Ads 468x60px

Tujuh Tabiat



Kuman sampai Kutang

“Hendaklah tingkah laku dan perkataanmu sedemikian rupa
sehingga setiap orang yang melihat dan mendengarmu akan berkata:
orang ini pengikut Yesus Kristus”
(Jose Maria Escriva, Camino, Opus Dei, No. 2.)



Saya mengenal empat pribadi dalam empat tahun pertama menjadi seorang pastor: Ada seorang satpam di bilangan Kebon Jeruk bernama Sukirman - sukacita karena iman. Ada lagi seorang prodiakon di daerah Tangerang bernama Wagiman - wajah giat beriman. Adalah seorang pengurus Lansia di Gereja Salib Suci Tugu Cilincing bernama, Rajiman - Rajin dalam iman dan seorang supir pastoran bernama Herman - Hendaklah engkau rajin beriman. Keempat nama ini kerap menggema setiap kali saya mendalami sebuah kata sederhana tapi kaya makna bernama: “Iman.”

Sebenarnya, apa itu iman? Iman (bahasa Yunani: πίστινpisti) adalah rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda). Alkitab Terjemahan Baru (TB) mencatat kata "iman" sebanyak 155 kali. Menurut beberapa versi terjemahan Alkitab, kata "iman" yang dalam bahasa Yunani tertulis sebagai πίστιν (baca "pistin") Namun dalam beberapa versi terjemahan Alkitab, kata "iman" dan kata "percaya" diterjemahkan juga dari kata Yunani "πίστις" (baca "pistis").

Dari mana Iman timbul? Iman timbul karena seseorang mendengar firman Kristus : Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus. (Roma 10:17). Iman juga bisa timbul dari Berita Injil:  Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil, (Filipi 1:27). Sebuah contoh menarik soal bagaimana iman dapat tumbuh, dapat dilihat pada kisah seorang wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun (Markus 5:25-29)

 

Secara sederhana, mengacu pada Surat  kepada orang  Ibrani  11:1,  iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.Bagi saya, iman sendiri mempunyai tujuh tabiat, antara lain:


  1. Menyembuhkan.
Matius 9:29
Lalu Yesus menjamah mata mereka 
Sambil berkata: "Jadilah kepadamu
menurut imanmu."

  1. Menyelamatkan.
Lukas 8:48
Maka kata-Nya kepada perempuan itu: Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!"

  1. Menghidupkan.
Yohanes 20:31
“Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya.

  1. Menguatkan: senjata untuk melawan kejahatan.
I Petrus 5:8 – 9
Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.

 Efesus 6:16
“Dalam segala keadaan, pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat.”

  1. Membenarkan.
Galatia 2:16
Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab tidak ada seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat.

  1. Melakukan perkara besar.
Matius17:20
Ia berkata kepada mereka: Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.

  1. Memperoleh pengampunan.
Kisah Para Rasul 26:18
“Untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan.

Tapi, di balik tujuh tabiat iman ini, ada juga tujuh tabiat buruk, yang membuat kita menjauh dari rahmat Tuhan tersebut, antara lain:

1.Kudis - Kurang Disiplin
Sebuah ilustrasi: Seekor katak dimasukkan ke suatu wadah air yang sedang mendidih. Seketika katak itu meloncat keluar. Kemudian katak yang sama diletakkan di atas air yang sejuk dan banyak makanan dalam suatu wadah. Katak itu senang. Kemudian wadah air itu dipanaskan secara amat pelan. Heran, setelah beberapa jam, katak itu tidak bergeming, dan bahkan sampai mendidih ia tinggal disitu dan akhirnya mati. Bukan hanya katak, bahkan manusia beriman kerap mati karena terlena dan kurang disiplin.

Buktinya? Tabiat pertama bernama “kudis” ini kerap melanda kita, bahkan juga para rasul Yesus. Dalam kacamata biblis, kedua belas rasul/para murid Yesus (Simon Petrus dkk) dalam Alkitab berbahasa Inggris, disebut sebagai “disciples”, bukan “students”. Mengapa? Kata disciple’ sendiri berartimurid yang belajar” (learner). Dan kata “disciple” ini dekat-lekat dengan kata “disiplin” (discipulus).
Sebuah contoh kudis yang dimiliki para rasul, yakni ketika “tiga sekawan”: Yakobus, Yohanes dan Petrus, tertidur di taman Getsemani,  padahal Yesus mengingatkan kepada “tiga soko guru Gereja ini: ....Sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya engkau jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mrk 14:37-38 / Mat 26:40-41 / Luk 22:46).
Dkl: Allah kerap ingin mendisiplinkan kita. Dia melakukan ini dengan menangani keinginan-keinginan daging kita. Dia melakukannya karena kita adalah anak-anakNya. (lbr 12:5-6: “Dan sudah Iupakah kamu akan nasehat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, Janganlah anggap enteng didikan Tuhan dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.”).

Ada dua indikasi bahwa seorang beriman itu memiliki “kudis”, mengacu pada Injil Lukas, yakni: kurang berkomitmen serta suka menunda-nunda.

