PUSTAKALOKA
Qui dormit non peccet/peccat
Barang siapa tidur, dia tidak berdosa.
Qui habet aures audiendi audiat
Barang siapa yang bertelinga, hendaklah dia mendengar.
Qui rogat, non errat.
Barang siapa bertanya, dia tidak akan melakukan kesalahan.
Qui tacet consentit
Barang siapa diam, berarti ia setuju
Qui scribit, bis legit
Barang siapa menulis, ia membaca dua kali
1. HER STORY
-
Sketsa
Spritualitas Perintis
Prolog
Cherchez la Femme
“...Door
nacht tot licht,
Door storm tot rust,
Door strijd tot eer Door,
leed tot lust”
Dua
kalimat dalam bahasa Belanda di atas adalah rangkaian sajak seorang perempuan
bernama RA. Kartini, yang berarti, “Habis malam datanglah siang, Habis
topan datanglah reda, Habis perang datanglah menang, Habis duka datanglah suka.” Seperti
kita ketahui, pada tahun 1911 terbit antologi surat-surat Kartini dalam format
buku yang disusun oleh J.H. Abendanon, seorang direktur pada departemen
pendidikan, industri dan agama pemerintah Hindia-Belanda di awal abad ke-20,
berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’, dan kemudian diterjemahkan Armijn
Pane sebagai ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ (terbit 1951), di mana
Kartini dianggap sebagai ‘pembawa obor pencerahan’.
Kata 'pencerahan' sendiri beberapa kali
memang muncul dalam korespondensi Kartini (misalnya dalam surat kepada Steela
Zeehandelar 12 Januari 1900). Sudah barang tentu, seperti tersebut
dalam beberapa surat Kartini yang lain, 'pencerahan' juga ada hubungannya pula
dengan emansipasi, khususnya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera. "Kemerdekaan
perempuan akan merupakan buah dari penderitaan dan kepedihan kami', tulis
Kartini dalam sepucuk surat bertanggal 1 Agustus 1903.
Seperti
Kartini, semua tokoh yang ditampil-kenangkan dalam buku ini adalah para
perempuan. Sepanjang sejarah dunia, terlebih Gereja Katolik, memang ada
banyak sekali tokoh perempuan yang menonjol. Untuk tulisan ini saya mengambil
beberapa pribadi saja dari daftar panjang puteri-puteri terbaik yang pernah
hadir di tengah dunia. Kebanyakan dari mereka adalah para ibu pendiri, yang
menonjol dalam bidangnya masing-masing. Entah dalam hal kesucian hidupnya,
kepeloporannya dalam hal pembaharuan gereja dan dunia, menjadi pembawa damai,
pekerja sosial, perintis emansipasi, perawat pendidik, melayani orang-orang
miskin dan tersisihkan. Tapi, ada pula yang mistikus dan berperan sebagai
nabiah pada zamannya, dan lain sebagainya. Ada yang biarawati, ada yang awam.
Ada yang ratu, keturunan bangsawan, ada pula yang berasal dari keluarga miskin.
Ada yang berpendidikan, ada pula yang berlatar pendidikan ala kadarnya, malah
ada yang buta huruf.
Di balik
itu semua, kata perempuan sendiri mempunyai akar katanya, ‘empu’, arti idealnya
yakni seorang guru kehidupan. Tapi realnya, banyak peempuan sungguh mengalami
diskriminasi dalam pelbagai ranah kehidupan, bukan? Banyak orang mengidentikkan
kaum per’empu’an dengan stereotif 3 m (macak/dandan, masak, manak/melahirkan), 3
ur (dapur, sumur dan kasur), 4 wa (wadah, wadi, waduk, wadon)
serta 5 ah, yaitu: tunggu omah, olah-olah,
momong bocah, asah-asah, mlumah (jaga rumah,
masak, asuh anak, menyuci, melayani suami). Kalau begitu adanya, bagaimana
dengan pepatah lama, surga ada di bawah telapak kaki ibu? Belum lagi adanya
pelbagai ”KDRT” dan aneka pelecehan seksual, yang kerap korbannya adalah perempuan.
Di lain
matra, sebetulnya ada perbedaan mencolok antara kekuasan lelaki dan perempuan.
Kekuasaan pria itu condong power over, sifatnya merusak-menindas,
sedangkan kekuasaan perempuan itu power to, membagi dan
konstruktif. Idealnya, seorang perempuan mempunyai tempat dalam masyarakat dan
juga Gereja tentunya. Hal ini terjadi bukan melulu karena keperempuannya yang
demikian khas, tapi karena kepribadiannya sebagai seorang manusia dan warga
masyarakat serta Gereja, dan yang lebih penting lagi karena nilai dari
tugas-tugas bermanfaat yang berhasil diselesaikannya, begitulah ujaran seorang
tokoh feminis Rusia, Aleksandra Mikhailovna.
Dalam
bahasa Romo Mangun ”Si Burung Manyar”, esensi perempuan juga
sebetulnya ada pada rahim serta cita rasanya menghadapi suami, anak-anak dan
kehidupannya. Kerahiman perempuan adalah salah satu lambang religiositas,
karena rahim itu mengemban dan menumbuhkan benih kehidupan. Jelas, bahwa kaum
perempuan adalah roh pengemban kehidupan.
Maka,
kalau dulu, ada sebuah slogan khas Perancis, Cherchez la femme:
carilah perempuan! Di mana, perempuan dicari untuk menjadi (dijadikan) biang
keladi-semacam victim: kambing hitam bagi setiap konflik dalam
masyarakat patriarkal. Tapi kini, paling tidak lewat membaca kembali penggalan
kisah para pendiri ordo perempuan dan aktivis sosial perempuan beserta roh
zamannya, kita diajak lagi untuk bersama-sama berkata, Cherchez la
femme ! Kita mencari perempuan bukan lagi sebagai problem
maker, tapi karena para perempuan itu sungguh bisa menjadi problem
solver. Silakan renung dan telaah, “mang onceki
dewe-dewe!“
Epilog
Bercerita Untuk Melawan Lupa
“…Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan...”.
(Sutan Takdir Alisjahbana, “Jangan Tanggung Jangan Kepalang”).
Sepanjang
sejarah dunia, banyak sekali bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang
terselip sebagai “her-story” diantara mainstream “his-story” para
tokoh laki-laki . Pribadi-pribadi luar biasa yang sesungguhnya
lebih daripada seorang Kendedes, Srikandi atau Dewi Shinta pada
masanya. Kiranya semuanya sesuai rencana Allah sendiri, karena dengan
kharisma dan talenta masing-masing mereka tampil pada saat Gereja dan
dunia membutuhkannya.
Perempuan-perempuan
yang diangkat dalam buku sederhana ini memang datang dari pelbagai kalangan
masyarakat. Mereka digerakkan oleh penderitaan dan ketidaktenangan sosial
di sekitar mereka. Mereka membaktikan diri demi mengurangi kemiskinan dan duka
derita kaumnya. Mereka menghibur orang sakit dan yang akan meninggal. Mereka
juga menolong pendidikan anak-anak dan kaum perempuan. Tremens et
fascinans!
Di lain
matra, kaum feminis sering mengkritik sejarah dominan, yang terfokus pada
peranan laki-laki, sehingga pantas disebut his-story. Sebagai
anti-tesisnya, mereka ajukan sejarah dari kacamata perempuan, yang mereka
sebut her-story (Al-Hibri 1982; Umar 2002: 115). Di
sinilah, dengan membaca buku sederhana ini dan melihat agama sebagai gerakan
sosial yang diperjuangkan oleh para perempuan, dan sebagaimana
diteruskan oleh para pengikut mereka, buku ini menjadi semacam her-story dari
sebuah his-story sejarah Gereja yang kaya makna: “Saatnya
akan datang, dan nyatanya sudah datang, dimana panggilan
kaum perempuan akan diakui kepenuhannya; saat dimana
kaum perempuan di dalam dunia ini memperoleh pengaruh, hasil dan
kuasa yang tak pernah dicapainya hingga saat ini. Itulah sebabnya pada saat ini
dimana bangsa manusia tengah mengalami transformasi yang begitu mendalam,
kaum perempuan, penuh dengan semangat Injil, dapat berbuat banyak untuk
menolong manusia agar tidak jatuh” (Pesan Konsili Vatikan
II, kepada kaum perempuan, tanggal 8 Desember 1965; dikutip
dalam Mulieris Dignitatem, 1).
Mengutip
ungkapan dr. Zhivago dalam novel klasik Boris Pasternak, “ Perjuangan
manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Jelasnya,
buku sederhana ini adalah sebuah ruang juang. Yah sebuah ruang bercerita
di ranah publik untuk melawan lupa bahwa para perempuan juga berperan banyak
dalam menggambar wajah Allah di tengah ruwet renteng sejarah dan hiruk-pikuk
dunia harian kita. Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan
kan terpancing, ataukah cuma sekedar gelombang kecil yang menyebar?
2. “80 DMD” - Dara
Masuk Desa
Prolog
Kisah dan Kasih
“..Anak dara usia belasan
Mengapa hanya padamu….
Gita batin biasanya mendayu
Jadi sumbang tak tentu lagu…
Merekah ketika saatnya berbunga
Manis sealun nada riangku..”
(Katon Bagaskara, Anak Dara)
Sejak Abad Pertengahan, pokok pedagogi orang
muda dirumus-sarikan oleh Cassiodorus sebagai artes liberales,
yang terdiri dari trivium (gramatika, retorika dan dialektika)
dan quadrivium (aritmetika, geometri, musik dan astronomi).
Dari sinilah, carut marut dunia pedagogi kita hingar bingar dengan
aneka cara berpikir dengan budi, entah secara rasional,
reflektif, dialektis, ataupun inklusif.
Berpikir
rasional: Rasio digunakan sebagai alat pemecahan persoalan hidup
manusia. Berpikir reflektif: Kemampuan refleksi untuk menolong orang
sadar akan adanya. Dengan kesadaran reflektif, ia terbantu untuk menata hidup
lebih baik dari hari ke hari. Berpikir reflektif
ini juga dapat tampil sebagai kawan bagi kesadaran praktis (mekanis).
Berpikir dialektis-inklusif: Inilah sebuah cara berpikir secara
“tesis-antitesis-sintesis” dan seterusnya (sintesis menjadi tesis baru
yang perlu diantitesis), yang mensyaratkan inklusivitas.
