Orate et servite!
“Omnis enim qui petit accipit,
et qui quaerit invenit, et pulsanti aperietur,
‘Setiap orang yang meminta, menerima
dan setiap orang yang mencari, mendapat
dan setiap orang yang mengetok, baginya
pintu dibukakan (Luk 11:10).
“Domine, doce nos orare -
Tuhan, ajarlah kami berdoa…” (Luk 11:1). Itulah
permintaan para murid kepada Yesus. Yesus selanjutnya memberikan sebuah doa
yang kita kenal luas sebagai doa “Bapa Kami”. Bisa jadi, doa Bapa Kami (Bhs Latin:Pater Noster, bhs Yunani:
Πάτερ ἡμῶν) adalah doa yang
paling terkenal dalam sejarah agama Kristiani.
Doa ini sendiri diambil dari kitab Injil Matius
(6:9-13), yang muncul sebagai bagian dari Khotbah di
Bukit.
Meski
Yesus kemungkinan besar mengajarkan doa ini dalam bahasa Aram,
teks-teks awal kemungkinan besar terdapat dalam bahasa Yunani
karena pengaruh Helenisme. Di lain matra, karena bahasa Latin
merupakan bahasa yang resmi dipakai dalam agama Kristen Barat, maka versi dalam
bahasa Latin atau Pater Noster, merupakan sebuah terjemahan penting dari
doa dalam bahasa Yunani ini.
Secara kenyataan, ada beberapa versi doa Bapa Kami, al: versi Katolik (terjemahan misionaris di Malaka), versi Protestan (tertulis
pada Injil Matius versi Terjemahan Baru), juga ada versi Bahasa Latin, versi
Bahasa Aram, versi
Bahasa Indonesia lama, dsbnya. Sebagai sebuah informasi: teks Doa Bapa
Kami telah diterjemahkan paling sedikit lima belas kali dalam sejarah Bahasa Indonesia,
menjadikannya sebagai teks yang
memiliki banyak variasi dalam sejarah Bahasa Indonesia.
Sebuah hal lain
yang menarik, terkait-paut dengan doa Yahudi, ada beberapa
kemiripan antara doa Bapa Kami dengan materi doa Yahudi, baik yang alkitabiah
maupun non-alkitabiah. Sebagai contoh:
-
“Janganlah membawa kami ke dalam dosa" digemakan
dalam "berkat-berkat pagi" dari doa Yahudi.
-
Suatu berkat
yang diucapkan oleh beberapa komunitas Yahudi sesudah Syema Israel mencakup sebait kalimat yang
sungguh mirip dengan permulaan doa Bapa Kami: "Allah kami yang ada di dalam surga, dikuduskanlah namaMu,
dirikanlah kerajaanMu selamanya, dan berkuasalah atas kami
selama-lamanya."
Mengacu
pada Sejarah Gereja Dunia, di bagian barat Kekaisaran Roma dan dalam ritus
Latin, doa Bapa Kami senantiasa merupakan bagian penting dari Perayaan Misa. Sebagai contoh: St. Hieronimus (wafat 420) menegaskan perlunya pendarasan doa Bapa Kami dalam Misa; St. Gregorius Agung (wafat 604) menempatkan pendarasan doa Bapa Kami sebelum Pemecahan Roti.
Penjelasan tentang Sakramen yang ditulis oleh St. Ambrosius (wafat 397) juga merefleksikan arti “rejeki pada hari ini” dalam konteks
Ekaristi Kudus.
Senada
dengan para orang kudus tadi, St. Agustinus (wafat 430) memandang Doa Bapa Kami sebagai suatu penghubung yang indah
antara Ekaristi Kudus dengan pengampunan dosa. Dalam segalanya, sebenarnya
Gereja memandang doa sempurna yang diajarkan Yesus kepada kita ini sebagai
suatu sarana yang layak untuk mempersiapkan diri menyambut Komuni Kudus.
Disinilah menjadi jelas, bahwasannya Doa Bapa kami
merupakan salah satu warisan berharga, yang Yesus berikan kepada kita.
