Prolog
Ketika SMA, saya cukup
aktif dalam Kelompok Ilmiah Remaja dan kelompok Pencinta Alam. Kami kerap
hiking, climbing, travelling, dan juga caving bersama.
Dalam kelompok itulah,
ada seorang pendaki bernama Beta, yang kerap naik turun gunung. “Beta”
sendiri berarti berani menderita. Bagaimana kita juga berani menderita?
Fransiskus Xaverius Nguyên Van Thuân, seorang imam dan uskup diosesan di Viêt
Nam akan mengajarkannya buat kita. Kardinal Thuân panggilannya. Ia pernah
dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah komunis dan melewatkan 13 tahun
dalam kamp komunis, sembilan tahun di antaranya ditempatkan dalam sel
isolasi. Dialah seorang kardinal yang dipenjara selama masa pemerintahan tiga
Paus: Paulus VI, Yohanes Paulus I, dan Yohanes Paulus II, dan selama masa
pemerintahan empat Sekretaris Jenderal Partai Komunis:
Brezhnev, Andropov,
Chernenko dan Gorbachev.
Sebuah Sketsa Profil
Fransiskus Xaverius
Nguyên Van Thuân dilahirkan pada tanggal 17 April
1928 di Huê, Viêt Nam. Ia
berasal dari keluarga yang sangat beriman.
Menurut ceritanya,
neneknya setiap malam setia mendaraskan satu doa
rosario untuk ujud
panggilan imamat. Mengenai ibunya, bunda Elizabet,
Thuân mengatakan, “Ibu
menceritakan kisah-kisah dari Kitab Suci setiap
malam, ia menceritakan
kisah-kisah para martir, teristimewa para martir yang
berasal dari leluhur
kami; ibu mengajarku untuk mencintai tanah air. Ibu
adalah seorang wanita
tegar yang menguburkan saudara-saudara lelakinya yang
tewas dibunuh dengan keji
oleh para pengkhianat, yang telah diampuninya
dengan setulus hati.
Ketika aku di penjara, ibu yang membesarkan hatiku.
Kepada semua ia
mengatakan, `Berdoalah agar puteraku setia kepada Gereja
dan tetap berada di mana
Tuhan menghendakinya.’”
Pada tahun 1941, Thuân
masuk Seminari Menengah An Ninh dan
ditahbiskan sebagai imam
diosesan pada tanggal 11 Juni 1953. Setelah
melanjutkan pendidikan
akademisnya selama enam tahun di Universitas
Gregoriana di Roma dan
memperoleh gelar doktor dalam hukum Gereja, ia
kembali ke Vietnam dan
mengajar di Seminari Nha Trang. Thuân kemudian
diangkat menjadi Rektor
Seminari, Vikaris Jenderal dan tak lama ia juga
ditahbiskan sebagai Uskup
Nha Trang pada tanggal 13 April 1967. Semboyan
Uskup Thuân adalah Gaudium
et Spes (Sukacita dan Pengharapan). Gaudium
et Spes sendiri adalah
sebuah Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, tentang
Gereja dan Panggilan Umat
Manusia (Tugas Gereja dalam Dunia Modern).
Adalah sebuah cerita.
Ketika Thuân mengatakan kepada ibunya,
Elizabet, bahwa ia akan
ditahbiskan sebagai uskup, ibunya menjawab,
“Memangnya kenapa? Kamu
masih tetap seorang imam, hanya saja tanggung
jawabmu akan sedikit
lebih banyak.” Ketika Thuân diangkat menjadi Uskup
Agung, ia berkata lagi
kepada ibunya, “Sekarang aku seorang Uskup Agung,
apakah ibu senang?” Ibunya menjawab, “Lihatlah,
kamu masih tetap seorang
imam, pelayanan yang
sama.”
Memang pada tanggal 24
April 1975, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai Uskup
Koajutor (Calon Uskup Pengganti) Keuskupan Agung Saigon (sekarang Ho Chi
Minh).
Selang beberapa hari
kemudian, Saigon jatuh ke tangan komunis Viet
Cong. Akibatnya, pada
tanggal 15 Agustus 1975, pada Pesta SP Maria
Diangkat ke Surga, Mgr.
Thuân diundang ke Istana Kemerdekaan, Istana
Presiden di Saigon, hanya
untuk ditangkap. Uskup Van Thuân ditangkap
karena iman kristianinya.
