Ads 468x60px

Filsafat dan Ketuhanan

Selayang Pandang

I. DEFINISI ISTILAH-ISTILAH:

1. Monisme:
Inggris: monism. Dari bahasa Yunani monos (tunggal, sendiri). Monisme adalah paham tentang segala yang ada bukan hanya merupakan suatu kesatuan, melainkan pada akhirnya segala-galanya adalah satu dan segenap kemajemukan atau berupa khayalan kosong (maya) atau perkembangan atau emanasi dari zat yang satu itu. 

Dualisme:
Paham bahwa dalam kehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan, tidak dapat direduksi, unik. Contoh: Adikodrati/Kodrati, Allah/Alam Semesta, Roh/Materi, kebaikan /kejahatan, terang/gelap, langit/bumi, keperempuanan dan kelaki-lakian, tubuh dan jiwa. Alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu.

Panteisme:
Inggris: Panteism; dari Yunani pan (semua) theos (Allah). Paham bahwa Yang Ilahi bersemayam dalam segala-galanya. Alam raya dipenehui dengan Yang Ilahi dan semua kekuatan, baik alami maupun di antara manusia, merupakan penyataan diri Yang Ilahi. Panteisme sangat menegaskan imanensi Yang Ilahi.

Deisme:
Pandangan yang mengakui adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta tetapi tidak mengakui agama karena ajarannya didasarkan atas keyakinannya pada akal dan kenyataan hidup.



2. Nihilisme:
Inggris: nihilism. Dari bahasa Latin nihil (tidak ada). Secara harafiah: ketiadaan. Nihilisme adalah paham yang menolak total atas semua orgnanisasi sosial, politik dan agama tradisional serta nilai-nilai moral. 

Agnostisme:
Inggris: agnoticism. Asal dari istilah ini ialah kata Yunani a yang berarti ”bukan”, ”tidak”, dan gnostikos yang berarti ”orang yang mengetahui atau tidak mempunyai pengetahuan tentang”. Kata agnostos berarti ”tidak diketahui”. Agnotisme artinya paham yang menganggap Tuhan berada di luar cakupan filsafat. Hal adanya Tuhan dianggap tidak dapat diketahui secara filosofis. Agnotisme tidak menolak adanya Tuhan, bahkan menyangkal adanya Tuhan sebagai ketinggalan zaman. Agnotisme tidak mengakui rasionalitas wacana Tuhan. Orang boleh percaya kepada Tuhan, tetapi kepercayaan kepada Tuhan menjadi urusan pribadi, orang lain tidak mencampurinya. 

Materialisme:
Ajaran yang menekankan keunggulan faktor-aktor material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi atau penjelasan historis. 


3. Kontingen:
Dalam epistemologi, kontingen menunjuk pada pengetahuan yang dicapai dengan cara-cara empiris dan karena itu harus dianggap sebagai benar hanya secara probabel.
Dalam logika, kontingen menunjuk pada setiap pernyataan yang tidak niscaya benar artinya, (yakni penyangkalan terhadap pernyataan itu tidak menghasilkan suatu kontrakdisi-diri) dan yang secara logis mungkin.

Dalam metafisika secara umum, kontingen adalah sesuatu yang bisa saja terjadi, tetapi tidak pasti terjadi: bisa saja terjadi dan tidak tergantung pada situasi. Sesuatu yang disebut kontingen mencakup semua hal yang tidak niscaya dan yang tidak mustahil.

Mutlak:
Mutlak, absolut artinya yang tidak dapat dibantah. Eksistenasi mutlak adalah sesuatu yang tidak bisa tidak ada dalam lingkungan pengalaman kita (niscaya). 

Transenden:
Inggris: transcendent, dari bahasa Latin transcendere – dari trans (seberang, atas, melampaui), dan scandere (memanjat). Transenden artinya yang di seberang batas, di seberang alam raya kita atau di luar alam kesanggupan manusia. Allah adalah yang lain, yang diseberang

Imanen:
Inggris: immanent; dari bahasa Latin immanere yang artinya tinggal di dalam, berlangsung seluruhnya dalam pikiran, subyektif). Imanen berarti secara aktual hadir di dalam sesuatu.

