Ads 468x60px

Althusser, Marx dan Antihumanisme

Selayang Pandang

Abstraksi
Tulisan ini mendekati latar belakang munculnya antihumanisme bertolak dari tesis Althusser, bahwa pemikiran Marx secara teoretis antihumanis. Posisi antihumanis ini mulai sejak terjadinya patahan epistemologis dalam pemikiran Marx, yaitu ketika ia tidak lagi memakai konsep ‘manusia’ yang bebas dan rasional, tetapi menggantinya dengan konsep relasi produksi. Mengikuti Marx, Althusser menolak penggunaan konsep manusia (humanisme) sebagai dasar teori. Meski harus senantiasa dikritisi, humanisme – sebagai sebuah ideologi – tidak dapat dihapus, dan secara praktis tetap diperlukan bagi perjuangan pembebasan. 


Pengantar
Humanisme dipandang sebagai pemberontakan manusia dari kungkungan agama dan jerat Tuhan. Pemberontakan itu diikuti tindakan heroik menentukan diri sendiri: Manusia yang diyakini bebas dan rasional, membulatkan tekad untuk menjalani hidup tanpa mengikatkan diri atau bertopang pada pihak lain. Dengan latar belakang pemahaman macam ini, bisa jadi tulisan ini tampak aneh, karena mempersoalkan humanisme dan menyajikan anti-humanisme.

Tema anti-humanisme sebenarnya bukan tema baru dalam filsafat. Jika humanisme dipahami sebagai sekumpulan pandangan yang menempatkan manusia pada posisi istimewa dalam dunia, maka antihumanisme sudah muncul sejak lama dan datang dalam beberapa gelombang. Gelombang antihumanisme pertama terjadi ketika Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, tetapi hanyalah titik kecil dalam sistem kosmis yang mahaluas. Gelombang kedua berlangsung ketika Darwin menurunkan manusia dari tahta kerajaan hewan dan menjadikannya sebagai kelanjutan proses evolusi belaka. Gelombang berikutnya dihempaskan oleh Freud dengan penemuannya bahwa ego bukanlah “tuan atas rumahnya sendiri”, tetapi bawahan dari dorongan tak sadar yang hanya secara samar disadari oleh rasio. Kemudian, datanglah Levi-Strauss, Althusser dan Foucault yang ‘mencoret’ manusia dari perbendaharaan istilah dalam penelitian sejarah dan etnografi. 

Pertanyaannya, mengapa humanisme – yang dibangun pada masa Renaisance dengan menggali kembali ‘kemanusiaan’ zaman Yunani kuno, dikukuhkan oleh pemikir masa Pencerahan dengan menekankan kebebasan dan rasionalitas manusia, serta ditegaskan oleh Nietzsche dengan mewartakan “kematian Tuhan” – seolah-olah mendekati akhir seperti tampak dalam slogan “kematian manusia”? Apa yang dipersoalkan para penolak humanisme? Apa yang ditawarkan antihumanisme? 

Humanisme versus Antihumanisme
Meski akar-akar antihumanis dapat ditelusur ke abad-abad lalu, adalah Heidegger, dengan “Surat tentang humanisme” (1947), yang mulai secara eksplisit menyerang humanisme. Dalam surat yang merupakan tanggapan terhadap kuliah Sartre “Eksistensialisme adalah humanisme” (1945), Heidegger menulis bahwa humanisme menjelaskan manusia secara tidak memadai. Sebab, konsep “animal rasionale”, yang menjadi dasar humanisme dalam memahami manusia, bertolak dari binatang, dan bukan dari ciri khas manusia. Bagi Heidegger manusia (Dasein) mesti didekati dari ciri khasnya, yaitu keterkaitannya dengan Ada serta upayanya dalam menjawab pertanyaan tentang Ada. Lebih lanjut Heidegger menegaskan humanisme adalah bagian dari metafisika barat yang harus bongkar.
Kritik Heidegger ini berada konteks kritik terhadap metafisika barat. Begitu rumit dan berbelit hal ini dipersoalkan. Maka, tidak menguntungkan bagi kita mencari tahu mengapa muncul pemikiran anti-humanis, jika kita bertolak dari perdebatan seputar metafisika ini. Untuk itu kita perlu berangkat dari arah lain. 

