Sebuah
Mimpi Imajinasi Seorang Anak Negeri
“Aku
mati untukmu”,
bisikNya
padaku di sudut gang Kalvari.
“Sekarang
belajarlah mati sedikit untuk-Ku”
lanjutnya
mesra.
Pesan
yang trus bergema, ‘dalem’ ndak terbatas:
tremens
et fascinans.
Saat yang sama, mimpiku
makin jauh. Tembusi dimensi batin. Sibakkan kabut kalbu.
Lalu,
sapa embun di kelopak jiwaku menggugat: Aku ada di Getsemani yang sunyi, sepi
pun dingin. Kujumpai, tak seluruh Getsemani lelap. Di sana masih ada Sosok
Manusia terpaku. Berlutut dengan jari tangan rapi merangkai doa tanpa kata. Ada
peluh rembesi pori-pori kulit di wajah-Nya. Getar suara tertahan di puncak
kerongkonganNya.
Berusaha
mengusir dingin malam.
Berusaha
gantikan keraguan dengan kepasrahan.
Berusaha
singkirkan kegelapan dengan suara lembutnya:
“Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau
mau ambillah cawan ini dari pada-Ku;
tetapi bukan kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mulah
yang terjadi.”
Setelah gejolak mereda,
Ia bangkit. Ia melangkah. Hampiri sosok-sosok yang tertidur lelap. Yang
berdengkur keras. Mereka itu adalah kami. Dan aku ada dalam mereka.
Kami adalah sosok yang
terlena dalam kelelahan. Yang meringkuk gemetar.
Kami lupa atas sebuah pesan
yang mensyaratkan agar selalu berjaga-jaga:
“Mengapa kalian
tertidur?
Bangunlah dan
berdoalah
supaya kalian jangan jatuh ke dalam pencobaan...”
Di awal fajar, saat jago
berkokok petok tersadarlah kami dari tidur.
Dengan wajah kuyu kami
dekati Sosok yang masih terpekur hening.
Kami
melihat raut wajah yang bersemu:
“Saat-Ku telah
tiba. ”
Ahh, tak sempat kami
bertanya lebih lanjut. Ia menciumi pipi kami satu persatu.
Dan ketika bibir-Nya
menyentuh pipiku, jantungku berdetak keras.
Bibir-Nya terasa panas.
Ahh, betapa Ia penuh cinta.
“Sosok Anak Manusia”
yang berdiri tegar.
Beberapa saat
kemudian……………,
Gemuruh dan pekik
menggema.
Wajah-wajah liar
tiba-tiba muncul.
Getsemani bergolak
panas, nafas-nafas manusia memeram kebencian.
Mereka menyerbu,
menangkap-Nya dengan kasar.
Kami harus lari
tercerai-berai.
Semua ini mendera hati pun
setiap jejak tapak kami melangkah:
“Mengapa aku harus
lari?
Mengapa aku harus
meninggalkan-Nya?”
Mimpiku terus beranjak.
Kuikuti derap tapak gerombolan manusia yang menggiringNya.
“Ohh, Jumat yang membatu.
Jumat tanpa ekspresi.”
Hatiku terasa sakit
dan malu.
Mengapa aku
menjadi pengecut?
Apakah aku Yudas?
Ataukah Petrus
yang menyangkal-Nya?
Atau, apakah aku
telah memainkan peranan Pilatus
yang
membasuh tangan sambil berkata:
“Aku tidak
bersalah terhadap darah orang ini....”
Saat itu pula, aku
merasakan bahwa dunia telah menghukum dirinya sendiri, termasuk diriku.
Menggali neraka dengan tangannya sendiri.
Di bukit Golgota, mereka
memaku-Nya pada balok.
Kulihat wajah-Nya mengeras
saat “paku dunia” merobek, tembusi tangan-kaki-Nya.
Tanpa keluh, Ia gelengkan
kepala dan menggigit bibir.
Kulihat ada serdadu
mencucukkan bunga karang asam ke bibir-Nya.
Saat itu, kudengar desah
kepedihan seorang wanita berkerudung biru:
“Puteraku,
dan juga bukan
puteraku....”
Itulah desah pedih sang
ibu, yakni Maria.
Ya, di wajah Maria itu aku
bercermin.
Dalam kesuciannya aku
dihadapkan pada kesedihan dan kegembiraan, kematian dan kehidupan. Hatiku
diguyur oleh cintanya.
Menjelang jam tiga siang,
aku melihat bayangan tipis kematian wajah-Nya.
Betapa Ia tak mampu
memalingkan mata-Nya kepadamu, Maria.
Juga matamu, Maria tak
pernah lepas dari mati-Nya.
Maria, kulihat kau bergetar
lirih nan keri ketika mendengar suara sakral nan mautNya:
“Allah-Ku, ya
Allah-Ku,
mengapa Engkau
meninggalkan Aku?”
Maria, ada tangis di matamu
yang bening itu.
Tangismu yang kau pendam
berisikan kepasrahan dan cinta mendalam,
Tersimpul dalam jerit
terakhir Sang Putera:
“Ya,
Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku!”
Sungguh, betapa sulitnya
menerima kenyataan yang terbentang dihadapanku.
Kenyataan yang penuh
paradoksal; antara kemurnian cinta dan kebencian dosa.
Kenyataan bahwa Ia harus
mati sedangkan aku tetap hidup.
Bagaimana mungkin Ia harus
mati hanya tuk hidupku?
Bagaimana mungkin Ia masih
dapat tawarkan pesan:
“Aku mati untukmu, kini belajarlah mati sedikit
untuk-Ku!”
Belajar mati
sedikit?Aneh!
Sampai pada puncaknya……..,
mimpiku memasuki titik
kulminasi Jumat yang gersang.
Ia kini tergantung bisu,
selama tiga hari menantikan
kebenaran.
Kebangkitan-Nya dari
kematian-Nya.
Kebangkitan-Nya yang
memberi pengharapan; memberikan dinamika kehidupan baru.
Paskah yang menghidupkan
kembali kelipan iman yang hampir pudar.
Paskah yang terlalu besar
dan terlalu mulia tuk kupahami……
hanya dari kematian dan
kehidupan.
Ia adalah keajaiban yang
menyelinap masuk dalam seluruh kehidupanku.
Ia yang mempertemukan surga
dan dunia. Allah
dan manusia.
Sehingga semakin kupahami
kini,
bahwa Ia adalah Sang
Misteri,
yang telah menyirami seluruh
kekeringan.
Kini aku tak lagi perlu
bermimpi karena semuanya telah nyata.
Melalui mata iman,
kutemukan makna cinta
Tuhan.
Cinta-Nya yang menghadapkan
aku pada pilihan
yang harus kujawab dengan
bebas.
Sampai pada akhirnya aku
dapat berseru penuh percaya:
“Christus Ressurrexit!”
0 komentar:
Posting Komentar