Transendental:
Inggris: transcendental. Secara harafiah, transendental berarti sesuatu yang berhubungan dengan yang transenden, tidak berdasarkan pada pengalaman, melampaui batas kemampuan manusia, tidak jelas, samar-samar; hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib dan abstrak.


4. Ekuivok: 
Kata ekuivok artinya menyatukan dua gagasan atau hal yang sama sekali berbeda di bawah nama dua gagasan atau hal yang sama sekali berbeda di bawah nama yang sama, misalnya: ”bisa” sebagai racun dan sebagai dapat. Kalau kita mengatakan bahwa Tuhan itu adil, maka itu tidak berarti sama dengan keadilan yang kita bayangkan tetapi juga tidak berarti bahwa kata adil itu sama sekali lain 
Univok: +

Kata Univok mengambil dua konsep, yang sama sekali berbeda dan menyendirikan satu aspek di mana kedua konsep itu sesuai tanpa perbedaan, misalnya ”badan” untuk si Sidin dan ”badan” untuk Maria. 
Analog:

Analog berarti tidak sama sekali berlainan, tetapi juga tidak sama, melainkan melampaui kita. Kata yang dikenakan pada Allah harus dimengerti secara analog: keesaan, kebaikan, keadilan, kebijaksanaan Tuhan, dst. Dasar analog adalah kenyataan bahwa semua pengada bersatu dalam kemengadaan, meskipun dengan cara dan menurut ciri mereka masing-masing. 




II. JAWABAN DAN PERTANYAAN:

1. Kritik agama Feuerbach dan tanggapan atas kritikannya:
Menurut Feuerbach, Allah tidak menciptakan manusia, tetapi Allah adalah, cita-cita ideal manusia. Agama hanya proyeksi hakekat manusia. Allah adalah gambaran yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri. Agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaannya sendiri, namun yang tidak disadarinya lagi sebagai itu. Apa yang sebenarnya hanyalah angan-angan dianggap mempunyai eksistensi pada dirinya sendiri, maka manusia lalu merasa takut dan perlu menyembah dan menghormatinya sebagai Allah.

Segi positif pendapat Feuerbach adalah bahwa orang beriman diajak dan didesak untuk bermawas diri dan mewaspadai laku hidup keagamaan personal maupun dalam lingkup jemaah. Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama, bukan hakekat agama yakni Allah yang disembah dalam agama itu. Fungsi psikologis agama adalah proyeksi dambaan ideal kesempurnaan manusia yang tak kesampaian, dambaan ini lalu dipersonalisasikan sebagai ”Allah”. Tiga titik kritis ateisme Feuerbach adalah, Pertama: fungsi agama ateisme Feuerbach tidak menyentuh pertanyaan dasariah manusia apakah Allah itu pada dirinya sendiri ada atau tidak. Feuerbach tidak bisa meyakinkan Tuhan itu tidak ada. Ia hanya bisa mengatakan bahwa agama itu bisa ter- atau dimanipulasi oleh orang beragama yang merasa terblokir dambaannya (Simon Lili: 2010).

Dari segi hakekat agama, persoalan mengenai keberadaan/ketidakberadaan Allah, tidak bisa dijawab. Kedua, gagasan mengenai Allah Yang Maha Baik atau Yang Maha Adil tidak hanya mengacu pada sesuatu yang ”lebih daripada manusia” tetapi ”lebih menunjuk pada sesuatu yang ”lain daripada manusia”, ”yang tak terhingga” dan melampaui manusia. Argumen Feuerbach yang mau mengembalikan gejala agama pada soal psikologis dan empiris memuat kontradiksi dalam dirinya sendiri. Feuerbach harus mengakui bahwa manusia bisa beragama dan percaya pada Allah justru karena kemampuan jiwanya yang melampaui batas-batas kemampuan empiris-inderawinya. Manusia adalah makhluk transenden karena ia mempunyai jiwa sebagai prinsip unifikasi yang imaterial sifatnya dan terbuka secara tak terbatas pada ”Ada Tertinggi”, Allah sendiri. Ketiga, Feuerbach tidak berhasil menggantikan cara berpikir metafisik dengan pemutlakan pengalaman konkrit-indrawi atau empiri yang diklaimnya dalam ”filsafat baru” rancangannya. Keabadian, ketakterbatasan potensi-potensi manusia tersembunyi di situ suatu pengandaian metafisik yang melampaui pengertian konkrit-inderawi dan terbatas.


