Ads 468x60px

Yohanes Don Bosco

Prolog
Dua tahun terakhir ini, kami bersama beberapa mantan narapidana membuat semacam rumah singgah dengan nama, SOCIUS (Lat.: sahabat). Ada 12 eks napi laki-laki, dari LP Nusakambangan, Tangerang, Salemba, Cipinang dan juga dari Cirebon. Adapun koordinator rumah singgah Socius juga seorang mantan napi, bernama Bambang. “Bambang” sendiri bisa berarti bersama Allah makin berkembang.
Kita pun diajak berani bersama Allah makin berkembang bukan? Kadang pada kenyataannya, kita sulit dan enggan berkembang bersama Allah. Di sinilah kita akan belajar dari sesosok pribadi beriman, seorang imam diosesan, bernama Yohanes Don Bosco. Pencinta dan pemerhati orang muda, juga pendiri tarekat imam imam Salesian Don Bosco (SDB).


Se buah Skets a Prof i l
Yohanes Bosco, seorang anak bungsu, yang dilahirkan pada
tanggal 16 Agustus 1815, di Becchi, sebuah dusun kecil di
Castelnuovo d’Asti (sekarang namanya Castelnuovo Don Bosco),
Italia. Ayahnya, Francesco, adalah seorang petani yang miskin.
Francesco meninggal dunia saat Yohanes Bosco baru berusia
dua tahun. Ibunya, Mama Margarita, dengan segala daya
upaya dan kerja keras berusaha mendampingi anak-anaknya.

Bosco kecil senang melihat pertunjukan sirkus, ia kerap meniru atraksiatraksi
yang ditampilkan. Walaupun awalnya ia gagal, tergelincir, jatuh,
dan badannya memar, tetapi tekadnya kuat. Ia pantang menyerah, sebab
pikirnya, “Jika mereka dapat melakukannya, mengapa aku tidak?” Bosco terus
berlatih hingga akhirnya ia bisa: ia memperagakan keseimbangan tubuh
dengan wajan dan panci di ujung hidungnya. Ia melompat ke atas tali yang
direntangkan di antara dua pohon dan berjalan di atasnya diiringi tepuk
tangan penonton. Hebatnya lagi, sebelum pertunjukan berakhir, Bosco
mengulang khotbah yang didengarnya dalam misa pagi kepada temantemannya
itu, dan mengajak mereka semua berdoa. Tampaklah, bersama
Allah, dia makin berkembang bukan?

Sebelum memulai pertunjukannya, Bosco juga mengajak temantemannya
itu untuk berdoa rosario terlebih dahulu. Walaupun anak-anak
itu mengeluh, mereka tetap menurut. Setelah ia mengajak anak-anak
menyanyikan satu kidung bagi Bunda Maria, Bosco kecil berdiri di atas kursi
dan mulai menjelaskan isi Kitab Suci. Jika seorang anak menolak untuk
mendengarkan khotbahnya atau menolak berdoa, Bosco akan berkata,
“Baiklah. Aku tidak akan mengadakan pertunjukan hari ini. Jika kalian tidak
berdoa, bisa saja aku terjatuh dan leherku patah.”

Bersama Allah, Bosco semakin berkembang menjadi remaja yang pandai.
Di sekolahnya, di Castelnuovo, ia adalah murid terbaik dari semua murid
sekolahnya. Di sinilah, ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk
suatu kelompok religius yang diberinya nama Kelompok Sukacita. Setelah
menyelesaikan sekolahnya pada usia 20 tahun, Yohanes Bosco mengambil
keputusan yang amat penting dalam hidupnya: ia masuk Seminari Chieri.
Pada tanggal 5 Juni 1841 Uskup kota Turin menahbiskan Yohanes Bosco
menjadi seorang imam. Bosco merasa amat bahagia, demikian juga Margarita.
Anaknya yang dikasihinya telah ditahbiskan untuk mempersembahkan
Tubuh dan Darah Penyelamatnya setiap hari di altar. Waktu itu usia Yohanes
hampir 26 tahun.

Setelah ditahbiskan sebagai imam diosesan, Don Bosco bertugas di
kota Turin. Ia sangat prihatin dengan keadaan kaum muda di situ: mereka
bertaruh di pojok-pojok jalan, wajah mereka juga keras dan kaku. Ia juga
menjumpai para pekerja remaja di pasar-pasar. Di daerah sekitar Porta
Palazzo, banyak para penjaja barang, penyemir sepatu, anak-anak pengurus
kandang, berbagai macam pedagang, pesuruh: semua kaum miskin papa
yang umumnya juga banyak anak muda.

