunya mau ikut memberi pemaknaan lebih pada setiap angka, kata dan nada yang diangkat. Sekurang-kurangnya, semoga aneka serpihan sederhana yang sudah dibukukan (tapi tentu tidak untuk dibekukan apalagi dibakukan), ini dapat membuat orang mau ikut sedikit mengambil jarak: termenung, terpekur atau kadang tersenyum, dan juga boleh jadi merasa terhibur.

Yang pasti, seperti kata Paulo Coelho, bukankah semakin banyak kita memberi cinta, semakin dekatlah kita pada pengalaman spiritual?  maka sungguh tepatlah bahwa pengalaman spiritual kerap bersemi dari sebuah perjumpaan sederhana akan cinta. Yah, akan setiap kisah juga kasih yang boleh saya lihat dan alami dengan pelbagai macam karakter, terimakasih saya buat semuanya. Disinilah menjadi jelas, bukankah tepat juga kata seorang Thomas Merton, kehidupan spiritual pada dasarnya adakah mencintai?


Epilog
       “No liberation without communication,
but also no communication without liberation” (Bastone & Mendieta,97)


Bukankah tugas cerdas-bernas kita sekarang untuk merakit-paut kembali segala bentuk pemisahan pemikiran keberimanan dari wilayah publik, tanpa harus menjadi dangkal bukan? Bukankah juga sungguh sebuah niat baik dan patut dirayakan, jika kita berusaha mengkomunikasikan lagi bahasa dan refleksi iman kita ke wilayah publik, dan tak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga mau bergulat geliat sungguh di tengah riuh rendah dan carut-marutnya pasar kehidupan kita?

Jelasnya, buku ini tak hendak sepi-iseng sendiri.Apalagi kini, ruang kolektif kerap-akrab dialami ketika berada “dalam perjalanan”, yakni perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Modernitas kita sangat lekat-dekat tercermin di jalan, demikianlah tukas-lugas seorang pemikir Jerman, Walter Benjamin. Harapannya, buku kecil ini bisa menjadi sebuah “tanda”, teman seperjalanan yang ringan, mengasyikkan dan semoga juga sekaligus mencerahkan. Buku ini sendiri sebetulnya, selain merupakan ungkapan syukur, juga merupakan suatu perjuangan komunikasi, yang terdiri dari risalah dan rajutan tekstur refleksi, introspeksi, interaksi sekaligus juga intervensi dan interupsi, karena bukankah memperjuangkan Zwischenraum (baca: ruang antara – untuk saling berkomunikasi), merupakan salah satu tugas penting bagi kita?

Akhirulallam, Paulo Coelho, ‘sang alchemist’, pernah menegas-tegaskan impiannya bahwa mencinta adalah berkomunikasi dengan yang lain, menemukan serpihan Tuhan dalam diri mereka. Semoga saja, buku sederhana ini bisa membuat kita trampil mencinta: menemukan wajahNya di tengah ruwet renteng serta hiruk-pikuknya dunia harian kita.  Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari jatuhnya umpan itu?





7.    “XXI” – Interupsi
 “Non scholae, sed vitae discimus”
Kita belajar bukan untuk sekolah,
melainkan untuk hidup.

Adagium klasik di atas berasal dari surat-surat Seneca (4 SM - 65 M). Seneca
adalah filsuf Romawi yang kerap membuat interupsi pada dunia sekitarnya.
Ya, pada awalnya memang sebuah interupsi! Johann Baptist Metz, seorang
teolog politik, juga pernah memberikan definisi tersingkat dari agama,
yaitu interupsi (Unterbrechung). Agama itu berangkat dari interupsi Allah
ke tengah dunia. Agama itu hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah
dunia yang carut marut. Agama-agama mengkhianati panggilannya apabila
mereka berhenti membuat interupsi, bukan?

Bagi saya, jelas bahwa Gereja juga perlu terus melakukan interupsi, baik
terhadap dunianya sendiri maupun terhadap dunia yang ada di sekitarnya.
Dalam intensi seperti ini, Gereja dengan segala interupsinya hendaknya tidak
meninggalkan manusia di pinggir jalan sendirian. Maka, di sinilah persis
bersama dengan ulang tahun imamat saya yang ketiga, sekaligus penutupan
Tahun Imam, saya menampil-ulangkan sketsa beberapa “interuptor” dan
pelbagai gurat refleksi mininya. Siapa saja mereka? Sebut saja: Vianney di
Paris, Escriva di Spanyol, Woytilla di Polandia, Mangunwijaya di Yogyakarta.
Roncalli di Italia. Arnoldus Jansen di Jerman. Verbist di Belgia. Kardinal
Kung di Cina, cum amici sui. Para interuptor dalam buku ini adalah para
imam Gereja Katolik, hampir semuanya adalah imam diosesan (di Indonesia,
akrab disebut sebagai imam Pr/Praja, Yunani: Presbiter). Imam diosesan
Indonesia sendiri, untuk saat ini jumlahnya lebih dari 1.600 imam. Di tujuh
keuskupan di Pulau Jawa, ada sekitar 462 lebih imam diosesan. Jumlah yang
`ikut menentukan wajah Gereja dan masyarakat Indonesia, bukan?
Romo Mangun, seorang imam diosesan yang kerap juga membuat
pelbagai interupsi, pernah berkata, “Para imam itu seperti ‘Putri Duyung
Yang Mendamba’ ... di satu sisi, mau mencapai bintang di langit dengan
lengan-lengan manusianya, tetapi kakinya masih tertangkap dalam air dan
terbungkus sirip ikan.” Tampak jelas-lugas, seorang imam, yang “lahir
dari umat, besar dari umat, dan berjuang bersama umat” ini adalah alter christi,
tetapi juga sekaligus seseorang yang tetap terpenjara dalam kelemahan
insaninya (Ibr 5:2), bukan? Walaupun begitu, tanpa melupakan kerapuhan
manusiawi, menjadi imam sesungguhnya juga adalah sebuah cara untuk
berusaha menjadi “interuptor”. Seorang “interuptor” harus menyuarakan hati
nurani kolektif, sabda, wahyu Ilahi, kemanusiaan, dan jawaban manusia
sehingga apa yang diharapkan sungguh menjadi kenyataan bagi dunia:
“gaudere cum gaudentibus, et fiere cum fientibus” (Bersukacitalah dengan yang
bersukacita dan menangislah dengan yang menangis).

