(Belajar dari sang KORBAN)
.....Bayangkanlah suatu kali Anda
mendapatkan pertanyaan ini, “Siapakah Kristus menurut Anda?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kemudian terbukalah
memori-memori Anda akan gambaran Kristus yang dalam sejumlah hal jelas tetapi
dalam hal-hal lain samar-samar atau sama sekali gelap. Dan, ketika tiba saatnya kata-kata disusun sebagai
jawaban, dari manakah Anda akan mulai....?
Jawaban
yang Anda berikan mungkin akan ditangkap pendengar sebagai sesuatu yang
biasa-biasa saja, atau mungkin juga sesuatu yang menggelitik keingintahuan
lebih lanjut, atau justru sesuatu yang menggelisahkan.
Film
The Last Temptation of Christ (1988) juga mau menjawab pertanyaan “Siapa Kristus?” pula. Pada film ini, YK
digambarkan dalam sosok kemanusiaan yang kental dengan desir-desir
ketidakpastian dan keraguan. Ia tampil dalam seseorang yang biasa, bahkan
mungkin dapat dikatakan seseorang yang lemah.
Ketika film ini dilempar ke pasar
banyak komentar muncul. Carol Iannone mencatat dalam artikelnya “The Last Temptation Reconsidered”
(dimuat dalam First Things 60 – Februari 1996 hlm. 50-54) bahwa film ini
pernah dikatakan sebagai sebuah serangan terhadap kristianitas, atau juga
desakan untuk meluluhlantakkan gambaran harum akan sosok terhormat dalam
kebudayaan manusia. Namun ada pula komentar (dari seorang uskup) bahwa film ini
secara kristologis tidak ada masalah sebab menyatakan dengan tegas sisi
kemanusiaan Kristus yang nyata tergambar dalam injil. Sebuah pendapat lain mengatakan
bahwa senyatanyalah banyak dari antara orang-orang kristiani yang tidak sreg
dengan gagasan bahwa Yesus itu fully human, manusia sepenuh-penuhnya.
Menurut Carol Iannone, mau tidak
mau sutradara film ini, Martin Sco rsese – seorang katolik, mendapat kecaman
keras, seperti yang pernah dialami oleh Nikos Kazantzakis, pengarang novel The
Last Temptation of Christ yang terbit pada 1955. Namun Scorsese berusaha
menjelaskan. Menurutnya, dari seorang pastor yang juga adalah temannya, buku
novel Kazantzakis telah dipakai di seminari-seminari, bukan sebagai pengganti
injil, tetapi sebagai kisah perumpamaan yang segar dan hidup mengenai Yesus, di
mana pada titik ini para seminaris dapat berdiskusi dan berdebat. Ditambahkan
pula oleh Scorsese bahwa jika Yesus itu tergambarkan begitu mudah melakukan
sesuatu atau begitu ilahi tak terbantahkan, lalu memang ketika godaan datang
padaNya, Ia akan mudah menepisnya karena Ia adalah Allah. Ia juga tahu apa yang
akan terjadi padaNya. Gambaran ini sungguh tidak menggerakkan. Maka,
diusahakannyalah suatu gambaran akan human Christ yang berjuang dalam
dorongan-dorongan manusiawi dan keterbatasan-keterbatasannya. Menurutnya, hal
ini merupakan asimilasi gradual dari Jesus
the man into Jesus the Christ, yaitu bagaimana terjadinya proses
pemadaman ketakutan-ketakutan dan kerinduan-kerinduan duniawi dalam gerak
menuju kebersatuan dengan Allah, yang mengungkapkan dengan tegas makna salib.
Adapun mengenai Kazantzakis, oleh
karena novelnya yang kontroversial itu, Gereja Katolik memasukkan novelnya dalam
golongan buku-buku yang terlarang. Sementara, kelompok Protestan di Amerika
Serikat dengan sekuat tenaga menyelidik dan membongkar
perpustakaan-perpustakaan, dan membuang novel yang ditemukan dari sana. Hal ini
justru menjadikan novel Kazantzakis bestseller....
Dalam pandangan Carol Iannone,
Kazantzakis merupakan seorang peziarah spiritual yang serius. Peziarahannya
membawa dirinya pada pemikiran Bergson, Nietzsche, Buddha, Mussolini, Marx, dan
Lenin, tetapi ia kembali ke sosok Yesus. Mengenai sosok Yesus ini, dalam sebuah
memoir-nya, Report to Greco (1961), Kazantzakis mengungkapkan:
“Jika kita ingin sungguh mengikutiNya, seharusnyalah kita memiliki pengenalan mendalam pada konflik-konflik yang dialamiNya, seharusnyalah kita menghidupkan kembali sakit-takut-dan-dukacitaNya. … Dalam rangka pendakian menuju salib – puncak persembahan –, dan menuju Allah, Kristus melewati jalan-jalan di mana manusia berjuang melewatinya pula. Itulah sebabnya mengapa penderitaanNya begitu familiar buat kita manusia … Kita berjuang. Kita melihat padaNya perjuangan itu pula, dan kita menemukan kekuatan di sana …”.
“Jika kita ingin sungguh mengikutiNya, seharusnyalah kita memiliki pengenalan mendalam pada konflik-konflik yang dialamiNya, seharusnyalah kita menghidupkan kembali sakit-takut-dan-dukacitaNya. … Dalam rangka pendakian menuju salib – puncak persembahan –, dan menuju Allah, Kristus melewati jalan-jalan di mana manusia berjuang melewatinya pula. Itulah sebabnya mengapa penderitaanNya begitu familiar buat kita manusia … Kita berjuang. Kita melihat padaNya perjuangan itu pula, dan kita menemukan kekuatan di sana …”.
Nah, sekarang, siapakah Yesus
Kristus menurut Anda?
1 komentar:
ya, selalu ada kontroversi selama kita hidup di dunia ini, ibarat uang bermata dua selalu begitu tapi walaupun sosok Almasih dalam film dicitrakan sisi kemanusianNya ya memang supaya qta belajar memahami misi Allah kepada manusia bukan semata menunjukan kelemahan Allah, walaupun ada yang tidak setuju tapi tanda kedatangan Mesias harus dimaknai bukan saja dari sisi mujizatNya tapi juga dari sisi penghujatnya, Mesias tetap Mesias baik atau buruk kita harus mau menerima seperti uang yang bermata dua, Gbus,amen.
Posting Komentar