Di lain
matra, dalam bahasa Giddens, di tengah konteks dunia yang
berlari tunggang langgang, bahkan dunia yang lepas
kendali ini (runaway world), mengacu pada Marcuse, manusia itu
makhluk multi-dimensi, maka berpikir dengan budi
tidaklah cukup. Tercandra, perlunya keseimbangan dialektis
antara berpikir dengan budi dan berpikir dengan hati,
karena hati dapat menyingkap kedalaman sekaligus keluasan suatu
realitas. Demikianlah gagasan Blaise Pascal tentang le coeur (hati).
Sehubungan
dengan itu, lewat hadirnya buku sederhana berisi gado-gado kisah narasi
yang dibuat oleh 80 anak dara (remaja putri), para siswi SMU Santa
Ursula Jakarta ini, terdapatlah empat metode konkret untuk semakin
mendorong pelbagai upaya habitus berpikir dengan hati, al:
Pertama, iklim dialog (diskursus).
Sebelum
acara live-in, mereka diajak dan
didorong serta dibiasakan untuk berpikir dan mengemukakan
gagasannya, dalam bahasa Habermas, “diskursus, perbincangan bersama”. Yah,
tentunya secara lisan kepada orang di sekitarnya (guru, orangtua dan
teman). Jelasnya, ada diskursus, yang dilandasi keterbukaan
antara guru dan murid, antara orang tua dan anak. Ketika live-in,
mereka juga ditantang untuk bisa berbicang dengan ‘tuan rumah’ yang mereka
tempati. Menyitir Socrates, bukankah, dalam diri setiap orang
ada rahim kebenaran yang perlu terus “dipancing” supaya dari situ lahirlah
butir-butir kebenaran?
Kedua,
menulis.
Setelah
live-in, mereka didorong oleh para gurunya untuk menuliskan percak-percik
pengALAMan selama menjalani proses. Kompilasi narasi “80 Dara Masuk Desa” ini
sendiri berangkat dari proses sederhana supaya local wisdom (kearifan
lokal) yang tersebar-pencar ini bisa dibukukan, tanpa bermaksud mem”BAKU”kan,
apalagi mem”BEKU”kannya sama sekali. Dengan menulis, bukankah
kita juga dipacu untuk menyusun gagasan dalam alur logika yang clara
et disctinta, jelas dan terpilah-pilah? Baiklah kita ingat juga kelakar
seorang Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan
dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Tentunya,
untuk menulis, diperlukan pula habitus membaca, bukan?
Ketiga,
mencintai seni.
Bagi seorang Antonio
Gramsci, pendidikan yang semata-mata didedikasikan demi kepentingan industri,
adalah pendidikan yang berat sebelah. Maka, perlulah pendidikan dibarengi
dengan kedekatan pada ranah seni (musik, lukis, teater, vokal, dll).
Seni mengajak kita untuk mengolah hati dan semakin
peka diri (3 C: Conscience, Competence, dan Compassion).
Hal ini diperlukan demi pembentukan karakter yang utuh dan
menyeluruh. Diharapkan, orang semakin masuk ke dalam jati dirinya yang
otentik. Itu sebabnya, di sela-sela kesibukan nyantrik di
desa, mereka juga diajak mengisi koor di Gereja dan menyiapkan acara
kreatif bersama pada malam terakhir di desa tersebut.
Keempat,
live-in.
Menurut Jean-Francis
Lyotard[1], efektivitas telah
menjadi roh bagi masyarakat yang berteknologi maju. Tapi, lewat live-in
inilah, afektivitas menjadi lebih
bermakna.Artinya, belajar hidup dalam lingkungan yang “asing”, dalam
keterasingan dan ketidakberdayaan, untuk lebih mengenal diri dan the
others (sesama, alam, Tuhan), terutama untuk membentuk hati yang
mencinta, yang afektif-dan bukan melulu efektif. Lebih dari itu,
metode ini harus dijauhkan dari metode yang
indoktrinatif-sentralistik, yang hanya “mencetak” pribadi mekanis. Dengan
demikian, menjadi orang yang berilmu, bukanlah demi kepentingan praktis. Tapi,
memiliki nilai pada dirinya sendiri. Meminjam istilah Henry Newman, “…pengetahuan
itu bernilai karena ia ada dan hadir didalam diri kita, meski ia sama sekali
tidak digunakan untuk kepentingan apapun, atau bahkan jika tidak diarahkan demi
tujuan tertentu…[2]” Dan,
inilah yang dilihat, dibuat dan dicecap-recap secara tersirat maupun tersurat
oleh 80 anak dara, dalam buku sederhana ini. Tolle et Legge,
ambil dan bacalah!
Epilog
Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.
(Kutipan dari drama karya Edward Forsett,
Pedantius babak
I adegan 3)
Kita bisa
mencandra seorang atheis sekaligus penulis kontemporer, Iris Murdoch
(1919—1999), dalam bukunya The Sovereignty of Good, yang menekankan
pentingnya sikap yang mau “mengunyah-kunyah” pengalaman menjadi pemaknaan penuh
perHATIan dalam mengambil sikap. Ia menyatakan bahwa dengan memandang
“pengalaman“ dengan penuh “kunyahan” (perHATIan), orang semakin mencapai
pengertian dan pemaknaan yang sesungguhnya, dan karenanya ia seolah-olah dengan
sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Hal ini terjadi karena jiwa sudah
terarahkan pada idea “Yang Baik”, yang mengatasi energi
keterpusatan-pada-diri-sendiri yang hidup dalam diri manusia. O
beata solitudo, O sola beatitudo!
Nah,
semoga dengan hadirnya buku sederhana “80 Dara Masuk Desa” ini,
semakin banyak budi yang mau “terkunyah“ dan
terlebih ruang hati yang rela “tersapa”, bahwa hidup itu
sesungguhnya indah dengan pelbagai ceritanya masing-masing, “la vita e
bella!” Bagus juga direnung-menung tentang angka “80”: Dua angka
ini sama-sama tak terputus, bukan? “8” adalah sebuah angka yang penuh dan
utuh lekukannya, begitu juga dengan angka “0”. Seperti kata ramalan
Celestine, tentu ini bukan sebuah kebetulan belaka. Yang pasti,
semoga lekukan kisah dan rajutan kasih dalam
buku sederhana ini tidak pergi begitu saja, tapi terus
menyentuh-ampuh kehidupan harian kita, entah di kota, entah di desa,
entah ketika live-in atau live-out.
Finita
est! Selesailah sudah!
3. CARPE
DIEM: Tetralogi “OBOR”
Prolog
Sed fugit interea,
fugit inreparabile tempus
Sementara waktu yang tak tergantikan lekas berlalu
Suatu
ketika, Dalai Lama ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia
ini?” Dia menjawab, ”manusia.” Yah, karena ketika muda, manusia
mengorbankan kesehatannya hanya demi uang. Lalu ketika tua mengorbankan uangnya
demi kesehatan, dan sangat kuatir akan masa depannya, sampai tidak
sempat menikmati masa kini.” Yah, kadang orang kurang
mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc)
bukan? Wajarlah, orang Romawi kerap mengatakan, “Diem
perdidi” - Saya telah kehilangan satu hari! Kalimat
ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari
bahwa satu hari terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang
baik/berguna.
Disinilah,
baik kita mengingat slogan orang Romawi,
“Carpe Diem”, yang dalam bahasa Inggris kerap diartikan, “Seize
the Day”, secara lugas berarti, “Reguklah Hari Ini”. Kalimat
lengkapnya adalah, “Carpe diem, quam minimum credula postero”, yang berarti, "reguklah
hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok."
Kutipan
filosofi dari karya Horatius Carminum ini dimaksudkan
agar setiap orang belajar memaknai hidup dengan arif, duc
in altum - bertolak lebih dalam, untuk “hidup lebih hidup”
dari hari ke hari. Dalam kacamata iman yang lebih positif,
seperti nats pemazmur yang mendaraskan, “Tuhan ajarilah kami menghitung
hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur
90:12)
Dalam
edisi tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, bersama dengan ulang tahun
tahbisan imamat saya yang kelima, ditampil-kenangkan secara terpisah “365
kata-kata wasiat Orang Kudus setiap hari”, “365 kata-kata
Bunda Maria dan nubuat santo/a dan Gereja tentang Bunda
Maria”, “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama
Allah Makin Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di
hati, Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan terakhir,
adalah “365 kata-kata seputar Requiem (kematian), dari para
santo/a, satrawan, budayawan dan ilmuwan.
Harapannya,
semoga tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, seperti namanya, “OBOR”, bisa
juga menjadi obor, semacam lentera atau pelita yang menyala, terus
menerangi serpihan lika-liku hidup dan carut-marut perguatan iman
kita. Fiat Lux!
4. “BBM” -
Beriman Bersama Maria
Prolog:
Secara kebetulan, ketika
saya belajar filsafat di bilangan Rawasari Jakarta, saya mengenal
ungkapan ini: "Bicara tentang Maria, tak akan ada habisnya!" Begitu
jugalah yang kerap terjadi dengan kita bukan? Secara kebetulan juga, kalau saya
amati, Maria banyak menyapa saya secara pribadi:
Dulu ketika berjalan kaki: berangkat dan
atau pulang sekolah, saya kerap berdoa Rosario dengan jari tangan saya. Ketika
saya masih sering mendaki gunung, saya juga terbiasa mendaraskan Salam Maria
dari kaki gunung sampai puncaknya. Ketika di Seminari
Menengah, jika saya merasa sedih, biasanya saya langsung bernovena Tiga Salam
Maria. Menjelang masuk Seminari Tinggi KAJ, saya pernah menyempatkan diri
berziarah ke macam-macam Goa Maria di Jawa. Tiga lagu yang saya suka dari dulu
juga ternyata berkisah banyak soal Maria, “Ave Maria”,
Ndherek Dewi Mariyah” dan “Ave Ave”.
Kini, secara kebetulan juga, saya ditahbiskan persis tanggal
15 Agustus (ketika Gereja merayakan pesta Maria diangkat ke surga), dan tugas
pertama saya sebagai pastor muda adalah belajar menjadi gembala di sebuah
paroki tua di kawasan Tangerang, yang berlindung dibawah nama Santa Maria.