Lewat buku sederhana inilah, saya hendak berbagi cerita di ruang kecil
ini. Semoga saja, aneka serpihan cerita kecil ini bisa menetap dan menyebar-pencar
dalam hati dan budi banyak orang, bahwa Tuhan tidak pernah memisah-misahkan
apalagi mengotak-kotakkan Gerejanya. Bukankah kita yang kerap
malah mengotak-kotakkannya? Jesuit, Praja, Karmelit, Salesian, Fransiskan,
Soverdian, dan yang lainnya semua disatukan oleh Tuhan, bukan? Lewat
buku ini, saya juga semakin disadarkan bahwa hidup adalah sebuah proses
pembelajaran yang tak pernah berakhir. Akhirnya, walaupun sederhana, saya
berharap apa yang dilakukan lewat buku ini adalah suatu partisipasi aktif
untuk melakukan interupsi kecil, di tengah dunia yang semakin karut marut
ini. Kiranya, kita juga mau menghidup-kembangkan iman sebagai sebuah
interupsi. Deus vult! Tuhan menghendakinya!


Epilog
“Menjadi sibuk saja tidaklah cukup;
semut-semut juga sibuk.
Persoalannya adalah:
Apa yang menyibukkan kita?”
(Henry David Thoreau, filsuf Amerika)


Saat sekarat di tempat tidurnya, Kaisar Agustus berkata, “Acta est fibula!”
(“Pertunjukan telah usai!”) Itulah kata-kata interupsinya yang paripurna, yang
pada perjalanan waktu menurut tradisi Svetonius diteriakkan sebagai kalimat
pamungkas pada setiap ujung pementasan (Svetonius. Vita di Augusto, 991).
Kalimat ini seakan meng-“interupsi” kita bahwa untuk setiap peristiwa selalu ada
akhirnya. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada
waktunya” (Pengkhotbah 3:1). Demikianlah, ada saat berpesta. Ada saat bekerja.
Ada masa awal juga tentunya ada masa akhir. Ada masa membaca. Ada juga masa
menulis, bukan?

Maka, sebelum hidup kita juga usai dan sadar bahwa semua hal begitu
cepat berlalu, kembalilah pada membaca dan menulis. Inilah interupsi saya:
membaca dan menulis itu menyediakan sebuah “khalwat: semacam ruang
jeda, ruang hati untuk mengambil jarak di antara hiruk pikuk hidup harian.
Bahasa Ayu Utami: ruang untuk menyelami yang mudah dimengerti,
maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri. Membaca dan
menulis ini sebetulnya bukan hanya ruang jeda yang rendah hati, tapi juga
yang cerdik dan menarik karena bukankah tepat dikatakan kalau ide itu
mempunyai kaki?

Buku kecil yang berangkat dari kegiatan membaca dan menulis ini
sendiri mengajak kita ingat sebuah interupsi kecil dari tanah Vatikan, “…
semoga cinta akan kebenaran dan keinginan terus-menerus untuk mengenal
Tuhan merupakan dorongan bagi setiap umat Kristiani untuk tanpa merasa
lelah mencari persatuan yang makin mendalam dengan Kristus: Jalan,
Kebenaran dan Kehidupan” (Paus Benediktus XVI, Audiensi Umum, 23
September 2009).

Fiat Lux.
Jadilah Terang (Kejadian 1:3)
Salam Interupsi





8.  “XXX” – Family Way

Prolog

“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” 
 (Pramoedya Ananta Toer)

“XXX – Family Way” adalah sebuah buku sederhana, yang berisi 30 (“XXX”) permenungan sekaligus pemaknaan tentang sebuah rumah bernama keluarga. Bahan yang saya pakai sebagai kekayaan survey, data statistik dan pelbagai dokumentasi dalam buku ini banyak saya ambil dari pelbagai bahan pendampingan pastoral keluarga “In-Search Action Quest” (ISA, Tindakan Pencarian-diri dari Dalam), yang diolah-susun oleh Alfons Sitorus, demi menyelamatkan, menata-ulang sekaligus merefleksikan perkawinan dan keluarga. Disinilah, menjadi tepat apa yang pernah diucap-kecapkan oleh Socrates, “hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani.”

Di lain matra, berangkat dari praksis di lapangan, bahwa pastoral keluarga mesti melibat-pikatkan banyak orang: sejumlah pakar medis dan moralis, pemerhati, praktisi, aktivis, advokat juga rohaniwan, maka buku ini sendiri hadir sebagai salah satu jalan kecil untuk semakin memperkaya dan mempermakna arti penting sebuah keluarga dengan segala carut marut pendampingannya. Menyitir Thomas Carlyle, “jika sebuah buku lahir dari hati, ia berusaha menjangkau banyak hati yang lain," maka buku ini juga saya hatur-persembahkan bagi seluruh hati keluarga Katolik dengan segala tunggang-langgangnya: tempat kita semua pernah tumbuh-mekar bersama orangtua dan sanak saudara kita.

