Ads 468x60px

Via Purgativa Via Illuminativa Via Unitiva


Theresia Lisieux

PROLOG
Sebagai seorang frater skolastik filsafat, tugas kerasulan pertama yang saya dapatkan pada tahun 1997-1998 adalah mengajar di SMU St. Theresia, sekaligus tinggal di Paroki St Theresia Jakarta Pusat bersama dua imam tua dari tarekat Jesuit. St Theresia yang dimaksud disini adalah St. Theresia dari Lisieux (1873-1897). Dia dikenal juga sebagai “Theresia dari Kanak-kanak Yesus” atau si “Kuntum Bunga yang kecil”  atau “Theresia Kecil” untuk membedakannya dengan Santa Theresia dari Avila. Paus Yohanes Paulus II memproklamasikannya sebagai Pujangga Gereja, pada tanggal 20 Oktober 1997 dalam suratnya "Divini amoris scientia". Sst…Ia adalah salah satu santa yang paling populer dan disukai oleh banyak orang sepanjang abad ke-20. Mengapa demikian?



SKETSA PROFIL
  "Oh Yesus, aku tahu
cinta hanya dapat dibalas dengan cinta,
maka aku sudah menemukan alat
untuk memuaskan hatiku
dengan memberikan cintaku kepada CintaMu."
(Otobiografi Theresia Lisieux)

Kisah tentang Theresia Lisieux adalah sebuah kisah yang unik sekaligus menarik dalam sejarah Gereja Katolik. Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang gadis belia yang menjadi suster Karmelit pada usia muda. Ia tidak pernah meninggalkan biara dan meninggal muda pada umur 24 tahun. Menurut Paus Pius IX, dia menjadi santa terbesar di jaman modern. Ia juga mendapat gelar sebagai Pujangga Gereja, yang tulisan rohaninya telah memberikan inspirasi sekaligus aspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia, dan bahkan sampai diterjemahkan ke dalam 60 bahasa di seluruh dunia. Beratus-ratus judul buku dan artikel rohani juga ditulis-kupas mengenai St. Theresia  dengan spiritualitas “Jalan Kecil”nya ini.

Theresia sendiri terlahir di kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Ayahnya bernama Louis Martin dan ibunya Zelie Marie Guerin. Pasangan tersebut dikarunia sembilan orang anak, tetapi hanya lima yang bertahan hidup hingga dewasa. Kelima bersaudara itu semuanya puteri dan semuanya menjadi biarawati. Menakjubkan bukan? Ibunya meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun karena sakit kanker.  Louis Martin bersama kelima puterinya kemudian berpindah ke Buissonets di kota Lisieux, sebuah rumah yang sampai sekarang banyak dikunjungi oleh para peziarah.

Di dekat rumahnya, terdapat sebuah biara Karmel di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia. Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, kakak sulungnya, Pauline, masuk biara Karmel di Lisieux pada tahun 1882. Hal itu amat berat bagi Theresia. Setelah ibunya meninggal, Pauline telah menjadi "ibunya yang kedua". Pauline biasa merawat dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya.

Dalam perjalanan waktu, Theresia berkeinginan untuk masuk biara juga. Pada umur 15 tahun, dia akhirnya diperbolehkan masuk ke biara Karmel dengan ijin khusus dari Paus Leo XII. “Aku harus menjadi santa”, kata Theresia ketika dia masuk biara. Motivasinya adalah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan untuk mendoakan para imam. Saudara perempuannya yang lain, yaitu Marie dan Celine juga masuk di biara Karmel. Sedangkan saudara perempuannya yang kelima, Leonie masuk ke Orde Visitasi.

Theresia ingin menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Katanya: "Kekudusan adalah suatu sikap hati, yang menempatkan kita ke dalam tangan Tuhan, kecil dan rendah hati, menyadari kelemahan kita dan secara buta mengandalkan kebaikan Ke-Bapaan-Nya."

Apa saja yang dilakukan Theresia di biara? Semuanya sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi, di balik itu semua, ia mempunyai suatu rahasia pokok, yaitu “CINTA”:  “Kamu bertanya kepadaku tentang jalan menuju kesempurnaan? Aku tahu cinta dan hanya cinta. Hatiku dibuat demi cinta itu. Cinta mengenal bagaimana menarik keuntungan dari segala sesuatu.” Yah, panggilanku akhirnya kutemukan. Panggilan itu adalah mencintai. Di dalam hati Gereja, di dalam Ibuku, aku akan menjadi cinta. Hidup karena cinta, inilah surgaku, inilah tujuan hidupku!”