A.    Orang yang kurang berkomitmen.
Luk 9:61-62 : Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."
Bila kita amati situasi di atas kita ketemukan bahwa masalah orang ini ialah godaan (Saya akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi....”). Ketika itu Yesus nampak keras terhadap orang tersebut, tapi perlu kita ketahui bahwa Yesus mengenal hati manusia. Dia mengetahui pikiran di balik kata-kata. Dengan jelas hati orang itu bingung karena hal-hal disekeliling dia, bukan hanya keluarganya. Dia belum sepenuhnya berkata “tidak’ kepada dunia, tetapi masih terus setengah hati dan melihat ke belakang. Dia belum berkata “tidak” kepada hal-hal yang menghalangi jalan untuk melayani Allah.

Ingatlah, bukankah pembajak yang mengagumi benda tetangganya di sawah sebelah tidak akan membajak dengan lurus? Kita tidak akan tetap berada di jalan yang sempit dan lurus, kalau mata kita selalu melihat ke kiri dan ke kanan, bukan? Cepat atau lambat akan tiba saatnya bahwa kita akan menyimpang. Nah, sebagaimana membajak menuntut perhatian yang tak terbagi dari sang pembajak, demikian juga mengikut Yesus menuntut perhatian yang tak terbagi dari sang murid. Sekali kita memulai tugas kita, kita harus berkomitmen menyelesaikannya.

Komitmen sendiri berarti segera meninggalkan apa yang sedang mereka kerjakan dan mengikuti Yesus. Adalah mungkin bahwa meskipun mereka yakin akan tuntutan Yesus, tetapi mereka tidak bersedia meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus. Seandainya mereka tidak bersedia, mereka tidak menjadi murid-muridNya. Untuk menjadi murid-murid Yesus kita harus memiliki komitmen seperti para rasul. Menolak memberikan semuanya kepada Yesus berarti ada sesuatu yang lain yang kita ikuti yang kita anggap lebih penting daripada Yesus (Luk 14: 26-27).

Dkl: pekerjaan, keluarga, ambisi kita dan bahkan hidup kita sendiri harus menjadi nomor dua setelah komitmen kita kepada Yesus. Ini tidak berarti bahwa kita melalaikan keluarga kita atau melakukan pekerjaan seenaknya sendiri. Yang dimaksudkan ialah bahwa Yesus harus didahulukan.

 

B. Orang yang suka menunda-nunda.

Luk 9:59-60: Lalu Ia berkata kepada seorang lain: "Ikutlah Aku!" Tetapi orang itu berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana."

Orang ini mempunyai problem dalam menentukan skala prioritas. Secara sepintas, nampaknya Yesus agak keras terhadap orang ini. Dalam tradisi Yahudi mengubur bapak itu tanggung jawab anak laki-laki tertua, dan mungkin saja, si murid itu anak lelaki tertua.

Pertanyaannya: Apakah bapaknya sudah mati? Pasti belum. Bapak orang ini mungkin bahkan tidak sakit, mungkin hanya karena tua dan lemah dan anak ini tidak mau melalaikan kewajibannya. Dia merasa dia tidak dapat meninggalkan bapaknya sampai dia meninggal dan tugasnya selesai. Lalu apa masalahnya? Dia menaruh kekuatiran di hadapan Allah yang menyebabkan dia menunda-nunda dan tidak langsung sigap-bergegas mengikuti Yesus. Contoh sebaliknya, yang paling jelas tentang hal ini adalah panggilan Yesus kepada para muridNya. Kitab Suci berkata, “mereka segera meninggalkan jala mereka dan mengikut Dia”. (Mat 4: 20).

2. Kuli - Kurang Peduli
Inilah tabiat buruk yang kedua: “Kuli-Kurang peduli.” Peduli dalam bahasa Inggris berarti “care/caring.” Kata ini bisa jadi berakar dalam bahasa Latin, cor, core, cordis: hati. Kepedulian ini terkait-erat dengan gerak hati, per’HATI’an terhadap orang lain. Ada beberapa arti kata yang hampir sejajar dengan sikap peduli, yakni: Chamal, berarti “bersimpati terhadap orang lain, merasa senasib-sepenanggungan (compassion). Ada juga Racham”, berarti “memegang dengan lemah lembut”, dengan maksud untuk mencintai atau menaruh belas kasihan. Kata ini ada kaitannya dengan “rahim’. Ini berarti “sikap belas kasih yang mendalam, seperti belas kasih seorang ibu yang senantiasa peduli terhadap bayi kecilnya yang tak berdaya.” Secara tidak langsung, kata ini sebenarnya menjelaskan isi hati Allah sendiri (Yes 49:15: Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya sehingga ia tidak menyayangi anak dan kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau”).

Dalam dunia Kitab Suci Perjanjian Baru, ada sebuah istilah lain yang dekat dengan suatu sikap kepedulian, yakni Splanchnizomai”, yang berarti “tersentuh bagian batinnya”, “terketuk/tergoncang dalam hatinya.” Dengan jelas, hal ini melukiskan sikap Yesus terhadap kebutuhan manusia di sekitarnya. Bila Yesus memandang orang banyak, Dia sering dilukiskan sebagai pribadi yang “tergerak oleh belas-kasihan”. Bukankah kita juga harus tergerak oleh belas kasihan terhadap orang lain di sekitar kita? Bukankah tepat bahwa Tuhan sang Imam Agung kita adalah Tuhan dan sekaligus Imam Agung yang peduli: “Imam Agung kita itu bukanlah imam yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya ia sudah dicobai dalam segala hal, sama seperti kita sendiri; hanya ia tidak berbuat dosa, (Lih. lbr 4: 15).