Thuân dijebloskan ke dalam penjara oleh
pemerintah komunis dan
melewatkan 13 tahun dalam kamp komunis,
sembilan tahun di
antaranya ditempatkan dalam sel isolasi. Thuân tidak
pernah diadili ataupun
dijatuhi hukuman yang pasti.
Ia kerap tersiksa dengan
kenyataan bahwa ia terisolasi dan tidak
dapat berbuat apa-apa,
juga terlebih jauh dari umatnya. Suatu malam,
dari kedalaman lubuk
hatinya, dia mendengar suara yang menasihatinya:
“Mengapakah engkau
menyiksa dirimu sendiri? Engkau harus membedakan
antara Tuhan dengan
karya-karya Tuhan - segala sesuatu yang telah engkau
lakukan dan ingin terus
engkau lakukan: kunjungan pastoral, mendidik para
seminaris, para biarawati
dan para anggota ordo-ordo religius, mendirikan
sekolah-sekolah,
mewartakan Injil kepada orang-orang non-Kristen. Semua itu
sungguh karya yang
mengagumkan, karya Tuhan, tetapi bukan Tuhan! Jika
Tuhan menghendaki engkau
menyerahkan semuanya itu dan mempercayakannya
ke dalam tangan penyelenggaraan-Nya,
lakukanlah dan percayalah kepada-
Nya. Tuhan pasti akan
melakukannya jauh lebih baik dari padamu; Ia akan
mempercayakan karya-Nya
kepada orang-orang lain yang lebih mampu
daripadamu. Engkau harus
memilih hanya Tuhan, dan bukan karya-karya
Tuhan!”
Sejak saat itu, suatu
rasa damai yang baru memenuhi hatinya dan tinggal
bersamanya selama 13
tahun. Pencerahan ini sepenuhnya mengubah cara
berpikirnya. Dia pernah
juga dipaksa tinggal dalam sebuah rumah tahanan
di desa Cây Vông, di
bawah pengawasan rahasia para polisi Komunis yang
“membaur” dengan penduduk
desa. Siang malam dia dihantui oleh pikiran:
“Umatku! Umatku yang
sangat kukasihi: kawanan domba tanpa gembala!
Bagaimana aku dapat
menjangkau umatku, pada saat di mana mereka sangat
membutuhkan pastor
mereka? Perpustakaan-perpustakaan Katolik telah disita,
sekolah-sekolah Katolik
ditutup, guru-guru religius - pria maupun wanita - yang
mengajar di
sekolah-sekolah dipaksa bekerja di sawah. Berpisah dengan umat
sungguh merupakan suatu
pukulan dahsyat yang menghancurkan hatiku.”
Suatu ketika, pukul
21.00, pada tanggal 1 Desember 1976, tiba-tiba dia
mendapatkan dirinya
berada bersama sekelompok besar tahanan. Dibelenggu
satu dengan yang lain
dengan rantai secara berpasangan, dinaikkan ke sebuah
truk. Suatu perjalanan
singkat membawanya ke Tan Cang, sebuah bandara
militer baru yang dibuka
oleh Amerika beberapa tahun sebelumnya. Di
depannya ada sebuah
kapal, tetapi kapal itu disembunyikan sedemikian rupa
sehingga orang tidak akan
tahu apa yang sedang terjadi. Kapal itu segera
berlayar ke utara,
menempuh jarak 1.700 kilometer.
Bersama para tahanan yang
lain, dia ditempatkan di palka kapal di mana
dimuat batu bara.
Satu-satunya cahaya berasal dari sebuah lampu minyak
yang kecil; selain itu,
yang ada hanya kegelapan yang pekat. Sejumlah
1.500 orang dipaksa
bertahan dalam keadaan yang tak dapat diungkapkan
dengan kata-kata itu.
Kekalutan menguasai pikirannya, dan dia mencoba
mengingat kata-kata St.
Paulus:
“Tetapi sekarang sebagai
tawanan Roh aku
pergi ke Yerusalem dan
aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ
selain daripada yang
dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa
penjara dan sengsara
menunggu aku.” (Kis 20:22-23).