Di lain matra, apa yang pernah dilakukan oleh Amnon bin Daud, yang memperkosa adiknya, Tamara, yang amat cantik, atau kedua gadis anak Lot yang memperkosa ayah mereka agar mendapat keturunan, atau kisah klasik ketika Daud menghamili Betseyba, Kain membunuh Habel adiknya, dan ketika Yusuf kecil dibuang ke sumur dan dijual oleh kakak-kakaknya sendiri, juga ketika kakak sulung iri hati terhadap kebaikan ayahnya yang menerima dan mengadakan pesta buat adiknya sendiri dalam perumpamaan tentang ‘Anak yang Hilang’ menampakkan bahwa ada  pelbagai duka dalam sebuah rumah bernama keluarga.

Dalam kacamata biblis, tercandra juga pelbagai suka dalam keluarga: Bukankah Kitab Suci kita dibuka dengan kisah tentang keluarga? Di Perjanjian Lama, kisah tentang keluarga Adam dan Hawa, di Perjanjian Baru, kisah tentang keluarga Yosef dan Maria. Baiklah juga kalau kita mengacu pada Injil Yohanes, bahwa Yesus  membuat  mukjijat yang perdana dalam sebuah peristiwa keluarga di Kana, dan Yesus juga membuat mukjijat yang paripurna lagi-lagi dalam sebuah peristiwa keluarga di Betania.

Scribo ergo sum, I write therefore I am. Harapannya, semoga dengan hadirnya buku sederhana, yang sarat dengan pelbagai kutipan dan olah-alih permenungan juga pemaknaan, mukjijat yang dulu terjadi di keluarga Kana dan Betania, boleh juga kembali terjadi di rumah kita masing-masing, yah..sebuah rumah bernama: keluarga, yang bukan hanya berdaya tahan dan berdaya pikat tapi semakin berdaya guna juga berdaya makna. Pengantar ini saya tutup dengan sebuah renungan kecil dari Rumi, ”Aku ingin bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang mendengar, dan apa yang mereka pikirkan...” Harapannya - siapapun anda – semoga mau mendengar dan mau memikirkan apa yang saya ‘nyanyikan’ dalam buku sederhana ini. Semoga!!





9.  “Tiga Bulan, Lima Bintang, Tujuh Matahari”

Prolog
Ex astris, Scientia venit,
dari bintang-bintang, datanglah pengetahuan .

Ada sepenggal cerita pendek dari epik/wiracarita Ramayana yang sudah dikenal sekian puluh abad yang lalu. Epik ini datang dari budaya Hindu di kaki pegunungan Himalaya ke Pulau Jawa lalu berkembang menjadi bagian budaya Jawa melalui media wayang. Di situ dikatakan bahwa Rama Wijaya (yang tak lain adalah titisan Dewa Wisnu) sedang memberikan petuah kepada Raja Alengka yang baru, Gunawan Wibisana. Adapun isi petuah itu berupa delapan butir kata sebagai  delapan pegangan dalam kehidupan. Tiga kata diantaranya, yakni: Bulan, Bintang dan Matahari (Bdk. Wahyu 12:1, “Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya”).

Ada tiga sifat dasar dari Bulan, Bintang dan Matahari, yakni:

-Berdaya guna: Mereka memberi faedah atau manfaat kepada orang lain. Bulan (Chandra): menciptakan suasana teduh, damai, cinta, sabar dan indah. Bintang (Kartika): memberi arah atau menjadi teladan. Matahari (Surya): menerangi, memberi kehangatan, menghidupkan dan menumbuhkan. Disiniah, kita akan melihat aneka angka tiga (tiga nasehat, tiga itikad dan tiga penyekat) dengan pelbagai kegunaannya.

 -Berdaya makna: Setiap manusia bisa bermakna ketika dia bisa berbagi. Donato ergo sum! Matahari berbagi panasnya, bulan berbagi cahayanya, bintang berbagi kerlap kerlipnya. Disinilah, kita akan melihat aneka angka lima (lima bonus, lima jurus, lima kasus, lima arus dan lima modus) dengan pelbagai pemaknaannya.

 -Berdaya tahan: Bulan, Bintang dan Matahari setiap hari bersinar, entah tanggal tua atau tanggal muda, entah sedang sehat atau sakit, entah diterima atau ditolak. Disinilah kita akan melihat kita akan melihat aneka angka tujuh (tujuh maklumat, tujuh wasiat, tujuh maksiat, tujuh semangat, tujuh tabiat, tujuh nubuat dan tujuh mukjizat), dengan pelbagai pergulatan dan ketahanannya. Audiatur et altera pars - Dengarlah semua sisi!





10.     Sebuah Prolog ”MAP”

Menolak IdentifikasiMencari ”Zwischenraum

Dr. Paul Budi Kleden, SVD[3]


Tidak semua orang setuju begitu saja apabila dikatakan bahwa altar dan pasar boleh disejajarkan, apalagi disamakan. Alasannya, keduanya merupakan dua bidang kehidupan yang berbeda dan memiliki kaidah yang berlainan malah bertentangan. Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, altar mesti masuk ke dunia pasar, dan pasar harus diperluas ke wilayah kudus. Iman tak cukup lagi dibatasi dalam lingkup terbatas, dia harus dipasarkan seturut hukum pasar. Maka pertimbangan pasar mesti juga tercermin dalam perilaku di sekitar altar.