Nah, kalau Allah kita sungguh Allah yang peduli, mengapa kita, para umatNya kadang malahan memiliki tabiat “kuli - kurang peduli?”
Salah satu penyebabnya, kemungkinan adalah terlalu mengasihi diri sendiri, self-pity atau berorientasi pada diri, self-oriented (Bdk. Luk 18:28, Kami ini telah meninggalkan segala kepunyaan kami dan mengikut Engkau”....). Para murid yang diwakili oleh Petrus menuntut upah dari Yesus buat setiap pengorbanan mereka untuk mengikuti Yesus. Tampak jelas bahwa, mengasihi diri sendiri dan terpusat  pada diri sendiri menjadi penghalang untuk berani berpeduli secara penuh, bukan?

Alasan kedua, karena ada “hidden agenda”, udang di balik batu, atau ambisi yang berlebihan. Lihatlah figur dua kakak beradik, Yakobus dan Yohanes, yang orang tuanya bernama Zebedeus, seorang nelayan kaya dari Kapernaum. Yohanes (Yohanes adalah nama Yunani yang berasal dari kata loannes, yang diturunkan dari nama Ibrani Ye ho hanan atau Yohanan, yang artinya “Yahwe menganugerahi”) bersama dengan Yakobus (Yakobus adalah nama Yunani, yang berasal dari nama Ibrani Ya’aqob, dijuluki sebagai Yakobus Tua), dalam bahasa Aram disebut boanerges, yang berarti “anak-anak guruh” (Mrk 3:17). Sebutan itu berkaitan dengan gairah’ Yohanes dan Yakobus sewaktu orang-orang Samaria menolak Yesus karena perjalananNya ke Yerusalem: “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” (Luk 9:54).

Bersama dengan Yakobus, Yohanes juga berambisi untuk menjadi orang penting di lingkungan Yesus. Ambisi itu tampak dalam permintaannya sendiri: “Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami! Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaanMu kelak, yang seorang di sebelah kananMu dan yang seorang lagi di sebelah kiriMu” (Mrk 10:35,37) atau dalam permintaan
Salome, ibunya: “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam kerajaanMu, yang seorang di sebelah kananMu dan yang seorang lagi di sebelah kiriMu” (Mat 20:21).

Yakobus, Yohanes juga ibunya, Salome memiliki ambisi pribadi dan kurang memperdulikan 10 rasul lainnya. Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan Simon si Batu Karang atau Simon orang Zelot atau juga si Yudas Tadeus dan bahkan Yudas Iskariot. Yakobus dan Yohanes sibuk dengan kepentingannya sendiri: “EGP - Emang Gue Pikirin, HIV-Hemang Ike Vikirin.”

Selain itu, para rasul juga kadang bertanya kepada Yesus siapa yang terbesar di antara mereka. Sikap ini jelas menghambatnya untuk berpeduli satu dengan yang lain. Jawaban Yesus terhadap para murid yang mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka ialah:  “mencuci kaki murid-muridNya”. Sikap inilah yang harus ada dalam diri kita, yaitu berusaha berpeduli: lebih dahulu melayani orang lain daripada mencari posisi, kedudukan atau status dan ambisi pribadi.

3. Kuman - Kurang beriman.
Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu sebuah pilihan! Begitulah bunyi sebuah iklan di bilangan Magelang. Begitu juga dalam hal iman bukan? Taraf kedewasaan iman merupakan sebuah pilihan. Kedewasaan iman juga menentukan mutu jawaban kita terhadap Allah. Tanggapan/jawaban kita kerap dipengaruhi oleh kedewasaan intelektual (akal budi), afektif (cinta dan emosi) serta volutif (kehendak dan penghendakannya). Orang  dapat beriman dan mengetahui banyak tentang isi iman tetapi kadang juga kurang beriman, dalam bahasa Jawa: “esuk dele sore tempe, lambe domble mencla mencle.” Inilah tabiat ketiga, yang saya sebut sebagai “kuman-kurang beriman.”

Hal ini bisa terjadi karena disposisi afektif yang tidak dewasa, atau ‘dis-integrasi’: ada yang kurang utuh/kurang penuh dalam pengolahan imannya.

Dalam rangka inilah, kita melihat Simon yang disebut Petrus. Simon adalah nama Yunani, yang berasal dari kata Ibrani Syimon, singkatan dari nama Simeon (Kis 15:14; 2 Ptr 1:1; Luk 2:25). Sedangkan Petrus adalah kata Latin, Yunani: Petros, Ibrani-Aram: Kefas), yang artinya “batu karang”. Penginjil Yohanes kerap kali menggabungkan nama Simon Petrus, sehingga Simon menjadi nama pertama dan Petrus adalah gelar atau sebutan.

