“Paus” Yohana
PROLOG
Paus Yohana adalah nama dari seorang paus perempuan Gereja Katolik Roma, yang diduga
menjabat sejak tahun 853 hingga 855, berdasarkan
sebuah legenda yang tersebar pada Abad Pertengahan. Paus Yohana menurut kebanyakan sejarawan kristiani adalah tokoh fiktif, yang mungkin lahir sebagai sebuah
satire anti kepausan pada waktu itu.
SKETSA PROFIL
Peristiwa
Paus Yohana diperkirakan terjadi di antara masa kepausan Paus Benediktus III dan Paus Nikolas I pada tahun 850-an. Kisah Paus Yohana sendiri dikenal terutama berasal dari seorang penulis kronik Polandia pada abad ke-13 Martin dari Opava (Jerman: Martin von Troppau, juga dikenal
sebagai Martin Polonus, "Martin si Galah"). Dalam karyanya, “Chronicon Pontificum et Imperatum”, ia menulis:
"John
Anglicus, kelahiran Mainz, adalah
paus selama dua tahun, tujuh bulan, dan empat hari, dan meninggal di Roma, yang
setelahnya jabatan kepausan lowong selama satu bulan. Dinyatakan bahwa John ini
adalah seorang perempuan, yang sebagai seorang gadis dibawa ke Athena dengan
berpakaian laki-laki oleh seorang kekasihnya. Di sana ia mempelajari beragam
cabang pengetahuan, hingga kepintarannya tidak ada yang dapat menandingi, dan
setelahnya di Roma, ia
mengajar kesenian bebas dan di antara para murid dan pendengarnya adalah
termasuk para seniman besar. Hidup dan ajarannya sangat dihargai di kota itu,
dan ia terpilih sebagai paus. Akan tetapi, ketika menjabat, ia hamil. Tanpa
menyadari kapan waktu tepatnya kelahiran akan terjadi, ia melahirkan ketika
sedang dalam sebuah prosesi dari Basilika Santo Petrus menuju Lateran, di sebuah
jalan kecil yang sempit di antara Colosseum dan gereja St Clement. Setelah
kematiannya, ia dimakamkan di tempat yang sama. Para Paus setelahnya tidak
pernah melalui jalan itu lagi dan dipercaya bahwa hal ini disebabkan oleh
karena kejadian itu. Namanya pun tidak dimasukkan dalam daftar para Paus yang
kudus, dikarenakan ia adalah seorang perempuan dan karena kekacauan itu." (Martin von Troppau, “Chronicon Pontificum et Imperatum”).
Martin von Troppau adalah seorang
imam dari abad
ke-13. Ia menceritakan bahwa Yohana (Joan) adalah seorang wanita Inggris yang
menggunakan pakaian pria dan mempunyai nama samaran Yohanes dari Mainz sebelum
berangkat ke Athena. Di sana ia mengejutkan para cendekiawan dengan kemampuan
akademisnya yang belum pernah ada sebelumnya.
Yohana
kemudian berpindah
ke Roma untuk mengajar sains dan menarik banyak perhatian sehingga ia pada
akhirnya terpilih
menjadi paus
pada tahun 855 Masehi. Ia kemudian hamil akibat hubungannya dengan dengan salah
seorang pembantunya dan berakhir dengan terungkapnya identitas kewanitaan Joan,
ketika melahirkan tanpa sengaja dalam sebuah prosesi kepausan di
tengah kota. Paus Yohana wafat seketika, meskipun tidak
diketahui tepatnya apakah akibat melahirkan atau akibat lemparan batu.
Sumber
dari legenda ini tidak jelas. Beberapa sumber mengatakan bahwa legenda ini
muncul dari cercaan sinis terhadap kelemahan Paus Yohanes VIII yang terlalu lunak dalam menghadapi invansi bangsa
lain pada abad ke-9.
Sumber-sumber lain berasal dari penemuan monumen dari seorang wanita tak
dikenal di pingggir jalan dekat Koloseum. Meski
banyak versi dari cerita ini,
para pelayat kadang tetap
memberikan penghormatan, dan mengenai mengapa prosesi kepausan menghindari
lokasi ini, banyak pihak yang beralasan bahwa jalan di lokasi tersebut terlalu
sempit.