Pandangan pertama di atas secara sadar atau tidak masih berorientasi pada pandangan tua yang pernah dianut secara resmi dalam Gereja Katolik: Extra ecclesiam nulla salus, di luar Gereja tak ada keselamatan. Gereja, termasuk semua ajaran, struktur dan segala perangkatnya, adalah sarana yang mutlak demi keselamatan; Konsep yang semula masih memiliki makna spiritual, perlahan menjadi materialistis. Ecclesia bukan lagi soal iman, melainkan masalah ritus dan segala perlengkapannya. Mimbar dan altar menjadi ruang yang berdaya magis. Magi adalah satu bentuk otomatisme dalam beriman; Bersentuhan dengan mimbar dan altar sudah menjamin kesemalatan, tak terlampau penting apa yang dilakukan sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ke gereja menjadi ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor dan pemeras buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat memaksa diri ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan kotbah yang tak menyentuh.

Dekat dengan para fungsionaris menambah jaminan keselamatan. Semakin orang kenal dan dikenal romonya, semakin ada kepastian di dalam hati bahwa dirinya termasuk dalam kalangan pilihan yang sudah mengantongi tiket masuk surga. Pandangan ini mempunyai pengaruh khusus pada sebagian fungsionaris agama yang kerjanya seputar mimbar dan altar. Mereka memanfaatkan secara cerdik kebutuhan umat akan kedekatan dengan mereka. Praktik simonis atau memperdagangkan keselamatan, baik sadar maupun tidak sadar, lalu menjadi biasa. Pelayanan sakramen untuk orang-orang berkuasa dan anggota umat yang kaya dari dunia pasar lebih mendapat prioritas ketimbang perhatian dan kepedulian bagi yang miskin dan tak punya pengaruh. Kendati para romo itu sudah belajar tentang pandangan Gereja baru yang telah mengoreksi konsep extra ecclesiam nulla salus, namun tidak sedikit dari mereka masih senang menghayati pandangan ini dalam praktiknya. ”Di luar gereja tidak ada keselamatan, maka berbahagialah mereka yang dapat membeli hati para romo”. Semakin eksklusif kelompok yang dikategorikan seabagai orang-orang yang diselamatkan, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk menjadi anggotanya. Maka tidak mustahil, semakin konservatif paham teologis yang diwakili satu komunitas iman, artinya semakin ketat rumusan tuntutan keselamatan, semakin kaya pula komunitas iman tersebut.

Pandangan kedua hendak membawa dunia pasar ke dalam gereja, ke dekat mimbar, bahkan ke atas altar. Hukum pasar yang direduksi ke dalam kaidah penawaran dan permintaan menjadi dogma yang tak bisa dibantah. Dogmanya adalah, di luar pasar tidak ada keselamatan. Penyelamat kita adalah pasar, maka kita perlu tahu hukumnya. Segala yang ada memiliki nilai tawar dan hanya diterima sejauh ada permintaan; Yang tak punya sesuatu untuk ditawarkan, atau yang kalah bersaing dalam konkurensi pasar yang semakin ketat malah kejam, tak akan mendapat keselamatan.

Iman pun adalah sesuatu yang harus dipasarkan menurut kaidah pasar. Karena itu perlu diketahui apa yang menjadi kebutuhan umat dan bagaimana mereka menghendaki kebutuhannya itu dipenuhi. Karya pewartaan tak beda dengan menjual iman. Karunia Roh sama dengan anugerah marketing, yang memberi inspirasi seputar kapan harus menyelenggarakan apa dan bagaimana. Maka para romo tidak hanya perlu mengenal sensus fidelium atau cita rasa iman umat, tetapi juga sense of markets; Para romo tak cuma perlu belajar Kitab Suci, tetapi mesti paham prinsip-prinsip marketing. Efisiensi menjadi kata kunci. Akibatnya, ada romo paroki yang mencantumkan jam kantornya. Tarif pelayanannya tergantung entah terjadi pada jam sibuk dan jam longgar. Kalau dalam teologi rahmat para calon romo belajar aksiom gratia gratis data, maka ketika menjadi romo prinsipnya lalu berbunyi, Tak ada yang gratis di dunia ini, Beri dulu baru dapat, Di dunia ini tak ada yang gratis.

Sebenarnya, kedua pandangan di atas pada akhirnya bermuara pada kenyataan yang sama, yakni komersialisasi apa yang dinilai sakral. Mimbar dan altar dipahami dalam kerangka berpikir pasar. Akibatnya, yang di luar pasar tak punya akses menuju keselamatan. Kalau dulu yang berada di luar keselamatan adalah umat beragama lain, maka kini orang-orang miskin berada dalam bahaya tak tersentuh suara mimbar dan tak kebagian roti yang dibagi secara gratis di atas altar.

Romo Jost Kokoh Prihatanto dalam buku ini (buku ini terdiri dari dua buku terpisah, yang sekarang diterbitkan Kanisius, yakni edisi “Mimbar Altar” dan edisi “Pasar”) menolak identifikasi mimbar, altar dan pasar; Iman tidak sama dengan pasar dan pasar tidak identik dengan iman. Iman dan pasar harus dibedakan, sebab itu mimbar bukanlah tempat reklame produk tertentu dan altar tidaklah meja penjualan saham untuk masuk surga. Itu tak berarti pasar harus ditolak secara keseluruhan, atau didemonisasi secara total. Pasar membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pemanfaatan potensi manusia serta alam. Dengan ini pasar sebenarnya menolong penghayatan keimanan secara lengkap, karena iman mesti juga dialami sebagai pendorong untuk upaya menyejahterakan masyarakat, sebagai inspirasi untuk memperjuangkan pengembangan diri manusia dan sebagai motor untuk mengusahakan pelestarian alam. Benar kalau dikatakan, apabila hendak mencapai perdamaian, maka usahakan kemajuan ekonomi. Salah satu motor kemajuan ekonomi adalah pasar. Jika perdamaian merupakan salah satu nilai yang hendak diperjuangkan agama-agama, maka orang-orang beragama dan beriman pun mesti terlibat dalam pasar.

