Prolog
Di Tanah Merah Jakarta Utara, persis di
belakang bekas lokalisasi Kramat Tunggak yang sekarang menjadi lokasi Islamic
Centre, ada sebuah tempat pendampingan anak anak miskin. “Magdalena Group” namanya.
Di tempat inilah, saya berkenalan dengan beberapa volunteer, salah
satunya bernama Petrus, seorang mudika yang juga anggota Legio Maria. “Petrus” sendiri
bisa berarti pejuang Kristus. Kita juga akan belajar bagaimana bisa menjadi pejuang
Kristus di tengah zaman ini. Di sinilah, kita akan mencoba mengenal sesosok
imam diosesan dari Prancis. Pater Jean Baptiste Berthier namanya. Dialah bapak
pendiri Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF).
Se buah Skets a Prof i l
“Iman menjadi semakin
lemah di negeri-negeri yang sampai kini Katolik,
ketidakpedulian memasuki
paroki yang dulu religius; di mana-mana
serapah, rasa tidak
hormat terhadap hari Minggu, tanpa menyebut
kejahatan melawan kodrat
yang menjadi banyak. Marilah kita menyetop
kecenderungan ke arah
kehancuran yang mengancam masyarakat yang
runtuh, dan untuk itu
kita memerlukan orang suci. Ah, andaikata 30 tahun
yang lalu di setiap
paroki Prancis ada orang-orang seperti Vincentius a Paulo,
Vianney si pastor dari
Ars, maka pasti kita tidak sampai pada keadaan
sekarang. Barangkali
lebih sukar merebut kembali wilayah yang sudah hilang
daripada menjaganya
sebelumnya; tetapi tidak mustahil juga; sebab Allah
telah membuat para bangsa
terbuka bagi penyembuhan. Para rasul telah
menang atas filsafat yang
angkuh dan atas kebusukan kafir; bukan musuh
yang samakah yang harus
kita perangi? Marilah kita menggunakan senjata
yang sama, marilah kita
hidup suci, dan kita akan memperoleh kemenangan
yang sama. Kesucian kita
akan menutup mulut para musuh kita.” (Jean
Berthier, Le Sacerdoce …,
La Bonne Presse, 1898, p. 142, No 288).
Penggalan tulisan di atas adalah sebuah
ajakan rohani dari seorang imam.
Jean Baptiste Berthier nama lengkapnya. Berthier
panggilannya. Ia lahir di
desa dekat Bas-Dauphine, Prancis Tenggara,
pada 24 Februari 1840. Tahun
1853, ia masuk seminari menengah di La
Cote-Saint Andre dan pada 1857
melanjutkan studi filsafat dan teologi di
Seminari Tinggi. Ia ditahbiskan
menjadi imam pada 20 September 1862 di kapel
Seminari Tinggi Keuskupan
Grenoble.
Ketika Berthier berumur dua belas tahun,
Pastor Paroki Chatonnay
menerima dia dan beberapa temannya untuk
belajar bahasa Latin di
pastoran. Berthier banyak belajar, dan kerap
tidak suka mengambil bagian
dalam olah raga dan permainan. Seluruh waktu
yang tidak diperlukannya
untuk belajar, diisi dengan menolong orang
tuanya di rumah dan di ladang.
Kerajinan seperti itu amat diperlukannya
ketika ia diterima sebagai murid
Seminari Menengah di La Côte-Saint-André. Di
seminari inilah, ia setia
mempelajari bahan studi yang wajib, tapi ia
juga tak lupa mengembangkan
kebiasaan untuk membaca sebanyak mungkin. Ia
juga rajin mengumpulkan
kutipan, naskah, khotbah, contoh-contoh
ilustrasi yang kiranya nanti bisa
menolongnya dalam karya sebagai imam. Ia
juga berusaha mengerti bahkan
menghafal sebagian besar dari Perjanjian
Baru. Di Grave, Belanda, ia pernah
berkata kepada para muridnya, “Sejak awal
masa studiku di seminari tinggi,
aku tidak mengerti
bagaimana seorang imam bisa menyia-nyiakan waktu, biar
pun hanya satu menit,
tanpa membuat sesuatu.”