Berbagai
versi kisah tentang Paus Yohana ini juga pernah dikatakan muncul dari
sumber-sumber yang lebih dahulu dari Martin von Troppau ini. Salah satu di antaranya yang paling umum disebut adalah dari Anastasius Bibliothecarius, seorang penyusun “Liber Pontificalis”, yang kemungkinan sejaman dengan Paus Yohana ini. Namun demikian, kisah ini tidak
ditemukan dalam manuskrip asli dari Anastasius
melainkan hanya dalam sebuah salinannya. Manuskrip ini sendiri terletak di Perpustakaan Vatikan, dan berisikan sebuah bagian yang disisipkan sebagai sebuah
catatan kaki di salah satu halaman, tidak berurutan, dengan tulisan tangan yang
berbeda serta catatan kaki yang pasti
bertanggalkan dari masa setelah Martin von Trappau. Dengan kata lain,
"saksi" akan sang paus perempuan ini sebenarnya fiktif.
Ia menulis dengan dasar cerita Martin von Troppau.
Hal yang
sama juga berlaku dalam karya Marianus Scotus, “Chronicle of the Popes” (Kisah Para Paus), sebuah naskah yang ditulis pada abad ke-11. Naskah-naskahnya menyebutkan secara singkat mengenai seorang paus perempuan bernama Yohana (sumber paling kuno yang menyebutkan nama ini), tapi
semua naskah ini, sekali lagi, merupakan karya-karya yang lebih baru ketimbang
karya Martin von Troppau. Legenda tentang paus perempuan juga disebutkan dalam buku “Sign of the Cross” yang ditulis Chris Kuzneski. Dalam buku ini dikisahkan bahwa Paus Yohana
meninggal saat melahirkan di jalan kota Roma.
Sebenarnya, hanya ada
satu sumber mengenai paus perempuan yang mendahului karya Martin von Troppau, yakni
dalam tulisan Jean de Mailly. Ia menulis sedikit lebih awal pada abad ke-13. Dalam “Chronica Universalis Mettensis”, ia menyebutkan bahwa “skandal” itu terjadi
bukan pada tahun 850-an, tapi pada tahun 1099:
"Pertanyaan.
Mengenai seorang Paus
perempuan, yang tidak termasuk dalam daftar para Paus atau Uskup Roma karena ia
adalah seorang perempuan yang menyamarkan dirinya sebagai seorang lelaki dan
menjadi, berkat karakter dan bakatnya, seorang pejabat Kuria, kemudian menjadi
seorang Kardinal, dan akhirnya menjadi Paus. Suatu hari, ketika sedang
menunggangi seekor kuda, ia melahirkan seorang anak. Segera, atas hukum Roma,
ia diikatkan ke seekor kuda, diseret dan dirajam oleh sekelompok orang. Ia
kemudian dikuburkan di tempat ia tewas, dan di tempat itu dituliskan: "Petre, Pater Patrum, Papisse Prodito Partum"
(Oh Petrus, Bapa di atas para Bapa, Menyingkapkan paus perempuan
yang melahirkan itu). Pada saat yang sama, puasa empat hari yang disebut juga
"puasa paus perempuan" untuk pertama kalinya diadakan." (Jean de Mailly, Chronica Universalis Mettensis).
