Prolog
Sebuah Sketsa Prof i l
Tahun pertama sebagai imam muda, saya
bertugas di sebuah paroki tua di kota Tangerang, persis di seberang Sungai
Cisadane. Namanya Paroki St. Maria. Di paroki inilah, saya berkenalan dengan seorang
aktivis Gereja, bernama Johan. Bagi saya, “Johan” bisa berarti “Jodohnya Tuhan”. Di
sinilah kita juga akan belajar menjadi jodohnya Tuhan, dengan mengenal dan
mendalami sosok pelindung karya sosial/amal Gereja Katolik. Dialah Vincentius a
Paulo, seorang imam diosesan yang juga mendirikan Perserikatan Imam Kongregasi Misi
(Congregatio Misionis/CM). Satu kalimat singkatnya yang mengesankan banyak
orang, “Tidaklah cukup bagiku untuk mengasihi Tuhan, jika aku tidak
mengasihi sesamaku. Aku ini milik Tuhan dan milik kaum miskin.”
Sebuah Sketsa Prof i l
“Tak ada jalan yang lebih
baik untuk menjamin kebahagiaan
abadi kita daripada
dengan hidup dan mati dalam pelayanan bagi
orang miskin, dalam
tangan Sang Penyelenggara Ilahi; dan dalam
penyangkalan diri yang nyata
dengan mengikuti Yesus Kristus.”
(SV III, 392, 4 Desember
1648)
Di Keuskupan Agung Jakarta, ada dua panti
asuhan besar dengan nama
Vincentius Putri di Otista (dikelola oleh
para suster Ursulin) dan Vincentius
Putra di Kramat (dikelola oleh para imam dan
bruder Fransiskan). Kedua
panti asuhan ini berlindung di bawah nama
St. Vincentius. Cicero, seorang
pemikir Roma pernah mengatakan, “jika
kita tidak tahu apa yang terjadi
sebelum kita lahir (baca:
sejarah), berarti kita tetap anak kecil,” maka
baiklah kalau kita mulai mengenal dan
mencari tahu sebetulnya siapa itu
Vincentius?
Vincentius adalah anak seorang petani miskin
dari Prancis Selatan, yang
pernah ditangkap sekelompok perompak dan
dijual sebagai budak belian di
Tunisia. Setelah ditebus, ia berniat menjadi
imam diosesan, ia juga tertarik
dan menaruh banyak perhatian kepada nasib
para petani miskin, orang
minta-minta dan para tawanan. Vincentius a
Paulo sendiri lahir tanggal
24 April 1581 di Desa Pouy, tidak jauh dari
Kota Dax, Prancis Selatan.
Vincentius kecil beserta kelima saudaranya
tumbuh besar dalam sebuah
keluarga penganut Katolik yang ekonominya
pas-pasan namun taat, rendah
hati dan pekerja keras. Sifat-sifat orang
tuanya ini tertanam pula pada anakanak
mereka, termasuk Vincentius, yang paling
cerdas dan berotak tajam
cemerlang.
Vincentius lulus sekolah menengah pada tahun
1596. Vincentius
melanjutkan studinya di sebuah universitas
di Toulouse, dan akhirnya
ditahbiskan menjadi imam diosesan pada bulan
September 1600.
Sekalipun ia menjadi penasihat banyak
bangsawan Prancis, ia tetap tak lupa
mengutamakan karya amal: “Marilah mencintai
Allah, sekali lagi marilah
mencintai Allah ... tetapi dengan
mencucurkan keringat dan dengan
menyingsingkan lengan baju” (SV XI, 40). Ia pun
dinyatakan sebagai orang
kudus (1737) dan diangkat sebagai pelindung
karya-karya amal.
Salah satu orang pertama yang dilayani
Vincentius adalah Tuan Gauti,
seorang Katolik yang murtad. Vincentius
berupaya menyadarkan keluarga
itu untuk kembali ke pangkuan Gereja, dan ia
berhasil. Setelah itu, Pastor
Vincentius juga ikut berkarya membantu para
pasien di Paris. Ia selalu merasa
terdorong untuk meringankan beban
penderitaan sesamanya. Saat itu juga,
Vincentius mendapat banyak bimbingan dari
Kardinal Piere de Berulle (tokoh
besar di Prancis, imam dan sarjana yang
berpengetahuan luas, serta tokoh
idola Vincentius sendiri). Dengannya,
Vincentius mengalami kemajuan yang
pesat dalam hidup rohaninya. Ia semakin
ingin meniru Kristus dan bersatu
dengan Kristus. Vincentius kemudian mendapat
tugas dari Kardinal Piere
de Berulle untuk menjabat sebagai pastor
paroki di Dusun Clichy. Sikapnya
yang semakin mengandalkan karunia Tuhan,
membuatnya lemah lembut
dan penuh cinta kasih sehingga ia segera
menarik perhatian umat parokinya.