Seiring dengan perkembangan waktu karena
kurangnya tenaga untuk
daerah misi, pada 27 September 1895 di Grave
(negeri Belanda), dia
mendirikan Congregatio Misionariorum a
Sacra Familia (MSF), dengan tujuan
utama mengirimkan sebanyak mungkin
misionaris ke tanah misi. Tampaklah,
Berthier adalah contoh pribadi yang begitu
antusias menanggapi pesan yang
disampaikan Bunda Maria La Salette. “Baiklah
anak-anakku sampaikanlah
warta ini kepada seluruh
umatku.” Dengan
kata lain, ia mendirikan tarekat
MSF supaya semua orang bisa menerima pesan
Bunda Maria dan mengalami
pertobatan. Karena itu pulalah, kemudian
Bunda Maria La Salette dijadikan
sebagai pelindung Tarekat MSF. Seorang
rekannya sendiri, Pater Besson,
pernah berkata, “Kami telah mendapat
banyak misionaris yang baik, tetapi
mereka bukan Pater
Berthier! Dialah sungguh penjelma dari seorang misionaris
sejati.”
MSF (Misionaris Keluarga Kudus) sendiri
adalah salah satu kongregasi
imam di Gereja Katolik Roma, dan mendapat
pengakuan dari Paus Leo XIII
pada tahun 1911. Mereka berkarya di benua
Eropa (Jerman, Brasil, Spanyol,
Italia, Polandia, Norwegia), benua Amerika
dan Asia (Indonesia dan
Filipina). Di Indonesia sendiri terdapat dua
provinsi (pusat) MSF: Jawa dan
Kalimantan. Kongregasi MSF sendiri mulai
berkarya Indonesia pada tahun
1926 (di Kalimantan) dan pada tahun 1932 (di
Jawa). Dalam menghayati
hidup dan karya-karya kerasulan, para
anggota MSF meneladan semangat
atau spiritualitas Keluarga Kudus Nazareth.
Kharisma (cita-cita) Kongregasi MSF yang
didirikan oleh Berthier,
dimekar-kembangkan dalam tiga macam
kerasulan khusus. Pertama,
Kerasulan Misioner: karya sebagai misionaris
di dalam dan luar negeri.
Kedua, Kerasulan Panggilan:
karya di bidang promosi panggilan, pembinaan
dan pendidikan imam religius, karena
baginya, “Tanpa imam, tanpa religius,
ada kekurangan garam
dunia, dan semuanya akan busuk, dan neraka menerima
banyak penghuni.” (Messager de la Sainte
Famille, 1908, hlm 539). Ketiga,
Kerasulan Keluarga: karya dalam bidang
pastoral pendampingan keluarga,
baik teritorial (paroki) maupun kategorial.
Bicara soal Berthier, tak bisa lepas juga
dari sosoknya sebagai seorang
pengkhotbah dan pengarang. Sebagai
pengkhotbah, ada baiknya kita
mengutip sebuah pesan bijak-bestarinya, “Kita
harus berkhotbah secara
sederhana, kita harus
berkhotbah tentang Yesus Kristus dan bukan tentang diri
kita, begitulah kita
menjadi pengkhotbah yang fasih.” Masih terkait erat dengan
khotbah-khotbahnya, ada sebuah bukunya, Le
prêtre dans le ministère de la
prédication (1883) yang sangat
sukses.