Peran Simon Petrus yang sangat menentukan terjadi di Kaisarea Filipi saat Yesus bertanya kepada para murid: “Apa katamu, siapakah Aku ini?” Simon mewakili para murid menjawab dengan keyakinannya: “Engkau adalah Mesias!” (Mrk 8:27-33 // Mat 16:13-18 // Luk 9:18-21). Sejak awal Simon Petrus
juga menjadi juru bicara bagi para murid Yesus (bdk. Luk 5:1-11). Di antara kedua belas murid, yang menjadi pengikut setia Yesus dan inti pembentukan umat Israel baru, Simon Petrus berada di tempat pertama (Mat 10:1-4; Mrk 3:13-19; Luk 6:12-16). Posisi pertama Simon Petrus juga tampak dalam kelompok kecil, tiga murid pilihan yang menyertai Yesus, sewaktu Yesus membangkitkan anak perempuan Yairus (Mrk 5:37), Yesus berubah rupa di gunung Tabor (Mrk 9:2) dan Yesus berdoa di taman Getsemani (Mrk 14:33). Yesus juga memilih Simon Petrus untuk memancing ikan dan dengan dirham yang ditemukan dalam mulut ikan itu, ia harus membayar bea Bait Allah.

Di sisi lain, kenyataan bahwa Simon Petrus juga orang yang tidak selalu menjadi batu karang tampak dalam berbagai kesempatan. Simon Petrus, sang batu karang ini ternyata juga pernah memiliki “kuman-kurang beriman” dalam hidupnya. Yesus dengan tegas pernah mengingatkannya: “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (Yoh 13:38; 18:17-18, 25-27 // Mat 26:34, 69-75 // Mrk 14:30, 66-72 // Luk 22:34, 56-60). Yah, Petrus ternyata pernah menyangkal Yesus bahkan sampai tiga kali bukan? Sementara Yesus diadili oleh Mahkamah Agama, di luar rumah Petrus bergabung dengan orang-orang yang berdiang di halaman. Saat itulah tiga kali ia menyangkal Yesus sebelum ayam berkokok: “Aku tidak kenal orang itu” (Mat 26:69-75). Karena itu di tempat bekas rumah Kayafas itu dibangun sebuah gereja dengan nama Petrus Gallicantu, yang artinya “Petrus Kokok Ayam”.

Sebuah langkah sederhana, yang terkesan klise, yang bisa kita buat untuk menghilangkan ‘kuman’ ini, yaitu: berdoa! Entah  meditasi entah kontemplasi, entah doa-doa devosi. Meditasi sendiri adalah sebuah doa di mana ingatan, akal budi dan kehendak kita diaktifkan untuk memahami dan mencecapi kebenaran iman yang dibatinkan atau digumuli menjadi keprihatinan pribadi (misal: masalah-masalah sosial, keadilan, kebaikan, kasih Allah). Sedangkan, kontemplasi adalah doa hening untuk bersatu dengan Tuhan, di mana dengan mengaktifkan daya-rasa (sense-sensuum) kita masuk ke dalam kisah Kitab Suci atau pengalaman hidup pribadi. Sedangkan, doa-doa devosi bisa kita lihat dan kita buat seperti rosario, kerahiman ilahi,, jalan salib, litani dsbnya.

Dalam pelbagai jenis doa ini, kita bisa tinggal dalam keheningan (solitude) untuk menemukan hikmat Allah, kata-kata dan tindakan Allah bagi hidup dan iman kita yang lebih mendalam. Satu hal yang baik kita ingat: "....bukan berlimpahnya pengetahuan, melainkan merasakan dalam-dalam kebenaran-nya itulah yang memper­kenyang dan memuaskan jiwa" (LR Ignatius no. 2).

4. Kuper - Kurang Percaya.
Sebuah ilustrasi: Sebuah gereja sedang dibangun di kaki sebuah bukit di pinggiran sebuah kota. Setelah bangunan selesai, ternyata area parkir terlalu sempit. Menggempur gunung di belakang tak mungkin karena gereja akan diresmikan dua minggu lagi oleh Bapak Uskup Agung dan Bupati setempat, dan lagi pula biaya untuk itu tidak ada. Pastor pun segera mengumpulkan Dewan Paroki dan para pemuka umat lainnya serta menantang mereka agar percaya bahwa orang yang beriman bisa ‘memindahkan gunung asal percaya’. Orang yang yakin penuh selalu mampu berbuat keajaiban. Para pemuka umat membahasnya dan selalu bertemu jalan buntu. Akhirnya, mereka berdoa dengan khusuk. Esok harinya waktu sang pastor sedang ikut bersih-bersih di gereja itu, seseorang datang tergesa-gesa menghadapnya dan berkata, “Bapak, kami dari PT Bangun Sarana. Kami akan membangun sebuah mall di sebelah sana dan memerlukan tanah dalam jumlah banyak sekali. Bolehkah kami menggempur bukit di belakang gereja ini dan mengangkut tanahnya? Kami akan bayar secara pantas.”

