Belajar dari "The Passion"
1. “The Passion….”: Sebuah
Aksi
Beberapa tahun silam, tepatnya pada
hari Kamis (10 Maret 2004), “JFK”, komunitas film Fakultas Teologi Wedabhakti,
Kentungan Jogjakarta bersama (almarhum) Prof. Dr. Tom Jacobs, beberapa rekan
dosen beserta delapan puluhan suster, bruder dan frater mengadakan pemutaran “The
Passion Of The Christ” dengan layar lebar. Sebuah film karya Mel
Gibson, yang dibintangi antara lain oleh James Caviezel dan Monica
Bellucci ini sempat menimbulkan kontroversi, karena banyak orang Yahudi merasa
ketakutan bakal berkobarnya lagi semangat anti-semit.
Mel Gibson yang oleh New York
Times disebut seorang Katolik tradisional, menjadi penulis film ini
berdasarkan catatan harian St. Anne Catherine Emmerich (1774-1824), yang
terkumpul dalam The Dolorous Passion of Our Lord dan berdasarkan buku City
of God karya Mary of Agreda, di samping berdasarkan keempat injil. Bintang
yang melejit lewat film "Lethal Weapon" dan "Braveheart” ini
menggunakan dana hampir US$ 20 juta dari kantongnya sendiri untuk
memproduksi "The Passion…".
Lepas dari pengamatan Romo Tom Jacobs
yang menyatakan bahwa beberapa gambaran Mel Gibson tidak masuk akal, film yang
bersetting di Matera (Roma), lengkap dengan bahasa Aram dan Latin, dengan
seribu lebih figuran ini sangat menggambarkan keadaan penyaliban. Adegan
penangkapan, penyiksaan serta penyaliban Yesus diperlihatkan dengan begitu
jelas, sangat detail dan bahkan terlalu kejam sehingga dikategorikan sebagai R-rated
(Restricted).
- Studi Komparasi:
a. “Dari Yesus Ke Kristus”: Sebuah Reaksi
Pemutaran
film ini dimulai serempak di 2.000 gedung bioskop di Amerika dan Australia
seraya memperingati Wednesday Ash, 25 Febr. Belum seminggu berselang,
pemutaran film ini sudah meraup keuntungan besar seperti diberitakan Kompas
dan Jakarta Post. Bahkan, Newsweek juga memberitakan terjadinya
beberapa mujizat terkait film ini. "The Passion of The Christ"
memang mendapat pujian yang mengalir deras. Rick Warren dari Saddleback
Valley Community serta Pastor Warren bahkan mempromosikan film ini di
gerejanya dan sudah memborong 18.000 tiket.
Dr. Paul Cedar, dari Mission America Coalition
percaya bahwa film ini dapat menimbulkan gelombang tsunami yang membuat orang
tertarik kepada Yesus. Bahkan NASCAR (organisasi lomba otomotif USA)
dalam lomba Daytona menempelkan iklan film ini di kap mesin mobil Bobby
Labonte 18. Sementara itu, Ted Haggard, Presiden Asosiasi Penginjilan Nasional,
yang gerejanya dipakai untuk memutar film “The Passion…” di depan
800 pendeta Kristen, berkata: “Kami telah menyaksikan film yang begitu
akurat menggambarkan apa yang tertulis dalam alkitab.” Konon kabarnya,
5.000 pendeta yang mewakili lebih dari 80 denominasi dari 43 negara sempat
menyaksikan film ini dalam Global Conference Pastors Network yang
diselenggarakan pada 21-23 Januari 2004 di Calvary Assembly, Orlando. Dr. Erwin
Lutzer, dari Moody Church di Chicago menambahkan bahwa film ini merupakan
sarana penginjilan karena hari terpenting dalam sejarah adalah hari dimana
Yesus mati diatas kayu salib.