Dalam buku itu, selain aturan-aturan praktis
untuk berkhotbah, untuk melayani sakramen-sakramen dan untuk mengatur sebuah
paroki, Jean Berthier menyajikan kumpulan-kumpulan khotbah yang sederhana dan praktis. Ia
menyarankan supaya khotbah itu
disesuaikan dengan konteks setempat, sebab “kamu
bisa menimba inspirasi
dari para pengarang besar,
tetapi harus dibuat masuk akal. Dapat juga dipakai
kutipan-kutipan indah
dari para pengkhotbah besar, seperti misalnya dari
Santo Leonardus, tetapi
di mulutmu, kutipan itu menjadi bahan tertawaan saja
karena kamu tidak mempunyai
kewibawaan dan suara mereka, dan juga irama
mereka. Semuanya harus
disesuaikan dan diselaraskan.” (De Lombaerde, hlm
210; lihat juga Jean Berthier, Le prêtre…
1900, hlm 24, No. 47).
Berkhotbah secara praktis, bagi Berthier
adalah segi lain dari
kesederhanaan. Dalam apa yang telah
dilaksanakannya, ia didorong oleh
keinginan untuk menolong orang lain, untuk
memberikan kepada para pastor
alat-alat yang berguna, dan kepada umat
nasihat-nasihat yang praktis.
Sebagai pengarang, Bethier juga menyadari bahwa
menulis itu adalah
sarana karya pastoral yang sangat penting.
Sebenarnya karangan pertamanya
muncul tidak lama setelah ia masuk ke dalam
karya pastoral (1866). Dalam
karya pastoralnya, kesehatannya yang kurang
baik tidak mengizinkannya
menangani karya pastoral aktif, kecuali
menulis. Di rumah bangsawan De
Chabons Bresson, di mana ia menjadi kapelan
serta pendidik anak-anak
bangsawan itu, ia mempunyai waktu banyak
untuk menulis. Di sinilah, ia
menghasilkan beberapa buku. Beberapa di
antaranya mempunyai ratusan
halaman, seperti “Kunci Surga”. Ada juga
yang hanya beberapa puluh
halaman, seperti “Metode Pendampingan Orang
Menjelang Ajalnya”.
Sebagai mahkota semua karya tulis Berthier
adalah buku: “Devosi dan Usaha
Meniru Keluarga Kudus” yang dipublikasikan pada
tahun 1907. Inilah
buku terakhir yang diedarkannya. Dalam buku
ini, ia menegas-tuntaskan
bahwa “Keluarga Kudus Nazaret” adalah potret
relasi pribadi yang paling
otentik dengan Allah, serta contoh hidup
sosial dalam dimensi terkecilnya,
yaitu dalam keluarga. Sepakat dengan Paus
Leo XIII, yang untuk pertama
kalinya menganjurkan kepada umat beriman
untuk meneladan Keluarga
Kudus, Berthier dengan pelbagai karangannya
juga menuju kepada satu
tujuan, yaitu membawa keselamatan kepada
dunia dengan meneladan hidup
Keluarga Kudus Nazaret.
Unsur terpenting mengapa Berthier memilih
nama Keluarga Kudus
sebagai nama kelompok misonaris yang
didirikannya adalah karena dalam
Keluarga Kudus, Yesus telah dididik dan
dipersiapkan untuk tugasnya
sebagai Imam Agung. Dalam Keluarga Kudus
sendiri, hiduplah ketiga
pribadi suci yang pernah ada di dunia ini;
dan di sinilah segala kebajikan
dihayati dalam bentuk yang paling sempurna.
Mengacu padu pada bukunya
“Le culte et l’Imitation de la Sainte
Famille”, setelah bagian pertama tentang
devosi terhadap Keluarga Kudus, menyusul
bagian kedua yang tersusun
rukun seperti katalog kebajikan: tiap-tiap
kebajikan digambarkan telah
dilaksanakan oleh Keluarga Kudus, dan pantas
untuk ditiru. Baginya jelas,
Keluarga Kudus dapat dipandang sebagai suri
teladan dari segala kebajikan,
seperti: kesederhanaan, kerendahan hati,
kerajinan, kerja sama, semangat
berdoa, serta teladan hidup kesucian.
Pada minggu-minggu terakhir sebelum
kematiannya, Berthier sangat
lemah. Ia menderita batuk terus-menerus,
akibat bronchitis yang dideritanya.
