Ads 468x60px

Cogito Ergo Sum


Sepenggal nukilan bijak bestari dari seorang filsuf Prancis, Jean Jacques Rousseau, kebebasan ibarat buah, baik buat pencernaan. Tapi cuma lambung sehat yang mampu mencernanya, tepatlah dijadikan semacam menu pembuka dari buku padat bercorak hitam merah kental ini. Buku bertajuk “Matinya Toekang Kritik” (Agus Noor, 246 hal+xxxvi; 120 x 180 mm, 2006), ini sendiri menyajikan aneka teks monolog yang pernah dimainkan oleh Si Ramo (Raja Monolog), Butet Kartaredjasa (BK) dan satu monolog ‘Buket Hitam’ oleh Rieke Dyah Pitaloka alias si Oneng Bajuri dengan rajutan tekstur benang-benang kisah yang beragam warna yang mengajak kita mengingat Rene Descartes dengan aksiomanya yang tersohor : ”Cogito Ergo Sum- Aku berpikir maka aku ada.”

Di tengah minimnya ingatan sosial, buku ini terbit sebagai sebuah ‘Ruang Politis’ untuk terus menghidup-kembangkan pikira kritis, bahwa narasi dan ingatan para korban yang terlupakan (the subaltern) tak bisa dipendam selamanya. Dkl: buku ini hadir sebagai sebuah ‘moment of truth’: tidak melupakan (dan sekaligus mencatat pengalaman), karena benarlah kata Erich Kastner, dalam ‘In Memoriam Memoriae’: Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat, Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…


Mencandra prawacana yang disaji-olahkan penerbit, buku ini juga dimaksudkan agar intensitas pengalaman estetis penonton dan pelaku (yang kerap muncul di waktu pementasan), tidak lenyap-lantah begitu saja. Ditambah lagi, pelbagai teks monolog ini kaya akan dunia makna (’simbol’). Ada banyak heterogenitas profil ’tokoh’, (politisi, jenderal, presiden, menteri kesehatan, para korban kebijakan politik ala Oemar Bakrie atau para aktivis LSM yang muda dan bergairah). Ada banyak satire, parodis, ironi pun gado-gado metafora: local wisdom, yang kerap diambil dari dunia kehidupan harian, lebenswelt untuk melukis-kenangkan kegaduhan hidup yang terjadi. Hal ini tampak misalnya dalam …. “Menjadi politikus busuk itu sulit, .....saya harus pura-pura tuli-meski telinga saya sehat. Kan susah, punya pendengaran bagus, tapi harus terus menerus pura-pura tidak mendengar aspirasi rakyat” (Tuan Politikus Sowan Raja Jin, hal.151). Intinya, buku ini mengajak kita mengamini bahwa tindakan berpikir adalah wujud eksitensi kita yang hakiki sebagai animal rationale.

Di lain matra, dengan buku ini, demistifasi sosok para penguasa, seperti menemukan ‘bentuknya yang estetis’ dalam pelbagai teks monolog tersebut. Monolog ini memang kerap berupaya meniru suara dan gerak polah manusia, dari pejabat yang konglomerat sampai rakyat yang ada di kolong melarat. Persis, inilah sebuah mimesis, tiruan untuk melawan budaya meniru dalam masyarakat. Tampak misalnya, dalam ‘Amanat Calon Menteri Kesehatan’ (hal.6), lagu ‘Jagalah Hati’ Aa Gym digubah menjadi, “….Jagalah hidup-jangan kau sakiti, jagalah hidup-tenteram hati ini, Bila hidup kita sehat-semua terasa nikmat, Hidup tak tergantung obat-senanglah dunia akhirat, Tapi bila tidak sehat-batin terasa sekarat, Pikiran menjadi berat-kita jadi gampang nekat”

Jelasnya, buku ini mau menghidupkan lagi apa yang hidup dalam kehidupan harian, yang sudah lama layu, hambar, ’mati’, dan mengalami apa yang disebut Vaclav Havel sebagai the aesthetics of banality (pendangkalan makna). Buku ini naga-naganya dapat menjadi bantuan pembelajaran, semacam partner diskursus bagi suatu (oto) refleksi, seperti satire dalam ‘Pidato Terakhir Seorang Jenderal’, (hal.223)… “tidak baik seorang prajurit terlalu banyak bertanya, nanti malah bingung sendiri…”