Cerita berakhir disini. Bukankah tak pernah terlambat mewujudkan impian? Ambil saja langkah pertama yaitu berani memimpikan suatu impian besar. Kemudian kuatkan kepercayaan untuk mengambil sedikit risiko dan jadikan impian itu menjadi kenyataan. Kita takkan menyesal telah membuatnya. Keraguan melihat rintangan, tapi kepercayaan melihat jalan! Keraguan melihat malam kelam, tapi kepercayaan melihat hari terang! Keraguan bertanya “Siapa percaya”?, tapi kepercayaan menjawab “Saya!
Kepercayaan atau ‘percaya” itu dalam bahasa Ibrani, mengandung pengertian tertelungkup tanpa daya, dengan segenap hati, sebuah ketergantungan yang mutlak! Kecenderungan kita adalah percaya kepada diri sendiri, dan kurang bersandar pada Allah. Dkl: kita harus menyandarkan diri kita kepada Allah. Allah menjadi sandaran dan penolong kita. Kalau kita bersandar pada pengertian kita sendiri, kita akan kalah dan terluka.
Sebaliknya, jika kita percaya pada Allah, kita boleh yakin bahwa Dia akan membimbing kita (Rom l0:9 ,Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan)

Pada kesempatan ini, baiklah kita melihat sekaligus mengingat figur Tomas. Tomas adalah nama Yunani, yang berasal dari kata Thomas dan disebut Didimus (Yoh 11:16; 20:24; 21:2), dari kata Yunani Didymos. Nama Tomas diterjemahkan dari kata Ibrani t’hom, yang berarti “kembar”. Alkitab berbahasa Latin, Vulgata, lebih senang memakai nama Didimus.

Tomas terkesan sebagai orang yang tidak gampangan percaya dengan kesaksian-kesaksian orang lain. Baginya perlu tanda-tanda yang obyektif: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh 20:25).

Dengan demikian Tomas menjadi seorang yang menyuarakan paham dari orang-orang yang kadang kurang percaya. Syukurlah,  Yesus yang bangkit menjawabnya dengan penampakan tubuh jasmani-Nya yang telah disalibkan, namun dari tubuh-Nya itu terpancar kepenuhan ilahi, Yesus Kristus, Putra Allah. Dialah yang meneguhkan iman Tomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yoh 20:27).

Bukti obyektif Yesus yang bangkit dengan jiwa dan badan itulah yang mengukuhkan iman Tomas, sehingga ia berseru: “Dominus meus et Deus meus - Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Pengakuan iman itu menurut Penginjil Yohanes menjadi kesaksian terakhir dari misteri Yesus yang bangkit. Pengakuan itu juga telah menjadi hakekat pengakuan iman Kristiani. Karena itu dengan perantaraan Tomas, Yesus berbicara untuk semua orang percaya sesudah periode para rasul: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yoh 20:28-29).

Bagaimana kita mengurangi  bahkan menghilangkan tabiat “kuper” ini? Kita semestinya memiliki pengalaman pribadi dalam hubungan dengan Tuhan, entah yang berupa pengalaman akan Allah (= mistis) atau pengalaman religius (= inkarnatoris) yang dialami lewat doa, bacaan profan maupun bacaan rohani, juga lewat studi mendalam atau perjumpaan dengan orang  lain. Mengapa?

Pertama, Pengalaman berjumpa dengan Allah secara pribadi inilah yang menjadi dasar pertumbuhan kepercayaan kita  kepada Tuhan, oleh karena masing-masing dari kita disentuh secara  langsung oleh Allah sendiri dalam hidupnya.

Kedua, Kemampuan kita untuk menyadari kehadiran Allah dalam setiap peristiwa hidup.  Ini adalah sebuah kemampuan yang bisa kita latih sekaligus sebagai sebuah tanda pertumbuhan rohani itu sendiri, khususnya apabila dalam kegelapan hidup dan kesulitan yang kita hadapi, kita masih mampu beriman dan percaya sepenuh hati kepada Tuhan: “Omnia quaecumque orantes petitis, credite quia accipietis, et evenient vobis - Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu(Mrk 11:24).


5. Kutu - Kurang bersekutu.
Secara sederhana, Gereja Katolik mempunyai lima bidang hidup menggereja, yang kerap saya singkat dengan istilah, “LKMD”: Liturgia (peribadatan), Koinonia (persekutuan) – Kerugma (pengajaran), Marturia (pewartaan-kesaksian) dan Diakonia (pelayanan).
Nah, ketika kita bicara soal tabiat “kutu” ini, baiklah kita mengenal istilah ‘Koinonia’ di atas. ‘Koinonia’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang berarti kemitraan atau persekutuan atau “companion - persahabatan.Itu berarti orang yang bersaudara mempunyai sesuatu secara bersama-sama. Itu menunjukkan bahwa dasar persaudaraan adalah relasi. Kita tidak dapat mempunyai persaudaraan jika pertalian relasi kita tidak dibangun terlebih dahulu. Koinonia/kemitraan ini karenanya menunjukkan adanya sikap saling menerima.

Koinonia’ dapat juga ditafsirkan sebagai “melakukan sesuatu bersama dengan orang lain”. Pengertian ini dekat dengan bahasa Yunani Koinonos’, yang berarti “orang yang turut ambil bagian”. Dalam arti ini persekutuan bukanlah sesuatu yang pasif, tetapi aktif dan selanjutnya belum terlaksana sebelum ada ‘tindakan’ partisipasi.
Secara sederhana, mengacu pada aneka surat Rasul Paulus, ada tujuh alasan teologis mengapa kita mesti menjaga persekutuan kita dengan Tuhan dan segenap umat beriman, al:
 
§  Kita disalibkan bersama dengan Dia (Rom 6: 6)
§  Kita hidup bersama dengan Dia (Rom 6: 8)
§  Kita dibangkitkan bersama dengan Dia (Kol 2:12)
§  Kita dihidupkan bersama dengan Dia (Kol 2:13)
§  Kita dimuliakan bersama dengan Dia (Rom 8: 17)
§  Kita menjadi ahli waris bersama dengan Dia (Rom 6:17)
§  Kita memerintah bersama dengan Dia (II Tim 2:12)

Soal persekutuan/persatuan ini bukan hanya menjadi perhatian Paulus, Yesus sendiri dalam kesatuannya dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus, mendambakan Gereja dan para muridNya untuk senantiasa bersatu.  Lihatlah sebuah doa Yesus untuk para muridnya (Bdk: Yoh 17:1-26), terdapat sebuah kalimat yang dikatakan oleh Yesus, “ut omnes unum sint – semoga mereka  semua menjadi satu.”