2. Alasan Sartre menolak Tuhan dan tanggapan terhadap penolakan itu:
Ateisme Sartre yang mengatakan kalau ada Allah manusia tidak lagi bebas dan tidak lagi dapat bertanggungjawab atas dirinya sendiri; dan karena manusia bebas dan tidak bisa lari dari tanggungjawabnya atas dirinya sendiri dan atas umat manusia, tidak mungkin ada Allah tidak tahan uji. Alasan Sartre ini ada benarnya juga kalau agama hanya menekankan ketaatan, manusia dilarang berpikir sendiri dan apa pun manusia harus menerima begitu saja. Sebagian besar teolog Agama-agama Abrahamistik secara eksplisit menyangkal kebebasan manusia karena ada Allah. Sartre juga benar kalau hubungan antara Allah dan manusia dipandang dan dihayati sebagai dalang yang menggerakkan kita bak wayang, seakan-akan Allah yang menggerakan tangan kita dan bukan kita sendiri. Namun Allah juga harus dilihat menurut paradigma kasih. Manusia yang karena kasih-Nya berani mempertaruhkan nyawanya dan tidak mundur dari tanggungjawabnya begitu ia menghayati Allah memberi kekuatan baginya untuk menjadi otentik dan menjadi diri sendiri. Allah ”ikut memikul” beban-beban kita sehingga kita menjadi kuat menanggung beban-beban tanggungjawab kita dengan ceria dan berani. Allah tidak meniadakan manusia. Dan orang dengan kepercayaan seperti itu juga tidak lari dari tanggungjawabnya. Ia bukan orang yang tak jujur, tidak berlindung di belakang kemahakuasaan Allah yang tak tertembus melainkan dalam kesadaran bahwa ia dicintai Allah, ia berani menjalani peran yang dituntut daripadanya oleh situasi dan lingkungannya.

Kebebasan kita hanya nyata karena kita berhadapan dengan pelbagai kenyataan yang bernilai, masing-masing dengan kekhasan dan bobotnya sendiri. Manusia merasa diri bebas karena kemalasannya, atau ketakutannya, ditantang oleh sesuatu yang disadarinya bernilai. Dalam medan nilai dan ketertarikan kita dengan bebas berdasarkan kesadaran kita sendiri, mengambil keputusan yang berbobot. Allah pun tidak menghilangkan kebebasan kita. Allah bukan saingan kita, tetapi acuan terhadapnya pengambilan sikap kita mendapat bobot paling mendalam. Manusia bukanlah murni kesadaran dan subjektivitas saja, selalu membawa diri sendiri, dengan kodratnya, dalam segala-galanya, dan hal itu tidak membuatnya kurang manusia, melainkan justru merupakan kondisinya. Kodrat kita itu selain memungkinkan kita untuk mengambil sikap juga merupakan kondisi terhadapnya kita mengambil sikap.


3. Suara hati menunjuk pada adanya Tuhan:
Suara hati adalah kesadaran moral dalam situasi konkrit, kesadaran bahwa dalam situasi itu ia mutlak wajib untuk memilih antara melakukan yang benar dan melakukan yang tidak benar dan bahwa ia tidak boleh melakukan yang tidak benar. Kesadaran itu berakar dalam hati nurani, yaitu dalam kesadaran di dasar hati kita bahwa kita wajib mutlak – tidak dapat ditawar-tawar oleh segala pertimbangan kepentingan atau kesenangan seseorang. Dalam suara hati manusia sadar bahwa ia berada di bawah kewajiban mutlak untuk selalu memilih yang baik, benar, jujur, adil, sesuai dengan janji dsb, dan menolak kebalikannya. Ia sadar bahwa ia mutlak wajib memilih nilai moral. Kesadaran akan kewajiban mutlak ini tidak berasal dari realitas di luar manusia, entah alam, orang lain, atau masyarakat dan juga tidak berasal dari diri kita sendiri, melainkan kesadaran itu kita sadari langsung sebagai jawaban terhadap suatu tuntutan dari sebuah realitas yang kita hadapi, daripadanya kita tidak dapat lari, di mana sikap terhadapnya menentukan mutu kita sebagai manusia. Realitas itu bersifat mutlak, personal dan suci dan itulah yang kita sebut Yang Ilahi, Allah.


