Oleh Oleh Yesus Sang Tersalib
“Ametur Ubique Terrarum Cordis Iesu
Sacratissimi.”
“Dikasihilah Hati Kudus Yesus di Seluruh
Dunia.”
-
Jules Chevalier -
Berdasarkan Injil Lukas 9:22-25, Yesus pernah mengatakan kepada murid-muridNya, “Setiap orang yang
mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku.” Dkl: mengikuti Yesus
berarti berani memanggul kukNya di atas bahu kita”,
sehingga kita dapat “datang kepadaNya, “memikul salibNya” serta “belajar” daripadaNya
(Bdk. Mat 11:28-29). Dan, pada kali ini, kita akan melihat dan memaknai tujuh kalimat wasiat Yesus
di atas kayu salib, yang tercatat-ketat dalam pelbagai Injil, al:
Pertama,
“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Wasiat ini
menunjukkan keagungan jiwa-Nya untuk memberikan
pengampunan: “Quoniam bonus,
quoniam in saeculum misericordia eius - Sebab Dia
baik, dan kasih setianya untuk selama-lamanya.” Pada saat yang paling menyengsarakan, Ia mengajak kita memiliki cinta kasih ilahi kepada orang lain,
bahkan terhadap para musuh. Di sini belas kasih Allah sedemikian besarnya sehingga
Dia mengampuni dosa umat Israel yang berbuat jahat padaNya: 1
Ptr 4: 8: “Kasih menutupi banyak
sekali dosa.” Sungguh cinta yang
sangat mengherankan dan tak tergoyahkan, bahkan di tengah-tengah kebiadaban
mereka. Ia ingin mengajak kita mempunyai banyak cinta kasih penuh pengampunan, seperti kata pemazmur:“Tapi
Allah mengasihani dan mengampuni umatNya dan tidak membinasakan.” (Mzm 78:38).
Mengapa
harus memiliki semangat pengampunan? Karena inilah salah satu pesan Yesus: "Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah
bagi mereka yang menganiaya kamu."
(Mat 5:44). Mengapa harus demikian? ayat selanjutnya menjelaskan alasannya. "Karena
dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang
menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan
hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar."(Mat 5:45)
Alasannya adalah, karena dengan mengampuni,
maka kita menjadi anak-anak Bapa.
Seorang
penulis Kristen bernama Alfred Plummer (1841–1926) pernah menulis: “To
return evil for good is devilish; to return good for good is human; to return
good for evil is divine. To love as God loves is moral perfection."
Plummer benar, membalas kebaikan dengan kejahatan berarti membiarkan iblis
memasuki hati kita. Membalas kebaikan dengan kebaikan adalah sesuatu yang
insani, sedangkan membalas kejahatan dengan kebaikan adalah sifat ilahi. Untuk
kehidupan kita pun, sebuah rasa sakit hati dan kebencian akan musuh tidaklah
sehat. Kita tidak akan pernah bisa hidup bahagia dalam damai dan sukacita jika
kita masih menyimpan dendam dan kebencian.
Satu
kalimat klasik yang membuat saya tidak mudah lupa, yakni jalan sederhana ala Bunda Teresa,
“Berikanlah pada dunia hal terbaik yang kamu miliki dan kamu akan mendapatkan
kekecewaan. Bagaimanapun juga
berikanlah pada dunia hal terbaik yang dapat kamu berikan.” Lihatlah sepenggal kisah di tanah
Vatikan, ketika Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh seorang Turki bernama
Megmed Ali Aqca persis perayaan Maria Fatima, tanggal 13 Mei 1981, pukul 17.19.
Wajar, dalam kacamata manusiawi, jika sang Paus sedih, kecewa, terluka, marah
dan sakit hati. Tapi lihatlah yang terjadi: persis 27 Desember 1983, Paus
Yohanes Paulus II mengunjungi Megmed Ali Aqca di penjara Rebibia Roma. Dia mengunjungi,
mendoakan sekaligus mengampuni orang yang nyaris merenggut nyawanya itu.
Kedua,
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada
bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus.”
(Lukas 23:43).
Wasiat Yesus yang kedua di kayu
salib ini, merupakan sikapnya yang memberikan ”belas
kasihan” terhadap salah seorang penjahat, bernama Dismas, yang
turut disalibkan dengan-Nya: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan
beroleh kemurahan.” (Mat 5:7). Dengan itu, kita bisa melihat bahwa Yesus sungguh mencintai
para pendosa yang bertobat. Dia datang sebagai Tuhan yang penuh belas kasih. (Bdk: 1 Yohanes 1:9).
