"Kita kerap berkata bahwa massa itu cepat lupa, karena
dalam peristiwa massa, rasa tanggungjawab menjadi tumpul. Tapi betulkah massa
itu pelupa? Sebetulnya, ada istilah yang lebih tepat, yaitu Gedankenlosigkeit,
ketidakberpikiran. Massa tidak pelupa, melainkan tidak berpikir, dan dalam ketidakberpikirannya
itulah, wajar jika praktek korupsi semakin marak di masyarakat kita!"
Ya, setiap bentuk korupsi adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Korupsi sendiri sebagai praktek sudah menjadi biasa dalam kekuasaan. Menyitir Lord Acton, power tends to corrupt: “Seorang pengusaha menuturkan, untuk memperoleh sebuah proyek, ia harus melewati 50 meja, tentunya lengkap dengan uang titipan”. Dalam bahasa medis, para koruptor bisa disebut penderita schizophrenia, karena tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tak pelak lagi, campur tangan eksekutif dalam lembaga yudikatif mempengaruhi masalah immunity (kekebalan hukum) para koruptor. Legitimasi yang seharusnya ditentukan oleh hukum menjadi situasi yang ditentukan oleh kekuasaan. Inilah sebuah penjelmaan akan diktum klasik, “siapa memiliki emas, dialah yang menentukan aturan”
Ya, setiap bentuk korupsi adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Korupsi sendiri sebagai praktek sudah menjadi biasa dalam kekuasaan. Menyitir Lord Acton, power tends to corrupt: “Seorang pengusaha menuturkan, untuk memperoleh sebuah proyek, ia harus melewati 50 meja, tentunya lengkap dengan uang titipan”. Dalam bahasa medis, para koruptor bisa disebut penderita schizophrenia, karena tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tak pelak lagi, campur tangan eksekutif dalam lembaga yudikatif mempengaruhi masalah immunity (kekebalan hukum) para koruptor. Legitimasi yang seharusnya ditentukan oleh hukum menjadi situasi yang ditentukan oleh kekuasaan. Inilah sebuah penjelmaan akan diktum klasik, “siapa memiliki emas, dialah yang menentukan aturan”
Secara makro, ada tiga "causa prima" korupsi.
Pertama, sikap mengabaikan adanya konflik kepentingan, yakni tidak adanya pemisahan tegas antara eksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal ini nampak dari maraknya kompromi politik.
Kedua, tidak efektifnya pengawasan, baik terhadap pemerintah pusat maupun di daerah. Sebetulnya lembaga legislatif berpotensi mengadakan pengawasan, tapi yang terjadi bukanlah suatu kontrol yang efektif tapi malah perluasan jaringan korupsi. Memakai istilah Hannah Arendt (Human Condition, 128), para eksekutif dan legislatif kita masih bermental animal laborans: mereka menjadikan politik sebagai mata pencaharian.
Ketiga, pengambilan keputusan publik tidak hanya dilakukan oleh pejabat yang berwenang tapi oleh para pemilik modal misalnya. Inilah gejala yang disebut state capture, di mana kapasitas legitim “badan publik” menjadi tawanan para pemilik modal. Maka, tidak mengherankan bahwa korupsi begitu mengakar di Indonesia. Berdasarkan Transparancy International, Indonesia menduduki peringkat tiga besar dari 133 negara koruptor di dunia.
Selain itu, fenomena dilumpuhkannya lembaga pemberantas korupsi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan dibubarkannya lembaga pencegah korupsi, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara) jelas merupakan suatu langkah mundur. Kita lupa bahwa korupsi jelas merusak sendi-sendi penopang hidup bersama, karena yang dicari adalah kepentingan diri. Korupsi juga menghalangi upaya membangun keadilan, karena pada dasarnya korupsi itu adalah wujud ketidakadilan. Maka, korupsi sungguh merupakan negasi terhadap sebuah etika politik.
Dalam diskursus sederhana ini, saya menyitir salah satu kejahatan yang disebut Paul Ricoeur, yakni kejahatan kriminal. Para koruptor, walau kerap disebut "white collar crime", adalah sama dengan penjahat kriminal! Implikasinya: mereka sungguh bisa diadili dan menerima hukuman (retribusi) atau harus membayar ganti rugi (restitusi). Di sinilah mutlak suatu institusi hukum yang legitim dan bebas dominasi. Hukum mutlak dibuat untuk melindungi yang lemah dan memperkuat jaringan institusi untuk mendapatkan keadilan. Jika, hukum tidak lagi legitim, ia kehilangan raison d’ětre (alasan adanya). Ini lebih tepat dikatakan sebagai prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi upaya menciptakan good governance, seperti yang tercantum pada Tap MPR No XI/MPR/1998.
Mengatasi kenyataan bahwa proses hukum kerap berbalik menjadi alat pembersihan diri dan sarana rehabilitasi para koruptor, di sinilah perlunya class action (bentuk pemberdayaan masyarakat, Corruption Watch misalnya). Kita mesti terus membangun sebuah Zwischenraum, Ruang Antara (yang bisa ditafsirkan dengan ‘civil society’), sebagai tiang penyangga dan kontrol terhadap hegemoni kekuasaan.
Di lain matra, di tengah maraknya usaha untuk cuci tangan atau menurut terminologi Juergen Habermas, ‘melunakkan masa lampau’ (defusing the past), ruang publik harus selalu dihidupkan dengan mempertajam tindakan berpikir. Berpikir sendiri adalah sebuah action. Dan sepakat dengan Heidegger, tindakan sungguh mengandaikan pemikiran. Berpikir juga adalah dialog yang khusyuk antara saya dan diri saya sendiri. Aktivitas berpikir dengan demikian merupakan refleksi atas pengalaman dengan dunia sosial. Aktualisasi dialog antara saya dan diri saya ini menghasilkan suara hati. Tapi, masalahnya, apakah kaum birokrat kita (eksekutif-legislatif) sungguh berpikir?
Gagasan mengenai birokrat yang tidak berpikir inilah yang disebut “The Banality of Evil”, karena kejahatan para birokrat yang koruptor ini adalah dangkal (mereka gagal untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan). Mereka hidup dalam suatu ungkapan kesadaran praktis menurut Giddens. Mereka tidak biasa berpikir, gagal mengambil jarak atau memberi makna pada setiap tindakan. Idealnya, mereka harus belajar melibatkan kesadaran reflektif: mengambil jarak, bersikap kritis, mempertanyakan dan memberi makna pada tindakan, sehingga akhirnya kita bisa mengajak mereka untuk bersama-sama meneriakkan slogan zaman Pencerahan SAPERE AUDE….Beranilah berpikir!!!!
0 komentar:
Posting Komentar