4. Paham deisme tentang penciptaan tidak memadai:
Paham deisme yang mengatakan bahwa setelah Allah menciptakan dunia Allah tidak perlu memperhatikannya lagi; Ia sudah menyusun sebelumnya semua gerak sehingga alam semesta untuk selamanya akan berjalan secara selaras – tidak ada lagi campur tangan Allah dalam jalannya dunia, baik secara biasa maupun secara luar biasa, tidak dapat dipertahankan. Dunia ciptaan ini bukan sebuah perbuatan Allah ”pada permulaan” saja, melainkan sesuatu yang berlangsung terus menerus. Setiap eksistensi kita, kita hanya bereksistensi karena Allah terus menciptakan kita. Allah terus ”memelihara” (Latin providentia) atau lebih tepatnya ”pelangsungan” (Leahy) kita dalam eksistensi, penciptaan adalah proses yang berlangsung terus, yang ”dilangsungkan” oleh Allah pada setiap saat. Andaikata, untuk bicara sebagai manusia, Allah bisa sejenak melupakan kita, kita langsung tidak akan ada sama sekali.


5. Tuhan bersifat transenden dan imanen terhadap ciptaan-Nya:
Dalam penciptaan transendensi dan imanensi Tuhan menyatakan diri dengan sempurna. Penciptaan alam raya dari ketiadaan menunjukkan transendensi, keberlainan, dan ketergantungan total Tuhan dari alam raya. Tuhan bisa ada tanpa alam raya, alam raya tidak dapat ada tanpa Tuhan. Paham penciptaan dan transendensi Allah mengandung makna bahwa Allah menciptakan alam raya dengan sama sekali bebas. Ia dapat menciptakannya, Ia juga dapat tidak menciptakannya. Penciptaan juga menunjukkan imanensi seratus persen Yang Ilahi dalam alam raya. Kalau alam raya seluruhnya ada karena terus dilangsungkan oleh Yang Mutlak, Yang Ilahi, maka Yang Ilahi adalah di semua pelosok dataran alam raya. Implikasinya adalah makin tinggi derajat kemengadaan suatu pengada, makin pengada itu memiliki kegiatannya sendiri, tetapi makin pengada itu juga didukung oleh Yang Ilahi. Allah menciptakan. Ia memberi hayat, kegiatan, roh. Maka makin tinggi derajat makhluk, makin dia memiliki kegiatan yang harus dipertanggungjawabkan sendiri karena ia sendirilah yang menentukannya, dan penciptaan berarti bahwa ia justru diberdayakan oleh Sang Pencipta. Manusia – makhluk ber-roh betul-betul bertanggungjawab atas tindakannya, tetapi justru karena itu imanensi Yang Ilahi di dalamnya lebih intensif karena seluruh kegiatan bernalar dan bebas manusia diciptakan terus-menerus oleh Allah. Makin kaya eksistensi makhluk, makin makhluk betul-betul bertindak sendiri, tetapi makin Ia juga intimior intimo meo, Ia adalah ”yang paling mendalam yang ada di batinku” (Augustinus), jadi makin makhluk bersatu dengan Allah dan didukung oleh-Nya. 


6. Kemahakuasaan Tuhan tidak menindas/menghapus kebebasan manusia:
Makin ciptaan mandiri makin ciptaan tergantung dari Sang Pencipta. Demikian juga kehendak manusia. Makin manusia tergantung dari Pencipta, makin ia bebas, dan kebebasan kehendak manusia adalah tempat di mana Tuhan paling efektif melaksanakan kehendaknya dalam dunia (Weissmahr 1983, 148).

Lalu bagaimanakah dapat dikatakan bahwa saya benar-benar bebas? Leahy menyatakan bahwa dalam pelbagai masalah di mana pemikiran manusia kelihatan macet selalu harus menjadi titik tolak: Kenyataan. Kenyataan adalah apa yang kita ketahui dan kita alami bahwa kita bebas (Leahy , 25). Kita mengalami diri bebas memutuskan apa yang mau kita lakukan, bebas mengambil sikap terhadap pelbagai rangsangan dan tantangan. 