Sebenarnya, seluruh
rencana dan pelayanan Allah adalah pelayanan belas kasihan. Dia melayani sampai
kepada orang-orang yang tidak layak untuk dilayani (bdk. Mzm
145: 8, “Tuhan
itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setiaNya”). Tak perlu diragukan bahwa Yesus mengasihi
umatNya. Namun demikian ada saat-saat bahwa Alkitab mengatakan secara khusus
Dia tergerak oleh belas kasihan. (bdk. Mat 9:36 & 14:14). Ini merupakan
reaksi Yesus terhadap kebutuhan yang dihadapi oleh banyak orang.
Dalam intensi inilah,
baik jika kita melihat sebuah contoh sikap berbelas kasih dari perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10).
Dalam kasus ini,
orang yang telah dirampok dan dianiaya sangat membutuhkan pertolongan. Pertama
Yesus memperlihatkan kurangnya belas kasihan dalam diri Imam dan orang Lewi. Padahal Imam dan Lewi adalah dua golongan masyarakat yang dekat-lekat
dengan Bait Allah bukan? Kemudian Dia menampilkan
Allah yang berbelas kasih lewat kehadiran seorang tokoh dari Samaria, yang
kerap dicap kafir, pendosa dan penyembah berhala. Ia memperlihatkan
cara bagaimana belas kasihan harus dilakukan.
Perhatikanlah contoh orang Samaria. Dia membuktikannya dengan 7 hal pokok yang dibuat secara nyata, al:
- Dia membahayakan dirinya sendiri: Ia berhenti sendirian di tengah padang pasir yang sepi, dan mungkin saja ada perompak lain yang siap merampok semua hartanya.
- Dia mengalahkan kecurigaan-kecurigaan/prasangka buruk: Orang Samaria di-cap kafir, sesat dan penyembah banyak dewa oleh orang Yahudi, tapi dia tetap saja berinisiatif untuk berbuat baik, tak peduli terhadap pelbagai asumsi buruk/prasangka orang lain yang bisa muncul.
- Dia mengorbankan kenikmatan fisik: Dia turun dari kudanya dan membantu membersihkan luka dan rasa sakit si korban perampokan.
- Dia menanggung ketidaknyamanan fisik: Dia menaiki kuda dan menaruh si korban di belakangnya, otomatis bebannya bertambah berat, bukan?
- Dia mengorbankan waktu: Dia berhenti, dia membantu si korban dan bahkan dia mencarikan rumah penginapan buat si korban itu. Itu pasti butuh waktu, bukan?
- Dia menyumbangkan uangnya untuk menginap dan perawatan si korban.
- Dia tetap memberi perhatian, kalau-kalau uang yang dia berikan masih kurang. Dia berjanji akan kembali dan menambahkan uangnya.
Dari tujuh hal di atas inilah, suatu
kebenaran
pokok dari Yohanes dalam I Yoh 3: 17 bisa dicanangkan: “Barangsiapa
mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi
menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam
dirinya?”
Ketiga,
“Ya Bapa ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Luk 23:46).
Disini Yesus menegaskan kembali wasiatnya yang mengajarkan suatu “kepasrahan”. Dalam
bahasa medis, kerap kita mendengar kalimat ini: “ Homo proponit, sed Deus disponit -Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan”. Sepanjang
hidupNya, Yesus selalu mempercayakan dirinya ke dalam tangan BapaNya. Di akhir
hidupNya, Ia pun menyerahkan diriNya kepada Bapa. Ucapan tersebut sendiri
bersumber dari keyakinan-Nya bahwa melalui kematian, Ia akan datang kepada Bapa. Kepasrahan sendiri berarti
membiarkan Tuhan menjadi Tuhan atas kita, dan bukannya menjadikan diri sebagai
Tuhan. Kepasrahan berarti
membiarkan Tuhan menuliskan skenario hidup kita, dan bukannya memaksakan
skenario kita sendiri. Kepasrahan juga berarti kita
menepati janji luhur yang kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami, “Jadilah kehendak-Mu (bukan
kehendakku); di atas bumi seperti di dalam surga”. Kepasrahan berarti
bahkan di saat-saat menderita, kita berseru seperti Yesus di Taman Getsemani,
“Bukanlah kehendak-Ku, melainkan
kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42).
St. Fransiskus Asisi melihat
kepasrahan disini sebagai
suatu kebajikan dari segala kebajikan, berpasrah
merupakan pucuk dari cinta kasih, bau harum dari kerendahan hati, jasa-jasa
dari kesabaran dan kesetiaan dari ketekunan. Berpasrah
tidak sama dengan nasib, tetapi keyakinan akan penyelenggaraan Allah, kebaikan
Allah, bahwa Tuhanlah yang secara aktif memelihara dan membimbing kita. St.
Fransiskus lebih lanjut mengajarkan suatu sikap pasrah di
hadapan Tuhan, supaya kita tidak meminta sesuatupun, namun juga tidak menolak
apa yang diberikan. Tidak mau meminta sesuatu bukan karena sombong tetapi
percaya bahwa Tuhan Mahabaik, Ia memelihara hidup dan memberikan yang terbaik
bagi kita:
“Bila saya mengasihi
Allah, saya hanya menginginkan apa yang dikehendaki Allah”.