Di balik euforia massa ini,
sebetulnya kita yang menyaksikan film "The Passion of The Christ" tentang
rekonstruksi hidup Yesus 12 jam terakhir sebelum disalibkan ini bisa
melihat historisitas Yesus. Historisitas Yesus berarti Dia pernah ada sebagai
pribadi yang sungguh terkena situasi manusiawi: lahir, tumbuh-berkembang,
bergaul, bekerja-berdoa, sakit dan mati. Dkl: Dia berada dalam ruang dan waktu
yang tertentu dengan segala kemungkinan dalam konteks jaman dan budaya tertentu
pula..
b. “Dari Kristus ke Yesus”: Sebuah Interpretasi
Rekonstruksi
Dalam komentar terhadap film “The
Passion….”, Romo Tom Jacobs berpendapat bahwa gambaran Allah yang muncul
adalah gambaran Allah ala Mel Gibson.
Merupakan sebuah kenyataan bahwa setiap dari kita mempunyai banyak
gambaran dan gelar terhadap Yesus (Anak Allah, Anak Manusia, Tuhan, Gembala,
Rabi, Guru, Tabib, Nabi, Juruselamat, Mesias, Kristus, Raja Damai, Jalan
Kebenaran dan Hidup). Tapi gambaran dan gelar itu kerap terlanjur mengalami
divinisasi berlebihan. Syukurlah, John McIntyre, (“The Shape of
Christology”, 1996) menyatakan bahwa pelbagai penemuan arkeologi
menyediakan banyak informasi historis yang berguna untuk mengetahui hal-ikhwal
masa hidup Yesus, walaupun bersifat circumstantial.
Terkait dengan film “The Passion Of The Christ” dan
pelbagai penelitian historis, John Meier (“A Marginal Jew”, 1991), menyatakan
bahwa sekarang banyak kelompok Kristen
fundamentalis yang menganggap bahwa usaha rekonstruksi Yesus historis adalah
sia-sia, karena terbukti tidak pernah sampai pada penggambaran sempurna.
Beberapa penggambaran tentang Yesus historis, misalnya: Wright (“Who Was
Jesus?” 1992) memberi dua contoh. Pertama, Yesus adalah manusia biasa yang
menikah dengan Maria Magdalena, dan mempunyai dua anak. Kedua, Yesus sebagai
orang suci yang tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang Mesias dan
hanya bekerja demi memperjuangkan orang yang tersingkir.
Sedangkan Geza Vermez, seorang ahli sejarah dan eksegese
berdarah Yahudi yang menjadi pastor Katolik tapi kemudian keluar dan ‘bertobat’
menjadi Yahudi lagi (“The Changing Faces of Jesus”, 2002) melukiskan
Yesus sebagai sosok yang suci, menyerupai para nabi, berkuasa atas perkataan
dan tindakan. Tapi Yesus sebetulnya bukan Allah. Yang mungkin lebih mengejutkan
adalah temuan John Dominic Crossan (“A Revolutionary Biography”, 1994)
tentang peristiwa penyaliban. Berdasarkan kebiasaan penyaliban Romawi dan
pelbagai bukti yang ada, Crossan kuat menduga bahwa mayat Yesus sebenarnya
tidak dikubur tapi dibiarkan menjadi mangsa anjing liar dan burung pemakan
bangkai. Bahkan dalam buku The Muslim Jesus (2001), dikatakan bahwa
Yesus bisa berbicara dengan sapi, babi dan juga bisa mengembalikan kehalusan
wajah perempuan.
- “Siapakah Aku?”: Sebuah Refleksi
Masalah muncul ketika pelbagai rekonstruksi historis dan
pendekatan literer di atas, menyibakkan beberapa sisi gelap/’skandal’ bagi
orang Kristen. Misalnya Geza Vermez tidak menemukan afirmasi apapun terhadap
keilahian Yesus. Memang Yesus adalah sosok yang luar biasa dan dalam banyak hal
memang sangat mengagumkan. Namun Yesus tetaplah manusia Yahudi, yang
paling-paling bisa dijadikan sebagai simbol kehadiran Allah (Bdk: Roger Haight,
“Jesus: A Symbol of God”). Maka, seperti judul buku Jacques Dupuis dan
Elisabeth A.Johnson cs, kiranya di tengah zaman kontemporer ini, masih tepatlah
pertanyaan Yesus kepada para murid bagi kita hic et nunc:
“menurut
kamu, siapakah Aku ini…?” (Luk 9:20)
0 komentar:
Posting Komentar