Selama perjalanan karena
para tahanan mengetahui bahwa Uskup Van
Thuân berada dalam kapal,
mereka datang kepadanya mengungkapkan
kesedihan mereka. Jam-jam
berlalu dan ia mendapati dirinya berbagi
penderitaan dengan mereka
serta menghibur mereka sepanjang hari. Malam
kedua, dalam dinginnya
bulan Desember di Samudera Pasifik, dia mulai
mengerti bahwa suatu
tahap baru dalam panggilannya baru saja dimulai.
Dia melewatkan tiga hari
perjalanan dengan menghibur teman-teman
tahanan dan merenungkan
sengsara Yesus:
“Menjadikan diri kita
“satu” dengan semua orang, dan
berani menganggap setiap pribadi - termasuk mereka yang tampaknya paling
keji atau jahat - sebagai “sesama”, sebagai saudara atau saudari, kita mengamalkan
intisari keselamatan. Kita menjadi saksi kabar
sukacita bahwa di kayu
salib Yesus, Tuhan datang mendekati semua orang
yang jauh dari-Nya, untuk
menawarkan pengampunan serta penebusan. Oleh
karena itu, pewartaan
Kabar Gembira bukanlah tugas yang dipercayakan
hanya kepada para
misionaris saja, melainkan merupakan tugas penting bagi
setiap umat Kristiani.
Kabar Gembira Tuhan yang dekat dengan kita dapat
diwujudnyatakan hanya
jika kita mendekatkan diri dengan semua orang.“
Di sinilah, di sebuah tempat
yang begitu tidak nyaman, ia malahan
mendapatkan sebuah
peneguhan panggilan imamat dalam batinnya sendiri,
sebuah kalimat yang
begitu dashyat:
“Inilah katedralku,
inilah umat yang dipercayakan Tuhan
kepadaku, dan inilah misiku, yaitu menghadirkan Tuhan secara nyata di antara
saudara-saudaraku yang putus asa dan sangat menderita. Adalah kehendak Tuhan aku
ada di sini. Aku menerima kehendak-Nya.”
Menurut pengakuannya
juga, selama tahun-tahun mengerikan dalam
sel isolasi, yang
terberat sepanjang hidupnya bahwa orang yang dia lihat
hanyalah dua pengawal
penjara yang dengan tegas diperintahkan untuk tidak
berbicara kepadanya:
“Mereka mengawasi saya,
tetapi tidak mau berbicara selain mengatakan ‘ya’
dan ‘tidak’. Saya merasa sepenuhnya ditinggalkan, menderita seperti Yesus
di atas salib. Pikiran saya melayang kepada umat saya, para imam, para
religius, para seminaris. Di luar sana, ditinggalkan, mereka juga menderita,
banyak pula yang terbunuh. Dalam ketakberdayaan
fisik maupun mental, saya
menerima rahmat dari Bunda Maria. Saya tidak
diperbolehkan merayakan
Misa, jadi saya mendaraskan Salam Maria beratusratus
kali dan Bunda Maria
memberi saya kekuatan agar saya mempersatukan
diri dengan Yesus yang
terpaku di kayu salib. Saya menjadi sadar bagaimana
Yesus telah menyelamatkan
segenap umat manusia, di sana; sendirian di atas
salib, sepenuhnya
tergantung di kayu salib. “
Kalung salib yang sampai
akhir hidup dikenakannya terus, terbuat dari
kayu dan kawat yang
dibuatnya ketika masih dipenjara. Salib dan rantainya
itu bukan hanya menjadi memori
nostalgia semasa di penjara, tetapi juga
sebagai memoria
pasionis: tanda konkret yang terus-menerus mengingatkan
bahwa hanya belas kasih
Kristianilah yang dapat mengubah hati orang. Bukan
senjata, bukan ancaman,
bukan media. Salib ini merupakan seruan imannya
yang tak kunjung henti:
“Senantiasa mencinta!
Senantiasa mengampuni!
Hiduplah pada saat
sekarang ini untuk mewartakan Injil! Setiap saat haruslah
menjadi saat cinta bagi
Tuhan.”