Umat senang memperhatikan apa yang
diucapkannya dan dengan sukacita
melakukan ajaran-ajarannya. Dia sendiri
pernah mengatakan, “Jika bukan
karena kasih karunia
Tuhan, aku ini seorang yang keras, kasar serta mudah
marah”
Setelah setahun lebih di sana, Vincentius
dipindahtugaskan oleh
Kardinal Piere de Berulle menjadi imam
pembimbing rohani bagi keluarga
de Gondi di Paris. Tugas Vincentius di sana
bukannya hanya mengajar anakanak
bangsawan de Gondi, melainkan juga berkarya
menolong sekitar 7000
orang yang hidup berkekurangan di wilayah
itu. Suatu hari, ia dipanggil untuk
memberikan sakramen terakhir kepada seorang
petani miskin yang sedang
menghadapi ajal. Di hadapan banyak orang,
petani tersebut menyatakan
betapa buruknya pengakuan-pengakuan dosa
yang ia buat di masa silam.
Di sinilah, Vincentius semakin sadar akan
kebutuhan kaum miskin Prancis
terhadap pertolongan rohani.
Setelah 4 tahun berkarya bersama keluarga de
Gondi di Paris, Vincentius
kemudian berkarya di Paroki Chatillon yang
kebanyakan umatnya hidup
miskin. Di tengah-tengah carut-marut keadaan
yang menyedihkan itulah,
Vincentius datang. Sebagaimana di Clichy, ia
pun mengundang semua
umat untuk kembali ke Gereja. Banyak orang
Katolik yang murtad akhirnya
bertobat kembali ke pangkuan Gereja. Selain
itu, Vincentius juga selalu
mendorong umat untuk selalu belajar beramal
dan saling mengasihi. Gayung
bersambut, seruan Vincentius ini memperoleh
sambutan hangat dari
sekelompok kaum wanita yang akhirnya
mendirikan Perkumpulan Karya
Amal yang dengan sukarela mau menolong orang
miskin, membantu dan
menghibur orang sakit, serta memelihara
anak-anak terlantar. Perkumpulan
ini dengan cepat berkembang ke seluruh
Prancis.
Setelah Chatillon, berikutnya giliran Paroki
Paris. Ia giat menjelajahi
kota-kota di wilayah keuskupan untuk
menyampaikan warta gembira dan
menolong orang miskin, serta kali ini ...
orang hukuman! Ia sering keluarmasuk
penjara, menghibur narapidana, mendoakan dan
menyampaikan
pancaran cinta kasih Kristus, dan pastinya
membuat banyak penjahat mau
bertobat. Mungkin dari pengalaman ini
jugalah, ia pernah menuliskan
sebuah kalimat bijak pada 24 November 1658, “Apakah
ada tindakan kasih
yang lebih agung daripada
memberikan diri secara total untuk semua orang
yang mengalami kesusahan
dan meringankan penderitaan mereka?”
Atas dorongan Ibu de Gondi, Vincentius
kemudian mendirikan
Perserikatan Imam Kongregasi Misi
(Congregatio Misionis/CM). Pada
tanggal 12 Januari 1633, CM memperoleh pengakuan
resmi oleh Paus
Urbanus VIII dan Vincentius a Paulo ditunjuk
sebagai pemimpin tertinggi
kongregasi itu. Saat itu, usianya 52 tahun.
Sementara itu, Perkumpulan
Karya Amal yang berawal dari Chatillon makin
berkembang ke seluruh
Prancis dan beranggotakan kaum wanita dan
ibu-ibu. Waktu terus berjalan
dan beberapa dari anggota perkumpulan itu
pun akhirnya menjadi novis.
Mereka inilah yang kelak menjadi cikal bakal
Suster-suster Putri Kasih.
Vincentius sendiri akhirnya menghadap Tuhan
yang sangat dicintainya
pada usia 79 tahun. Ia wafat tanggal 27
September 1660 di biara induk
CM, Saint Lazare. Pada tahun 1729, Paus
Benediktus XIII meresmikan
pengangkatannya sebagai beato dan delapan
tahun kemudian, Paus Klemens
XII menyatakannya sebagai Santo Vincentius a
Paulo. Ia diakui Gereja sebagai
“Bapa dan Pelindung kaum miskin”, juga
“Pelindung segala karya amal
Gereja” sebab dia sungguh meyakini, “Tuhan
Yesus telah datang ke dunia
dengan tujuan utama membantu orang-orang
miskin dan mendampingi
mereka, misit me evangelizare
pauperibus.” (DBSV.V, 148)
Refleks i Teologi s
a. Dokar: Doa dan Karya
“Carilah Allah dalam segala kegiatan, dan
jangan ragu-ragu”
(Vincentius a Paulo, 29
September 1657)
Dokar adalah semacam alat
transportasi khas kota Yogyakarta. Nama
lainnya delman atau andong, semacam
kereta kecil yang ditarik oleh seekor
atau dua ekor kuda. Selain itu, dokar juga
singkatan dari doa dan karya,
dan itulah yang kerap kita dambakan. Ora
et Labora, orang Latin sering
bilang juga. Pantas diperhatikan juga
teguran sinis Yesus tentang orang yang
menyempitkan hidup doanya.