Bahkan satu stasi di Teluk Naga, yang saya dampingi juga bernama stasi St.Maria
Immaculata. Di kamar kerja saya, juga terpampang sebuah lukisan besar, hadiah
seorang sahabat, dengan judul, “Maria, Sang Penasehat yang Baik”. O sancta
simplicitas! O sebuah kesederhanaan nan kudus.
Dan, di awal prolog ini, tak lepas dari figur Bunda Maria
yang penuh warna, saya juga ingin mengangkat kisah St.Agustinus ketika mendapat
penampakan. Begini kisahnya, ketika ia sedang berjalan-jalan di pantai dan
mencoba merenung-menungkan banyak misteri Allah yang tak bisa langsung
dimengerti, ia melihat anak kecil yang bemain air dipantai. Agustinus mendekati
anak itu dan bertanya : "Sedang apa kau di sini ?" Anak
itu menjawab: "Saya ingin memasukkan seluruh air lautan ini dalam
botol" Agustinus tertawa mendengar jawaban anak itu,
katanya: "Bodoh benar kau ini, mana mungkin seluruh air lautan ini
bisa kau masukkan dalam botol" .
Tak dinyana, anak itu balas menjawab : "Sama
seperti kau juga, mana mungkin bisa memasukkan Allah dalam otak manusia yang
juga sebesar botol ini.” Setelah berkata anak itu menghilang.
Agustinus terkejut dan sekaligus sadar akan kebodohannya. Betapa benar
kata-kata anak dalam penglihatannya itu, bukan? Kita ibarat ingin
memasukkan seluruh air lautan ini ke dalam botol, jika mau mengerti misteri
Allah yang sesungguhnya. Semoga kita juga bisa mendapatkan sedikit pencerahan
dari buku kecil ini. Semoga!! Amor vincit omnia. Cinta mengalahkan
semuanya!
5. “MAP” -
Mimbar Altar Pasar
Prolog
Kini dan
di sini, dalam konteks di mana kehidupan publik tidak beres dan mengidap
patologi, wajar kalau banyak yang khawatir teks-teks kita, terlebih teks
kultural, akan dibayangi-bayangi kecemasan pemikir Jerman, Theodor Adorno
tatkala ia berujar “menulis puisi setelah Auschwitz adalah tindakan
barbar“, juga kecemasan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya:
“Aku tidak
bisa menulis puisi lagi, Sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi di lempar ke kamar
gas sehingga lemas mati, Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak di Afrika
Selatan pejoang pejoang anti apartheid disekap berpuluh tahun tanpa diadili,
Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak di Birma para pengunjuk rasa
bergelimpangan dibedili tentara secara keji, Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel mematahkan lengan anak-anak
Palestina yang melawan dengan batu, Keindahan punah dari bumi, ketika becak-becak
dicemplungkan ke laut karena abang becak melanggar Per-Da, Ketika rakyat
berbondong-bondong digusur dari kampung halamannya yang akan disulap jadi real
estate dan pusat rekreasi, Ketika petani dipaksa tanam tebu buat pabrik-pabrik,
sedangkan hasil padi dan kedelai lebih mendatangkan
untung
daripada rugi, Ketika teruk-teruk di jalan raya di cegat penegak hukum yang
langsung meminta pungli, Ketika keluarga tetangga menangisi kematian anaknya
korban tabrak lari......Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak keindahan punah
dari bumi, ya aku tak bisa menulis puisi lagi.
Maka, di
tengah maraknya usaha untuk cuci tangan atau menurut terminologi Juergen
Habermas, ‘melunakkan masa lampau’ (defusing the past), Kita
mesti terus membangun sebuah Zwischenraum, Ruang Antara, sebagai
kontrol terhadap hegemoni kekuasaan, salah satunya semoga bisa lewat buku kecil
ini. Buku ini sendiri, (yang awalnya) terbagi atas tiga bagian besar (Mimbar,
Altar, dan Pasar), terdiri atas pelbagai artikel yang pernah dimuat
di pelbagai media, entah lokal-global, sakral atau profan, yang terkait-paut
dengan dunia yang lebih luas dan ganas. Memang, penulis buku kecil dengan
tema yang terrsebar-pencar ini, perlu menekankan pula bahwa aneka jumputan
tulisan dalam buku ini tidak berkaitan dengan pembentukan teori representasi
apalagi formulasi dan definisi. Ia merupakan sebuah elemen diskursif dalam
suatu wacana. Mengikuti pandangan Michel Foucault, wacana adalah
mediasi-mediasi segmen-segmen acak (diskontinu) yang tidak bertujuan untuk mencari
rangkaian, keseragaman atau kesimpulan yang stabil. Wacana adalah himpunan
pelbagai elemen diskursif yang interaksinya bermakna strategis.
Seperti
kegiatan yang dilakukan oleh penyair Wiji Thukul dari Yogyakarta yang coba
memperkenalkan seni puisi tentang, untuk dan kepada pelbagai kelompok menengah
bawah seperti kalangan tukang becak, atau para pekerja bangunan dari kelompok
dan kelas sosial yang sama. Demikianlah buku ini tak hendak sepi iseng
sendiri. Semoga saja buku ini bisa menjadi teman kecil anda juga. Semoga juga
seperti judulnya “Mimbar Altar Pasar” (baca: “MAP”), buku kecil ini bisa
menjadi “map”, semacam peta kecil untuk melihat “Mimbar, Altar dan juga Pasar”
lebih luas sekaligus mendalam.
Epilog
Khotbah di Bukit
Tapi di
masa ini bukit sudah ada. Teknologi, terutama, telah meratakannya. Di masa ini,
suara suara disiarkan melalui corong-corong dan titik-titik lubang pada kotak
ajaib multi media – dari yang paling primitive (seperti TOA di menara), maupun
yang tercanggih (misalnya streaming siaran langsung pada telepon seluler).
Televisi adalah yang paling jamak.
Lihatlah!
Lihatlah ini manusia – yesus menatap bukitnya yang telah rata dan menjadi tahu
bahwa suara tak lagi harus disampaikan dari ketinggian ideal, pun tak bisa
disampaikan dalam keheningan obtektif.
Sebab,
bahkan di puncak Gunung Lawu pun orang bisa membuat interupsi berkat alat
komunikasi. Alat komunikasi itu, yang tetap bisa bordering dalam
misa dan bioskop –menghubungkan orang dengan tempat lain dengan cara
memutus hubungan orang tersebut dengan lokasi beradanya hic et nunc,
disini dan sekarang. Tak ada lagi keheningan obyektif.
Maka
mafhumlah yesus bahwa bukit telah menjadi sekedar metafora bagi mimbar ideal:
mimbar dimana ia bisa mewartakan keselamatan, juga kutukan, kepada orang-orang
yang mendongak kepada dia. Yang saling bertatap wajah dengan dia. Dalam sebuah
ketenangan. Ia tak perlu berteriak kepada mereka. Sebab mereka yang datang di
lingkaran terdekat memang hadir untuk mendengarkan dia. Ah, bukit benarlah area
kotbah yang jinak.
Tapi bukit
itu telah diratakan sekarang. Bahkan orang-orang yang ke gereja tidak datang
untuk mendengar apa yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang
untuk hal-hal lain selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi
mendengarkan kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi
pengkotbah juga.
Yesus pun
meninggalkan bukitnya yang telah datar dan tibalah ia di pasar. Ini
dia, pasar yang terbentuk di sekitar Bait Allah. Mudah sekali dibayangkan.
Kira-kira seperti tenda biru yang terbentuk di sekitar mesjid
Atta’awun di puncak, tenda-tenda yang merusak hijau hening kebun the. Atau
bedeng-bedeng yang mengerumuni Borobudur. Atau kios pedagang yang dulu mangkal
di Monas atau Senayan, atau yang kini masih meyesaki lahan menuju Kebun Raya
Bogor atau Cibodas, tumpah ke jalan bersama sampah-sampahnya. Disana
burung-burung diperdagangkan dengan rebut. Burung itu bakal persembahan. Juga
kambing, domba dan bandot. Bakal kurban. Mata uang dipertukarkan dengan pelbagai
muslihat. Orang-orang yang takut akan Allah dibujuk justru karena ketakutannya
akan Allah. “Belilah burungku, burung surgawi.” Pojok lain berteriak, “semakin
berat kambing yang anda korbankan, semakin ringan dosa yang anda tanggung.” Di
sudut lain, “kambing kami bisa dikredit, bunga ringan.”
Kita tahu,
di pasar yang demikian, Yesus meradang. Ia menjungkir meja-meja dan
menghambur-hamburkan uang: dinar, dirham, talenta – secara harafiah.
Satu-satunya gambaran secara eklsplisit tentang pasar dalam Injil adalah
pasar ini. Pasar burung dan kambing, money changer yang memanfaatkan sebuah
pusat keberimanan. Para seniman senang melukiskan Yesus dengan mata melotot dan
rambut berdiri berkibar-kibar. Tangannnya menunjuk berang!
Tapi di
jaman ini, pasar telah lebih cerdik daripada ular, dan suka berlagak tulus
seperti merpati. Pasar yang barbar tentu tetap ada. Menjual burung dan hewan
terlarang lainnya. Tapi pasar juga masuk ke ruang, atau kotak kaca, dimana
bujuk membujuk terjadi, transaksi terjadi, tapi pertemuan yang sesungguhnya
tidak terjadi lagi. Dulu, pertemuan terjadi di pasar tradisional, juga di bukit
perkotbahan. Sekarang, ia tidak terjadi di televisi. Yang terjadi di televisi,
kini dan di sini adalah komersialisasi.
Yesus
mengintip lewat kaca depan sebuah rumah dan melihat sebuah kotak pipih menyala
dengan gambar. Di depannya satu keluarga asyik menonton. Di dalam layar kacanya
yang pipih seseorang berkotbah. Setelah itu iklan, obat sakit maag, obat batuk,
detergen pemutih baju, bumbu penyedap dll. Disanalah mimbar dan
pasar kini menyatu. Bait Allah dan kios kambing, burung dan mata uang dalam
bentuk rapi dan lebih berbinar. Tidak ada bau tahi hewan atau keringat
manusia dan orang tak perlu berangkat kesana. Sebab pasar yang satu
ini datang ke ruang keluarga tanpa mengetuk pintu atau memijit bel. Ia bahkan
juga bisa melawat dalam kendaraan pribadi, yang dilengkapi tv set (yang sekali
lagi, yang memutuskan orang dari hubungan disinui dan sekarang).
