Ads 468x60px

“Las Mariposas” - "The Butterflies"

“.....Kupu-kupu jangan pergi
Terbang dan tetaplah di sini
Bunga-bunga menantimu
Rindu warna indah dunia
Anak kecil tersenyum manis
Pandang tarianmu indah
Bahagia dalam nyanyian
Kupu-kupu jangan pergi....”
(Melly Goeslaw)


“The Time of Butterflies” adalah judul sebuah film historis yang digarap-serap dari novel Julia Alvarez, dimana kupu-kupu menjadi inspirasi dan aspirasi perjuangan sejati para aktivis. Dan, bersama dengan segelontor orang yang suka membuat tato kupu-kupu (entah pada pinggul, dada, punggung atau bagian tubuhnya yang lain), banyak seniwan-seniwati kita juga ter-inspirasi dengan kupu-kupu. Sebut saja: Ebiet G.Ade dengan “Kupu-kupu Kertas” nya; Titiek Puspa dan Ariel Noah dengan “Kupu-kupu Malam” nya, Iwan Fals dengan “Kupu-kupu Hitam Putih” nya, bahkan kelompok musik Slank dengan Gank Potlotnya juga menaruh-luruh kupu-kupu sebagai simbol komunitas mereka.

Kupu-kupu sendiri merupakan jenis serangga dalam ordo lepidoptera/bersayap sisik. Secara sederhana, mereka aktif di waktu siang (diurnal) dan kerap memiliki warna yang indah. Kupu-kupu juga amat banyak jenisnya, di Pulau Jawa dan Pulau Bali saja tercatat lebih dari 600 spesies kupu-kupu. Bahkan, Indonesia yang memiliki 1600 jenis spesies kupu-kupu merupakan negara nomor dua terbanyak jenis kupu-kupunya di dunia setelah Brazil.

Dalam mitologi Yunani kuno, kupu kupu (ψύχη, ps
ȳchē) berarti jiwa. Psyche dihadirkan sebagai seorang gadis cantik bersayap seperti kupu-kupu yang melambangkan keabadian jiwa. Kupu-kupu juga kerap diartikan “Venessa” (Venus: dewi cinta dan kecantikan). Memang, kupu-kupu melambangkan jiwa dan cinta kasih yang abadi, seperti yang dituang-kenangkan dalam legenda Tiongkok “Sampek - Engtai”. Ada juga budaya kuno yang percaya bahwa kupu-kupu adalah makhluk “libera et sacra” (bebas dan kudus) yang membawa jiwa dari bumi ke surga. Masyarakat tradisional Jepang bahkan menganggap kupu-kupu sebagai personifikasi roh seseorang yang kita cintai, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. Adapun di tanah Bali, terdapat juga sebuah tari kupu-kupu, yang melukiskan kedamaian jiwa sekelompok kupu-kupu yang dengan riangnya berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain.

Lalu, apa kait-pautan kupu-kupu dengan acara Gelar Budaya ini? Mengapa kupu-kupu selalu hadir dalam gurat-tampilan proposal, baliho, poster, pamflet sampai kaos panitia? Ya, kupu-kupu sebenarnya berumur pendek (“brevis”), tetapi nilai filosofisnya sangatlah panjang, kalau tidak mau dikatakan abadi (“longa”). Harapannya, lewat Gelar Budaya yang berlangsung sepekan ini, ada semacam “butterfly effects”, yang terus mampu mencipta angin yang menyejukkan sekaligus menggores warna yang mencerahkan untuk berpekan-pekan ke depannya.

Logo kupu-kupu dalam acara Gelar Budaya ini juga menggambarkan adanya usaha ber-metamorfosis bersama: dari ulat (simbol “tergantung pada dunia”) menjadi kepompong (simbol “terbelenggu dunia”), dan akhirnya menjadi kupu-kupu (simbol ‘libertas’, kebebasan dari ketergantungan dan keterbelengguan kepentingan diri). Secara filosofis, pertama-tama dia adalah sebuah telur yang melambangkan “impotensi”, ketidak-berdayaan, pasif dan nasibnya tergantung pada pihak lain/lingkungannya. Ketika telur pecah, berubahlah dia menjadi ulat yang ter-alienasi (terasing) dan ter-stigmatisasi (dicap buruk karena “merusak”: parasit bagi tetumbuhan yang didiaminya. Aktivitasnya adalah makan, makan dan makan. Gerakannya lambat, makannya banyak). Setelah melewati “fase ulat”, berikutnya ia berubah menjadi kepompong. Ia membungkus dirinya dengan tabung yang menjadi tabir bagi dirinya dalam berhubungan dengan lingkungannya. Sang ulat bersembunyi di bawah sehelai daun dan ”bertapa”. Ia ber-“silentio magnum.” Dalam kehidupan iman kristiani, inilah fase “kontemplasi”. Tatkala kita mulai hening-merenungi jalan dan guratan hidup serta mencoba menjaga jarak. Inilah sebuah langkah untuk ber-ruminatio (mengunyah-kunyah) menjadi seekor kupu-kupu yang menebarkan keindahan dan kehangatan bagi sesama. Gelar Budaya ini jelasnya ingin hadir sebagai sebuah upaya sederhana mencari kearifan yang bebas sekaligus abadi: bersama-sama mengalami kelahiran, menggulati pertumbuhan (yang diwarnai proses gulat-geliat perjuangan) untuk mencapai sebuah kebangkitan yang mengagumkan bagi kebaikan banyak orang.

Akhir kata, kalau orang dulu pernah bilang jika rumahnya kedatangan kupu-kupu menandakan ada tamu istimewa yang datang membawa “rezeki”. Semoga, itu juga yang kita alami dalam acara Gelar Budaya ini. Kita boleh “kedatangan tamu istimewa” alias mendapatkan limpahan berkat Tuhan, diantaranya: “fraternitas-persaudaraan, caritas-kasih, serta unitas in diversitas - kesatuan dalam keberagaman.”
“Pergilah menuju tempat di mana kau tak dapat pergi,
menuju yang tak mungkin.

Itulah satu-satunya jalan pergi atau datang”
(“The Prayers and Tears of Derrida”)

Salam interupsi
Rm. Jost Kokoh Prihatanto, Pr

0 komentar:

Posting Komentar