“Mengapa kamu berseru
kepada-Ku: Tuhan,
Tuhan, padahal kamu tidak
melakukan apa yang Aku katakan? Setiap orang
yang datang kepada-Ku dan
mendengarkan perkataan-Ku
serta melakukannya, Aku
akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan, ia sama
dengan seorang yang
mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan
meletakkan dasarnya di
atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda
rumah itu, rumah itu
tidak dapat digoyahkan karena rumah itu kokoh
dibangun. Akan tetapi
barangsiapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak
melakukannya, ia sama
dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah
tanpa dasar. Ketika
banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah
kerusakannya.” (Luk.
6:46-49).
Dalam bahasa Nabi Yesaya (Yes 29:13-14):
Dan Tuhan telah
berfirman,
“Oleh karena bangsa ini
datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan
Aku dengan bibirnya,
padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya
kepada-Ku hanyalah
perintah manusia yang dihafalkan.” (bdk. slogan Jawa:
esuk dhele sore tempe,
lambe ndomble, mencla-mencle atau NATO: No Action
– Talk Only).
Di sinilah, kita bisa melihat teladan karya
Vincentius. Dia
tidak memisahkan dimensi doa dan karya, juga
sebaliknya. Perjalanan hidup
doa dan karya Vincentius sendiri mengilhami
seorang mahaguru di Prancis,
Frederic Ozanam untuk melanjutkan karya
sosialnya dengan mendirikan
Perkumpulan Cinta Kasih, yang berkembang dan
akhirnya dikenal dengan
nama Serikat Sosial Vincentius (SSV). Saat
ini, SSV juga telah hadir
secara nyata di Indonesia dan tugasnya sama
seperti yang diperbuat Santo
Vincentius, yaitu menolong dan melayani
orang miskin. Inilah sebuah bukti,
doa tak lepas dari karya, dan karya
mendapatkan kekuatannya dari hidup doa.
St. Ignatius Loyola juga pernah mengatakan,
“Cinta itu lebih diwujudkan
dengan perbuatan daripada diungkapkan dengan
kata-kata” (Latihan Rohani
no. 230). Lewat teladan Vincentius, para
anggota SSV sendiri, yang terdiri
dari kaum awam, bapak, ibu, dan para
muda-mudi ini mencintai sesama
dengan tindakan nyata. “Humans change the
world by acting on it”.
b. S aksi, Siap Ajarkan
Kabar Sukacita Ilahi
“Dalam segala kegiatan,
berjuanglah hanya untuk mencari kemuliaan
Allah dan menyenangkan
Dia.” (Vincentius a Paulo, 9 Juli1660)
Bagi saya, refleksi teologis yang perlu
dibuat di tengah masyarakat dan dunia
yang ditandai dengan banyak kemiskinan dan
penindasan harus dibuat dari
kenyataan demikian itu dan bukannya tutup
mata terhadapnya. Seperti
hidup beriman membentang seluas hidup dan
pada dasarnya menyangkut
visi hidup dan mati manusia di tengah alam
ciptaan Allah, refleksi teologis
merupakan “saat berhenti untuk berpikir
sejenak” (second step menurut
istilah Gustavo Gutiérrez) yang tidak
terpisahkan dari praksis keterlibatan
seumur hidup untuk menyatakan dan mewujudkan
belas kasih Allah itu,
khususnya kepada mereka yang terjepit dan
tidak mampu hidup selayaknya
sebagai manusia. Di sinilah, teologi menjadi
teologi yang bertitik tolak pada
pengalaman: “tidak ada yang lebih berjiwa
kristiani daripada pergi dari desa
ke desa untuk menolong
masyarakat miskin dalam usaha mencari keselamatan.”
(Vincentius a Paulo, DBSV V, 1)
Dalam konteks Vincentius, pengalaman yang
menjadi dasar refleksi
adalah pengalaman hidup kaum papa yang
mengalami penindasan. Di
tengah masyarakat yang beratmosfer
penindasan, Gereja sebagai komunitas
umat beriman kepada Kristus harus berani
mengambil posisi bersama
orang miskin. Pemihakan tersebut didasarkan
pada visi Kerajaan Allah
yang diwartakan oleh Yesus sendiri. Yesus
bukan hanya mewartakan tapi
Dia sendirilah bukti adanya harapan karena
di dalam Kristus dan kepada-
Nyalah sejarah keselamatan sejarah umat manusia
mengarah. Jelasnya, iman
kita bukan iman yang bersifat pribadi melulu,
tapi iman yang juga berani
ber-”saksi”, “siap ajarkan kabar sukacita
ilahi.”