Legenda tentang paus perempuan ini sendiri tersebar luas sejak pertengahan abad ke-13. Bartolomeo Platina, seorang sarjana yang menjadi prefek Perpustakaan Vatikan, menuliskan buku “Vitae pontificum platinae historici liber de vita Christi ac omnium pontificum qui hactenus ducenti fuere et XX” pada tahun 1479 di bawah otoritas Paus Siktus IV. Buku itu berisikan sebuah catatan mengenai sang paus perempuan, sebagai berikut:
"Paus
Yohanes VIII: John, seorang keturunan Inggris, lahir di Mentz (Mainz) dan
diceritakan datang di Kepausan dengan niat jahat; dengan menyamarkan dirinya
menjadi seorang laki-laki, padahal ia adalah seorang perempuan, ia pergi ketika
muda bersama kekasihnya, seorang lelaki terpelajar, ke Athena, dan mengalami kemajuan dalam pelajarannya di bawah
para cendekia di sana, kemudian pergi ke Roma, di mana tidak banyak yang
sepandai dirinya, hanya sedikit yang melampaui dirinya, bahkan dalam
pengetahuan akan Kitab Suci; dan karena bakatnya dalam bacaan dan perdebatan,
ia mendapatkan respek yang besar dan otoritas, sehingga pada waktu kematian
[Paus] Leo [IV] (sebagaimana menurut Martin) ia terpilih sebagai Paus oleh
suara [rakyat] banyak. Ketika ia sedang dalam perjalanan menuju Gereja Lateran
di antara Panggung Colossean dan St. Clement, ia mengalami
kesakitan hebat, dan ia meninggal di tempat itu, setelah bertahta selama dua
tahun, satu bulan, dan empat hari, dan dikuburkan di sana tanpa kemegahan. Kisah
ini dikisahkan secara vulgar, tapi oleh para pengarang yang meragukan dan tak
jelas, dan karenanya saya telah menceritakannya secara singkat saja, ketimbang
saya sekedar mengakui apa yang telah dibicarakan secara meluas; saya malah
bersalah terhadap seluruh dunia; walaupun sudah pasti, apa yang saya ceritakan
ini sudah bukan sesuatu yang luar biasa lagi." (Bartolomeo Platina, “Vitae pontificum platinae historici
liber de vita Christi ac omnium pontificum qui hactenus ducenti fuere et XX”)
Pada abad ke-14, Giovanni Boccaccio menuliskan kembali tentang sang paus perempuan dalam “De mulieribus claris”. Kemudian Adam dari Usk (1404) dalam “Chronicon” menyebutkan nama sang paus perempuan dengan nama Agnes. Ia lebih jauh menyebutkan sebuah patung di Roma yang merupakan gambaran sang Paus. Mengenai patung ini tidak pernah dibicarakan penulis mana pun sebelumnya, dan mungkin hanya sekedar asumsi saja.
Sebuah buku
pedoman bagi para peziarah ke Roma, “Mirabilia
Urbis Romae” edisi akhir abad ke-14, menuliskan
bahwa jenazah sang paus perempuan telah dikuburkan di
Basilika Santo Petrus. Pada masa yang sama, serangkaian patung para paus yang telah meninggal dibuat untuk Duomo di Siena. Dikatakan oleh beberapa sumber yang kurang jelas bahwasannya di antara patung-patung para paus itu, terdapat patung sang paus perempuan, yang dilabeli "Johannes VIII, Foemina de Anglia" dan diletakkan di
antara Leo IV dan Benediktus III.
Ada beberapa
legenda lain yang dikaitkan dengan legenda paus perempuan ini. Pada tahun 1290-an, Robert dari Uzès, seorang anggota Ordo Dominikan, menceritakan sebuah “penglihatan” di mana ia
melihat sebuah kursi yang men nyatakan bahwa sang Paus
terbukti adalah seorang laki-laki. Kemudian, pada abad
ke-14, dipercaya bahwa dua kursi marmer kuno, yang disebut “sedia stercoraria”, yang digunakan dalam pentahtaan para paus baru di Basilika Yohanes Lateran memiliki lubang di masing-masing kursinya yang
digunakan untuk memastikan jenis kelamin paus yang baru terpilih. Diceritakan bahwa Paus harus
duduk di salah satu kursi tersebut telanjang, dan sekelompok kardinal harus memastikan ke lubang itu melalui bawah kursi,
dan setelahnya menyatakan, "Testiculos habet et bene pendentes"
— "Ia memiliki testis, yang bergerak dengan baik." Praktek yang sangat aneh ini dilakukan hingga akhir abad ke-15, yang
diadakan sebagai respon terhadap “skandal” paus perempuan pada abad ke-9. Yang pasti, pelbagai cerita legenda ini dianggap sebagai kebohongan
dan fiktif belaka.
Pada tahun 1601, Paus Klemens VIII mengumumkan bahwa legenda paus perempuan itu adalah cerita bohong. Patung sang paus perempuan di Duomo di Siena yang telah ada sejak tahun 1400-an dan dicatat oleh
para pengunjung, telah dihancurkan atau dipahat dan dilabel ulang, digantikan
dengan sebuah patung Paus Zakarias (Stanford 1999; J.N.D. Kelly, Oxford Dictionary of
Popes).