Nafasnya sesak, ia tidak dapat tidur dan
tidak mempunyai nafsu makan.
Pada tanggal 15 Oktober sore, ia masih
memberikan suatu konferensi pada
waktu bacaan rohani. Ia bicara tentang
imam-imam yang bertindak angkuh
dan memandang rendah orang lain, dan ia
membandingkan mereka dengan
ayam yang mengakak. “Para imam
seharusnya rendah hati dan sederhana,
bersedia menolong umat
kecil dan sederhana, seperti telah dilakukan oleh
Yesus sendiri,” katanya. Keesokannya, ia
wafat pada tanggal 16 Oktober,
pada pukul 06.15, sebelum Pater Trampe
selesai dengan sakramen minyak
sucinya. Tarekat MSF sendiri pada saat itu
terdiri dari 25 imam, 54 skolastik,
13 novis dan 70 seminaris.
Refleks i Teologi s
Bu Mega, Budaya
Melibatkan Keluarga
“Harta yang paling
berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah,
adalah keluarga. Puisi
yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara
tiada tara adalah
keluarga.” Inilah lirik lagu dalam sebuah sinetron televisi
bertajuk “Keluarga
Cemara”. Berthier sendiri sangat menekan-tegaskan peran
dan teladan Keluarga
Kudus Nazaret. Dia juga menyadari pentingnya peran
setiap keluarga Katolik
dalam tumbuh-kembang iman setiap anggotanya.
Dalam bahasa Thomas Aquinas,
keluarga adalah ikatan keagamaan yang
paling dasar. Dengan kata
lain, keluarga itu vital! Ingatlah juga, Kitab
Suci kita, entah
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dibuka dengan
kisah tentang keluarga.
Dosa yang pertama dibuat manusia, terjadi dalam
keluarga, ketika Hawa
menggoda Adam, juga ketika Kain membunuh
Habel. Mukjizat yang
pertama juga terjadi dalam sebuah keluarga di Kana,
dan mukjizat yang
terakhir juga terjadi dalam sebuah keluarga di Betania.
Siapa itu keluarga? Secara umum: keluarga
inti adalah ayah, ibu dan anakanaknya.
Keluarga itu adalah kelompok terkecil dalam
masyarakat. Keluarga
merupakan tempat kita saling berbagi rasa,
saling memperhatikan, saling
menyayangi dan membantu satu dengan yang
lainnya. Dari keluarga yang
harmonis, pasti terbentuk suatu masyarakat
yang baik pula.
Dalam pelbagai suratnya, Berthier juga
tampak mengarahkan diri kepada
Keluarga Kudus dengan suatu doa bagi
tarekatnya: “O Keluarga Kudus,
kepadamulah kualamatkan
diriku pada akhir surat wasiat ini. Telah kutaruh
karya kecil ini di bawah
perlindunganmu sejak permulaan. Kepadamulah
kupercayakannya pada saat
aku akan meninggal. Berkat perananmu, kebaikan
telah bisa dilakukan di
dalam rumah ini, bahkan kepada mereka yang tidak
bertahan. Karena
pengaruhmu keluarga ini telah berkembang dalam kedamaian
dan dalam semangat yang
baik. Sudilah tetap mengiringi mereka dengan kurniax
kurniamu. Kembangkanlah
kebajikan-kebajikan yang mau mereka praktikkan
menurut contoh teladanmu.
Jauhkanlah dari mereka semangat dunia, ambisi,
kecongkakan, sikap
mencintai hidup enak dan hal-hal duniawi. Hanya satu
keinginan ada padaku,
satu ambisi sebelum meninggal dunia, yakni agar tarekat
berkembang dalam
semangatmu. Saya berkeyakinan, bahwa berkat semangat itu
tarekat akan berkembang
dalam jumlah, dan bahwa akan mengerjakan yang
baik dalam mereka yang
akan masuk ke dalamnya, dan dalam mereka yang
akan dibangun olehnya
melalui teladannya. Jangan khawatir, kawanan yang
kecil, mau saya katakan
kepada anak-anakku. Kalau kalian berusaha untuk
hidup sebagai anak-anak
dari Keluarga Kudus, tiada sesuatu yang kurang, dan
kalian akan mengerjakan
yang baik menurut petunjuk dari Penyelenggaraan.”