Walaupun pasar memiliki nilai positif, akan menjadi persoalan apabila pasar mendominasi seluruh bidang kehidupan. Segala macam hukum yang lain akan gugur, ketika hukum pasar berlaku secara mutlak dan total. Politik menjadi masalah negosiasi dagang sapi, peradilan tak lebih dari kartu truf di tangan aparat untuk melelang perkara, relasi antarmanusia dipertahankan sejauh masih dianggap menguntungkan. Dan itu tadi, agama kehilangan cirinya sebagai penyerahan diri total manusia kepada Allah yang telah memberikan diri-Nya secara cuma-cuma.

Persoalan yang kita hadapi di dunia dewasa ini, dan bahaya yang mengancam kehidupan bergereja sekarang ini hemat saya adalah dominasi hukum pasar sebagaimana disampaikan di atas. Di tengah situasi seperti ini, yang diperlukan adalah mencari apa yang oleh Habermas disebut sebagai ”Zwischenraum”. Habermas membicarakan ruang antara ini ketika dia menunjukkan bahaya yang ada dalam dunia modern, yakni kolonialisasi bidang-bidang kehidupan oleh sistem berpikir tertentu. Sistem selalu bersifat total, memiliki satu pusat dan melihat segala yang lain sebagai sub-sistem. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dan masyarakat memiliki dunia kehidupan dalam bentuk plural (Lebenswelten). Karena itu, rasio pun mestinya diakui sebagai kapasitas berpikir yang ada dalam bentuk plural. Ada ruang antara, Zwischenraum, yang tak boleh dilanggar agar rasio tidak menjadi totaliter. Totalitarianisme adalah bahaya bagi manusia dan masyarakat. Di bawah rezim yang totaliter dan pola pikir yang dominatif, tidak ada penghargaan bagi otonomi individu, kedaulatan masyarakat dan batas kemampuan alam. Totalitarianisme adalah ketidakadilan, dan damai yang diciptakannya hanyalah ketenangan yang semu; Kalau demikian, totalitarianisme adalah pengkhianatan terhadap iman.

Memperjuangkan Zwischenraum merupakan satu tugas penting bagi agama-agama. Johann Baptist Metz, pencetus konsep teologi politik baru (untuk membedakannya dari konsep teologi politik lama dari Carl Schmidt yang justru mendukung totalitarianisme), sering terlibat dalam diskusi yang menyegarkan dengan Habermas. Dia memberikan sebuah definisi tentang agama yang sangat khas. Menurut dia, definisi tersingkat dari agama adalah interupsi (Unterbrechung). Ya, pada dasarnya agama berangkat dari interupsi Allah ke tengah dunia yang sedang disalahurus oleh manusia. Agama hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah dunia yang terpusat hanya pada dirinya; Yang dapat dilakukan agama-agama dalam dunia ini hanyalah membuat interupsi, karena derasanya arus berpikir, bertindak dan menilai lainnya. Namun interupsi ini harus terus-menerus dilakukan. Agama-agama mengkhianati panggilannya, apabila mereka berhenti membuat intervensi.

Bukan mustahil, kepekaan terhadap dunia publik dan dunia pasar, dapat membukakan mata para fungsionaris agama terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam nadi-nadi hidup dan karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak orang miskin, cacat dan tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat para agawaman/ti perihal kontribusi teologis dan sikap pastoral mereka sendiri terhadap kondisi ini; Gereja, teologi, pendidikan calon romo dan praktik hidup para romo memang mesti semakin sering diinterupsi.

Metz sadar bahwa dalam perjalannya agama-agama sudah sering mengingkari hakikat dirinya. Metz berbicara mengenai bürgerliche Religion, agama masyarakat kelas menengah yang sudah menjadi mapan; Agama seperti ini sudah tidak bisa dibedakan dari lembaga lain, karena dia hidup menurut logika kekuasaan dan pasar. Suara para korban tidak lagi mendapat tempat di dalam agama kemegahan ini, dan tidak ada keberanian untuk menyuarakannya, karena kecemasannya akan kehilangan banyak privilese. Agama-agama tidak lagi menjadi duri yang menusuk dan membuat tidur tidak aman, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur yang sangat mujarab.

Karena berbicara dalam konteks agama kristen, baiklah kita melihat beberapa contoh interupsi tersebut. Paham tentang Allah yang tritunggal dilihat sebagai satu interupsi ke tengah dunia yang cendrung monolitik dan pandangan dalam agama yang sangat hirarkis seturut garis; satu Allah, satu raja, satu agama/Gereja. Paham monolitik dipandang dibenarkan oleh konsep yang monotheistis. Inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia, merupakan satu bentuk interupsi terhadap kecendrungan manusia untuk menjadi Allah, untuk disembah seperti Allah, untuk berkuasa mutlak atas hidup dan mati orang lain. Warta Yesus tentang Kerajaan Allah menginterupsi kondisi yang diciptakan manusia, yang menempatkan dirinya sebagai raja yang sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan. Ekaristi sebagai pusat dan sumber hidup orang Kristen adalah perjamuan bersama pada meja yang satu. Dalam pengertian seperti ini, ekaristi pada intinya merupakan satu interupsi di tengah tendensi manusia yang mau makan sendiri dari dan pada satu meja, yang melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan membawa pergi mejanya sekalian.