Menurut ceritanya setelah
ia bebas, “Apakah Bapa Uskup dapat
mempersembahkan Misa
dalam penjara?” adalah pertanyaan yang sering
dilontarkan orang. Ia
menceritakan bahwa ia digiring ke penjara dengan
tangan kosong. Kemudian,
ia diberi ijin untuk menuliskan daftar kebutuhankebutuhan
paling pokok seperti
baju, pasta gigi, dan lain-lain. Dia menulis
“Kirimkan sedikit anggur sebagai obat buat
sakit perutku.” Di luar sana, dia
yakin umat pasti mengerti
apa yang dia maksudkan. Mereka mengirimkan
anggur Misa dalam sebuah
botol kecil dengan label `obat sakit perut’, beserta
beberapa hosti yang telah
dipecah-pecahkan menjadi potongan-potongan
kecil. Dia tidak akan
pernah dapat mengungkapkan kebahagiaannya: setiap
hari, dengan tiga tetes
anggur dan setetes air di telapak tangannya, dia
mempersembahkan Misa.
Dia merasakan bahwa
tahun-tahun sengsara di penjara berlalu dengan
sangat lambat. Ketika
menderita penghinaan dan merasa ditinggalkan, satusatunya
penolong dan
pengharapannya adalah cinta kasih Bunda Maria.
Para pencinta Bunda Maria
yang mengagumkan: St.Louis de Montfort, St.
Don Bosco, dan St.
Maximilian Kolbe - adalah sahabat-sahabatnya dalam
jalan pengharapan. Mereka
mengilhami dan memberinya kepercayaan tak
tergoyahkan akan cinta
kasih Maria, Ratu para Rasul dan para Martir.
Ia kerap mengucapkan doa
ini kepada Bunda Maria:
“Bunda Maria,
Bundaku, jika engkau tahu
bahwa aku sudah tidak berguna lagi bagi Gereja,
berilah aku rahmat untuk
mati di sini, di penjara, dan menyempurnakan
kurbanku. Jika engkau
tahu bahwa aku masih dapat berguna bagi Gereja,
berilah aku rahmat
kebebasan di salah satu hari pestamu.”
Dan, akhirnya pada
tanggal 21 November 1988, pada Pesta SP
Maria Dipersembahkan di
Bait Allah inilah, Bunda Maria telah menjawab
doanya.
Ia dibebaskan. Setelah
dibebaskan dari penjara, Uskup Agung Van
Thuân diusir keluar dari
negaranya. Ia diterima oleh Yohanes Paulus II
di Vatikan dan diserahi
tanggung jawab dalam “Dewan Kepausan untuk
Keadilan dan Perdamaian”,
yang menangani masalah-masalah seperti hutang
Dunia Ketiga. Pada
tanggal 24 Juni 1998, Thuân menjabat sebagai Presiden
Dewan Kepausan untuk
Keadilan dan Perdamaian.
Pada tanggal 21 Februari
2001, Uskup Agung Van Thuân diangkat
sebagai Kardinal oleh
Paus Yohanes Paulus II. Seminggu kemudian
Kementerian Luar Negeri
Viêt Nam memperlunak larangan-larangannya
dan mengijinkan Kardinal
memasuki tanah kelahirannya dengan hanya
mempergunakan prosedur
imigrasi rutin. Kardinal juga mendapatkan segala
hak yang biasa diberikan
kepada seorang warga negara asing.
Kardinal F.X. Nguyên Van
Thuân akhirnya wafat karena penyakit
kanker pada tanggal 16
September 2002 di sebuah klinik di Roma dalam
usia 74 tahun. Pemakaman
dilaksanakan pada tanggal 20 September 2002
pukul 17.30 di Vatikan.
Refleksi Teologis
Alis, Ayo Menulis
Alis. Itulah nama seorang
teman saya, seorang frater Jesuit yang sama-sama
pernah belajar filsafat
di Jakarta. “Alis” bisa berarti Ayo menulis. Di sinilah
juga, saya mengingat
sebuah pepatah kata kata itu menguap, tapi tulisan
abadi. Lewat figur
Kardinal F.X. Nguyên Van Thuân inilah, saya semakin
melihat betapa bergunanya
sebuah tulisan, sepenggal cerita nyata, sebuah
kisah untuk melawan lupa.
Kardinal F.X. Nguyên Van
Thuân persis melakukan apa yang dilakukan
Santo Paulus ketika ia
dipenjara: Ia menulis surat-surat kepada komunitaskomunitas
kristiani yang berbeda.
Sejak Oktober 1975, dengan perantaraan
seorang bocah kecil
berumur tujuh tahun bernama Quang, ia meminta tolong
agar ibunya Quang
menyediakan kalender-kalender bekas yang bisa dipakai
untuk menulis. Setiap
malam selama bulan Oktober hingga November
1975, ia menulis
pesan-pesan harapan dan iman bagi umat dari penjara.