Ignas Kleden, sosiolog, kolumnis, esais, sekaligus aktivis pro-dem, dengan polah gesit ikut memberi warna bernas dan cerdas pada kata pengantarnya yang memang selalu amanda et admiranda (dicintai dan dikagumi). Pak Ignas, begitu dia biasa dipanggil, membuka kunci pintu kata pengantarnya dengan penggalan tiga kata sarat makna, Dialog tentang Monolog”. Kritik bagi Ignas sendiri adalah sesuatu yang terbuka, gemuruh dan bergelombang seperti Laut Selatan yang chaos tapi tetap punya telos. Misalnya,…. “Lho, iya khan....mana ada tentara kita yang suka tersenyum...kecuali SBY…” (Buket Hitam, hal.201)

Dalam buku ini, kita juga dapat melihat bernasnya kritik tentang ruwet-rentengnya relasi ranah publik dan privat. Yang privat dijadikan bahan pembicaraan publik, sementara urusan publik dicarikan penyelesaiannya secara privat, seperti debat para presiden Indonesia tentang ayam panggang atau para caleg yang malahan konsultasi ke juru kunci kuburan. Bisa jadi, buku ini adalah usaha gerilya melawan klise massal. Wajahnya tidak genit, isinya pun bukan gosip apalagi fiktif seperti dongeng Cinderella.

Sebuah keutamaan yang patut dirayakan juga, buku ini ditutup dengan sebuah epilog ‘Harmonis itu Tidak Baik’, racikan ketua ‘PPT-Partai Panji Tengkorak’, Seno Gumira Ajidarma (SGA). Sebuah penemuan SGA, buku ini muncul sebagai kritik, dan dunia bertambah sempurna karena kontribusi kritik. Jelasnya, kritik itu mutlak perlu bagi zamannya. Di sinilah, ingatan sosial bisa aktual dihidupkan melalui narasi sebuah teks seni, di mana seni sebagai Zwischenraum atau ruang antara. Buku ini jelas memancing rasa geli, bukan karena melulu aspek humornya, tapi karena dia melakukan distorsi terhadap logika dan common sense….“Mahasiswa kok tidak heroik ya matinya…(Matinya Toekang Kritik, hal.140)

Satu hal menarik lainnya adalah tampaknya pergeseran cerdas suatu entitas yang serius dan tekstual ke suatu entitas yang sederhana dan kontekstual, umpamanya: “….Nietzsche bilang manusia itu makhluk yang will to power, tapi saya kira itu termasuk juga will to affair…” (Negeri Para Peselingkuh, hal.39), di sini tampak bahwa seni adalah semacam ruang luas ekspresi dalam civic education, proses pembelajaran massa.

Tapi, memang benar, ’tak ada gading yang tak retak’. Di balik segala macam konstelasi nilai positif yang bisa terlihat padat, sebetulnya ada juga hal-hal yang perlu dikritik dalam buku yang sarat kritik ini. Walaupun sederhana dan tidak terlalu ’sign’ificant, adanya beberapa salah kata dalam penulisan dan tampilan huruf yang monoton, membuat buku ini terkesan terburu-buru mengejar momentum waktu pentas. Kedua, beberapa naskah monolog yang tercantum dalam buku ini adalah sebuah teks yang terkait paut dengan konteks acara di mana monolog itu dihadirkan. Karena itu, ketika kita membaca teks ini, boleh jadi kita mesti memiliki sejumlah refren peristiwa yang sama untuk lebih bisa memahami konteksnya. Seperti, ”..milih calon presiden itu kayak milih iklan sabun, mana yang cocok buat kita...banyak lagu dan slogan....(Naskah Pensiunan, hal.174).     

Sebagai epilog, saya ingat cerita profesor dari Harvard, Harvey Cox (Secular City), bahwa pernah suatu sore ketika sedang duduk santai di taman, Agustinus muda yang kemudian diangkat menjadi santo pelindung kota Milan, mendengar suara “Tolle et legge” (Ambil dan bacalah). Maka, kini saya menyarankan nasehat yang sama untuk anda: Tolle et legge!!       

0 komentar:

Posting Komentar