Di sini saya menawarkan pemikiran Althusser, seorang intelektual marxis asal Prancis yang membaca kembali karya-karya Marx dengan kerangka strukturalis. Mendekati persoalan antihumanisme dari pemikiran Althusser menguntungkan karena beberapa alasan. Pertama, posisi antihumanis Althusser dinyatakan dalam perdebatannya dengan intelektual marxis (mis. Sartre) yang sedang bersemangat menggali sisi humanis dalam karya Karl Marx. Dengan demikian, usaha kita lebih ringan, karena persoalan antihumanisme telah dilokalisir pada marxisme. Selain itu kita mendapat kasus konkret mengapa humanisme dipersoalkan. Kedua, Althusser tidak menolak seluruh humanisme, tetapi mengambil posisi antihumanisme teoretis, artinya menolak konsep-konsep humanisme dipakai sebagai dasar teoretis untuk menjelaskan situasi masyarakat. Dengan posisi ini, pemikiran Althusser tampak sedikit ramah bagi mereka yang menduga antihumanisme sebagai propaganda “ketidakmanusiawian’. 

Konteks tesis Althusser 
Inilah tesis provokatif Althusser: “Pemikiran Marx secara teoretis anti-humanis”. Tesis ini muncul dalam latar belakang debat terbuka setelah Konggres XX Partai Komunis Uni Soviet pada Februari 1956. Konggres ini berlangsung pada masa euforia sosialisme. Ketika itu “Gelombang merah” telah menyebar ke seluruh dunia dan Uni Soviet menjadi kekuatan ekonomi dan militer nomor dua di dunia. Lebih lanjut, Konggres Partai menyatakan bahwa tahap sosialisme sudah tercapai dan tahap komunisme mulai ditapaki. Negara bukan lagi negara kelas, tetapi negara rakyat. Uni Soviet mempopulerkan slogan “segalanya bagi rakyat, dan legalitas serta martabat setiap pribadi dijunjung tinggi”. Para pemikir marxis mencari dasar teoretis soal ini pada Das Kapital dan terutama karya Marx muda. Alienasi manusia menjadi tema utama refleksi dan soal perjuangan kelas terlupakan.

Althusser menulis artikel polemis “Marxisme dan Humanisme” delapan tahun setelah Kongres tadi, yaitu ketika euforia sosialisme mulai meredup dan kegagalan proses de-Stalinisasi membuat malaise dalam lingkungan intelektual marxis. Daripada menganalisa kegagalan de-stalinisasi dan persoalan sosialisme, para intelektual justru sibuk berefleksi tentang sisi moral dan humanisme dalam pemikiran Marx. Sartre berupaya “menemukan kembali manusia” pada pemikiran Marx. Erich Fromm mengundang aneka intelektual untuk mengembangkan tema humanisme. Althusser menolak turut serta karena topik persoalannya “bertentangan dengan garis besar proyek” sosialisme. Menurutnya, membahas tema itu tidak akan mengatasi dogmatisme, tetapi hanya memasukkan tema yang ia ejek sebagai “Marxist kosong yang menfilsafatkan manusia”. 


Pertanyaannya, mengapa Althusser menentang orang-orang yang secara jujur berupaya membangun kembali ciri “humanis” sosialisme, setelah horor dan kesalahan yang dilakukan Stalin? Alasannya sederhana. Althusser mengamati betapa kuat refleksi tentang humanisme mempengaruhi para intelektual marxis dan ia melihat dengan jelas bahwa kecenderungan ini membuat mereka tidak bisa bergerak dari mengenali kesalahan pada masa Stalin kepada mengetahui penyebab kesalahan ini. 

Bagi Althusser, yang dipertaruhkan di sini adalah kemungkinan untuk memecahkan persoalan sosialisme. Persoalan ini tak dapat diselesaikan, jika para intelektual memusatkan perhatiannya pada refleksi tentang manusia; persoalan hanya dapat dianalisa dan dipecahkan dengan mempelajari kondisi material yang menyebabkan masalah itu muncul. Kondisi ini berkaitan dengan relasi produksi dalam negara-negara sosialis: kesenjangan antara hak yuridis kepemilikan dan pelaksanaan realnya, persoalan pembagian kerja, hubungan antara partai tunggal dan negara serta akibatnya, dst.