Keempat,
“Eloi, Eloi, lama sabakthani?” (Mrk 15:34, Bdk: Mat 27:46).
Kalimat yang dikutip dari Mazmur 22:2 ini, dalam
bahasa Ibrani berarti, “Allahku, Allahku, mengapa
Engkau meninggalkan Aku?” Hal ini merupakan sebuah seruan yang menyayat
hati. Setiap kali saya mengingat wasiat yang
keempat ini, saya terkenang sebuah antifon mazmur dari ibadat Completorium di Seminari
Menengah beberapa tahun yang silam: “dari
jurang yang dalam, aku berseru kepadaMu ya Tuhan – Tuhan dengarkanlah seruanku
- De profundis clamavi
ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam!” Ucapan perih ini sebenarnya mengikuti sebuah peristiwa ajaib, “Pada jam dua belas,
kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga”
(Markus 15:33). Selama hidupNya, Yesus tahu apa artinya ditinggalkan, begitu
pedih, perih.
Disinilah, kita diajak untuk lebih berani
mengalami sekaligus memaknai pergulatan secara pribadi,
terlebih ketika kita ada dalam pengalaman salib dan ‘malam gelap’.
Ingatlah, ketika kita berani mengalami
pergulatan bersama Tuhan, bisa jadi pharmakos (“racun,” karena dilukai atau
dikecewakan) diubahNya menjadi pharmakon (“obat” karena dicintai dan diampuni): “Karena
kasih Allah yang begitu besar pada dunia ini sehingga ia memberikan anaknya
yang supaya yang percaya tidak binasa tetapi beroleh hidup kekal.” (Bdk. Yoh 3:16). Menyitir kutipan Paus Yohanes Paulus II pada 7 Juni 1997, dimana ditegaskan, “di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna
melenyapkan
ketakutan”, (1Yoh 4:18), kiranya itulah buah dari
wasiat keempat, yang mengajak kita mengingat
bahwa Yesus itu hadir sebagai teman sepergulatan dan seperjalanan dengan segala
ruwet rentengnya. Bukankah tepat perkataan pemazmur: “Cor
contritum et humiliatum, Deus, non despicies - Hati
yang patah dan remuk redam, tidak akan Kau pandang hina, ya Allah.”
Kelima,
“,Ibu inilah, anakmu!” Anak, Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27).
Wasiat
Yesus yang kelima ini dialamatkan
pertama-tama kepada ibuNya, Maria: “Ibu, inilah, anakmu”, dan murid yang dikasihiNya, “Inilah ibumu!”. Dikatakan dalam Kitab Suci, “Dekat salib Yesus, berdiri
ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Kleopas dan Maria Magdalena”
(Yoh 19:25).. Dkl: Yesus mengajak kita memaknai iman sebagai sebuah “persaudaraan”. Kita dipanggil untuk melihat
sesama umat beriman sebagai saudara.
Baiklah kalau kita kembali memaknai sebuah lagu rohani
populer berjudul, “Hari Ini Kurasa Bahagia.” Ada sebuah lirik
sederhananya berkata seperti ini: “Kau saudaraku, kau sahabatku, tiada yang
daapat memisahkan kita.” Jelaslah, bahwa Tuhan memanggil kita dalam
semangat persaudaraan dan persahabatan yang penuh kehangatan: antara kita
dengan Dia, antara kita dengan sesama, antara kita dengan alam semesta dan yang
pasti antara kita dengan diri kita sendiri, bukan? “Oh,
alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak
terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!
Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah
menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya,
sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan
oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya…” (Roma 11:33-36).
Keenam, “Aku haus!”
(Yoh 19:28).
Tampaklah
Yesus juga sangat membutuhkan cinta kita. Bunda Teresa dari Calcutta
mengatakan, hausNya tak pernah berkesudahan. Disinilah, Yesus mengajak
kita untuk “bersolider”, karena Yesus jelas hadir lewat sesama kita yang haus: yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difable
(Bdk.Mat 25:35-45, soal Penghakiman Terakhir).
Seorang
budayawan, cendekiawan sekaligus rohaniwan bernama Romo Mangun pernah
mengatakan, Gereja Katolik itu bisa “admiranda
(dikagumi), sed non amanda” (tapi
tidak dicintai). Nah, menurut hemat saya, jika Gereja mau dikagumi sekaligus dicintai (admiranda et amanda), aktualitas wasiat
keenam ini mendapatkan ruang geraknya. Gereja diajak memiliki semangat
solidaritas dengan masyarakat dan dunia sekitarnya.