Hal yang paling menyentuh hatinya adalah ketika ia mengunjungi
penjara. Ia menulis demikian: “Melihat begitu banyak anak, dari usia 12
hingga 18 tahun, digigiti serangga, kekurangan makanan, baik makanan
rohani maupun jasmani, sungguh sesuatu yang amat mengerikan bagi saya.”
Menghadapi keadaan seperti itu Don Bosco membuat suatu keputusan: “Saya
harus, dengan segala prasarana yang ada, mencegah kehidupan para anak dan
remaja itu berakhir di sini.”

Don Bosco perlahan mengumpulkan banyak anak muda yang terlantar.
Mereka itu adalah kuli jalanan, pemecah batu, tukang batu, tukang plester
yang datang dari daerah-daerah yang jauh. Dari sanalah terbentuk kelompok
kaum muda yang disebut Oratorio.

Karena Don Bosco ingin bersama Allah makin berkembang, ia mengajak
mereka semua bertemu pada hari Minggu, ikut ambil bagian dalam Perayaan
Ekaristi, belajar agama, dan bermain bersama. Setiap malam, Don Bosco
menghendaki agar anak-anak itu mendaraskan tiga kali Salam Maria,
mohon agar Bunda Maria membantu mereka untuk menjauhkan diri dari
dosa. Ia juga mendorong mereka untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi
dan Komuni Kudus sesering mungkin dan dengan penuh cinta.

Dengan berbagai usaha, akhirnya Don Bosco dapat menyewa Graha
Pinardi di Valdocco, sebuah rumah yang tidak terpakai, yang terletak di
daerah terpencil. Don Bosco menjadikan ruang depannya sebagai kapel
sederhana sekaligus ruang belajar. Pada pintunya Don Bosco memasang
papan dengan pesan kebanggaan yang ia dapatkan dari Bunda Maria dalam
mimpinya: “Haec est Domus Mea; Inde Gloria Mea”, artinya “Inilah Rumah-
Ku; darinyalah Kemuliaan-Ku akan terpancar.” Tepat pada Pesta Paskah 12
April 1846, Kelompok Oratorio memiliki gereja sendiri.

Don Bosco juga mulai membentuk bengkel-bengkel sendiri di
Valdocco: bengkel sepatu, bengkel jahit, bengkel kayu, bengkel kunci,
bengkel penjilidan buku dan percetakan. Selain memberikan pelajaran dan
pendidikan ketrampilan, Don Bosco juga memberikan pelajaran khusus
bagi mereka yang berminat untuk mengikuti jejaknya. Melalui mimpinya
Don Bosco mengetahui anak-anak mana yang akan meninggalkannya dan
anak-anak mana yang akan tetap bersamanya. Ia bahkan mengetahui masa
depan anak-anaknya, misalnya: Giovanni Cagliero dari Castelnuovo d’Asti
kelak akan menjadi seorang Kardinal, Michael Rua kelak akan menjadi
penerusnya.

Sore hari tanggal 6 Januari 1854 ia mengumpulkan mereka dan
menyampaikan pesan berikut, “Sahabat-sahabatku terkasih, selama Novena
menyambut pesta santo pelindung kita, St. Fransiskus de Sales, saya menganjurkan
kepada kalian sejak hari ini, dengan pertolongan Tuhan, mengamalkan belas
kasih kepada sesama. Setelah masa ini berakhir, kalian diperkenankan mengikat
diri dengan suatu janji, dan sesudahnya dengan suatu sumpah. Mulai sore hari
ini kita menyebut diri kita Salesian.”

Don Bosco tidak hanya mendirikan serikat untuk kaum pria saja, namun
akhirnya ia pun mendirikan serikat untuk kaum putri. Oleh karena itu, pada
tanggal 5 Agustus 1872 uskup meresmikan Kongregasi Puteri-Puteri Maria
Pertolongan Orang Kristen, atau dikenal dengan nama Kongregasi Sustersuster
Salesian dengan Maria Mazzarello sebagai Priorin. Rumah biara
tersebut berhadapan dengan Institut Salesian. Pada tahun 1876 Don Bosco
juga membentuk Serikat Salesian Awam yang beranggotakan kaum awam
yang bersedia membantu Salesian dengan mencurahkan segala perhatian,
waktu dan dana mereka.