Dengan kata lain, untuk memecahkan persoalan sosialisme, menurut Althusser, marxisme perlu dikembalikan menjadi teori sosial yang berciri ilmiah (saintifik), dengan cara melepaskannya dari segala macam ideologi humanis. Hanya dengan begitu, marxisme dapat dipakai untuk menerangkan gejala-gejala dalam masyarakat dan akhirnya merubah masyarakat. Untuk tujuan ini, Althusser membaca kembali karya-karya Marx. Hasilnya adalah tesis antihumanisme teoretis dalam karya ‘utama’ Marx. Maksudnya, Marx tidak memakai kategori humanis dalam merumuskan teori tentang masyarakat.

Klarifikasi tentang antihumanisme teoretis Marx
Perlu ditegaskan di sini, bahwa Althusser tidak berbicara tentang antihumanisme total, tetapi antihumanisme teoretis. Artinya, “menolak bahwa kategori manusia mempunyai peran teoretis dalam karya Marx”. Tetapi apa yang dimaksud Althusser ketika mengatakan suatu kategori tidak mempunyai peran teoretis? Sebuah kategori mempunyai peran teoretis, ketika ia menjadi bagian dari keseluruhan (teori) dalam keterkaitannya dengan kategori lain, sekaligus kategori ini tidak bisa diabaikan tanpa menyebabkan keseluruhan berubah. Dengan demikian, “humanisme teoretis” adalah penempatan manusia sebagai pusat dunia dalam arti filosofis, yaitu sebagai asal dan tujuan dunia. Dengan, menanpilkan tesis antihumanis, Althusser menggeser manusia dari pusat.

Tesis antihumanisme teoretis dalam karya Marx tidak dapat dilepaskan dari tesis lain, yang menyatakan bahwa Marx telah melakukan revolusi teoretis mendalam dan memperkenalkan sains baru: sains sejarah. Penemuan saintifik ini tak dapat dimengerti tanpa menerima adanya retakan atau patahan epistemologis antara pemikiran Marx muda – yang mendasarkan diri pada humanisme – dan Marx matang – yang membuang peran manusia sebagai subjek proses sejarah, sehingga disebut antihumanis. Marilah kita mencermati patahan epistemologis dalam pemikiran Marx.

Patahan epistemologis dalam pemikiran Marx 
Marx, demikian pendapat Althusser, tak mungkin sampai pada teori ilmiah tanpa melakukan kritik radikal atas filsafat manusia yang telah menjadi dasar pemikiran mudanya. Bagaimana perkembangan pemikiran Marx yang terbelah oleh patahan epistemologis ini?

Seperti telah disebut sebelumnya, Althusser membedakan pemikiran Marx muda dari Marx matang. Yang pertama humanis, yang berikutnya antihumanis. Pada pemikiran Marx muda terdapat dua tahap. Tahap pertama dipengaruhi oleh humanisme rasionalis liberal yang lebih dekat dengan Kant dan Fichte ketimbang Hegel (yaitu ketika ia menyerang sensor pers, hukum feodal, depotisme Prusia). Pada tahap ini, Marx yakin bahwa manusia dipanggil untuk bebas, kebebasan hanya dicapai lewat rasio, dan rasio mengambil bentuk negara. Inilah alasan mengapa ia menuntut perlunya kebebasan pers dan menyatakan jurnalisme kritis sebagai inti politik. Pada masa ini Marx yakin bahwa rasio yang ditampilkan dengan baik dapat mengubah masyarakat.

Pada tahap kedua, Marx, seperti halnya para neo-Hegelian pada waktu itu, kecewa terhadap negara yang tuli terhadap rasio. Ia antusias terhadap humanisme Feuerbach, yang memungkinkan konsep non-rasio diartikan sebagai alienasi. Dalam hal ini, alienasi dipahami sebagai sejarah manusia.
Selanjutnya, Althusser menunjukkan bahwa dalam German Idelogy (1845) Marx melepaskan persoalan humanistik tentang essensi manusia dan alienasi. Kemudian ia mengakhiri pemakaian semua teori sejarah dan politik yang mendasarkan diri pada essensi manusia, sehingga terjadilah “patahan” epistemologis dalam pemikirannya. Beberapa waktu setelahnya, Marx menjelaskan hal ini dengan mengatakan “sesuatu yang tak terbatalkan lagi mulai pada 1845”… “keterputusan yang berlanjut” dan mengawali “kerja dalam masa yang panjang”. Namun, pada waktu itu di kepala Marx belum tersedia sains sejarah yang baru. Maka ia masih memakai konsep ideologis dan kategori filosofis humanisme, yang pada tahap selanjutnya ia buang.