Sebenarnya, doa Bapa
Kami ini secara sederhana, terbagi menjadi dua bagian, bagian yang pertama
untuk memuji: memuliakan nama Tuhan (6:9-10) sedangkan bagian yang kedua,
memohon: untuk kebutuhan bagi kita yang berdoa
(6:11-13). Secara lebih mendalam, sebenarnya doa Bapa Kami ini mengandung tujuh
permohonan, yakni: “dimuliakanlah namaMu,
datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga,
berilah kami rejeki pada hari ini, ampunilah kesalahan kami-seperti kamipun
mengampuni yang bersalah kepada kami,
janganlah masukkan kami ke dalam percobaan, dan bebaskanlah kami dari yang
jahat.”
Doa Bapa Kami ini,
secara implisit juga menghadir-tampilkan
tujuh semangat yang bisa kita lihat dan buat, al:
1.BERSAHABAT
Doa Bapa Kami dimulai dengan kata
“Bapa Kami yang ada di surga” (Our Father who art in heaven, Matius 6:9).
Banyak orang, ketika mempelajari topik ini, berhenti pada kata “Bapa Kami”, dua
kata pertama di awal doa. Cara Yesus membuka doa yang paling terkenal di dalam
sejarah itu adalah bersifat elementer untuk memahami tujuan doa yang
sesungguhnya. Kita telah dibawa ke dalam hubungan yang akrab, hangat dan
bersahabat. Allah yang jauh menjadi Allah yang dekat, bahkan yang bisa kita
sapa sebagai “Bapa”.
Bapa atau “Abba” (lih. Mk 14:36, Rom
8:15; Gal 4:6) dalam bahasa Aramik adalah panggilan erat seorang anak kepada
ayahnya. Oleh kasihNya kepada kita, Yesus mengizinkan kita memanggil Allah
sebagai Bapa kita, karena Yesus mengangkat kita menjadi saudara-saudari angkatNya.
Ya, setiap kita mengucapkan kata “Bapa”, selayaknya kita mengingat bahwa kita
ini telah diangkat oleh Allah Bapa menjadi anak-anakNya oleh jasa Kristus Tuhan
kita. Allah yang begitu agung dan mulia, Ia yang begitu besar dan
berkuasa, dapat kita panggil sebagai “Bapa”.
St. Teresa dari
Avila pernah mengatakan bahwa dalam kesehariannya saat merenungkan Doa Bapa Kami ini, tak jarang ia hanya berhenti pada kata
“Bapa” saja, dan Tuhan sudah berkenan memberikan karunia sukacita kontemplatif
yang tak terkira. Marilah kita juga belajar
dari St. Teresa Avila, bahwa saat kita mengucapkan kata “Bapa”,
kita sungguh meresapkannya dalam hati kita: ya, kita manusia yang lemah ini,
boleh memanggil Dia, Bapa, karena kasih-Nya yang tak terbatas kepada kita. Katekismus no 270 sendiri mengajarkan kepada kita bahwa, “Allah menyatakan
kemahakuasaanNya sebagai Bapa dengan mencukupi kebutuhan kita.”
Perkataan “Bapa kami”
di sini juga mengingatkan kita tentang pentingnya dimensi persahabatan dengan sesama umat beriman. Alangkah
baiknya, jika dalam mengucapkan doa ini kita membayangkan bahwa kita berada di
antara para rasul pada saat pertama kali Yesus mengajarkan doa ini kepada
mereka. Bayangkan bahwa kita memandang Yesus yang
mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami,
karena Yesus tidak hanya mengangkat “saya saja”
menjadi saudara angkatNya, tetapi juga orang-orang lain yang dipilihNya, yaitu
anggota-anggota Gereja universal, imam juga awam. Oleh karena itu,
Doa Bapa Kami ini
merupakan doa Gereja, doa
yang ditujukan kepada Allah Bapa yang mengangkat
kita semua menjadi anak-anak-Nya.