Di mimbar
begini, orang harus berteriak-teriak. Tak seperti di bukit, melainkan seperti
di pasar. Dan yesus pun menulis. Barangkali itulah pentingnya Romo
Jost Kokoh, si “yesus kecil” (yesus dengan huruf kecil) menulis. Sebab, bukit
telah rata dan kotbah telah jadi banal. Di gereja, ia menjadi rutin. Lagipula seremonial;
tak bisa dibantah meskipun imam dan umat bertatap-tatapan. Di televisi, kadang
ia hanya terdengar jika sudi merendahkan standar selera.
Kembalilah
pada membaca dan menulis. Sebab di jaman ini tak ada lagi keheningan obyektif.
Maka kita harus meruapkannya di dalam ruang-ruang itu sendiri, ruang hati,
ruang jeda diantara hiruk pikuk. Menulis dan membaca menyediakan ruang jeda
itu. Ruang retret dan meditasi yang rendah hati. Lagipula, bukankah banyak
wisma dan tempat retret kita yang tak lagi bisa mempertahankan keheningan
karena banyaknya “suara-suara kehidupan” motor dan “toa”?) Membaca dan menulis
bukan hanya ruang jeda yang rendah hati, tapi juga yang cerdik dan
niscaya.
Dan
sesungguhnya, buku-buku ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda,
Jost Kokoh Prihatanto, mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan
tetap tulus seperti merpati. Tulisan-tulisan dalam buku ini memang tidak
disiapkan untuk menjadi satu kesatuan yang mengalir, melainkan lebih merupakan
sebundel catatan dan pemikiran, terpisah juga terulang, sederhana juga kaya
makna. Tapi, bukankah kita juga terbiasa dengan Alkitab yang juga merupakan
satu bundel narasi, surat, puisi, prosa yang terpisah dan juga terulang di
banyak bagian, (seperti di Injil Sinoptik, Matius Markus Lukas misalnya)? Buku
ini member kesempatan pada pembacanya untuk masuk dari banyak
pintu dan mencoba menyusuri pertanggungjawaban sekaligus refleksi
mini seorang pastor muda di sebuah Negara, dimana Gereja Katolik yang
minoritas, senantiasa berusaha merumuskan peran dan keberadaannya
dalam masyarakat yang beragam dan berbeda, yang mengandung unsur tradisional
maupun modern, sekaligus. Gereja ingin menyatakan keunikan imannya, sekaligus
terbuka pada pelbagai kebenaran nilai di luar dirinya, dan prakteknya , ini
bukan pekerjaan mudah. Disinilah anggota Gereja tak boleh dan tak bisa menutup
diri dari khazanah di luar Gereja. Sebab, Gereja senantiasa dalam dialog dengan
yang lain- dengan nilai-nilai yang berbeda kadar, dan dengan orang yang berbeda
iman.
Buku ini
adalah sebuah altar, tempat pemikiran dan pengalaman dipersembahkan bagi kita.
Agar kita, gembala juga domba, imam juga awam, menyediakan ruang
jeda dalam diri untuk menyelami yang mudah dimengerti, maupun yang sulit
dimengerti, pencerahan maupun misteri. Dan, jelaslah
lewat yesus-yesus kecil inilah, , diantara pasar, mimbar dan altar.
Tentulah altar yang paling menakjubkan!
6. “TANDA” –
kaTA, aNgka dan naDA
Prolog
‘Tempus mutatur et nos
mutamur in illud’
Waktu berputar dan kita diubah
olehnya....
Utak-atik gatuk, begitulah orang Jawa punya peribahasa.
Artinya, diutak-atik pas, cespleng, tandes, joss, klop, nyambung.
Biasanya ini berhubungan dengan pemaknaan, dan inilah yang juga sebetulnya
terjadi ketika saya asyik menyusun-rukun sepenggal buku kecil ini.
Ya, sepakat dengan kata Ernst Cassier, bagi saya,
kita memang adalah “animale symbolicum”,… untuk
menciptakan dan merenungkan, menyampaikan simbol-simbol dan dengan demikian
mengungguli binatang”, dan “hanya dengan menggunakan simbol-simbol,
manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi (Dillistone,
hlm. 22 & 10; bdk Fontana, hlm 9-17). Kata “simbol” sendiri berasal dari
kata kerja bahasa Yunani, sym-bollein yang berarti
“mencocokkan” atau “menghubungkan” antara dua bagian atau dua entitas yang
berbeda (Bdk: utak-atik gatuk).
Berangkat dari inilah, persis di ulang tahun saya yang ke-30,
saya mencoba utak atik gatuk mengumpulkan pelbagai serpihan
makna dan tanda, yang terserak gerak dan terpencar sebar. Inilah sebuah
kompilasi TANDA, yang terdiri dari pelbagai kisah dan permenungan saya sebagai
seorang pastor muda selama setahun terakhir ini.
Buku ini sendiri, yang terdiri dari tiga matra pokok (30
Angka, 30 Kata dan 30 Nada) tentunya mau ikut memberi pemaknaan lebih pada
setiap angka, kata dan nada yang diangkat. Sekurang-kurangnya, semoga aneka
serpihan sederhana yang sudah dibukukan (tapi tentu tidak untuk dibekukan
apalagi dibakukan), ini dapat membuat orang mau ikut sedikit mengambil jarak:
termenung, terpekur atau kadang tersenyum, dan juga boleh jadi merasa terhibur.
Yang pasti, seperti kata Paulo Coelho, bukankah
semakin banyak kita memberi cinta, semakin dekatlah kita pada pengalaman
spiritual? maka sungguh tepatlah bahwa pengalaman spiritual
kerap bersemi dari sebuah perjumpaan sederhana akan cinta. Yah, akan setiap
kisah juga kasih yang boleh saya lihat dan alami dengan pelbagai macam
karakter, terimakasih saya buat semuanya. Disinilah menjadi jelas, bukankah
tepat juga kata seorang Thomas Merton, kehidupan spiritual pada
dasarnya adakah mencintai?
Epilog
“No liberation
without communication,
but also no communication without liberation” (Bastone & Mendieta,97)
Bukankah
tugas cerdas-bernas kita sekarang untuk merakit-paut kembali segala bentuk pemisahan
pemikiran keberimanan dari wilayah publik, tanpa harus menjadi dangkal bukan?
Bukankah juga sungguh sebuah niat baik dan patut dirayakan, jika kita berusaha
mengkomunikasikan lagi bahasa dan refleksi iman kita ke wilayah publik, dan tak
melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga mau bergulat geliat sungguh di
tengah riuh rendah dan carut-marutnya pasar kehidupan kita?
Jelasnya,
buku ini tak hendak sepi-iseng sendiri.Apalagi kini, ruang kolektif kerap-akrab
dialami ketika berada “dalam perjalanan”, yakni perpindahan dari satu tempat ke
tempat lain. Modernitas kita sangat lekat-dekat tercermin di jalan, demikianlah
tukas-lugas seorang pemikir Jerman, Walter Benjamin. Harapannya, buku kecil ini
bisa menjadi sebuah “tanda”, teman seperjalanan yang ringan, mengasyikkan dan
semoga juga sekaligus mencerahkan. Buku ini sendiri sebetulnya, selain
merupakan ungkapan syukur, juga merupakan suatu perjuangan komunikasi, yang
terdiri dari risalah dan rajutan tekstur refleksi, introspeksi, interaksi
sekaligus juga intervensi dan interupsi, karena bukankah memperjuangkan Zwischenraum (baca:
ruang antara – untuk saling berkomunikasi), merupakan salah satu tugas penting
bagi kita?
Akhirulallam,
Paulo Coelho, ‘sang alchemist’, pernah menegas-tegaskan impiannya
bahwa mencinta adalah berkomunikasi dengan yang lain, menemukan serpihan Tuhan
dalam diri mereka. Semoga saja, buku sederhana ini bisa membuat kita trampil
mencinta: menemukan wajahNya di tengah ruwet renteng serta hiruk-pikuknya dunia
harian kita. Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan
akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari
jatuhnya umpan itu?
7. “XXI” –
Interupsi
“Non scholae, sed vitae discimus”
Kita belajar bukan untuk sekolah,
melainkan untuk hidup.
Adagium klasik di atas berasal dari surat-surat Seneca (4 SM
- 65 M). Seneca
adalah filsuf Romawi yang kerap membuat interupsi pada dunia
sekitarnya.
Ya, pada awalnya memang sebuah interupsi! Johann Baptist
Metz, seorang
teolog politik, juga pernah memberikan definisi tersingkat
dari agama,
yaitu interupsi (Unterbrechung). Agama itu berangkat
dari interupsi Allah
ke tengah dunia. Agama itu hadir sebagai satu bentuk
interupsi di tengah
dunia yang carut marut. Agama-agama mengkhianati panggilannya
apabila
mereka berhenti membuat interupsi, bukan?
Bagi saya, jelas bahwa Gereja juga perlu terus melakukan
interupsi, baik
terhadap dunianya sendiri maupun terhadap dunia yang ada di
sekitarnya.
Dalam intensi seperti ini, Gereja dengan segala interupsinya
hendaknya tidak
meninggalkan manusia di pinggir jalan sendirian. Maka, di
sinilah persis
bersama dengan ulang tahun imamat saya yang ketiga, sekaligus
penutupan
Tahun Imam, saya menampil-ulangkan sketsa beberapa
“interuptor” dan
pelbagai gurat refleksi mininya. Siapa saja mereka? Sebut
saja: Vianney di
Paris, Escriva di Spanyol, Woytilla di Polandia, Mangunwijaya
di Yogyakarta.
Roncalli di Italia. Arnoldus Jansen di Jerman. Verbist di
Belgia. Kardinal
Kung di Cina, cum amici sui. Para interuptor
dalam buku ini adalah para
imam Gereja Katolik, hampir semuanya adalah imam diosesan (di
Indonesia,
akrab disebut sebagai imam Pr/Praja, Yunani: Presbiter).