Dalam hal kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia, kerangka pikiran yang harus dibongkar adalah pengandaian bahwa Allah dan manusia bersaing di dataran yang sama, seakan-akan mereka bersaing seperti dua regu tarik tambang. Manusia nyata-nyata ada, bukan ilusi, bukan maya. Sebagai pengada tidak bisa tidak mempunyai kegiatan, tetapi seluruh eksistensinya dan apa yang dilakukannya tertunjang oleh pengada yang mutlak, oleh Yang Ilahi. Tuhan memberdayakan ciptaannya, Ia bukan memperdayakannya. Menciptakan berarti memberdaya - menjadikannya makhluk yang utuh. Karena itu, makin mandiri kagiatan makhluk, makin tergantung makhluk itu dari Sang Khalik. Makhluk yang dengan tingkat eksistensi rendah, seperti sebuah batu, tidak menghadirkan Imanensi Yang Ilahi. Demikian juga makin kental imanensi, maka kemahakuasaan Allah, berada dalam makhluk, makin makhluk itu memiliki eksistensi dan mampu untuk menentukan dirinya dengan bebas. Allah memberdayakan ciptaannya. Makin tinggi ciptaan itu – sebagai citra Allah – makin ciptaan itu tergantung dan didukung oleh Penciptanya. Manusia itu makhluk yang mau diciptakan bebas oleh Sang Pencipta. Makin tinggi eksistensi ciptaan, makin ciptaan itu memiliki eksistensi, termasuk kemampuan untuk menentukan diri, tetapi dalam itu ia diberdayakan seluruhnya oleh kemahakuasaan Allah.


7. Tuhan adalah analog:
Bahasa yang dipakai untuk Tuhan secara ”analog”. Segala apa yang kita katakan tentang Allah dalam bahasa manusia mempunyai arti analog. Analog berarti tidak sama sekali berlainan, tetapi juga tidak sama melainkan melampaui kita. Begitu semua kata yang kita kenakan pada Allah harus dimengerti secara analog: Keesaan, kebaikan, keadilan, kebijaksanaan Tuhan dst. Dasar analog adalah kenyataan bahwa semua pengada bersatu dalam kemengadaan, meskipun dengan cara, dan menurut ciri, mereka masing-masing. Analog kemengadaan semua pengada berdasar dalam ”kenyataan dasar bahwa segala apa yang ada dalam arti apa pun, bersatu di dalam apa yang membedakannya dari yang lain.


8. Maksud Tuhan menciptakan alam raya:
Menurut filsafat skolastik, Penciptaan sebagai “Creatio ex nihilo sui et subjecti”: penciptaan dari ketiadaan dan tanpa adanya materi dasar. Apa pun yang ada di luar Allah, segala alam raya dan segala isinya seratus persen dan total diadakan oleh Allah. Tak ada sesuatu sebelumnya, semacam materi tak berbentuk sebagaimana dinyatakan dalam Genesis I dan II atau yang dirumuskan Plato: mengandaikan ada suatu materi pertama tak berbentuk sesudah diberi bentuk oleh idea-idea, menjadi realitis. 
Penciptaan Allah sejak “pada permulaan”, dan berlangsung terus menerus. Penciptaan adalah “providentia”: “pemeliharaan” atau, “pelangsungan” (Leahy). Allah terus “memelihara” kita dalam eksistensi, dan prosesnya berlangsung terus - “dilangsungkan” oleh Allah setiap saat. Andaikata, untuk bicara sebagai manusia, Allah bisa sejenak melupakan kita, kita langsung tidak akan ada sama sekali. Penciptaan alam raya dari ketiadaan menunjukkan transendensi, keberlainan, dan ketergantungan total Tuhan dari alam raya. Tuhan bisa ada tanpa alam raya, alam raya tidak dapat ada tanpa Tuhan. Penciptaan bukan semacam proses yang dialami Allah, semacam keniscayaan metafisik yang tidak dapat dihindarinya. Paham penciptaan dan transendensi Allah mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan alam raya dengan bebas. Ia dapat menciptakannya dan juga dapat tidak menciptakannya. Penciptaan juga menunjukkan imanensi seratus persen Yang Ilahi dalam alam raya. Keberadaan seluruh alam raya karena terus dilangsungkan oleh Yang Mutlak, Yang Ilahi.