Bagi Berthier, tampak jelas bahwa sebuah
keluarga adalah tempat
persemaian cinta kasih Allah. Di sanalah,
taburan benih cinta mendapat
ruang pertumbuhan paling nyaman di dunia.
Namun, mudahkah menyemai,
menumbuhkan dan merawat cinta manusiawi
melalui persekutuan cinta
dalam keluarga kita masing-masing?
Mencuatnya fakta kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), perselingkuhan dan
angka perceraian yang semakin
meningkat menjadi beberapa tantangannya.
Secara ideal, tampaklah jelas
dekat dan hangatnya relasi dalam sebuah
keluarga: lihatlah arti keluarga
dalam bahasa Inggris, FAMILY.
“Family” bisa berarti, Father and Mother
I Love You. Yang pasti, Gereja
Katolik meyakini bahwa keluarga adalah
gereja basis atau seminari dasar. Jadi,
pentinglah kalau Gereja sedari dini
mempunyai budaya melibatkan dan memberi
per-HATI-an pada setiap
keluarga. Bagaimana dengan keluarga kita
masing masing? Mari belajar
memiliki “Bu Mega”: Budaya Melibatkan
keluarga”.
Ep i log
Festina lente!.
Bergegaslah tapi
perlahan! (Kaisar Agustus)
Fokus perhatian para anggota MSF terhadap
pastoral keluarga membuat saya juga
semakin sepakat dengan Dr. Nurcholis Madjid
(Alm), yang mengatakan, kualitas
keluarga menentukan masa
depan bangsa. “Secara khusus pula, terdapat empat
tugas keluarga kristiani, antara lain:
membentuk persekutuan pribadi-pribadi,
mengabdi kepada kehidupan, ikut serta dalam
pengembangan masyarakat, juga
berperan serta dalam kehidupan dan misi
Gereja” (Paus Yohanes Paulus II: Familiaris
Consortio, 22 November 1981 no 17).
Bagi saya, semua paus, uskup, santo santa,
martir bahkan Yesus sendiri datang
dari sebuah keluarga. Keluarga bagi saya
merupakan sebuah komunitas yang
mesti memiliki empat sikap dasar, yakni: Ke-cilkan
emosi, Lu-askan isi hati,
Ar-ahkan ke ilahi dan Ga-lang
relasi (bdk. Jost Kokoh, Beriman Bersama
Maria, Kanisius, 2008).
Keluarga itu juga semacam akar. Bersama teladan
hidup Berthier, “Sang Pejuang Kristus”, mari
kembali ke akar kita masingmasing.
Bukankah, “roots creates the fruits”, akar
yang baik membuat buahbuahnya
juga bisa menjadi lebih baik? Dalam
pemahaman ini, dapatlah
dimengerti dengan mudah apa yang dikatakan
Yesus bahwa tidak ada pohon
yang baik yang
menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon
yang tidak baik yang
menghasilkan buah yang baik” (Luk. 6:43).
“kalau kita mencintai
jiwa-jiwa,
dan ingin bersikap baik
terhadap mereka,
kita menjadi kreatif dan
mau memanfaatkan segala sesuatu
untuk menuntun mereka
kembali kepada Allah.
Bukan ceramah-ceramah
hebatlah yang mempertobatkan;
sering kali hanya ada hal
yang sepele yang kurang kita perhatikan
yang bisa menjadi sinar
terang bagi orang miskin dalam rencana Allah
dan yang menuntun dia
kepada Allah”.
(Jean Baptiste Berthier)
0 komentar:
Posting Komentar