Karena satu rahasia, yakni, “CINTA”, maka Theresia berusaha untuk selalu memulai semuanya dengan nada dasar C, yakni cinta, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah, bukan? Salah satu tips Theresia, ia selalu berusaha melayani sesamanya seolah-olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa jika dia mengasihi sesama, maka dia juga mengasihi Yesus. Yah, mencintai adalah pekerjaan yang membuat dirinya sangat bahagia: “Andaikata kulakukan segala perbuatan yang dilakukan oleh Rasul Paulus, aku akan tetap menganggap diriku sendiri seorang HAMBA YANG TIDAK BERGUNA. Aku akan melihat bahwa tangan-tanganku sendiri kosong. Tetapi, itulah sesungguhnya sumber sukacitaku: sebab aku tidak mempunyai apa-apa, maka aku mengharapkan segala-galanya dari Allah yang baik.” Karena kematangan jiwanya inilah, Teresia sudah diangkat menjadi magister novis ketika dia baru berumur 20-an tahun.

Meskipun para suster dalam biara (termasuk dua orang kakaknya) mencintai Theresia, hal ini tak berarti dia terluput dari berbagai pencobaan batin dan pengalaman desolasi/kekeringan. Dia juga pernah menderita ketika mendengar ayahnya jatuh sakit pada tahun 1888, karena terkena gangguan cerebral arteriosclerosis dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1894.
Di balik setiap pengalaman konsolasi maupun desolasinya, Theresia senantiasa berjuang untuk menempuh “jalan kecil”. “Apa itu “Jalan kecil”? Bagi Theresia, “Jalan kecil” adalah sebuah jalan kehidupan rohani seorang anak kecil, yakni jalan kepercayaan dan jalan kepasrahan diri secara total kepada Tuhan.” Dasar dari jalan kecil ini ditemukannya dalam teks Matius 18:3, ketika Yesus mengatakan: “Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil ini, maka kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”. Baginya, hidup rohani kanak-kanak Yesus itu adalah “kehidupan rohani seorang anak kecil yang tidur tanpa ketakutan di dalam pelukan tangan ayahnya, semangat penyerahan diri itulah yang menjadi pedomanku satu-satunya. Aku tidak punya pedoman arah yang lain”.

Hanya sembilan tahun lamanya, Theresia menjadi biarawati. Orang kudus muda ini menderita sakit TBC yang parah dan akhirnya meninggal pada tanggal 30 September 1897 dalam usia 24 tahun. Ketika ajal menjelang, Theresia memandang salib dan berdoa, ”Allahku, aku mencintai-Mu. Aku tidak sedang meninggal. Aku sedang memasuki kehidupan. Aku akan menikmati waktuku di surga karena telah mengerjakan kebaikan di dunia.” Sebelum meninggal, Theresia juga mengatakan, "Dari surga, aku akan berbuat kebaikan bagi dunia."

Pada tahun 1923, Theresia dibeatifikasi oleh Paus Pius XI yang juga mengkanonisasi dia sebagai seorang kudus di lapangan santo Petrus Vatican pada tahun 1925. Bersama dengan Santo Fransiskus Xaverius, Theresia juga diangkat menjadi pelindung misi, meskipun dia belum pernah pergi ke luar negeri. Paus Pius XII pada tahun 1944, menyebut Theresia  sebagai “penyembuh ulung pada abad modern” dan menjadikan dia pelindung untuk tanah Perancis bersama St Jeanne de Arc. Pada tahun 1977, setelah 100 tahun kematiannya, Paus Yohanes Paulus II menyatakan dia sebagai Pujangga Gereja bersama Santa Teresia Avilla dan Santa Katharina Siena. Theresia adalah juga pelindung para penjual bunga dan pelindung bagi karya kerasulan doa yang tersebar-pencar di seluruh dunia. Dia sendiri adalah seorang anggota kerasulan doa yang setia selama bertahun-tahun lamanya. Pestanya sendiri dirayakan oleh Gereja Katolik, setiap tanggal 1 Oktober.


REFLEKSI TEOLOGIS
Tiga Jalan Sederhana:
Purgativa, Illuminativa, Unitiva
Dimurnikan, Dicerahkan, Disatukan.