2.BERSAKSI
“Dikuduskanlah/dimuliakanlah namaMu” merupakan kerinduan
sekaligus tugas kesaksian/pewartaan kita agar semakin banyak orang dapat
mengenal Allah yang mulia dan kudus. Disinilah, Tuhan ingin menjadikan kita
sebagai saksi iman untuk memuliakan nama-Nya, dalam keluarga, pekerjaan,
perkataan, serta segala karya dan sikap keseharian kita. Hal ini juga
mengingatkan agar kita jangan melulu mencari dan mengejar kemuliaan diri
sendiri, karena segala sesuatu yang ada pada diri kita sesungguhnya adalah
milik Tuhan dan harus kita gunakan untuk kemuliaan nama Tuhan (Bdk: Asas dan
Dasar LR. Ignatian).
3.BERPASRAH
“Datanglah
kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga”
mengingatkan kita bahwa kita perlu menjadi “sarah”: berSAbar dan berseRAH). De
Caussade dalam bukunya “Penyerahan Diri
pada Penyelenggaraan Ilahi” mengatakan, bahwa penyerahan diri merupakan
campuran dari iman, harapan dan cinta kasih, dalam satu faal yang mempersatukan
hati manusia dengan Allah dan karyaNya. Dkl: Kita
perlu berpasrah agar kehendak Tuhan yang terjadi, bukan
keinginan kita. Ketaatan dan penyerahan diri pada kehendak orang lain
mensyaratkan kerendahan hati, demikian pula penyerahan diri yang total kepada
Tuhan. Sering manusia berkeras dalam memohon sesuatu kepada Allah, namun di
sini kita melihat, Tuhan sendiri mengajarkan kepada kita untuk bersabar dan berserah . Sebab Bapa yang
Maha Pengasih mengetahui apa yang kita butuhkan dan apa yang terbaik bagi kita,
bukan saja untuk hidup kita di dunia, tetapi untuk hidup kita yang ilahi di
surga kelak. Ungkapan penyerahan diri yang total ini mengingatkan kita akan doa Yesus di Taman Getsemani, “… tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”
(Luk 22:42).
Bagaimana seseorang
dapat belajar berpasrah? Pertama, karena saya percaya kepada
Allah, Dia mengasihi, mencintai, mengetahui segala sesuatu dan menghendaki yang
terbaik pada diri saya. Dari keyakinan ini timbul suatu kepasrahan, timbul
suatu penyerahan. Sampai akhirnya mengalir kepada keinginan akan apa yang
dikehendaki Allah, yaitu persatuan kehendak denganNya.
4.BERSERU
Inilah permohonan yang
keempat dalam doa Bapa Kami: “berilah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya”. Disinilah kita
diminta untuk berani berseru kepada Tuhan untuk hal-hal yang kita
butuhkan. Sebuah keyakinan iman
bahwa Tuhan sangat peduli dan mengasihi kitalah yang mendasari seruan ini. Inilah sebuah seruan
keberanian yang dimiliki oleh anak-anak Allah. Kita meminta dan kita tahu bahwa
kita akan menerimanya. Ayah mana, “yang
akan memberi anaknya batu, jika anaknya minta roti?” (Bdk.Mat 7:9). Selanjutnya, para Bapa Gereja, terutama St. Agustinus mengkait-kenangkan
“our daily Bread”
dengan Ekaristi, yang menjadi berkat/ rejeki rohani kita. Ini mengingatkan
kepada kita agar kita tidak semata-mata mencari rejeki duniawi, tetapi juga berkat
rohani. Tubuh kita lapar akan makanan, jiwa kita lapar akan
Allah.
Bagi kita, berkat
rohani yang tertinggi maknanya adalah Ekaristi, saat kita boleh menerima
Kristus Sang Roti Hidup. Di sini kita diingatkan oleh para Bapa Gereja untuk berseru memohon
kehadiran Yesus, Sang Roti Hidup, di dalam hidup kita setiap hari. Dan jika
“setiap hari” (epiousios) ini
diucapkan setiap hari, maka artinya adalah selama-lamanya.
St.Agustinus lebih
lanjut berkata, ada tiga tingkat arti roti yang kita minta, yakni: semua hal
yang memenuhi kekurangan dalam hidup kita; sakramen Tubuh Kristus yang kita
terima setiap hari; makanan rohani kita, Roti Kehidupan, Yesus sendiri.
5. BERDAMAI
“Ampunilah
kami akan segala kesalahan kami, sama seperti kami mengampuni orang yang bersalah
kepada kami” mengingatkan kita untuk berdamai dengan Tuhan sekaligus dengan sesama: mau masuk pada suasana pertobatan dan pengakuan bahwa kita ini berdosa: “mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa”.