Imam diosesan
Indonesia sendiri, untuk saat ini jumlahnya lebih dari 1.600
imam. Di tujuh
keuskupan di Pulau Jawa, ada sekitar 462 lebih imam diosesan.
Jumlah yang
`ikut menentukan wajah Gereja dan masyarakat Indonesia,
bukan?
Romo Mangun, seorang imam diosesan yang kerap juga membuat
pelbagai interupsi, pernah berkata, “Para imam itu seperti
‘Putri Duyung
Yang Mendamba’ ... di satu sisi, mau mencapai bintang di
langit dengan
lengan-lengan manusianya, tetapi kakinya masih tertangkap
dalam air dan
terbungkus sirip ikan.” Tampak jelas-lugas, seorang imam,
yang “lahir
dari umat, besar dari umat, dan berjuang bersama umat” ini
adalah alter christi,
tetapi juga sekaligus seseorang yang tetap terpenjara dalam
kelemahan
insaninya (Ibr 5:2), bukan? Walaupun begitu, tanpa melupakan
kerapuhan
manusiawi, menjadi imam sesungguhnya juga adalah sebuah cara
untuk
berusaha menjadi “interuptor”. Seorang “interuptor” harus
menyuarakan hati
nurani kolektif, sabda, wahyu Ilahi, kemanusiaan, dan jawaban
manusia
sehingga apa yang diharapkan sungguh menjadi kenyataan bagi
dunia:
“gaudere cum gaudentibus, et fiere cum fientibus” (Bersukacitalah dengan yang
bersukacita dan menangislah dengan yang menangis).
Lewat buku sederhana inilah, saya hendak berbagi cerita di
ruang kecil
ini. Semoga saja, aneka serpihan cerita kecil ini bisa
menetap dan menyebar-pencar
dalam hati dan budi banyak orang, bahwa Tuhan tidak pernah
memisah-misahkan
apalagi mengotak-kotakkan Gerejanya. Bukankah kita yang kerap
malah mengotak-kotakkannya? Jesuit, Praja, Karmelit,
Salesian, Fransiskan,
Soverdian, dan yang lainnya semua disatukan oleh Tuhan,
bukan? Lewat
buku ini, saya juga semakin disadarkan bahwa hidup adalah
sebuah proses
pembelajaran yang tak pernah berakhir. Akhirnya, walaupun
sederhana, saya
berharap apa yang dilakukan lewat buku ini adalah suatu
partisipasi aktif
untuk melakukan interupsi kecil, di tengah dunia yang semakin
karut marut
ini. Kiranya, kita juga mau menghidup-kembangkan iman sebagai
sebuah
interupsi. Deus vult! Tuhan menghendakinya!
Epilog
“Menjadi sibuk saja tidaklah cukup;
semut-semut juga sibuk.
Persoalannya adalah:
Apa yang menyibukkan kita?”
(Henry David Thoreau, filsuf Amerika)
Saat sekarat di tempat tidurnya, Kaisar Agustus
berkata, “Acta est fibula!”
(“Pertunjukan telah usai!”) Itulah kata-kata interupsinya
yang paripurna, yang
pada perjalanan waktu menurut tradisi Svetonius diteriakkan
sebagai kalimat
pamungkas pada setiap ujung pementasan (Svetonius. Vita
di Augusto, 991).
Kalimat ini seakan meng-“interupsi” kita bahwa untuk setiap
peristiwa selalu ada
akhirnya. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk
apapun di bawah langit ada
waktunya” (Pengkhotbah 3:1). Demikianlah, ada saat
berpesta. Ada saat bekerja.
Ada masa awal juga tentunya ada masa akhir. Ada masa membaca.
Ada juga masa
menulis, bukan?
Maka, sebelum hidup kita juga usai dan sadar bahwa semua hal
begitu
cepat berlalu, kembalilah pada membaca dan menulis. Inilah
interupsi saya:
membaca dan menulis itu menyediakan sebuah “khalwat: semacam
ruang
jeda, ruang hati untuk mengambil jarak di antara hiruk pikuk
hidup harian.
Bahasa Ayu Utami: ruang untuk menyelami yang mudah
dimengerti,
maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri.
Membaca dan
menulis ini sebetulnya bukan hanya ruang jeda yang rendah
hati, tapi juga
yang cerdik dan menarik karena bukankah tepat dikatakan kalau
ide itu
mempunyai kaki?
Buku kecil yang berangkat dari kegiatan membaca dan menulis
ini
sendiri mengajak kita ingat sebuah interupsi kecil dari tanah
Vatikan, “…
semoga cinta akan kebenaran dan keinginan terus-menerus untuk
mengenal
Tuhan merupakan dorongan bagi setiap umat Kristiani untuk
tanpa merasa
lelah mencari persatuan yang makin mendalam dengan Kristus:
Jalan,
Kebenaran dan Kehidupan” (Paus Benediktus XVI,
Audiensi Umum, 23
September 2009).
Fiat Lux.
Jadilah Terang (Kejadian 1:3)
Salam Interupsi
8. “XXX” –
Family Way
Prolog
“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)
“XXX –
Family Way” adalah sebuah buku sederhana, yang berisi 30 (“XXX”)
permenungan sekaligus pemaknaan tentang sebuah rumah bernama keluarga. Bahan
yang saya pakai sebagai kekayaan survey, data statistik dan pelbagai
dokumentasi dalam buku ini banyak saya ambil dari pelbagai bahan pendampingan
pastoral keluarga “In-Search Action Quest” (ISA, Tindakan Pencarian-diri
dari Dalam), yang diolah-susun oleh Alfons Sitorus, demi menyelamatkan,
menata-ulang sekaligus merefleksikan perkawinan dan keluarga. Disinilah,
menjadi tepat apa yang pernah diucap-kecapkan oleh Socrates, “hidup
yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani.”
Di lain
matra, berangkat dari praksis di lapangan, bahwa pastoral keluarga mesti
melibat-pikatkan banyak orang: sejumlah pakar medis dan moralis, pemerhati,
praktisi, aktivis, advokat juga rohaniwan, maka buku ini sendiri hadir sebagai
salah satu jalan kecil untuk semakin memperkaya dan mempermakna arti penting
sebuah keluarga dengan segala carut marut pendampingannya. Menyitir Thomas
Carlyle, “jika sebuah buku lahir dari hati, ia berusaha menjangkau
banyak hati yang lain," maka buku ini juga saya hatur-persembahkan bagi
seluruh hati keluarga Katolik dengan segala tunggang-langgangnya: tempat kita
semua pernah tumbuh-mekar bersama orangtua dan sanak saudara kita.
Di lain
matra, apa yang pernah dilakukan oleh Amnon bin Daud, yang memperkosa adiknya,
Tamara, yang amat cantik, atau kedua gadis anak Lot yang memperkosa ayah mereka
agar mendapat keturunan, atau kisah klasik ketika Daud menghamili Betseyba,
Kain membunuh Habel adiknya, dan ketika Yusuf kecil dibuang ke sumur dan dijual
oleh kakak-kakaknya sendiri, juga ketika kakak sulung iri hati terhadap
kebaikan ayahnya yang menerima dan mengadakan pesta buat adiknya sendiri dalam
perumpamaan tentang ‘Anak yang Hilang’ menampakkan bahwa
ada pelbagai duka dalam sebuah rumah bernama keluarga.
Dalam
kacamata biblis, tercandra juga pelbagai suka dalam keluarga: Bukankah Kitab
Suci kita dibuka dengan kisah tentang keluarga? Di Perjanjian Lama, kisah
tentang keluarga Adam dan Hawa, di Perjanjian Baru, kisah tentang keluarga
Yosef dan Maria. Baiklah juga kalau kita mengacu pada Injil Yohanes, bahwa
Yesus membuat mukjijat yang perdana dalam sebuah
peristiwa keluarga di Kana, dan Yesus juga membuat mukjijat yang paripurna
lagi-lagi dalam sebuah peristiwa keluarga di Betania.
Scribo ergo
sum, I write therefore I am. Harapannya, semoga dengan hadirnya buku
sederhana, yang sarat dengan pelbagai kutipan dan olah-alih permenungan juga
pemaknaan, mukjijat yang dulu terjadi di keluarga Kana dan Betania, boleh juga
kembali terjadi di rumah kita masing-masing, yah..sebuah rumah bernama:
keluarga, yang bukan hanya berdaya tahan dan berdaya pikat tapi semakin berdaya
guna juga berdaya makna. Pengantar ini saya tutup dengan sebuah renungan kecil
dari Rumi, ”Aku ingin bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang
mendengar, dan apa yang mereka pikirkan...” Harapannya - siapapun anda
– semoga mau mendengar dan mau memikirkan apa yang saya ‘nyanyikan’ dalam buku
sederhana ini. Semoga!!
9. “Tiga
Bulan, Lima Bintang, Tujuh Matahari”
Prolog
Ex astris, Scientia venit,
dari bintang-bintang, datanglah pengetahuan .
Ada
sepenggal cerita pendek dari epik/wiracarita Ramayana yang sudah dikenal sekian
puluh abad yang lalu. Epik ini datang dari budaya Hindu di kaki pegunungan
Himalaya ke Pulau Jawa lalu berkembang menjadi bagian budaya Jawa melalui media
wayang. Di situ dikatakan bahwa Rama Wijaya (yang tak lain adalah titisan Dewa
Wisnu) sedang memberikan petuah kepada Raja Alengka yang baru, Gunawan
Wibisana. Adapun isi petuah itu berupa delapan butir kata sebagai
delapan pegangan dalam kehidupan. Tiga kata diantaranya, yakni: Bulan,
Bintang dan Matahari (Bdk. Wahyu 12:1, “Maka tampaklah
suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan
bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas
kepalanya”).
Ada tiga
sifat dasar dari Bulan, Bintang dan Matahari, yakni:
-Berdaya guna: Mereka memberi faedah
atau manfaat kepada orang lain. Bulan (Chandra): menciptakan suasana
teduh, damai, cinta, sabar dan indah. Bintang (Kartika): memberi arah
atau menjadi teladan. Matahari (Surya): menerangi, memberi kehangatan,
menghidupkan dan menumbuhkan. Disiniah, kita akan melihat aneka angka tiga
(tiga nasehat, tiga itikad dan tiga penyekat) dengan pelbagai kegunaannya.