9. Masalah kemaha-pengetahuan dan kemahakuasaan Tuhan berarti bahwa manusia justru makin bebas dalam menentukan apa yang dilakukannya:
Makin ciptaan mandiri makin ciptaan tergantung dari Sang Pencipta. Demikian juga kehendak manusia. Makin manusia tergantung dari Pencipta, makin ia bebas, dan kebebasan kehendak manusia adalah tempat di mana Tuhan paling efektif melaksanakan kehendaknya dalam dunia (Weissmahr 1983, 148).

Lalu bagaimanakah dapat dikatakan bahwa saya benar-benar bebas? Leahy menyatakan bahwa dalam pelbagai masalah di mana pemikiran manusia kelihatan macet selalu harus menjadi titik tolak: Kenyataan. Kenyataan adalah apa yang kita ketahui dan kita alami bahwa kita bebas (Leahy , 25). Kita mengalami diri bebas memutuskan apa yang mau kita lakukan, bebas mengambil sikap terhadap pelbagai rangsangan dan tantangan. 

Dalam hal kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia, kerangka pikiran yang harus dibongkar adalah pengandaian bahwa Allah dan manusia bersaing di dataran yang sama, seakan-akan mereka bersaing seperti dua regu tarik tambang. Manusia nyata-nyata ada, bukan ilusi, bukan maya. Sebagai pengada tidak bisa tidak mempunyai kegiatan, tetapi seluruh eksistensinya dan apa yang dilakukannya tertunjang oleh pengada yang mutlak, oleh Yang Ilahi. Tuhan memberdayakan ciptaannya, Ia bukan memperdayakannya. Menciptakan berarti memberdaya - menjadikannya makhluk yang utuh. Karena itu, makin mandiri kagiatan makhluk, makin tergantung makhluk itu dari Sang Khalik. Makhluk yang dengan tingkat eksistensi rendah, seperti sebuah batu, tidak menghadirkan Imanensi Yang Ilahi. Demikian juga makin kental imanensi, maka kemahakuasaan Allah, berada dalam makhluk, makin makhluk itu memiliki eksistensi dan mampu untuk menentukan dirinya dengan bebas. Allah memberdayakan ciptaannya. Makin tinggi ciptaan itu – sebagai citra Allah – makin ciptaan itu tergantung dan didukung oleh Penciptanya. Manusia itu makhluk yang mau diciptakan bebas oleh Sang Pencipta. Makin tinggi eksistensi ciptaan, makin ciptaan itu memiliki eksistensi, termasuk kemampuan untuk menentukan diri, tetapi dalam itu ia diberdayakan seluruhnya oleh kemahakuasaan Allah. 


10. Fakta bahwa manusia melakukan kejahatan merupakan masalah bagi iman akan adanya Tuhan: 
Tantangan terbesar bagi orang yang percaya akan adanya Tuhan: kenyataan bahwa dalam dunia ada kejahatan dan penderitaan (Leahy 1993, 269). Pertanyaan sederhana: mengapa Allah Yang Mahasuci, Mahabaik dan Yang Berkuasa untuk mencegahnya mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan? Maksud kejahatan adalah penolakan sadar terhadap ajakan hati nurani untuk membuka diri kepada kebaikan dengan melakukan perbuatan jahat, nekat berbohong, keji, kejam, dan tidak adil. Bahasa agamanya kejahatan disebut dosa. Masalah kejahatan dapat dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berakal budi dan memiliki kebebasan. Ketika Allah menciptakan manusia, ketika itu juga Ia menciptakannya sebagai makhluk yang bebas. Bagi Allah, menciptakan robot-robot otomatis berbuat sesuai kehendak-Nya tidak memiliki nilai apa-apa. Allah menganugerahkan manusia kemampuan untuk menjawab cinta kasih Allah secara bebas. Dan karena manusia sedemikian penting bagi Allah, Allah mengambil risiko bahwa manusia menggunakan kebebasannya untuk menolak Allah, untuk berbuat jahat. Allah sendiri tidak menghendaki adanya kejahatan, tetapi demi manusia Allah bersedia mengambil resiko bahwa kejahatan akan terjadi. Allah mengijinkan kejahatan itu terjadi meskipun Ia menolaknya. Sikap jahat manusia berakar dalam tekatnya untuk memutlakan kebebasan terbatas yang dimilikinya, untuk memutlakan diri. Weissmahr mengatakan bahwa manusia yang mau melakukan kejahatan berarti ia mau mendewakan dirinya. Ia yang tidak mutlak dan terbatas menempatkan diri sebagai mutlak (Weissmahr 1983, 156). Karena itu agama-agama percaya bahwa orang yang bertahan dalam kejahatannya, tidak mungkin menerima keselamatan abadi di sisi Allah: Ia menempatkan diri dengan bebas melawan Allah. Keadaan itu pun dihormati Allah, yakni neraka. 