Agama-agama perlu melakukan interupsi, baik terhadap dunia politik dan pasar, maupun terhadap diri mereka sendiri. Dalam intensi seperti ini saya hendak memahami dan mengapresiasi refleksi-refleksi Romo Jost Kokoh yang masih muda ini. Melalui refleksi-refleksi yang tajam dan segar, oleh penuturan pengalaman dan biografinya serta dengan puisi-prosanya yang dalam dan kaya makna, Romo Jost Kokoh bertanya nakal mengenai sejumlah pandangan dogmatis, masuk ke dalam kehidupan Gereja, membuat sentilan terhadap kehidupan umat dan mempersoalkan secara jenaka tampang kesalehan yang dipamerkan para calon romo. Pengetahuannya tentang filsafat dan teologi diramu secara menarik dengan opsi dasar yang jelas menuju satu pemahaman dan penghayatan hidup beragama yang tidak meninggalkan manusia di pinggir jalan.

Jika dalam buku “Mimbar dan Altar”, yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan, dan termasuk dalam dunia agama. Dimana, ditempatkan artikel-artikel dan ulasan-ulasan yang berkisar pada masalah biografi iman dan historiografi panggilan romo Jost Kokoh serta refleksinya mengenai tema-tema Gereja. Renungan tentang Natal yang menyentil kesadaran mengenai kesederhanaan, refleksi mengenai kematian, ekaristi dan kawin campur diramu dalam gaya yang segar dan menarik. Terkesan, Romo Jost Kokoh sanggup mengemas apa yang menjadi inti iman kristiani dalam gaya yang tidak hanya gampang, tetapi juga suka dimengerti. Boleh jadi ini adalah buah dari interupsi dunia pasar terhadap uraian teologis yang terlampau klise dan tak jarang membosankan.

Nah, pada buku “Pasar” ini, tulisan-tulisan yang dikumpulkan mempunyai daya tarik tersendiri. Kita tidak menemukan di sini satu pleidoi mengenai pentingnya hukum penawaran dan permintaan. Bagian ini bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah credo kepada dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan berhadapan dengan tulisan-tulisan yang mendalam bernuansa filosofis mengenai pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya, kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik dan lain-lain. Itu berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia lebih merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa yang segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami. Dengan isi yang mendalam dan gaya yang menarik seperti ini, Romo Jost Kokoh sebenarnya tengah melakukan interupsi ke dalam dunia pasar yang hanya mengagungkan hal-hal yang murah meriah sambil menjual manusia dan menguras alam.

Dengan refleksi dan kisah pengalaman ini, Romo Jost Kokoh sudah menunjukkan perannya sebagai seorang pencerita dan pemikir yang membuat interupsi, baik ke dalam Gereja sendiri, artinya ke tengah kalangan para romo dan umat serta calon romo, tetapi juga ke dalam pasar ide yang bersifat publik, ke tengah dunia para pemikir sosial dan politik, kepada para ahli ekonomi dan pencinta budaya. Hemat saya, peran seperti inilah yang perlu terus dimainkan sebagai seorang romo. Romo Jost Kokoh mengutip pernyataan romo Kardinal di Jakarta, yang mengatakan bahwa salah satu tugas seorang imam adalah menjadi jembatan. Tentu saja yang dimaksudkan adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antar manusia yang membentuk jemaat. Dari peran ini lahir peran kedua yang, hemat saya, tidak kalah penting, yakni membuat interupsi. Seorang romo perlu melakukan interupsi ke dalam kehidupan yang hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan karena memang tak punya sesuatu.

Sebagaimana diakui penulis dalam bagian pertama buku ini, karya ini sebenarnya memiliki satu keberpihakan. ”Seperti kegiatan yang dilakukan oleh penyair Wiji Thukul dari Yogyakarta yang coba memperkenalkan seni puisi tentang, untuk dan kepada pelbagai kelompok menengah bawah seperti kalangan tukang becak, atau para pekerja bangunan dari kelompok dan kelas sosial yang sama” (mimbar, hlm 2). Hemat saya, sesungguhnya seorang romo perlu memiliki keberpihakan, karena sang Guru dari Nazaret yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang lemah, kecil dan terpinggirkan. Itu tak berarti seorang romo lalu melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini. Keberpihakan menjadi kata kunci dalam refleksi teologis dan reksa pastoral gereja-gereja di belahan selatan dunia. John Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan mengenai Allah di kedua belahan bumi ini sebagai berikut: Di utara, maksudnya di Eropa dan Amerika Serikat/Utara, orang bertanya tentang apakah Allah ada; Itu berarti pertanyaan mengenai eksistensi-Nya; Di Selatan, orang bertanya tentang di mana Allah; Ini adalah pertanyaan tentang keberpihakan.

Sambil mengucapkan proficiat dan syukur atas karunia imamat dan terima kasih atas kesediaan Romo Jost Kokoh untuk menerima rahmat ini, saya membungkus kado dalam bentuk harapan dan untaian doa, agar Romo Jost Kokoh tetap menghayati imamat sebagai satu perwujudan keberpihakan Allah. Menjadi imam dewasa ini sudah merupakan satu bentuk interupsi, kiranya Romo Jost Kokoh menghidupi imamatnya sebagai interupsi.