-Berdaya
makna: Setiap manusia bisa bermakna ketika dia bisa berbagi. Donato
ergo sum! Matahari berbagi panasnya, bulan berbagi cahayanya, bintang
berbagi kerlap kerlipnya. Disinilah, kita akan melihat aneka angka lima (lima
bonus, lima jurus, lima kasus, lima arus dan lima modus) dengan pelbagai
pemaknaannya.
-Berdaya
tahan: Bulan, Bintang dan Matahari setiap hari bersinar,
entah tanggal tua atau tanggal muda, entah sedang sehat atau sakit, entah
diterima atau ditolak. Disinilah kita akan melihat kita akan melihat aneka
angka tujuh (tujuh maklumat, tujuh wasiat, tujuh maksiat, tujuh semangat, tujuh
tabiat, tujuh nubuat dan tujuh mukjizat), dengan pelbagai pergulatan dan
ketahanannya. Audiatur et altera pars - Dengarlah semua sisi!
10. Sebuah
Prolog ”MAP”
Menolak Identifikasi, Mencari ”Zwischenraum”
Dr. Paul Budi Kleden, SVD[3]
Tidak
semua orang setuju begitu saja apabila dikatakan bahwa altar dan pasar boleh
disejajarkan, apalagi disamakan. Alasannya, keduanya merupakan dua bidang
kehidupan yang berbeda dan memiliki kaidah yang berlainan malah bertentangan.
Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, altar mesti masuk
ke dunia pasar, dan pasar harus diperluas ke wilayah kudus. Iman tak cukup lagi
dibatasi dalam lingkup terbatas, dia harus dipasarkan seturut hukum pasar. Maka
pertimbangan pasar mesti juga tercermin dalam perilaku di sekitar altar.
Pandangan
pertama di atas secara sadar atau tidak masih berorientasi pada pandangan tua
yang pernah dianut secara resmi dalam Gereja Katolik: Extra ecclesiam
nulla salus, di luar Gereja tak ada keselamatan. Gereja, termasuk semua
ajaran, struktur dan segala perangkatnya, adalah sarana yang mutlak demi
keselamatan; Konsep yang semula masih memiliki makna spiritual, perlahan
menjadi materialistis. Ecclesia bukan lagi soal iman,
melainkan masalah ritus dan segala perlengkapannya. Mimbar dan altar menjadi
ruang yang berdaya magis. Magi adalah satu bentuk otomatisme dalam beriman;
Bersentuhan dengan mimbar dan altar sudah menjamin kesemalatan, tak terlampau
penting apa yang dilakukan sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ke gereja menjadi
ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor dan pemeras
buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat memaksa diri
ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan kotbah yang tak
menyentuh.
Dekat
dengan para fungsionaris menambah jaminan keselamatan. Semakin orang kenal dan
dikenal romonya, semakin ada kepastian di dalam hati bahwa dirinya termasuk
dalam kalangan pilihan yang sudah mengantongi tiket masuk surga. Pandangan ini
mempunyai pengaruh khusus pada sebagian fungsionaris agama yang kerjanya
seputar mimbar dan altar. Mereka memanfaatkan secara cerdik kebutuhan umat akan
kedekatan dengan mereka. Praktik simonis atau memperdagangkan keselamatan, baik
sadar maupun tidak sadar, lalu menjadi biasa. Pelayanan sakramen untuk
orang-orang berkuasa dan anggota umat yang kaya dari dunia pasar lebih mendapat
prioritas ketimbang perhatian dan kepedulian bagi yang miskin dan tak punya
pengaruh. Kendati para romo itu sudah belajar tentang pandangan Gereja baru
yang telah mengoreksi konsep extra ecclesiam nulla salus, namun
tidak sedikit dari mereka masih senang menghayati pandangan ini dalam
praktiknya. ”Di luar gereja tidak ada keselamatan, maka berbahagialah mereka
yang dapat membeli hati para romo”. Semakin eksklusif kelompok yang
dikategorikan seabagai orang-orang yang diselamatkan, maka semakin tinggi pula
tuntutan untuk menjadi anggotanya. Maka tidak mustahil, semakin konservatif
paham teologis yang diwakili satu komunitas iman, artinya semakin ketat rumusan
tuntutan keselamatan, semakin kaya pula komunitas iman tersebut.
Pandangan
kedua hendak membawa dunia pasar ke dalam gereja, ke dekat mimbar, bahkan ke
atas altar. Hukum pasar yang direduksi ke dalam kaidah penawaran dan permintaan
menjadi dogma yang tak bisa dibantah. Dogmanya adalah, di luar pasar tidak ada
keselamatan. Penyelamat kita adalah pasar, maka kita perlu tahu hukumnya.
Segala yang ada memiliki nilai tawar dan hanya diterima sejauh ada permintaan;
Yang tak punya sesuatu untuk ditawarkan, atau yang kalah bersaing dalam
konkurensi pasar yang semakin ketat malah kejam, tak akan mendapat keselamatan.
Iman pun
adalah sesuatu yang harus dipasarkan menurut kaidah pasar. Karena itu perlu
diketahui apa yang menjadi kebutuhan umat dan bagaimana mereka menghendaki
kebutuhannya itu dipenuhi. Karya pewartaan tak beda dengan menjual iman.
Karunia Roh sama dengan anugerah marketing, yang memberi inspirasi
seputar kapan harus menyelenggarakan apa dan bagaimana. Maka para romo tidak
hanya perlu mengenal sensus fidelium atau cita rasa iman umat,
tetapi juga sense of markets; Para romo tak cuma perlu belajar
Kitab Suci, tetapi mesti paham prinsip-prinsip marketing. Efisiensi menjadi
kata kunci. Akibatnya, ada romo paroki yang mencantumkan jam kantornya. Tarif
pelayanannya tergantung entah terjadi pada jam sibuk dan jam longgar. Kalau
dalam teologi rahmat para calon romo belajar aksiom gratia gratis data,
maka ketika menjadi romo prinsipnya lalu berbunyi, Tak ada yang gratis di dunia
ini, Beri dulu baru dapat, Di dunia ini tak ada yang gratis.
Sebenarnya,
kedua pandangan di atas pada akhirnya bermuara pada kenyataan yang sama, yakni
komersialisasi apa yang dinilai sakral. Mimbar dan altar dipahami dalam
kerangka berpikir pasar. Akibatnya, yang di luar pasar tak punya akses menuju
keselamatan. Kalau dulu yang berada di luar keselamatan adalah umat beragama lain,
maka kini orang-orang miskin berada dalam bahaya tak tersentuh suara mimbar dan
tak kebagian roti yang dibagi secara gratis di atas altar.
Romo Jost
Kokoh Prihatanto dalam buku ini (buku ini terdiri dari dua buku
terpisah, yang sekarang diterbitkan Kanisius, yakni edisi “Mimbar
Altar” dan edisi “Pasar”) menolak identifikasi mimbar, altar dan
pasar; Iman tidak sama dengan pasar dan pasar tidak identik dengan iman. Iman
dan pasar harus dibedakan, sebab itu mimbar bukanlah tempat reklame produk
tertentu dan altar tidaklah meja penjualan saham untuk masuk surga. Itu tak
berarti pasar harus ditolak secara keseluruhan, atau didemonisasi secara total.
Pasar membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pemanfaatan
potensi manusia serta alam. Dengan ini pasar sebenarnya menolong penghayatan
keimanan secara lengkap, karena iman mesti juga dialami sebagai pendorong untuk
upaya menyejahterakan masyarakat, sebagai inspirasi untuk memperjuangkan
pengembangan diri manusia dan sebagai motor untuk mengusahakan pelestarian
alam. Benar kalau dikatakan, apabila hendak mencapai perdamaian, maka
usahakan kemajuan ekonomi. Salah satu motor kemajuan ekonomi adalah pasar. Jika
perdamaian merupakan salah satu nilai yang hendak diperjuangkan agama-agama,
maka orang-orang beragama dan beriman pun mesti terlibat dalam pasar.
Walaupun
pasar memiliki nilai positif, akan menjadi persoalan apabila pasar mendominasi
seluruh bidang kehidupan. Segala macam hukum yang lain akan gugur, ketika hukum
pasar berlaku secara mutlak dan total. Politik menjadi masalah negosiasi dagang
sapi, peradilan tak lebih dari kartu truf di tangan aparat untuk melelang
perkara, relasi antarmanusia dipertahankan sejauh masih dianggap menguntungkan.
Dan itu tadi, agama kehilangan cirinya sebagai penyerahan diri total manusia
kepada Allah yang telah memberikan diri-Nya secara cuma-cuma.
Persoalan
yang kita hadapi di dunia dewasa ini, dan bahaya yang mengancam kehidupan
bergereja sekarang ini hemat saya adalah dominasi hukum pasar sebagaimana
disampaikan di atas. Di tengah situasi seperti ini, yang diperlukan adalah
mencari apa yang oleh Habermas disebut sebagai ”Zwischenraum”. Habermas
membicarakan ruang antara ini ketika dia menunjukkan bahaya yang ada dalam
dunia modern, yakni kolonialisasi bidang-bidang kehidupan oleh sistem berpikir
tertentu. Sistem selalu bersifat total, memiliki satu pusat dan melihat segala
yang lain sebagai sub-sistem. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada dasarnya
manusia dan masyarakat memiliki dunia kehidupan dalam bentuk plural
(Lebenswelten). Karena itu, rasio pun mestinya diakui sebagai kapasitas
berpikir yang ada dalam bentuk plural. Ada ruang antara, Zwischenraum,
yang tak boleh dilanggar agar rasio tidak menjadi totaliter. Totalitarianisme
adalah bahaya bagi manusia dan masyarakat. Di bawah rezim yang totaliter dan
pola pikir yang dominatif, tidak ada penghargaan bagi otonomi individu,
kedaulatan masyarakat dan batas kemampuan alam. Totalitarianisme adalah
ketidakadilan, dan damai yang diciptakannya hanyalah ketenangan yang semu;
Kalau demikian, totalitarianisme adalah pengkhianatan terhadap iman.