Tapi, dalam kenyataannya, kadang kita pun sulit untuk bersatu bukan? Dalam intensi inilah, baik juga kita melihat figur Yudas Iskariot. Ia adalah anak Simon Iskariot (Yoh 6:71).
Kata Iskariot sendiri memiliki tiga arti, al:

Pertama,berasal dari kata Iskariotes, yang diturunkan dari nama Ibrani-Aram isy kariot, yang artinya “orang dari Kariot”, kota kecil dekat Hebron (Hos 15:25).

Kedua, merujuk pada karakter yang dalam bahasa Aram: isyqarya, yaitu “palsu” dan

Ketiga, dalam bahasa Yunaninya sikarios yang berarti “pembunuh bayaran”.

Kalau benar bahwa Yudas berasal dari kota Kariot, maka itu itu berarti bahwa Yudas adalah satu-satunya rasul Yesus yang bukan berasal dari Galilea. Menurut orang-orang Yudea, penduduk Galilea adalah orang-orang perbatasan yang kasar. Maka, mungkinkah sikap itu yang membuat Yudas merasa terasing di antara rasul-rasul yang lain dan menjadi alasan pengkhianatannya? Ditambah lagi, Yudas adalah rasul Yesus yang dalam daftar para rasul selalu diletakkan paling belakang dengan predikat “yang mengkhianati Dia” (Mat 10:4; Mrk 3:19; Luk 6:16).

Tabiat kelima yang saya sebut: “kutu-kurang bersatu” ini kerap terjadi juga karena pengaruh iblis. Lihatlah, pengkhianatan Yudas sendiri berhubungan dengan pengaruh Iblis:mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia ... Dan sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Maka Yesus berkata kepadanya: Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera” (Yoh 13:2,27; Luk 22:3-4).

Dkl: Kita diajak untuk senantiasa waspada terhadap pelbagai usaha perpecahan yang diciptakan oleh iblis, maraknya LIPI-Lembaga Intrik Penyebar Isu, serta pelbagai praktek adu domba dalam gereja, bahkan juga dalam kalangan para gembala dan pemuka umatnya sendiri.

Disinilah, mengacu pada cara hidup  jemaat perdana dalam Kisah Para Rasul 2:42-47, ditampil-kenangkan bahwa jemaat perdana terus bersekutu dan jauh dari pengaruh Iblis. Jika, kita melihat ayat 44-47, tampaklah lima bukti nyata dari persekutuan mereka yang pantas mendapat perhatian kita, yakni:

§  Mereka percaya bersama-sama.
§  Mereka membagikan harta milik mereka.
§  Mereka berkumpul dalam Bait Allah bersama-sama
§  Mereka memecahkan roti di rumah-rumah mereka bersama-sama.
§  Mereka makan bersama-sama.

Hal-hal di atas adalah suatu contoh yang jelas ke arah mana persekutuan kita dipanggil (Rom 12:5, “Demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang Iain”). Dkl: Gereja adalah Tubuh Kristus. Anggota-anggota Gereja adalah bagian-bagian dari tubuh yang nyata dan hidup. Meskipun demikian kita semua berbeda dengan sifat-sifat / ciri-ciri yang khas.

De facto, kita mempunyai pelayan yang berbeda-beda: pastor/gembala, biarawan/wati,
katekis, aktivis, pengusaha, penderma, karyawan biasa dsbnya. Kita semua berbeda-beda, namun demikian kita itu sama pentingnya dan sama dibutuhkannya: Bhinneka Tunggal Ika, Unitas in diversitas!

6. Kurap - Kurang  berharap.
Adalah sebuah cerita: Seorang pelayan tiap hari turun ke sungai mengambil air bagi tuannya dengan dua ember yang digantungkannya pada kedua ujung pikulan. Satu ember agak bocor hingga setiba di rumah tuan sudah tak penuh lagi seperti ember yang lain yang sempurna. Suatu ketika ember bocor merasa minder dan mengeluh bahwa ia tak berguna lagi. “O, jangan begitu”, kata pelayan, “Tidakkah kau perhatikan bahwa dalam dua tahun terakhir ini aku bisa menghias rumah tuan dengan bunga yang indah? Itu jasamu. Tiap hari aku memikul kau dan kau membasahi pinggir jalan di bawahmu di sisi jalan dimana sebelumnya telah kutaburkan bibit bunga. Sementara aku jalan kau menyirami bibit itu. Tuan kita amat senang karena rumah menjadi ceria penuh kembang. Itu jasamu, kawan. Dengan cacat atau kekuranganmu, kau telah berjasa.”