11. TAMBAHAN RESENSI:

BBM-Beriman Bersama Maria (Kanisius 2008)
“Apalah artinya sebuah nama?” Sekadar nama, bagi sebagian orang memang tidak punya arti. Tetapi dalam buku karya Romo Jost Kokoh ini, setiap nama mendapat artinya. Dan, buku kaya makna karya Romo Jost Kokoh ini bukan sekadar othak-athik nama atau kata, tetapi semuanya menuntun kita pada pribadi Maria yang tak asing lagi. Buku ini menyajikan informasi dan refleksi tentang Mariologi dan teologi biblis. Refleksi itu berbasis pada pengalaman rohani dan devosi pribadi kepada Maria. Buku yang dikemas secara kreatif dan inspiratif untuk keperluan devotif. Baca segera buku ini! Bacalah untuk menimba kekayaan rohani dalam berdevosi kepada Maria! (DR. Surip Stanislaus OFMCap, Ketua LBI-Lembaga Biblika Indonesia)

O Sancta Simplicitas,  melalui buku kecil ini, Romo Jost Kokoh  Pr berusaha memotivasi kaum muda untuk selalu ingat peranan Bunda Maria dan para perempuan lain dalam karya penebusan Kristus. Dengan demikian, mudah-mudahan buku kecil ini dapat menjadi antidote  terhadap godaan dunia gemerlap malam. Semoga buku Romo (Jost) Kokoh ini mengokohkan kaum muda untuk menghormati teman dan kekasih perempuan, sebagaimana Yesus menghormati para perempuan yang begitu jost andilnya dan kokoh cintanya dalam karya penebusanNya. (DR. George Junus Aditjondro, Dosen Neo-Marxisme dan Kiri Baru, Penulis Gurita Cikeas).

T A N D A - K aTA, ANgka dan naDA (Kanisius 2009)
Buku ini sendiri terdiri dari tiga matra pokok (30 Angka, 30 Kata dan 30 Nada). Dalam bagian 30 Angka ditampilkan 30 angka dan pemaknaannya, misalnya: 7 arus dosa, 7 jurus cinta, 7 dukacita, 7 sukacita, 3 peran setan, 3 jenis godaan, 3 karakter Yohanes, Zakheus, Nikodemus, Bunda Maria dll. Dalam bagian 30 Kata, ditampilkan puluhan kata penuh makna, misalnya: Sahabat-Satu dalam suka, Hadir dalam duka dan berjaBAT dalam doa, juga pelbagai kata-kata lain yang coba dimaknai. Dalam bagian 30 Nada, ada 30 lagu yang diangkat dan dimaknai, dari lagu Mutiara yang Hilang, Anak Gembala, sampai lagu Panis Angelicus. Dkl: Romo Jost Kokoh – lewat buku ini – mengajak kita untuk memberi pemaknaan lebih pada setiap angka, kata dan nada dalam keseharian hidup.

XXI – INTERUPSI (Kanisius, 2010)
Buku karangan Romo Jost Kokoh ini menyajikan suatu who is who Gereja Katolik Roma di dunia. Ada kilas balik dan sketsa sepuluh kongregasi bentukan para imam diosesan, yang ditampilkan, yakni CICIM, MSC, SX, MSF, SDB, CM, SVD, CSsR, SCJ, Ordo Dominikan, serta “super-ordo” Opus Dei. Namun, gereja ini tidak akan bertahan apabila tidak ada figur pemimpin yang dapat diteladani. Oleh karena itu, buku ini memperkenalkan sejumlah Kardinal karismatis dari Eropa, Amerika Latin, dan Asia. Oleh karena itu, buku karangan Romo Jost Kokoh ini patut dibaca oleh semua orang yang tertarik pada sejarah dan praksis Gereja Katolik Roma. Tolle et legge! Ambil dan bacalah!(DR. George Junus AditjondroDosen Neo-Marxisme dan Kiri Baru, Penulis buku Gurita Cikeas).

Mimbar – Altar (Kanisius, 2009)
Sesungguhnya, buku kecil indah ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh Prihatanto, mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus seperti merpati. Buku ini adalah sebuah altar, tempat pemikiran dan pengalaman dipersembahkan bagi kita. Agar kita, gembala juga domba, imam juga awam, menyediakan  ruang jeda dalam diri untuk menyelami yang mudah dimengerti, maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri. Dan, jelaslah lewat  yesus-yesus kecil inilah, , diantara pasar, mimbar dan altar. Tentulah altar yang paling menakjubkan! (Ayu Utami, Novelis). 

PASAR (Kanisius, 2010)
Seperti keranjang pemulung, buku padat memikat ini pastinya terisi banyak hal yang kerap terlewatkan dari perhatian dan tenggelam dalam mobilitas dan anonimitas massal. Ternyata dari semua itu, identitas seorang, pun identitas sosial kultural bisa dijejak-maknai. Penulis buku ini sangat piawai mengisi dan mengemas “keranjang pemulungnya”. Proficiat! (Charles Beraf dan Bona Beding, Kolumnis lepas)

Terkesan, Romo Jost Kokoh sanggup mengemas apa yang menjadi inti iman kristiani dalam gaya yang tidak hanya gampang, tetapi juga mudah dimengerti. Buku ini bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah credo kepada dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan berhadapan dengan gado-gado tulisan yang mendalam bernuansa etis-filosofis mengenai sejuta pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya, kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik, feminisme, sinema dan drama, dan sebagainya. Itu berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia lebih merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa yang segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami. (DR. Paul Budi Kleden, SVDDosen Filsafat STFT Ledalero)