11. Fakta bahwa ada banyak penderitaan gawat di dunia merupakan masalah bagi iman akan adanya Tuhan:
Mengapa ada penderitaan padahal Allah dipercayai sebagai yang berbelaskasih, suka mengampuni kesalahan manusia, dan penyembuh? Jawaban permasalahan ini tidak hanya berfokus pada keburukan dalam ciptaan (penderitaan), melainkan juga kebaikan bahwa kita selalu mengalami kebaikan dari orang lain, panggilan hati nurani yang menuntut kita untuk selalu dan dalam situasi apa pun memilih yang baik, jujur, adil dan setia dan seperti harapan Ayub bahwa Allah itu ada, baik dan adil. Menurut Boethius kalau tak ada Allah, tidak mungkin ada kebaikan. Tanpa Allah semuanya absurd (Albert Camus). Maksud kebaikan ialah kebaikan hati yang hanya bisa baik utuh apabila ada kekuatan kasih yang menjamin bahwa segala-galanya akan menjadi baik: mengalami percikan kebaikan-bahagia, sekecil apapun Allah menjamin bahwa kebaikan itu definitif, kebaikan lestari. Lalu apa hubungan fakta kebaikan dengan masalah penderitaan manusia? Allah tidak mengijinkan penderitaan. Segala penderitaan dan kengerian yang kita alami dikalahkan oleh kebaikan Ilahi, menjadi unsur dalam kebahagiaan kita secara perorangan: ”Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka” (Why 21, 4). Orang Yahudi sejak sesudah Roma menghancurkan Bait Allah mengalami penganiayaan bahkan usaha pemusnahan sampai sekarang berani meneriakkan penderitaan dan keputusasaan mereka kepada Allah yang seakan-akan telah meninggalkan mereka. Karena teriakan itu mereka keluar dari keputusasaan dan berkeyakinan bahwa Allah mendengar protes mereka dan dengan sabar mereka menunggu kapan Allah akan mengakhiri keterasingan bangsa-Nya serta yakin bahwa Allah tidak tuli untuk selama-lamanya. Ketika di kayu salib Yesus juga mengajukan protes kepada Allah, ungkapan keputusasaan paling dalam dari Yesus: ”AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mk 15, 34). Protes Yesus adalah doa penyerahan diri Yesus ke dalam tangan Allah yang kemudian Ia mengucapkan: ”Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaKu (Luk 46). Umat Kristiani percaya bahwa dalam Yesus Allah sendiri menderita. ”Sangkalan mengerikan terhadap kesatuan Ilahi (antara Kemahakuasaan dan Kemahabaikan) dipatahkan oleh Allah sendiri oleh karena Ia membiarkan diri dikenai oleh kejahatan secara radikal. Tusukan tombak ke jantung Yesus (Yoh 19, 34) menikam Allah sendiri (Schmidt 2003, 275). Allah bersedia untuk menderita sendiri dan untuk ditaklukkan oleh kejahatan, memikul tanggung jawab atas kenyataan bahwa ciptaannya adalah bagaimana adanya. Penyaliban Yesus meyakinkan kita bahwa Allah segala keburukan dan penderitaan menjamin segala apa akan menjadi baik dan bahwa setetes tangisan pun tidak akan percuma. Protes manusia akan penderitaannya kepada Allah akan didengar dan dijawab Allah. Kapan dan bagaimana tidak diketahui. Ia menerima bahwa ia dapat mengikuti Allah dalam kegelapan ketidak-pengertiannya karena ia dapat mengikuti jejak Yesus yang sudah menjalani dan melewati segala kengerian dan tahu bahwa non confundar in aeternum, ”sampai untuk selamanya saya tidak akan hancur”.***





0 komentar:

Posting Komentar