Pada tanggal 31 Januari 1888, Yohanes Bosco wafat dalam usia 72
tahun. Pada tanggal 2 Juni 1929 ia dinyatakan sebagai beato oleh Paus Pius
XI dan pada tanggal 8 November 1933 dinyatakan sebagai santo. Pestanya
dirayakan setiap tanggal 31 Januari.

Refleks i t eologi s
a. Septi, Setia Sampai Mati.
Usaha-usaha yang dilakukan Don Bosco tidak luput dari berbagai macam
halangan dan rintangan: ia membutuhkan dana untuk Kelompok Oratorionya
pada awalnya. Ia membutuhkan tempat yang cukup luas bagi ratusan
anak itu untuk berdoa, belajar, dan bermain. Imam-imam lain juga
menganggap Don Bosco sudah menyimpang dari misinya. Dengan empat
ratus anak kasar dan liar yang selalu mengikutinya, ia dianggap sudah tidak
waras lagi. Oleh karena itu, dua orang imam mencoba membawanya ke
rumah sakit jiwa, namun gagal. Halangan dan rintangan datang bertubitubi,
tetapi Don Bosco tetap setia. Don Bosco terus setia berkarya di mana
saja untuk mewartakan Injil. Tahun-tahun berlalu, Don Bosco semakin tua.

Saat usianya hampir mencapai 70 tahun, satu matanya sudah tidak dapat
berfungsi, sedang matanya yang lain sudah kabur. Jika berjalan ia harus
beristirahat sejenak di tongkat penyangga atau di pundak seorang teman.
Namun hal-hal demikian tidak menghalangi Don Bosco untuk setia pergi ke
berbagai tempat, mengunjungi biara-biara, merayakan misa di gereja-gereja.
Ia juga setia menandatangani potret, membagi-bagikan gambar-gambar
orang kudus dan medali, memberikan berkat dan nasihat, mendengarkan
pengakuan dosa, mempertobatkan banyak orang, melakukan mukjizat-mukjizat,
dan menerima banyak sumbangan untuk kelanjutan karyanya.

Bosco membisikkan pesan terakhirnya kepada anak-anak yang
berkumpul di sekeliling tempat tidurnya, “Kasihilah satu sama lain seperti
saudara. Berbuatlah baik kepada semua orang dan janganlah berbuat jahat
kepada siapa pun. Katakanlah kepada anak-anak bahwa aku menanti mereka
semua di Surga.” Don Bosco setia sampai mati. Sekarang ia tidak ada, tetapi
nama dan karyanya tetap ada dan berlanjut hingga saat ini melalui Serikat
Salesian yang dibentuknya, bukan?

b. Jumadi, Jumpai Allah Secara Pribadi
Dulu, ketika saya belajar filsafat di STF Driyarkara, ada seorang karyawan
perpustakaan bernama Jumadi. “Jumadi” berarti jumpai Allah secara pribadi.
Bosco pun sejak kecil sudah kerap menjumpai Allah secara pribadi. Ada
sebuah cerita, saat Yohanes Bosco berusia 9 tahun, ia mendapatkan sebuah
mimpi yang menakjubkan, yang akan mengubah seluruh kehidupannya.

Dalam mimpinya Bosco kecil sedang berada di lapangan yang luas. Ia
melihat banyak sekali anak di sana: ada yang tertawa, bermain, dan ada pula
yang bersumpah serapah. Bosco kecil tidak suka anak-anak itu menghina
Tuhan. Ia segera berlari untuk menghentikan mereka sambil berteriak dan
mengepalkan tinjunya. Saat itu tiba-tiba tampaklah seorang berjubah putih
dan wajah-Nya bersinar. Ia memanggil Yohanes Bosco, memintanya agar
tenang, serta menasihatinya agar menjadikan anak-anak itu sebagai temannya
dan menyadarkan mereka akan dosa-dosa mereka dengan cara yang lembut.