Dikatakan
di sini bukan “ampunilah kami, seperti kami
akan
mengampuni yang bersalah kepada kami.” Maka
seharusnya, pada saat kita mengucapkan doa ini,
kita sudah harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita.
Mari kita renungkan, kalimat yang sederhana ini namun sangat dalam artinya:
Bahwa Tuhan akan mengampuni kita kalau kita terlebih dahulu mengampuni orang
lain. Jadi artinya, kalau kita tidak mengampuni maka kitapun tidak beroleh
ampun dari Tuhan. Betapa sulitnya perkataan ini kita ucapkan pada saat kita
mengalami sakit hati yang dalam oleh karena sikap sesama, terutama jika itu
disebabkan oleh mereka yang terdekat dengan kita. Maka berdamai dengan orang lain sesungguhnya bukan saja demi orang itu,
tetapi sebaliknya, demi kebaikan diri kita sendiri: supaya kita juga berdamai dengan Tuhan, bukan?
6.BERHARAP
Doa Bapa Kami adalah
doa yang penuh harapan. Misa oleh Paus Paulus VI memperkenalkan doa ini dalam
bahasa Latin: “Praeceptis salutaribus
moniti, et divina institutione formati, audemus dicere” – secara harafiah
berarti: “digerakkan oleh ajaran keselamatan dan dibentuk oleh ajaran ilahi,
kita berani berdoa.” Kita berani berdoa dan yakin karena harapan kita
adikodrati, melampaui segala sesuatu yang mungkin membatasi pengharapan kita
akan penggenapan. Hal ini tampak dalam semangat keenam, yakni: “Dan
janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, melainkan bebaskanlah
kami dari yang jahat”. Ini adalah sebuah harapan bahwa
Allah selalu menjadi “Immanuel”: menyertai
kita di tengah ruwet renteng pergulat-geliatan dunia ini. Mari kita
sadari bahwa kita ini manusia yang lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa dan
kesalahan, godaan dan pencobaan. Pencobaan itu bisa
bermacam- macam: ketakutan menghadapi masa depan, sakit penyakit, masalah
keluarga, pekerjaan, pergaulan dsbnya, namun
bisa juga merupakan ‘pencobaan rohani’, terutama godaan untuk menjadi sombong, congkak dan egois karena merasa telah diberkati dengan aneka
karunia dan kebajikan. Lihatlah teladan St. Theresia. Inti pengajarannya ialah agar kita terus berharap, jangan melulu berdukacita jika
melihat diri lemah, tetapi sebaliknya kita justru berbangga pada kelemahan kita
seperti dikatakan Paulus (bdk 2 Kor 11:
30) “Jangan berduka cita dan menutupi
kelemahan-kelemahanmu, tetapi berbanggalah. Dan bila mendapat teguran,
terimalah dengan rendah hati karena kita memang layak menerimanya, bahkan yang
lebih besar daripada itu.”
7.BERIMAN
Penutup dari doa Bapa Kami adalah sebuah kata: “AMIN” (Bhs Arab: yukminu' يؤمن). Kata “Amin” ini lekat dengan kata ‘iman’ (bahasa Arab:الإيمان) dan 'aamana' (أمن). Diharapkan setiap orang yang mendoakan Bapa Kami ini juga melakukan apa yang didoakannya dengan penuh iman, bukan? Saya hanya ingin menambahkan saja, semoga kita semua mau lebih memperdalam penghayatan iman tentang doa Bapa Kami dengan membaca buku karangan Scott Hahn berjudul “Doa Bapa Kami – Refleksi dan Pemahaman menurut Kitab Suci”, yang terdiri atas 12 Bab dan Bab 13 Penutup ditambah dengan tulisan para Bapa Gereja, Santo Siprianus, Santo Sirilus dari Yerusalem, Santo Yohanes Chrisostomus dan Santo Agustinus. Seandainya ada waktu lebih lama, kita juga bisa mengulas-kupas bagaimana doa yang berpola tujuh ini dicerminkan dalam 7 perumpamaan di Matius 13 (perihal Kerajaan Surga) dan 7 kecaman di Matius 23.