Setiap pagi, Quang akan
datang mengambil lembaran-lembaran kertas berisi
pesan-pesan dan
membawanya pulang ke rumah. Saudara dan saudarinya
akan menyalin pesan-pesan
tersebut untuk dibagikan ke berbagai komunitas.
Begitulah buku “The
Road of Hope” ditulis. Buku tersebut kemudian telah
diterbitkan dalam
pelbagai bahasa: Vietnam, Inggris, Prancis, Italia, Jerman,
Spanyol, Korea, Cina juga
Indonesia (versi Indonesia: Jalan Pengharapan,
Penerbit Obor).
Pada tahun 1980, ketika
dia dipaksa tinggal di Giang Xa, Vietnam
Utara, dia juga menulis
bukunya yang kedua (sekali lagi pada waktu malam
dan secara
sembunyi-sembunyi): The Road of Hope in Light of God’s Word
and of Vatican Council II
(Jalan Pengharapan dalam Terang Sabda Tuhan dan
Konsili Vatikan II); dan kemudian
buku yang ketiga Pilgrims on the Road of
Hope (Ziarah di Jalan
Pengharapan).
Dalam Tahun Yubileum
2000, Paus Yohanes Paulus II pernah memintanya
untuk memberikan ceramah
dalam retret tahunan bagi Paus dan para anggota
Kuria Roma yang diadakan
pada tanggal 12-18 Maret 2000. Bapa Suci
meminta Uskup Agung Van
Thuân menceritakan dan menuliskan kesaksian
hidupnya sebagai seorang
yang patut disebut sebagai martir hidup, seorang
saksi iman. Ceramah
retretnya merupakan bagian dari e-mail harian yang
disebarluaskan oleh
Zenit, suatu kantor berita internasional. Melalui retret
inilah, dunia mulai
mengenal Van Thuân dan pesan-pesan pengharapannya.
Di kemudian hari,
ceramahnya diterbitkan dengan judul Testimony of Hope.
Judul ini amat tepat
sebab seluruh isi ceramahnya berbicara tentang sukacita
dan pengharapan, bahkan
dalam penderitaan dan dalam bayang-bayang
kematian. Kardinal Nguyen
menceritakan juga bagaimana pengalamannya
ketika ia harus
menghadapi penghukuman karena imannya. Imannya akan
Kristus, itulah
kekuatannya selama masa waktu tiga belas tahun tersebut.
Saya pribadi merasa lega
dan bahagia. Syukurlah, Kardinal Thuan mau
menulis dan berbagi
cerita. Syukurlah dia mau mengenang, menangis,
dan mungkin sesekali
terpana melihat kembali dan membagikan kisahnya
kepada yang lain. Kita
yang mendengarkan atau membaca ceritanya,
mungkin tidak percaya
bahwa hal itu sungguh-sungguh terjadi. Akan tetapi,
hal itu sungguh terjadi,
bukan? Apa yang dilakukannya dengan bercerita
dan membuat tulisan yang
menyentuh dimensi iman dan kehidupan, bukan
hanya supaya kita bisa
untuk melihat ke masa lalu, tetapi supaya kita juga
bisa untuk menatap dengan
penuh harapan ke masa depan, dan supaya kita
berjuang sehingga apa
yang membuat pedih dan menyayat hati di masa lalu
tidak lagi terulang di
masa depan.
Yah, Kardinal Thuan
mengajak kita belajar menengok ke masa lalu, tetapi
sekaligus juga berjuang
untuk masa depan! Masa depan yang lebih baik, di
mana setiap orang
dihargai sesuai dengan harkat dan martabatnya. Sigmund
Freud, seorang filsuf dan
pakar psiko-analisa pernah mengatakan bahwa
bercerita itu pada
hakikatnya sudah selalu memiliki efek penyembuhan, yakni
penyembuhan atas berbagai
trauma. Efek penyembuhan itu mempunyai
pengaruh besar terhadap
masa depan, yakni untuk mencegah keberulangan
suatu peristiwa yang
menyakitkan dan menyayat hati, seperti kejahatan
terhadap kemanusiaan yang
sudah memenuhi kalender sejarah kehidupan
manusia.