Sebuah
legenda lain menyatakan bahwa (Paus) Yohana adalah seorang putri dari
salah satu paus pendahulunya dan mendapatkan
penglihatan dari Tuhan bahwa ia harus mengikuti jejak ayahnya dengan menjadi seorang paus. Legenda lainnya mengatakan bahwa salah satu jalan
di Italia dinamai menurut namanya dan jenazahnya dikuburkan di sana. Dalam
beberapa legenda lain lagi, Paus Yohana tidak dibunuh setelah
ditemukan sebagai perempuan. Ia diberhentikan, dan menghabiskan hidupnya dalam
sebuah biara terpencil, dan putranya dijadikan sebagai Uskup Ostia.
Bahkan pada abad ke-14,
figur Paus Yohana ini kadang dianggap
sebagai semacam figur "orang kudus ". Muncul berbagai cerita mengenai kemunculan dirinya
di beberapa tempat dan melakukan keajaiban. Franceso Petrarch (1304-1374)
menulis dalam “Chronica de le Vitae de Pontefici et Imperadori Romani” bahwa setelah Paus Yohana diketahui ternyata adalah seorang perempuan:
"...di
Brescia, turunlah
hujan darah selama tiga hari dan tiga malam. Di Perancis, muncullah belalang-belalang yang mengagumkan dengan
enam sayap dan gigi yang sangat kuat. Mereka terbang dengan ajaib di udara, dan
semuanya menghilang di Lautan Inggris. Tubuh keemasan mereka ditolak oleh
gelombang laut dan merusak udara, sehingga banyak orang tewas." (Francesco Petrarch, “Chronica de le Vite de Pontefici et Imperadori Romani”).
Pada tahun 1675, sebuah buku dalam bahasa Inggris terbit dengan judul, “Hadiah bagi seorang Paus: Kehidupan dan Kematian Paus Yohana”. Buku ini menggambarkan di antaranya kisah ketika Paus Yohana melahirkan seorang anak laki-laki di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Hal ini juga disertai dengan sebuah lukisan yang menggambarkan seorang bayi yang tampak keheranan keluar dari jubah sang Paus. Dalam buku itu juga dinyatakan "Oleh Seorang yang Mencintai Kebenaran dan Menolak Infabilitas Manusia." Dalam kata pengantarnya dinyatakan bahwa penulis buku itu telah bertahun-tahun meninggal pada waktu buku itu terbit.
REFLEKSI
TEOLOGIS
Yohana
: a’YO’ ‘HA’dirkan mak’NA’
Beberapa
figur historis kerap
menggetarkan rantai-rantai Vatikan, seperti Paus Yohana ini. Paus Yohana adalah seorang perempuan yang sekarang seakan
menjadi figur dalam
pelbagai cerita rakyat,
tetapi kisahnya bisa jadi menghantui
kepausan hingga sekarang. Mitos
keberadaan Paus Yohana yang berjenis kelamin perempuan
memang kontroversial. Sebab itulah Gereja Katolik Roma menolak membahas
mengenai isu yang terkesan mengejar sebuah sensasi dan penuh
kontroversi ini.
Di lain matra, di tengah konteks masyarakat modern yang kerap haus pelbagai sensasi dan kontroversi fiksi, kisah Paus Yohana justru diangkat ke layar lebar, sama seperti “The DaVinci Code”, “The Last Temptation Of Christ” serta “Angels and Demons”. Film tentang paus perempuan yang diberi judul, “La Papessa” ini dibuat berdasarkan novel karya Donna Woolfolk Cross yang laris manis di Jerman. Para sineasnya bahkan melabeli film ini dengan pernyataan “sebuah kisah nyata”. Adapun dalam film ini, figur Paus Yohana akan diperankan oleh aktris Jerman Johanna Wokalek. Sementara pemain lainnya juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebut saja: John Goodman, David Wenham, dan Ian Glen, yang merupakan para aktor Hollywood yang cukup terkenal.
Yah, meskipun pihak Vatikan tidak terlalu mengindahkan perihal mitos kontroversial tentang paus perempuan ini, industri “pop culture” tak melepaskannya begitu saja. Selain hadirnya film ““La Papessa” yang berkisah tentang paus perempuan di atas, Lawrence Durrell juga menuliskan sebuah novel mengenai Paus Yohana. Kemudian Caryl Churchill juga pernah memerankannya dalam sebuah drama teater.