Memperjuangkan Zwischenraum merupakan
satu tugas penting bagi agama-agama. Johann Baptist Metz, pencetus konsep
teologi politik baru (untuk membedakannya dari konsep teologi politik lama dari
Carl Schmidt yang justru mendukung totalitarianisme), sering terlibat dalam
diskusi yang menyegarkan dengan Habermas. Dia memberikan sebuah definisi
tentang agama yang sangat khas. Menurut dia, definisi tersingkat dari agama
adalah interupsi (Unterbrechung). Ya, pada dasarnya agama berangkat dari
interupsi Allah ke tengah dunia yang sedang disalahurus oleh manusia. Agama
hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah dunia yang terpusat hanya pada
dirinya; Yang dapat dilakukan agama-agama dalam dunia ini hanyalah membuat
interupsi, karena derasanya arus berpikir, bertindak dan menilai lainnya. Namun
interupsi ini harus terus-menerus dilakukan. Agama-agama mengkhianati
panggilannya, apabila mereka berhenti membuat intervensi.
Bukan
mustahil, kepekaan terhadap dunia publik dan dunia pasar, dapat membukakan mata
para fungsionaris agama terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam
nadi-nadi hidup dan karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak
orang miskin, cacat dan tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat
para agawaman/ti perihal kontribusi teologis dan sikap pastoral mereka sendiri
terhadap kondisi ini; Gereja, teologi, pendidikan calon romo dan praktik hidup
para romo memang mesti semakin sering diinterupsi.
Metz sadar
bahwa dalam perjalannya agama-agama sudah sering mengingkari hakikat dirinya.
Metz berbicara mengenai bürgerliche Religion, agama masyarakat
kelas menengah yang sudah menjadi mapan; Agama seperti ini sudah tidak bisa
dibedakan dari lembaga lain, karena dia hidup menurut logika kekuasaan dan
pasar. Suara para korban tidak lagi mendapat tempat di dalam agama kemegahan
ini, dan tidak ada keberanian untuk menyuarakannya, karena kecemasannya akan
kehilangan banyak privilese. Agama-agama tidak lagi menjadi duri yang menusuk
dan membuat tidur tidak aman, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur yang
sangat mujarab.
Karena
berbicara dalam konteks agama kristen, baiklah kita melihat beberapa contoh
interupsi tersebut. Paham tentang Allah yang tritunggal dilihat sebagai satu
interupsi ke tengah dunia yang cendrung monolitik dan pandangan dalam agama
yang sangat hirarkis seturut garis; satu Allah, satu raja, satu agama/Gereja.
Paham monolitik dipandang dibenarkan oleh konsep yang monotheistis. Inkarnasi,
peristiwa Allah menjadi manusia, merupakan satu bentuk interupsi terhadap
kecendrungan manusia untuk menjadi Allah, untuk disembah seperti Allah, untuk
berkuasa mutlak atas hidup dan mati orang lain. Warta Yesus tentang Kerajaan
Allah menginterupsi kondisi yang diciptakan manusia, yang menempatkan dirinya
sebagai raja yang sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan. Ekaristi sebagai
pusat dan sumber hidup orang Kristen adalah perjamuan bersama pada meja yang
satu. Dalam pengertian seperti ini, ekaristi pada intinya merupakan satu
interupsi di tengah tendensi manusia yang mau makan sendiri dari dan pada satu
meja, yang melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan
membawa pergi mejanya sekalian.
Agama-agama
perlu melakukan interupsi, baik terhadap dunia politik dan pasar, maupun
terhadap diri mereka sendiri. Dalam intensi seperti ini saya hendak memahami
dan mengapresiasi refleksi-refleksi Romo Jost Kokoh yang masih muda ini.
Melalui refleksi-refleksi yang tajam dan segar, oleh penuturan pengalaman dan
biografinya serta dengan puisi-prosanya yang dalam dan kaya makna, Romo
Jost Kokoh bertanya nakal mengenai sejumlah pandangan dogmatis, masuk ke dalam
kehidupan Gereja, membuat sentilan terhadap kehidupan umat dan mempersoalkan
secara jenaka tampang kesalehan yang dipamerkan para calon romo. Pengetahuannya
tentang filsafat dan teologi diramu secara menarik dengan opsi dasar yang jelas
menuju satu pemahaman dan penghayatan hidup beragama yang tidak meninggalkan
manusia di pinggir jalan.
Jika dalam
buku “Mimbar dan Altar”, yang pada dasarnya merupakan satu
kesatuan, dan termasuk dalam dunia agama. Dimana, ditempatkan
artikel-artikel dan ulasan-ulasan yang berkisar pada masalah biografi iman dan
historiografi panggilan romo Jost Kokoh serta refleksinya mengenai tema-tema
Gereja. Renungan tentang Natal yang menyentil kesadaran mengenai kesederhanaan,
refleksi mengenai kematian, ekaristi dan kawin campur diramu dalam gaya yang
segar dan menarik. Terkesan, Romo Jost Kokoh sanggup mengemas apa yang menjadi
inti iman kristiani dalam gaya yang tidak hanya gampang, tetapi juga suka
dimengerti. Boleh jadi ini adalah buah dari interupsi dunia pasar terhadap
uraian teologis yang terlampau klise dan tak jarang membosankan.
Nah, pada
buku “Pasar” ini, tulisan-tulisan yang dikumpulkan mempunyai daya tarik
tersendiri. Kita tidak menemukan di sini satu pleidoi mengenai pentingnya hukum
penawaran dan permintaan. Bagian ini bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah
credo kepada dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan
berhadapan dengan tulisan-tulisan yang mendalam bernuansa filosofis mengenai
pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya,
kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik dan lain-lain. Itu berarti,
pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia lebih
merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa yang
segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami.
Dengan isi yang mendalam dan gaya yang menarik seperti
ini, Romo Jost Kokoh sebenarnya tengah melakukan interupsi ke
dalam dunia pasar yang hanya mengagungkan hal-hal yang murah meriah sambil
menjual manusia dan menguras alam.
Dengan
refleksi dan kisah pengalaman ini, Romo Jost Kokoh sudah menunjukkan
perannya sebagai seorang pencerita dan pemikir yang membuat interupsi, baik ke
dalam Gereja sendiri, artinya ke tengah kalangan para romo dan umat serta calon
romo, tetapi juga ke dalam pasar ide yang bersifat publik, ke tengah dunia para
pemikir sosial dan politik, kepada para ahli ekonomi dan pencinta budaya. Hemat
saya, peran seperti inilah yang perlu terus dimainkan sebagai seorang romo.
Romo Jost Kokoh mengutip pernyataan romo Kardinal di Jakarta, yang mengatakan
bahwa salah satu tugas seorang imam adalah menjadi jembatan. Tentu saja yang
dimaksudkan adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antar manusia
yang membentuk jemaat. Dari peran ini lahir peran kedua yang, hemat saya,
tidak kalah penting, yakni membuat interupsi. Seorang romo perlu melakukan
interupsi ke dalam kehidupan yang hanya mengikuti logika kalah-menang, yang
melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam
persaingan karena memang tak punya sesuatu.
Sebagaimana
diakui penulis dalam bagian pertama buku ini, karya ini sebenarnya memiliki
satu keberpihakan. ”Seperti kegiatan yang dilakukan oleh penyair Wiji Thukul
dari Yogyakarta yang coba memperkenalkan seni puisi tentang, untuk dan kepada
pelbagai kelompok menengah bawah seperti kalangan tukang becak, atau para
pekerja bangunan dari kelompok dan kelas sosial yang sama” (mimbar, hlm 2).
Hemat saya, sesungguhnya seorang romo perlu memiliki keberpihakan, karena sang
Guru dari Nazaret yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka
yang lemah, kecil dan terpinggirkan. Itu tak berarti seorang romo lalu
melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk
terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini. Keberpihakan menjadi kata
kunci dalam refleksi teologis dan reksa pastoral gereja-gereja di belahan
selatan dunia. John Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan
pertanyaan mengenai Allah di kedua belahan bumi ini sebagai berikut: Di utara,
maksudnya di Eropa dan Amerika Serikat/Utara, orang bertanya tentang apakah
Allah ada; Itu berarti pertanyaan mengenai eksistensi-Nya; Di Selatan, orang
bertanya tentang di mana Allah; Ini adalah pertanyaan tentang keberpihakan.
Sambil
mengucapkan proficiat dan syukur atas karunia imamat dan terima kasih atas
kesediaan Romo Jost Kokoh untuk menerima rahmat ini, saya membungkus kado
dalam bentuk harapan dan untaian doa, agar Romo Jost Kokoh tetap
menghayati imamat sebagai satu perwujudan keberpihakan Allah. Menjadi imam
dewasa ini sudah merupakan satu bentuk interupsi, kiranya Romo Jost Kokoh
menghidupi imamatnya sebagai interupsi.
11. TAMBAHAN
RESENSI:
BBM-Beriman Bersama Maria (Kanisius 2008)
“Apalah
artinya sebuah nama?” Sekadar nama, bagi sebagian orang memang tidak punya
arti. Tetapi dalam buku karya Romo Jost Kokoh ini, setiap nama mendapat
artinya. Dan, buku kaya makna karya Romo Jost Kokoh ini bukan sekadar othak-athik nama
atau kata, tetapi semuanya menuntun kita pada pribadi Maria yang tak asing
lagi. Buku ini menyajikan informasi dan refleksi tentang Mariologi dan teologi
biblis. Refleksi itu berbasis pada pengalaman rohani dan devosi pribadi kepada
Maria. Buku yang dikemas secara kreatif dan inspiratif untuk keperluan devotif.
Baca segera buku ini! Bacalah untuk menimba kekayaan rohani dalam berdevosi
kepada Maria! (DR. Surip Stanislaus OFMCap, Ketua LBI-Lembaga Biblika
Indonesia)
O Sancta
Simplicitas, melalui buku kecil ini, Romo Jost Kokoh Pr berusaha
memotivasi kaum muda untuk selalu ingat peranan Bunda Maria dan para perempuan
lain dalam karya penebusan Kristus. Dengan demikian, mudah-mudahan buku kecil
ini dapat menjadi antidote terhadap godaan dunia
gemerlap malam. Semoga buku Romo (Jost) Kokoh ini mengokohkan kaum muda untuk
menghormati teman dan kekasih perempuan, sebagaimana Yesus menghormati para
perempuan yang begitu jost andilnya dan kokoh cintanya
dalam karya penebusanNya. (DR. George Junus Aditjondro, Dosen
Neo-Marxisme dan Kiri Baru, Penulis Gurita Cikeas).