Yohanes mengatakan kembali bahwa hal itu tidak mungkin, namun Dia
berkata kepada Yohanes Bosco bahwa Ia akan memberikan seorang Bunda
yang akan selalu mendampingi dan membimbingnya dalam tugasnya ini.
Bunda itu tak lain adalah Bunda Maria dan yang berbicara dalam mimpi
Yohanes Bosco adalah Yesus sendiri. Saat Yohanes Bosco masih terlihat bingung, Bunda Maria datang dan memanggilnya untuk mendekat kepadanya. Seketika itu gerombolan
anak-anak tadi lenyap dan yang tampak oleh Yohanes Bosco sekarang
ialah sekawanan binatang buas: kambing liar, harimau, serigala, beruang.
“Inilah tempat di mana kamu harus bekerja. Jadikan dirimu rendah hati,
kuat, dan penuh semangat.”

Segera setelah itu, Yohanes Bosco terbangun
dan ia tidak dapat tidur kembali. Mimpi itu telah menyatakan tahun-tahun
mendatang dalam hidupnya. Halangan dan rintangan datang bertubi-tubi,
tetapi Don Bosco memperoleh dorongan serta semangat melalui mimpimimpinya.
Dalam mimpi-mimpi itu Don Bosco memperoleh kekuatan dan
kepercayaan untuk terus maju dan berkarya. Bunda Maria selalu membantu
dan menguatkannya. Di sinilah tampak jelas, kekuatan sebuah perjumpaan
pribadi dengan Tuhanlah yang membuat hidup dan semangat Don Bosco
tidak lekang di telan zaman.

c. S urga, Suara untuk Gemakan Allah
Ada pepatah lama berkata, “surga di bawah telapak kaki ibu”. Don
Bosco juga memiliki seorang ibu, Margarita namanya. Ia seorang janda, tapi
dengan segala daya upaya dan kerja keras berusaha menghidupi keluarganya.
Namun demikian, kerja keras dan kemiskinan tidak menghalangi Margarita
untuk senantiasa menciptakan “surga”: suara untuk gemakan Allah.

Ia mengajarkan kepada Bosco kecil bagaimana mengolah tanah dan bagaimana
menemukan Tuhan melalui panen yang berlimpah dan melalui hujan yang
menyirami tumbuh-tumbuhan. Sebagai seorang ibu yang baik, Margarita
juga senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana berdoa
dengan baik. Dari ibunya, Bosco kecil belajar melihat Tuhan dalam wajah
sesama, yaitu mereka yang miskin, mereka yang sengsara, mereka yang
datang mengetuk rumah sepanjang musim dingin. Ia belajar menyuguhkan
sup hangat serta membagikan makanan dari kemiskinan mereka.

Ibunya juga yang menegaskan kepadanya untuk selalu setia kepada panggilannya
dan jika ia ragu-ragu lebih baik diurungkannya saja niatnya itu daripada
menjadi seorang imam yang lalai dan acuh. Nasihat ibunya itu diingat dan
dihormati oleh Yohanes sepanjang hidupnya. Pada musim dingin tahun 1856
Mama Margarita terserang pneumonia. Ia terbaring di tempat tidur selama
satu minggu dan pada akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kepergiannya amat menyedihkan hati Don Bosco serta semua anak-anak
asuhnya. Demikianlah teladan doa seorang Ibu mewarnai hidup Don Bosco.
Baginya, ibu menjadi pintu “surga”, suara untuk gemakan Allah.

Ep i log
Ada sebuah kalimat dari Don Bosco bagi para pengikutnya, ”Kalian adalah
rombongan yang kecil. Kalian akan mencari jiwa-jiwa, bukan harta benda atau
kehormatan. Biarlah dunia tahu bahwa kalian miskin dalam sandang, pangan dan
papan, tetapi kalian kaya di hadapan Tuhan dan berkuasa atas jiwa-jiwa. Lakukan
yang terbaik, Tuhan dan Bunda Maria akan menyempurnakan karya kalian.” Di
sinilah tampak jelas bahwa kemiskinan, kesederhanaan dan keterbatasan insani
akan menjadi suatu jalan memuliakan Allah. Lewat Don Bosco dan teladan nyata
hidupnya yang selalu mengikutsertakan karya dan rahmat Allah, kita semakin yakin
bahwa bersama Allah kita bisa makin berkembang, bukan?

“Bunda Penghibur orang-orang berduka,
engkau tahu
bahwa sekarang aku sudah tidak mempunyai seorang ibu ...
Padahal aku mempunyai demikian banyak anak.
Bersediakah engkau menjadi pengganti ibuku?
Jagalah anak-anakku, ya Bunda Maria!”
(Yohanes Don Bosco)

0 komentar:

Posting Komentar