Saat
ini, baik Gereja Katolik
maupun
Kristen Protestan
memang menegaskan
dan menyangkal akan
adanya figur Paus
Yohana tersebut. Ketiadaan catatan kisah
tentang Paus Yohana selama kurang lebih 400 tahun,
mengindikasikan bahwa cerita tentang Paus Yohana adalah fiksi belaka. Tapi, satu hal
sederhana yang bisa kita refleksikan, bahwasannya kebanyakan sumber kisah mengenai Paus
Yohana ini memang terdapat dari rekaman sejarah selama
“Dark Ages” (Jaman Kegelapan). Memang, tak ada yang mengetahui
kebenaran hakiki dari kisah ini, meski ada beberapa catatan yang menggambarkannya dengan begitu detail. Tapi mengapa
legenda ini muncul dan menjadi populer di antara banyak orang? Bisa jadi
sebagai sebuah kritik halus dari pelbagai kelompok terhadap keberadaan Tahta
Suci, yang kadang juga tidak selalu suci, bukan? Nah, lewat pembelajaran
sederhana tentang pelbagai legenda Paus Yohana ini, Gereja semakin diajak untuk
berani juga hadir secara lebih berdaya guna sekaligus berdaya makna bagi semua
lapisan masyarakat di tengah jamannya: A”YO”
“HA”dirkan mak”NA”!
EPILOG
Mengacu Karl Rahner, Gereja akan hadir secara nyata dan semakin bermakna kalau membaharui diri terus menerus (a church in permanent
genesis). Maka, satu harapan banyak orang
sekarang, Gereja mesti juga berwajah sosial, dan tidak melulu ritual. Tapi, de facto, kerap menyampaikan ajaran
sosial diantara umat Katolik, terlebih di Indonesia,
sepintas lalu rasanya seperti melaksanakan yang ditulis Yohanes: “berseru-seru di padang gurun” (Yoh 1:23).
Mengapa?[1] Bukankah di sekitar kita api dan banjir kerap datang dan pergi,
membakar pun menghanyutkan harta, tubuh dan sejarah sosial? Bukankah di sekitar kita,
nyata jerit kaum tertindas yang tak bisa menjerit? Bukankah di sekitar kita:
siapa lemah-mudah disepak? Bukankah juga di sekitar kita, entah berapa sudah rumah ditebang, nyawa
orang ditebas, harga diri orang ditembak, hak asasi warga diterjang, tanpa
banyak yang berkomentar? Bukankah di sekitar kita tampak penjarahan pun permainan kotor elit
keprabon, bunglonisasi kriminalitas pun sandiwara politik? Inilah saat ketika uang dan waktu
menjadi opium masyarakat yang memacu eskalasi kegelisahan massa. Inilah saat ketika pasar dirancang hanya untuk mereka yang mampu, sementara mereka yang ada di luar jangkauan pasar, kerap
menjadi sasaran penertiban dan kontrol
sosial.
Gereja bisa berbuat apa? Inilah saat
Gereja bisa menjadi semacam “komunitas kontras”, yang berjuang “menghorisontalkan
kerajaan Allah”! Bagaimana cara nyatanya? Mari kita pikirkan. Ini pekerjaan rumah kita bersama. Yang
pasti, tepatlah sebuah pameo lama, “ecclesia semper reformanda - Gereja
selalu harus memperbaharui
diri!”
ASPIRASI
“Siapa lupa akan apa
yang indah,
Siapa lupa akan apa yang jelek,
dia akan jadi bodoh.
(Erich Kastner, In Memoriam Memoriae)
[1]
Bagi saya, adapun beberapa faktor kemungkinannya, yakni: a. Performa Gereja Katolik Indonesia
cenderung ibadat minded daripada
penampilan Gereja sebagai gerakan sosial. b. Warga Katolik yang berkecukupan
(baca: mapan) tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang benar-benar
menderita. c.Ada orang Katolik yang begitu sadar akan kekecilannya. “Kami cuma
minoritas”, sehingga status minoritas itu banyak dijadikan alasan untuk undoing’.
d. Karena merasa kecil, maka tergoda untuk cari aman.
0 komentar:
Posting Komentar