Saya terkesan dengan pesan dari seorang imam
diosesan yang menjadi Uskup Agung Semarang, “ketika banyak hal
dimanipulasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok, komunitas
kristiani mesti berjuang
untuk kebaikan umum. Ketika semangat kebersamaan
dan nilai-niali luhur
dirusak, komunitas kristiani diharapkan maju dan
berkembang terus dalam
semangat solidaritas.”
Ep i log
“Bila Anda terpaksa
meninggalkan doa untuk melayani orang
miskin, jangan cemas
karena itu berarti meninggalkan Tuhan
untuk berjumpa lagi
dengan Tuhan dalam diri orang miskin.”
(Vincentius a Paulo, 31
Juli 1634)
Menyitir sebuah berita dari UCAN, sebanyak
310 peserta (yang berasal dari 44
negara) menghadiri Konferensi ke-13
Pelayanan Pembaruan Karismatik Katolik
Internasional (ICCRS, International
Catholic Charismatic Renewal Services), yang
berlangsung pada tanggal 2-9 Juni 2009 di
Institut Kesejahteraan Kkottongnae
yang dikelola Gereja di Eumseong. Tema
konferensi adalah “Kasih dalam Aksi”
(Love
in Action).
Satu hal yang mau diangkat, adalah ketika
Bruder James Shin Sang-hyun dari Kkottongnae, sekretaris panitia pelaksana
setempat, menyatakan bahwa para pemimpin Pembaruan Karismatik Katolik berjanji
untuk melayani
orang miskin, khususnya anak-anak dan para
penderita HIV/AIDS di Afrika: “Selama
40 tahun terakhir,
Gerakan Pembaruan Karismatik terfokus pada pertemuan doa dan
penyembuhan ... Kini,
cinta dan aksi kami harus tertuju pada misi - misi untuk keluarga,
tetangga, dan masyarakat
- untuk menyebarkan cinta kami kepada orang lain.”
Keyakinan dan niat baik ini dengan jelas dan
tajam pernah diungkapkan
oleh tigas rasul kita.
Pertama, St. Yakobus: “Jika
iman itu tidak disertai dengan
perbuatan, iman itu pada
hakikatnya adalah mati.” (Yak 2:17). Kalimat St.
Yakobus ini seolah menggaris-bawahi dengan
garis tebal keyakinan dan sikap
hidup orang-orang Kristen.
Kedua, St. Petrus mengatakan, “Milikilah
cara
hidup yang baik di
tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi supaya apabila
mereka memfitnah kamu
sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya
dari
perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia
melawat mereka.” (Ptr 2:12).
Ketiga, St. Yohanes juga
mengatakan, “Anakanakku,
marilah kita mengasihi
bukan dengan perkataan atau dengan lidah,
tetapi dengan perbuatan
dan dalam kebenaran.” (1Yoh 3:18).
Dalam hal ini, belajar juga dari sosok dan
teladan “rasul modern”,
Vincentius a Paulo, yang bisa menggerakkan
dan mengubah hati banyak orang,
kita bisa melihat juga menegaskan bahwa iman
tak lepas dari pengamalan
(baca: perbuatan/perwujudan). Iman sebagai
pengamalan senantiasa dicari
dalam perkembangan sejarah masyarakat yang
terus berkembang. Panggilan
untuk mewujudkan iman dan cinta dalam
tindakan nyata jelas tidak lepas
dari panggilan setiap orang beriman.
Panggilan itu jelas dilalui dengan hidup
di dunia, tidak dilalui dalam sebuah ruang
hampa. Iman yang berjalan di
atas realita, bukan iman yang berjalan di
atas awan, bukan? Dalam gerak
itu, manusia diharapkan juga berkarya nyata
bagi sesama dan dunia.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan
reflektif: “sejauh mana kita mampu
menjadi “jodohnya Tuhan”, dalam bahasa
Michael Jackson: to make a better
place, menjadi penggerak bagi
hidup bersama, dan kekuatan dinamis bagi
tumbuhnya kesadaran baru-demi suatu tata
dunia baru yang lebih baik?”
Ada dua macam kasih,
yaitu kasih afektif dan
kasih efektif.
Kasih efektif berarti
melakukan hal-hal yang diperintahkan
atau diharapkan oleh
pribadi yang dikasihi.
Mengasihi Tuhan Yesus
secara afektif
berarti bukan hanya
mengikuti pelbagai ajaran dan pesannya,
melainkan juga mengajak
dunia menghargai dan mengasihi Yesus.
(Vincentius a Paulo)
0 komentar:
Posting Komentar