Secara
teoretis, ada tiga tahapan solidaritas, yakni:
- perbuatan solidaritas, apa pun jenisnya.
- ucapan solidaritas, bila kita tak dapat mewujudkannya dalam perbuatan.
- doa; kita selalu dapat menunjukkan solidaritas kita dengan doa.
Baiklah kita juga melihat
kembali apa yang telah diajarkan Gereja mengenai karya-karya kasih solidaritas sosial, yang bisa kita buat kepada sesama
:
·
Karya-karya Jasmani:
o memberi makan
kepada yang lapar
o memberi minum
kepada yang haus
o memberi
tumpangan kepada tunawisma
o mengenakan
pakaian kepada yang telanjang
o mengunjungi
orang miskin
o mengunjungi
orang tahanan
o menguburkan
orang mati
·
Karya-karya Rohani:
o mengajar
o memberi
nasehat
o menghibur
o membesarkan
hati
o mengampuni
o menanggung
dengan sabar hati
o mendoakan
mereka yang hidup dan mati
Ketujuh, “Sudah selesai”
(Yoh 19:30,“Tetelestai”).
Jauh
sebelum menjalani penderitaan di kayu salib, Yesus berkata, “Makanan-Ku
ialah melakukan kehendak Dia yang yang mengutus Aku dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Dan, kalimat inilah bukti nyatanya, purna
karyanya sebagai utusan Allah yang memaknai
sebuah ”pertanggungjawaban.” Ia
melakukan juga menyelesaikannya. Bukti cintanya kepada kita.
Ini merupakan sebuah pekik kemenangan. Dengan berkata demikian, Ia menegaskan,
bahwa Ia telah menyelesaikan seluruh tugas kemesiasanNya secara utuh dan penuh.
Bahwa Ia sudah menerima secara penuh hukuman ilahi atas segala dosa dan
kejahatan umat manusia. Karena itu, bagi mereka yang percaya kepada Kristus,
tidak ada satu dosa pun tersisa untuk dihukum oleh Allah. Ia juga mengajarkan
bahwa hidup pada hakekatnya ialah pengabdian sepenuh hati dan seutuh hati kepada Allah sang pemberi hidup: "Dengan jalan itu Ia
telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat
besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi," (2
Petrus 1:4).
Pastinya,
dari ketujuh kalimat wasiat Yesus, kita diajak semakin menghayati penggalan
pernyataan ini,”benar, mengikutiMu bukan langit biru
yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan
penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah Kau lewati…..”
DOA
JAM KERAHIMAN
Ya
Yesus, Engkau telah wafat,
namun
sumber kehidupan telah memancar bagi jiwa-jiwa
dan
terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia.
0,
Sumber Kehidupan,
kerahiman
Ilahi yang tak terselami,
naungilah
segenap dunia dan curahkanlah diri-Mu pada kami.
Darah
dan Air,
yang
telah memancar dari Hati Yesus
sebagai
sumber kerahiman bagi kami.
Engkaulah
andalanku!
SERUAN
KEPADA KERAHIMAN ILAHI
Setiap
seruan dimulai dengan:
`Bapa
yang kekal,
kupersembahkan
kepada-Mu
Tubuh
dan Darah
Jiwa
dan Ke-Allah-an
PutraMu
yang terkasih,
Tuhan
kami Yesus Kristus,
sebagai
pemulihan dosa-dosa kami
dan
dosa seluruh dunia.'
Hening
sejenak, renungkanlah Sengsara Yesus. Kemudian, daraskanlah seruan berikut
diakhiri dengan: kasihanilah kami dan seluruh dunia.
Demi Yesus
yang menetapkan Ekaristi sebagai kenangan akan Sengsara-Nya, ….
Demi Yesus
yang menderita sakrat maut di Taman Getsemani, ….
Demi Yesus
yang didera dan dimahkotai duri, ….
Demi Yesus
yang dijatuhi hukuman mati, ….
Demi Yesus
yang memanggul salib-Nya, ….
Demi Yesus
yang jatuh di bawah beban berat salib, ….
Demi Yesus
yang berjumpa dengan BundaNya yang berduka, ….
Demi Yesus
yang menerima uluran tangan dalam memanggul salib-Nya, ….
Demi Yesus
yang menerima belas kasih Veronica, ….
Demi Yesus
yang menghibur para perempuan, ….
Demi Yesus
yang ditelanjangi, ….
Demi Yesus
yang disalibkan, ….
Demi Yesus
yang wafat di Salib, ….
Demi Yesus
yang dimakamkan, ….
Demi Yesus
yang dibangkitkan dari antara orang mati, ….
`Allah
yang Kudus, Kudus dan berkuasa, Kudus dan kekal,
kasihanilah
kami dan seluruh dunia'
(diserukan
tiga kali)
0 komentar:
Posting Komentar