Berangkat dari cerita di atas, banyak di antara kita seperti ember bocor itu: mengeluh merasa minder, dan merasa tak berguna dan hilang harapan. Padahal sebenarnya amat berguna asal membuka mata dan hati saja. Disinilah, teks tak  lepas dari konteksnya bukan? Sekarang banyak orang beriman juga tertutup mata dan hatinya. Mereka mengalami kekeringan dan merasa tidak berguna, yang dicandra dengan 7 kehilangan yang saya tulis  dibawah ini, antara lain:

1)    kehilangan kemampuan untuk membangun dimensi afektif,
2)    kehilangan dimensi dan cita-rasa historis,
3)    kehilangan kemampuan mengintegrasikan nilai dan cara-cara baru menggali pengalaman,
4)    kehilangan rasa atas nilai obyektif yang seharusnya melahirkan visi dan perspektif hidup,
5)    kehilangan kemampuan mengambil jarak kritis,
6)    kehilangan kemampuan untuk menjadi hening,
7)    kehilangan rasa religiositas untuk berkontak dengan Tuhan.

Satu akar yang menjadi penyebab munculnya tujuh pengalaman kehilangan di atas ialah mereka mengalami hilangnya sebuah pengharapan. Inilah tabiat yang keenam: “kurap-kurang berharap.” Padahal, harapan sendiri adalah trilogi keutamaan kristiani, sejajar dengan iman dan kasih (Bdk: Roma 13:13).

Kita sendiri akan melihat bahwa, penyakit “kurap” ini juga pernah melanda rasul Andreas. Andreas sendiri adalah nama Yunani, yang berarti “pemberani”. Ia adalah anak dari Yonah (Mat 16:17) atau Yohanes (Yoh 1:42; 21:15-17) dan saudara Simon Petrus. Ia meninggal di Patras — Akaya dengan disalibkan dalam bentuk X pada tanggal 30 November 60 dalam pemerintahan Raja Aegea. Karena itu kita kenal bentuk salib X, yang juga disebut salib Andreas.

Kapan Andreas menderita “kurap”? Lihatlah, dalam Yoh 6:8, di tengah kerumunan ribuan orang yang kelaparan di tepi danau Tiberias, Andreas berkata, “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apa artinya itu untuk orang sebanyak ini?” Andreas kurang berharap, merasa pesimis dan tidak melihat sebuah jalan keluar. Dia lupa ada Yesus disitu. Itu sebabnya, saya menyukai analogi sederhana ini, “jangan katakan: “God, i have a big problem”, tapi katakan, “problem i have a big God.” Atau sebuah analogi yang lain, “banyak orang, termasuk orang beriman mengatakan hidup itu BERAT, semua harga naik tapi gaji dan pendapatan tidak naik-naik. Tapi cobalah, tambahkan satu huruf “K”, di tengah-tengah kata BERAT itu, maka yang berat bisa menjadi “berKat”, ketika “K” (baca: Kristus) itu ada di tengah-tengah pergulatan kita.

Atau dalam bahasanya St Theresia, “segala sesuatu, seberat dan sesulit apapun, jika dikerjakan bersama Allah, pasti terasa lebih mudah dan lebih indah.” Disinilah pentingnya pemeriksaan batin”. Pemeriksaan batin sendiri adalah refleksi dalam suasana doa. Dengan latihan rutin ini, kita melacak kembali rahmat Tuhan sekaligus kelemahan kita dalam peristiwa hidup harian. Kita mengalami kekuatan iman, kasih dan terlebih harapan, ketika kita semakin dekat dengan Tuhan dan diri: In te, Domine speravi - PadaMu ya Tuhan, aku menaruh harapan. Lihatlah juga teladan St. Theresia. Inti pengajarannya ialah agar kita jangan berdukacita jika melihat diri lemah, tetapi sebaliknya kita justru berbangga pada kelemahan kita seperti dikatakan Paulus (bdk 2 Kor 11: 30) “Jangan berduka cita dan menutupi kelemahan-kelemahanmu, tetapi berbanggalah. Dan bila mendapat teguran, terimalah dengan rendah hati karena kita memang layak menerimanya, bahkan yang lebih besar daripada itu.


Sebuah ilustrasi terakhir: Dua katak terjatuh dalam wadah berisi bubur. Yang satu putus asa lalu tenggelam mati. Yang satu lagi berkata, “Aku memang tak bisa meloncat tapi aku takkan menyerah begitu saja. Aku akan berenang terus hingga tenagaku habis, hingga aku mati dengan puas.” Lalu ia berenang terus sampai bubur menjadi lebih cair, sampai suatu ketika sudah  cukup cair dan … hop, ia berhasil meloncat keluar. Hidup baru berharga bila orang mencoba dan berharap terus. Kegagalan bukanlah hal paling buruk, kecuali bila orang berhenti mencoba dan berhenti berharap. Satu hal yang pasti, bukankah hidup kita berbeda dari sebuah candi  batu: kita memang lebih rapuh tapi bisa lebih berarti bila ada dalam semangat penuh harapan bukan? Dum spiro, spero - selama saya masih bernafas, saya tetap berharap!

7. Kutang - Kurang bertanggung jawab.
Makna dari istilah “tanggung jawab” (responsibility, respons – ability, ability to respons) sendiri adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.