   "Kamu ingin supaya aku memberitahukan
sarana untuk menjadi sempurna.
   Aku hanya tahu satu ini saja:
   CINTA."
   (Auto-biografi, surat kepada Marie Guerin)

Hidup Theresia dan yang pasti juga hidup kita masing-masing bisa diibaratkan seperti sebuah perjalanan, dimana cinta yang menjadi pegangannya, terlebih ketika kita harus mengarungi samudera percobaan dan kesulitan, “should you pass trough the sea, I wiill be with you. Di lautan itu, cinta Allah seakan hanya diam, padahal cinta itu yang memegang dan menopang kita untuk mengarungi kedashyatannya, sehingga kita tidak tertelan oleh gelombangnya. Cinta itu pula yang diam-diam selalu menyertai kita untuk membebaskan dari segala rintangan dan belenggu. Oleh karena itulah, bersama Theresia, kita diajak untuk belajar diam dan menemukan Tuhan dalam segala, kepanggih gusti ing sembarang kalir.
Disinilah, Theresia yang belajar menemukan Tuhan dalam segala, menjadi terkenal karena buku yang ditulisnya: “The Story of a Soul” (“Kisah Satu Jiwa”), yang diterbit-kenangkan satu tahun setelah wafatnya. Bagi saya pribadi, Theresia sendiri sebetulnya mempunyai satu jiwa dengan tiga jalan sederhana penuh keutamaan, yang sebenarnya juga kita hayat-kenangi setiap kali merayakan Ekaristi, yakni: via purgativa (jalan pemurnian), via illuminativa (jalan pencerahan) serta via unitiva (jalan persatuan).

-        Via Purgativa:
Tiga pengalaman nyata saya angkat disini, bahwa Theresia mengalami pemurnian dari Tuhan sendiri lewat pengalaman hidupnya.

Pertama: Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya sangat dekat dengan kelima anaknya. Pada saat itu, ibunya terserang penyakit kanker. Para dokter mengusahakan yang terbaik untuk menyembuhkannya, tetapi penyakit ibunya bertambah parah. Ia meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun. Theresia pasti merasa kehilangan. Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, ia mengalami “kehilangan” lagi. Pauline, kakak sulungnya “meninggalkannya” masuk biara Karmel di Lisieux. Hal itu pasti amat berat bagi Theresia, sampai-sampai ia sakit dalam jangka waktu yang lama. Selama ini, Pauline telah menjadi "ibunya yang kedua", merawatnya dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan seorang ibu terhadap an anaknya. Pastilah, dari dua pengalaman “kehilangan ini”, Teresia dimurnikan untuk berani menerima pengalaman pahit dan melepaskan pelbagai kelekatan insani dalam hidupnya, bukan?

Kedua: Sejak kecil, Theresia adalah pribadi yang perasa dan mudah tersinggung. Oleh karena sifatnya itu, ketika ia belajar di sekolah suster-suster Benediktin, ia tidak mempunyai banyak teman. Sifat perasa dan mudah tersinggung ini, akhirnya diatasi sendiri oleh Theresia berkat nasihat ayahnya, Louis Martin. Ayahnya mengatakan, tidak baik kalau seorang yang mempunyai cita-cita menjadi suster masih memelihara sifat kanak-kanak. Yah, teguran ayahnya memurnikan karakter pribadinya untuk lebih dewasa dan bijaksana.

Ketiga: Theresia ingin masuk biara Karmel agar dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Ia tidak diijinkan karena dianggap terlalu muda. Nah, selama masa penantian inilah, motivasinya masuk biara juga dimurnikan. Hingga akhirnya, ketika umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus, ia diijinkan masuk biara Karmelit di Liseux. Yah, bukankah hidup kita juga mesti terus senantiasa dimurnikan?

-        Via Illuminativa:
Theresia kerap membaca riwayat para kudus dan isi kitab suci untuk menemukan suatu jalan pencerahan menuju kesempurnaan: “Aku terlalu kecil untuk mampu mendaki tangga kesempurnaan itu, karena itu aku melihat ke dalam Kitab Suci untuk menemukan indikasi tentang apa yang mungkin bisa mengantarku untuk mencapai keinginan itu.” Yah, dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup, Teresia mendapatkan pencerahan tentang jalan sederhana. Menurutnya, hidup rohani seperti Kanak-Kanak Yesus adalah kehidupan rohani seorang anak kecil yang tidur tanpa ketakutan di dalam pelukan tangan ayahnya. Semangat penyerahan diri yang tulus dan penuh cinta itulah yang menjadi pedoman Teresia dan dihayatinya setiap saat.