XXX – FAMILY WAY (Kanisius, 2010)
Kami sebagai Koordinator Nasional Marriage Encounter - Indonesia sangat senang dan menyambut baik  hasil karya Rm Jost Kokoh, Pr. Buku ini ditulis dalam gaya bahasa yang “tidak biasa”, namun justru membuat pembaca secara “luar biasa” terbawa oleh cara penuturan yang sederhana, dinamis dan tidak membuat orang menjadi jenuh.  Judul dari permenungan setiap bab merupakan jembatan keledai dari hal-hal yang dibahas-tuntas dalam topik tersebut, sehingga memudahkan pembaca untuk mengingatnya. Misalnya: Suami: SUAra  yang mengayoMI, Istri: ISilah dengan teladan, TRImalah dengan iman. Mertua: MERasakan TUhan Ada, Menantu: MENANti untuk bersaTU. Pria: Prajurit Idaman Allah, Wanita: WAjah iNdah Ini penuh cinTA.Ada juga singkatan dan pemaknaan untuk Oma-Opa, Papa-Mama-Anak, Paman-Teman, Pernikahan sampai Perselingkuhan dst. (Kornas ME-Indonesia, J. Widajaka Pranata, CM & Pas. Riana-Suarno)

Buku “XXX-Family Way” ini bukan hanya buku teori untuk menjelaskan persoalan keluarga secara akademis dan mendalam; buku ini merupakan kumpulan insight-insight, hasil permenungan dan membaca banyak tempat  dan aneka sumber; sumbernya bukan perpustakaan yang rapih dan ketat, tetapi perpustakaan lapangan di pinggir jalan, di toko buku, di seminar, diskusi di sana-sini, dalam kesempatan kotbah (karena penulisnya, Jost Kokoh juga seorang Pastor yang setidaknya harus berkotbah setiap hari Minggu). Oleh karena itu, buku ini menjadi unik sekaligus menarik. (Greg Soetomo SJPemimpin Redaksi Mingguan HIDUP).

3 Bulan, 5 Bintang, 7 Matahari (Kanisius, 2011)
Saya suka Romo yang tampan karena setampan apapun tak akan menjadi saingan. Saya suka Romo yang lucu karena seolah mengajak berbahagia. Tapi saya paling suka Romo yang menuliskan kesaksian dan iman dalam keseharian, karena dengan demikian menjadi bagian dari awam. Saya suka buku ini!!! (Arswendo Atmowiloto, Budayawan).

Inilah cara seorang Pastor di Jakarta yang hendak memberikan hiburan untuk domba-dombanya. Dengan senyum dan tawa, dengan lagak yang ceria, dengan kegenitan yang diharapkan umat Jakarta yang sedang membutuhkan ‘Roti Boy, Ayam KFC, 7-Eleven’ – bukan makanan macam sphagetti, pizza, pasta – ia menawarkan ‘jualan’ rohaninya. Popularnya Romo Jost ini terletak ketika ia membawa ide-ide altar ke pasar; atau bisa juga sebaliknya, membawa guyonan di pinggiran terminal ke tengah-tengah mimbar. Untuk itulah tulisannya nampak cool. Tulisannya menjadi sahabat dan teman canda, ketika siang hari nampak gelap berawan, malam terasa sumpek, hati galau. (Greg Soetomo SJPemimpin Redaksi Mingguan HIDUP)

CARPE DIEM: Sebuah Tetralogi “OBOR” (Kanisius, 2012)
Carpe Diem, berarti, “reguklah hari ini”. Kutipan dari karya Horatius Carminum ini dimaksudkan agar  setiap orang belajar untuk hidup dari hari ke hari (Mazmur 90:12). Dalam empat edisi padat buku Carpe Diem ini ditampilkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang Kudus setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat orang kudus tentang Bunda Maria”,  terdapat juga “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah Makin Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati, Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan, edisi terakhir, terdapat juga “365 Requiem”, renungan kematian dari para orang kudus, seniman, ilmuwan dan rohaniwan. 

28 HER STORY – Sketsa Spritualitas Pendiri (Kanisius 2012)
Semua tokoh yang ditampil-kenangkan dalam buku ” 28 HER STORY“ ini adalah para perempuan. Sepanjang sejarah dunia, terlebih Gereja Katolik, memang ada banyak sekali tokoh perempuan yang menonjol. Untuk tulisan ini saya mengambil beberapa pribadi saja dari daftar panjang puteri-puteri terbaik yang pernah hadir di tengah dunia. Kebanyakan dari mereka adalah para ibu pendiri, yang menonjol dalam bidangnya masing-masing. Entah dalam hal kesucian hidupnya, kepeloporannya dalam hal pembaharuan gereja dan dunia, menjadi pembawa damai, pekerja sosial, perintis emansipasi, perawat pendidik, melayani orang-orang miskin dan tersisihkan. Tapi, ada pula yang mistikus dan berperan sebagai nabiah pada zamannya, dan lain sebagainya. Ada yang biarawati, ada yang awam. Ada yang ratu, keturunan bangsawan, ada pula yang berasal dari keluarga miskin. Ada yang berpendidikan, ada pula yang berlatar pendidikan ala kadarnya, malah ada yang buta huruf. Ada yang berdarah Yahudi, Amerika, Eropa, Asia juga Indonesia.  Paling tidak lewat membaca kembali penggalan kisah para pendiri ordo perempuan dan aktivis sosial perempuan beserta roh zamannya, kita diajak lagi untuk bersama-sama berkata, Cherchez la femme ! Kita mencari perempuan bukan lagi sebagai problem maker, tapi karena para perempuan itu sungguh bisa menjadi problem solver.  Silakan renung dan telaah, “mang onceki dewe-dewe!“




[1] Lyotard, Jean-Francis, The Post-Modern Condition: A Report on Knowledge, University or Minnesota Press, Minneapolis, 1979, hal 47
[2] Newman, John Henry Cardinal, The Idea of University defined and ilustrated, Longmans, London, 1907, hal 104
[3] Dosen Teologi & Sastra STFTK, Ledalero, Maumere-Flores

0 komentar:

Posting Komentar