Banyak orang yang sangat senang dengan melempar tanggung jawabnya ke pundak orang lain. Oleh karena itulah muncul satu peribahasa, “lempar batu sembunyi tangan”. Sebuah peribahasa yang mengartikan seseorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sehingga dia membiarkan orang lain menanggung beban tanggung jawabnya. Bisa juga diartikan sebagai seseorang yang lepas tanggung jawab, dan suka mencari “kambing hitam” untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perbuatannya yang merugikan orang lain.

Ingatlah pengalaman para rasul: Ketika Yesus ditangkap dan mau disalib, semua muridNya lari meninggalkan-Nya, hanya Simon Petrus yang mengikuti dari jauh sampai ke dalam halaman Imam Besar dan di situ ia duduk di antara pengawal-pengawal sambil berdiang dekat api (Mrk 14:54/ Mat 26:58/ Luk 22:54- 551/ Yoh 18:15-16). Pasca kematian Yesus, para murid juga bersembunyi, berkumpul diam-diam dengan pintu-pintu yang terkunci rapat. Atau lihatlah kembali figur Yudas. Yudas adalah bendahara yang kikir, sebagaimana tampak saat ia mengritik pemborosan sewaktu kaki Yesus diminyaki oleh seorang perempuan di Betania: “.....Yudas adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (Yoh 12:6). Atau juga kisah dalam Kejadian 4, ketika Allah bertanya kepada Kain, ‘dimana Habel, adikmu itu? Kain menjawab  seenaknya, “Aku tidak tahu, apakah aku penjaga adikku.”  Atau ingatlah sebuah peristiwa di pinggir Danau Tiberias, ketika banyak orang belum makan, para murid malahan meminta Yesus supaya menyuruh mereka semua pergi mencari makan.

Disinilah, setiap orang beriman yang mau belajar bertanggung jawab, semestinya mengingat sebuah teguran dari Nabi Yesaya: “Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku. ” (Yes 29:13). Oleh karena itu, setiap orang beriman mestinya melaksanakan tanggung jawab dengan sungguh-sungguh dan setia: I Kor 4: 2, “yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.”  
Ada sebuah kata Yunani yang dekat dengan arti bertanggung jawab, yakni: “enkrateia”, yang artinya “mempunyai kuasa atas diri sendiri.” Maka, pentinglah penerapan panca indera dan menguasai gejolak diri. Ini adalah sebuah latihan yang mempergunakan dan mengaktifkan kelima daya inderawi (penglihatan, pendengaran, pembauan, sentuhan, pencecapan) untuk semakin masuk ke dalam suasana kontemplasi. Latihan-latihan ini mengantarkan kita masuk dalam “pengalaman berkontemplasi dalam aksi”, yang banyak mendukung pemaknaan aktivitas harian. Dalam kontemplasi, orang bisa sangat sibuk, tetapi sekaligus sangat kaya dalam pemaknaan setiap pengalaman rohaninya, karena memiliki kepekaan hati yang mendalam: “Contemplatio In Actione”

Dari ketujuh tabiat di atas, kita kembali diajak dan dimurnikan untuk mengikuti Yesus. Kata Yunani yang digunakan untuk “mengikuti“ Yesus adalah “Akoloutheo”. Arti harafiah dari akoloutheo adalah pergi dengan cara yang sama/menempuh jalan yang sama. Mati terhadap diri sendiri, memanggul salib dan membuat perhitungan hanya merupakan persiapan hati, sikap dan pikiran untuk mengikuti Yesus.  Mengikuti Yesus berarti “memanggul kukNya di atas bahu kita”, sehingga kita dapat belajar dari Dia. Dalam arti ini mengikuti adalah permulaan dari pemuridan. Dalam mengemban panggilan kita yang baru, kita harus meletakkan yang lama. Dalam mengikuti Yesus, Yakobus dan Yohanes pertama-tama harus meninggalkan jalanya. Jala menggambarkan gaya hidup dan panggilan mereka yang lama.

Jumat 8 April 2005 yang lalu, homili Kardinal Ratzinger dalam misa pemakaman Paus Yohanes Paulus II berkali-kali menggarisbawahi riwayat hidup Paus almarhum sebagai jawaban bagi panggilan Yesus yang telah bangkit kepada Petrus, "Ikutilah aku!" (Yoh 21:19). Tuhan pun secara tidak langsung berkata hal yang sama kepada kita saat ini, “Ikutlah Aku!”


CARA-CARA BUNDA TERESA
MENCAPAI
KERENDAHAN HATI

Berbicara sesedikit mungkin tentang diri sendiri
Uruslah sendiri persoalan-persoalan pribadi
Hindarilah rasa ingin tahu
Janganlah mencampuri urusan orang lain
Terimalah pertentangan dengan kegembiraan
Jangan memusatkan perhatian kepada kesalahan orang lain
Terimalah perasaan tak diperhatikan, dilupakan dan dipandang rendah
Mengalah terhadap kehendak orang lain
Terimalah celaan walaupun anda tidak layak menerimanya
Bersikap sopan dan peka, sekalipun seorang memancing amarah anda
Janganlah mencoba agar dikagumi dan dicintai
Bersikaplah mengalah dalam perbedaan pendapat,
walaupun anda yang benar
Pilihlah selalu yang tersulit



0 komentar:

Posting Komentar