Di sinilah, Kardinal
Thuan jelas bercerita di banyak ruang kecil, setiap
pengalaman juga
pergulatan imannya ini, dan cerita ini sangat bisa jadi juga
menyembuhkan trauma yang
dia alami. Cerita ini juga bisa jadi ada yang akan
menetap di dalam hati dan
pikiran kita yang membacanya, bukan? Sayang
bukan, kalau setiap
pengalaman iman yang begitu indah hilang begitu saja
ditelan waktu yang terus
berjalan, tanpa sempat untuk dibagikan?
Ep i log
Tempus fugit.
Waktu itu berlalu.
(Kutipan dari karya
Vergilius, Georgicon III:284).
Dalam homili misa requiem
untuk Kardinal F.X. Nguyên Van Thuân, Paus
Yohanes Paulus II mengatakan:
“ementara kita
mengucapkan selamat berpisah
untuk terakhir kalinya
kepada bentara Injil Kristus yang gagah berani ini, kita
menghaturkan puji syukur
kepada Kristus yang melalui dia telah memberi kita
teladan gemilang akan
kepercayaan Kristiani hingga tingkat kemartiran …
Rahasianya adalah
kepenuhan iman akan Allah, yang disuburkan dengan doa
dan penderitaan yang ia
terima dengan cinta. Di penjara, ia merayakan Ekaristi
setiap hari dengan tiga
tetes anggur dan setetes air di telapak tangannya. Itulah
altarnya, katedralnya.
Tubuh Kristus adalah ‘obatnya’.” “Dalam pernyataan
rohaninya,” lanjut Paus, “sesudah
memohon pengampunan, kardinal
meyakinkan kami bahwa ia
akan terus mencintai semua orang. Ia pergi dengan
damai.”
Lewat penggalan khotbah
Paus di atas, kita boleh jadi balik bertanya,
“Bagaimana Thuân dapat
bertahan dari kengerian masa-masa di penjara?”
Jawabannya tampak dalam
pelbagai tulisannya, “Saya tidak mempunyai
perasaan tidak suka
terhadap siapa pun. Saya mempersembahkan segala
penderitaan ini kepada
St. Perawan Maria Tak Bercela dan St. Yusuf. Saya juga
ingin menyampaikan tiga
nasihat sederhana: cintailah Santa Perawan Maria
dan percayalah kepada St.
Yusuf; setialah kepada Gereja, dan hidup rukun serta
penuh belas kasihanlah
terhadap semua orang.”
Pelbagai jawaban lain
dikisahkannya dalam sebuah buku yang berjudul
Five Loaves and Two Fish
(versi
Indonesia: Lima Jelai Roti dan Dua Ekor
Ikan, Penerbit Obor),
yang terdiri dari pelbagai nasihat-nasihat rohaninya.
Tampak jelas di sini,
Uskup Van Thuân tidak saja mampu bertahan, tetapi
ia keluar dari penjara
sebagai seorang beriman dengan ketulusan hati yang
nyata, tenang dan
bijaksana serta penuh sukacita pengharapan.
Dalam bukunya The Way
of Hope, Thoughts of Light from a Prison Cell,
Thuân menulis: “Di
negeri kami ada pepatah yang mengatakan:
‘Satu hari dalam penjara sama artinya dengan seribu musim gugur dalam
kebebasan.’
Saya sendiri
mengalaminya. Ketika di penjara, setiap orang menantikan
kebebasan, setiap hari,
setiap menit. Kita harus hidup setiap hari, setiap
menit dari hidup kita
seolah-olah itulah saat terakhir kita.”
Tampaklah jelas, semakin ia menghargai hidup, semakin ia tampil seperti “Beta”.
Ya ... dia berani menderita karena Kristus juga pernah menderita, bukan?
Bagaimana
dengan kita sendiri?
“… Angin topan bertiup
menimpa pohon-pohon, menggugurkan daundaun
kering, dan merontokkan
ranting-ranting lapuk.
Akan tetapi, topan itu
tak dapat mencabut Salib Suci yang tertanam
dalam di perut bumi.
Jangan menyesali
hilangnya ranting-ranting itu.
Jika tidak ada angin pun
mereka pasti akan jatuh, dan jika mereka
tidak jatuh pun masih
tetap perlu dipangkas.
Jika engkau ingin
menghindari penderitaan, jangan berharap untuk
menjadi seorang kudus….”
(Fransiskus
Xaverius Nguyên Van Thuân)
0 komentar:
Posting Komentar