T A N D A - K aTA, ANgka dan naDA (Kanisius 2009)
Buku ini
sendiri terdiri dari tiga matra pokok (30 Angka, 30 Kata dan 30 Nada). Dalam
bagian 30 Angka ditampilkan 30 angka dan pemaknaannya, misalnya: 7 arus dosa, 7
jurus cinta, 7 dukacita, 7 sukacita, 3 peran setan, 3 jenis godaan, 3 karakter
Yohanes, Zakheus, Nikodemus, Bunda Maria dll. Dalam bagian 30 Kata, ditampilkan
puluhan kata penuh makna, misalnya: Sahabat-Satu dalam suka, Hadir dalam duka
dan berjaBAT dalam doa, juga pelbagai kata-kata lain yang coba dimaknai. Dalam
bagian 30 Nada, ada 30 lagu yang diangkat dan dimaknai, dari lagu Mutiara yang
Hilang, Anak Gembala, sampai lagu Panis Angelicus. Dkl: Romo Jost Kokoh – lewat
buku ini – mengajak kita untuk memberi pemaknaan lebih pada setiap angka,
kata dan nada dalam keseharian hidup.
XXI – INTERUPSI (Kanisius, 2010)
Buku karangan
Romo Jost Kokoh ini menyajikan suatu who is who Gereja Katolik
Roma di dunia. Ada kilas balik dan sketsa sepuluh kongregasi bentukan para
imam diosesan, yang ditampilkan, yakni CICIM, MSC, SX, MSF, SDB, CM, SVD,
CSsR, SCJ, Ordo Dominikan, serta “super-ordo” Opus Dei. Namun, gereja
ini tidak akan bertahan apabila tidak ada figur pemimpin yang dapat
diteladani. Oleh karena itu, buku ini memperkenalkan sejumlah Kardinal
karismatis dari Eropa, Amerika Latin, dan Asia. Oleh karena itu, buku
karangan Romo Jost Kokoh ini patut dibaca oleh semua orang yang tertarik
pada sejarah dan praksis Gereja Katolik Roma. Tolle et legge! Ambil
dan bacalah!(DR. George Junus Aditjondro, Dosen Neo-Marxisme dan
Kiri Baru, Penulis buku Gurita Cikeas).
Mimbar – Altar (Kanisius, 2009)
Sesungguhnya,
buku kecil indah ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh
Prihatanto, mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus
seperti merpati. Buku ini adalah sebuah altar, tempat pemikiran dan pengalaman
dipersembahkan bagi kita. Agar kita, gembala juga domba, imam juga awam,
menyediakan ruang jeda dalam diri untuk menyelami yang mudah dimengerti,
maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri. Dan, jelaslah
lewat yesus-yesus kecil inilah, , diantara pasar, mimbar dan altar.
Tentulah altar yang paling menakjubkan! (Ayu Utami, Novelis).
PASAR (Kanisius, 2010)
Seperti
keranjang pemulung, buku padat memikat ini pastinya terisi banyak hal yang
kerap terlewatkan dari perhatian dan tenggelam dalam mobilitas dan anonimitas
massal. Ternyata dari semua itu, identitas seorang, pun identitas sosial
kultural bisa dijejak-maknai. Penulis buku ini sangat piawai mengisi dan
mengemas “keranjang pemulungnya”. Proficiat! (Charles Beraf dan Bona Beding,
Kolumnis lepas)
Terkesan, Romo
Jost Kokoh sanggup mengemas apa yang menjadi inti iman kristiani dalam gaya
yang tidak hanya gampang, tetapi juga mudah dimengerti. Buku ini
bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah credo kepada dunia pasar dan
neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan berhadapan dengan gado-gado
tulisan yang mendalam bernuansa etis-filosofis mengenai sejuta pertanyaan dasar
kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya, kematian, psikologi dan
religi, agama dan teori kritik, feminisme, sinema dan drama, dan sebagainya.
Itu berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia
lebih merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa
yang segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami.
(DR. Paul Budi Kleden, SVD, Dosen Filsafat STFT Ledalero)
XXX – FAMILY WAY (Kanisius, 2010)
Kami
sebagai Koordinator Nasional Marriage Encounter - Indonesia sangat senang dan
menyambut baik hasil karya Rm Jost Kokoh, Pr. Buku ini ditulis dalam gaya
bahasa yang “tidak biasa”, namun justru membuat pembaca secara “luar biasa”
terbawa oleh cara penuturan yang sederhana, dinamis dan tidak membuat orang
menjadi jenuh. Judul dari permenungan setiap bab merupakan jembatan
keledai dari hal-hal yang dibahas-tuntas dalam topik tersebut, sehingga
memudahkan pembaca untuk mengingatnya. Misalnya: Suami: SUAra yang
mengayoMI, Istri: ISilah dengan teladan, TRImalah dengan iman. Mertua:
MERasakan TUhan Ada, Menantu: MENANti untuk bersaTU. Pria: Prajurit Idaman
Allah, Wanita: WAjah iNdah Ini penuh cinTA.Ada juga singkatan dan pemaknaan
untuk Oma-Opa, Papa-Mama-Anak, Paman-Teman, Pernikahan sampai Perselingkuhan
dst. (Kornas ME-Indonesia, J. Widajaka Pranata, CM & Pas.
Riana-Suarno)
Buku “XXX-Family
Way” ini bukan hanya buku teori untuk menjelaskan persoalan
keluarga secara akademis dan mendalam; buku ini merupakan kumpulan
insight-insight, hasil permenungan dan membaca banyak tempat
dan aneka sumber; sumbernya bukan perpustakaan yang rapih dan ketat,
tetapi perpustakaan lapangan di pinggir jalan, di toko buku, di seminar,
diskusi di sana-sini, dalam kesempatan kotbah (karena penulisnya, Jost
Kokoh juga seorang Pastor yang setidaknya harus berkotbah setiap hari
Minggu). Oleh karena itu, buku ini menjadi unik sekaligus
menarik. (Greg Soetomo SJ, Pemimpin Redaksi Mingguan
HIDUP).
3 Bulan, 5 Bintang, 7 Matahari (Kanisius, 2011)
Saya suka
Romo yang tampan karena setampan apapun tak akan menjadi saingan. Saya suka
Romo yang lucu karena seolah mengajak berbahagia. Tapi saya paling suka Romo
yang menuliskan kesaksian dan iman dalam keseharian, karena dengan
demikian menjadi bagian dari awam. Saya suka buku ini!!! (Arswendo
Atmowiloto, Budayawan).
Inilah cara seorang Pastor di Jakarta yang hendak memberikan
hiburan untuk domba-dombanya. Dengan senyum dan tawa, dengan lagak yang ceria,
dengan kegenitan yang diharapkan umat Jakarta yang sedang membutuhkan ‘Roti
Boy, Ayam KFC, 7-Eleven’ – bukan makanan macam sphagetti, pizza, pasta – ia
menawarkan ‘jualan’ rohaninya. Popularnya Romo Jost ini terletak ketika ia
membawa ide-ide altar ke pasar; atau bisa juga sebaliknya, membawa guyonan di
pinggiran terminal ke tengah-tengah mimbar. Untuk itulah tulisannya
nampak cool. Tulisannya menjadi sahabat dan teman canda, ketika
siang hari nampak gelap berawan, malam terasa sumpek, hati galau. (Greg
Soetomo SJ, Pemimpin Redaksi Mingguan HIDUP)
CARPE DIEM: Sebuah Tetralogi “OBOR” (Kanisius, 2012)
Carpe
Diem, berarti, “reguklah hari ini”. Kutipan dari karya
Horatius Carminum ini dimaksudkan agar setiap orang belajar untuk hidup
dari hari ke hari (Mazmur 90:12). Dalam empat edisi padat buku Carpe Diem ini
ditampilkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang
Kudus setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat
orang kudus tentang Bunda Maria”, terdapat juga “365 Otak
Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah Makin Berkembang, Sinaga: Siap
Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati, Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman:
Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan, edisi terakhir, terdapat juga “365 Requiem”,
renungan kematian dari para orang kudus, seniman, ilmuwan dan rohaniwan.
28 HER STORY – Sketsa Spritualitas Pendiri (Kanisius 2012)
Semua
tokoh yang ditampil-kenangkan dalam buku ” 28 HER STORY“ ini
adalah para perempuan. Sepanjang sejarah dunia, terlebih Gereja Katolik,
memang ada banyak sekali tokoh perempuan yang menonjol. Untuk tulisan ini saya
mengambil beberapa pribadi saja dari daftar panjang puteri-puteri terbaik yang
pernah hadir di tengah dunia. Kebanyakan dari mereka adalah para ibu pendiri,
yang menonjol dalam bidangnya masing-masing. Entah dalam hal kesucian hidupnya,
kepeloporannya dalam hal pembaharuan gereja dan dunia, menjadi pembawa damai,
pekerja sosial, perintis emansipasi, perawat pendidik, melayani orang-orang
miskin dan tersisihkan. Tapi, ada pula yang mistikus dan berperan sebagai
nabiah pada zamannya, dan lain sebagainya. Ada yang biarawati, ada yang awam.
Ada yang ratu, keturunan bangsawan, ada pula yang berasal dari keluarga miskin.
Ada yang berpendidikan, ada pula yang berlatar pendidikan ala kadarnya, malah
ada yang buta huruf. Ada yang berdarah Yahudi, Amerika, Eropa, Asia juga
Indonesia. Paling tidak lewat membaca kembali penggalan kisah para
pendiri ordo perempuan dan aktivis sosial perempuan beserta roh zamannya, kita
diajak lagi untuk bersama-sama berkata, Cherchez la femme ! Kita
mencari perempuan bukan lagi sebagai problem maker, tapi karena
para perempuan itu sungguh bisa menjadi problem solver. Silakan
renung dan telaah, “mang onceki dewe-dewe!“
[1] Lyotard,
Jean-Francis, The Post-Modern Condition: A Report on Knowledge,
University or Minnesota Press, Minneapolis, 1979, hal 47
[2] Newman, John Henry
Cardinal, The Idea of University defined and ilustrated, Longmans,
London, 1907, hal 104
0 komentar:
Posting Komentar