Penutup dari doa Bapa Kami adalah sebuah kata: “AMIN” (Bhs Arab: yukminu' يؤمن). Kata “Amin” ini lekat dengan kata ‘iman’ (bahasa Arab:الإيمان) dan 'aamana' (أمن). Diharapkan setiap orang yang mendoakan Bapa Kami ini juga melakukan apa yang didoakannya dengan penuh iman, bukan? Saya hanya ingin menambahkan saja, semoga kita semua mau lebih memperdalam penghayatan iman tentang doa Bapa Kami dengan membaca buku karangan Scott Hahn berjudul “Doa Bapa Kami – Refleksi dan Pemahaman menurut Kitab Suci”, yang terdiri atas 12 Bab dan Bab 13 Penutup ditambah dengan tulisan para Bapa Gereja, Santo Siprianus, Santo Sirilus dari Yerusalem, Santo Yohanes Chrisostomus dan Santo Agustinus. Seandainya ada waktu lebih lama, kita juga bisa mengulas-kupas bagaimana doa yang berpola tujuh ini dicerminkan dalam 7 perumpamaan di Matius 13 (perihal Kerajaan Surga) dan 7 kecaman di Matius 23.
Akhirnya, mengacu pada
7 semangat di atas, doa Bapa Kami adalah contoh mengenai
bagaimana kita patut berdoa. Apakah salah kalau kita menghapalkan Doa Bapa
Kami? Tentu tidak! Apakah salah kalau kita mengulangi Doa Bapa Kami sebagai doa
kita? Tidak, jika kita sungguh-sungguh dan dengan segenap hati. Dkl: Betapapun
indahnya suatu doa, yang tidak boleh terlupakan adalah bagaimana kita meresapkannya,
sehingga kata-kata yang diucapkan bukan hanya sekedar hafalan (dimensi informasi/pengetahuan iman belaka), tetapi
sungguh-sungguh keluar dari hati dan menjadi milik kita
sendiri (dimensi internalisasi/pengendapan nilai-nilai). St. Teresa dari
Avila memberikan satu tips yang sangat berharga, “Arahkanlah matamu ke dalam batin dan lihatlah di dalam dirimu…. Engkau
akan menemukan Tuhanmu.”
Bapa Kami, Sebuah Semangat
¨ Jangan
mengatakan Bapa
Jikalau sehari-hari
engkau tidak berlaku sebagai anak
¨ Jangan
mengatakan Kami
Jikalau engkau hidup
sendiri dalam egoismemu
¨
Jangan mengatakan yang
ada di Surga
Jikalau engkau hanya memikirkan hal hal duniawi
¨ Jangan
mengatakan dimuliakanlah nama-MU
Jikalau engkau tidak menghormati-NYA dalam hari-harimu
¨ Jangan mengatakan
datanglah Kerajaan-Mu
Jikalau engkau tidak menyiapkan jalan bagi-Nya
¨ Jangan
mengatakan terjadilah kehendak-Mu
Jikalau engkau tidak
mau memanggul salib karena berat dan pahit adanya
¨
Jangan mengatakan di
atas bumi seperti didalam Surga
Jikalau engkau tidak menjalani hidupmu dengan baik
¨ Jangan
mengatakan berilah kami rejeki pada hari ini
Jikalau engkau tidak
berbelas kasih terhadap yang lapar, papa, dan tanpa harapan
¨
Jangan mengatakan
ampunilah kesalahan kami
Jikalau engkau tidak berusaha untuk memperbaiki cara hidupmu
¨
Jangan mengatakan
kamipun mau mengampuni yang bersalah kepada kami
Jikalau engkau masih menyimpan dendam dan kebencian terhadap sesamamu
¨
Jangan mengatakan
janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Jikalau engkau masih bermaksud untuk berbuat dosa
¨
Janganlah mengatakan
bebaskanlah kami dari yang jahat
Jikalau engkau tidak berani mengambil posisi untuk melawan kejahatan
¨ Jangan
mengatakan Amin
Jikalau engkau tidak
menganggap serius setiap kata dalam Doa Bapa Kami
0 komentar:
Posting Komentar