-        Via Unitiva:
Tiga bukti bahwa Theresia mengalami jalan persatuan dengan Tuhan, antara lain: Pertama: Ia pernah sakit parah ketika Pauline, kakak sulung “meninggalkannya”, masuk biara Karmel. Meskipun sudah satu bulan sakit, tak satu pun dokter yang dapat menemukan penyakitnya. Bersama Theresia, ayah dan keempat saudarinya menyatukan pengalaman duka dan sakit ini dengan berdoa penuh iman. Hingga, suatu hari patung Bunda Maria di kamar Theresia tersenyum padanya dan ia sembuh sama sekali dari penyakitnya. Kedua: Dalam perjalanan waktu, Theresia jelas ingin senantiasa bersatu dengan Yesus. Salah satu buktinya: Ketika masih berumur 12 tahun, Theresia sudah berjanji kepada Kristus, “Yesus di kayu salib yang haus, aku akan memberikan air pada-Mu. Aku akan menderita sedapat mungkin, agar banyak orang berdosa bertobat” (pendosa pertama yang bertobat berkat doa Theresia adalah seorang penjahat kelas berat yang dijatuhi hukuman mati tanpa menyesali perbuatan-perbuatan jahatnya. Orang itu bertobat di hadapan sebuah salib sesaat sebelum menjalani hukumannya. Luar biasa!). Ketiga: Ketika Theresia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang membuatnya sangat menderita, ia menyatukan semua deritanya dengan cinta Yesus: ”Jangan berpikir bahwa kita dapat menemukan cinta tanpa penderitaan. Penderitaan selalu ada di dalam perjalanan untuk menjangkau cita-cita kesempurnaan. Aku membuktikan cinta itu dengan ’menaburkan bunga’ untuk Yesus, dan mempersembahkan kurban-kurban kecil,” tulis Theresia dalam catatan hariannya. Dia kerap juga mengatakan: "Aku merasa diriku dikuasai oleh sekian banyak kelemahan, namun itu tidak pernah membuatku heran ... alangkah manisnya merasakan diriku lemah dan kecil." Bahkan, ketika ajal menjelang, Theresia menyatukan pengalaman sakitnya dengan memandang salib secara bersahabat dan seraya berbisik, "O, aku cinta padaMu, Tuhanku, aku cinta pada-Mu!"


EPILOG
   "Perbuatan-perbuatan yang gemilang
bukan untukku....
Jadi, bagaimanakah akan kubuktikan cintaku,
karena cinta dibuktikan dalam perbuatan?
Dengan perbuatan dan kurbanku yang kecil-kecil.
Ya Yesus, hal-hal kecil yang tak berarti itu
akan menyenangkan Engkau!"
(auto-biografi Theresia Liseux)

Tiga tahun sebelum Theresia meninggal, salah satu saudarinya, Pauline (yang sudah menjadi Pemimpin tarekat Karmelit, dengan nama Bunda Agnes dari Yesus) meminta kepada Theresia untuk menuliskan pengalaman rohaninya, yang berjudul “The Story of a Soul” (“Kisah satu jiwa”).  Dalam buku inilah, Theresia menunjukkan, bahwa kesucian dapat dicapai oleh siapa saja, betapa pun rendah, hina dan biasa-biasa saja orang itu. Caranya adalah dengan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kecil dan tugas sehari-hari dengan penuh cintakasih yang murni kepada Tuhan. Theresia telah mengajarkan kita, bahwa kita dapat bersatu dengan Allah dengan mempersembahkan kepada-Nya setiap saat dari kehidupan kita sehari-hari. Persembahan sederhana itu dapat menjadi sarana bagi kita mencapai kesucian yang kita rindukan, bukan?

Betapa indah pelajaran yang diberikan Theresia kepada kia: tak ada sesuatu yang terlalu remeh untuk dilakukan bila demi cinta kepada Tuhan. Marilah bersama teladan dan doa restu Theresia, kita belajar mencecap tiga hal dari Tuhan sendiri setiap harinya, “purgativa-illuminativa-unitiva”: dimurnikan, dicerahkan dan akhirnya berani disatukan dalam rencana Tuhan sendiri.


ASPIRASI
"Di suatu hari Minggu kupandang Yesus di salib. Hatiku tersentuh oleh darah yang menetes dari tangan-Nya yang kudus. Kurasa sungguh sayang, sebab darah itu menetes ke tanah tanpa ada yang menampungnya. Aku pun memutuskan untuk dalam Roh tinggal di kaki salib supaya dapat menampung darah Ilahi yang tercurah dari salib itu dan aku mengerti bahwa setelah itu aku harus menuangkannya atas jiwa-jiwa."
(Theresia Lisieux, Kanak Kanak Yesus)

O Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus
tolong petikkan bagiku
sekuntum mawar dari taman surgawi dan
kirimkan padaku dengan suatu amanat cinta.
O Bunga Kecil dari Yesus
mintalah kepada Allah hari ini
untuk menganugerahkan rahmat yang sangat kubutuhkan ………
Santa Theresia,
bantulah aku untuk senantiasa percaya
kepada belaskasih Allah yang sedemikian besar,
sebagaimana telah engkau wujudkan di dalam hidupmu,
sehingga aku boleh mengikuti 'Jalan Kecil'mu setiap hari.
Amin.

0 komentar:

Posting Komentar