Patahan epistemologis ini – yang terjadi karena Marx menemukan posisi istimewa kelas proletar dalam konteks pertentangan dan perjuangan kelas – menolak tiga aspek yang terkait satu sama lain: pertama, kritik radikal terhadap pretensi teoretis humanisme filosofis; kedua, pendefinisian humanisme sebagai ideologi; ketiga, pembentukan sebuah teori sejarah dan politik yang didasarkan pada konsep baru: “modus produksi, formasi sosial, infrastruktur, superstruktur, ideologi, kelas, perjuangan kelas, dst.” 

Berkaitan dengan kritik terhadap pretensi teoretis humanisme filosofis, Althusser menulis:
Strictly in respect to theory, therefore, one can and must speak openly of Marx’s theoretical anti-humanism, and see in this theoretical anti-humanism the absolute (negative) precondition of the (positive) knowledge of human world itself, and of its practical transformation. It is impossible to know anything about men except on the absolute precondition that the philosophical (theoretical) myth of man is reduced to ashes. So any thought that appeals to Marx for any kind of restoration of a theoretical anthropology or humanism is no more than ashes, theoretically. (For Max, 229-39) 

Bagi Althusser konsep filosofis tentang (essensi) manusia tak lebih dari mitos, yang memang dapat dirumuskan tetapi tidak berarti apa-apa dan tidak dapat dicek kebenarannya. Bagi Althusser konsep humanis tidak membawa pada pengetahuan dan bahkan menghalangi upaya untuk sampai pada pengetahuan. Maka, segala upaya mengembalikan manusia ke kategori teoretis harus dicegah, ‘setidaknya secara teoretis’. 
Althusser juga menyatakan humanisme sebagai ideologi. Namun tidak berarti ia menolaknya. Ia hanya ingin mengatakan, karena humanisme merupakan ideologi, ia tidak dapat dipakai sebagai dasar teori. (Mengenai humanisme sebagai ideologi akan dibahas pada bagian berikutnya).
Berkaitan dengan teori baru tentang sejarah dan politik, Althusser menulis: “Dalam Das Kapital Marx menunjukkan bahwa formasi sosiallah yang pada akhirnya menentukan sejarah, bukan gambaran kabur tentang essensi dan kodrat manusia; bukanlah seorang manusia, atau pun ‘manusia-manusia’, tetapi relasi, yakni relasi produksi.” 

Karena di sini telah disebut bahwa formasi sosial (social formation) ditentukan oleh relasi produksi, perlu diterangkan sedikit mengenai pratik (practice). Bagi Althusser, yang dimaksud dengan praktik adalah proses perubahan (transformation) bahan mentah tertentu menjadi produk tertentu; perubahan ini dikerjakan oleh manusia tertentu, menggunakan alat produksi tertentu. Praktik ini terjadi paling tidak dalam empat level berbeda, yaitu praktik ekonomi, praktik politik, praktik ideologi dan praktik ilmu pengetahuan. Praktik ekonomi meliputi penggunaan tenaga kerja dan alat produksi untuk mengubah bahan material menjadi produk yang berguna bagi masyarakat. Praktik politik mengubah relasi sosial sebagai bahan mentah menjadi bentuk relasi sosial baru. Praktik ideologi mengubah cara anggota masyarakat memahami pengalaman hidupnya (yaitu lewat representasi dan persepsi) menjadi cara pemahaman baru. Praktik teoretis atau saintifik mengolah objek dan sarana produksi sendiri, yaitu pengetahuan, untuk menciptakan pengetahuan baru. 

Relasi produksi tidak boleh dipahami melulu sebagai relasi antarmanusia sebagai ‘manusia’ saja, tetapi relasi mereka sebagai pelaku produksi, yakni relasi antara mereka yang mempunyai fungsi tertentu dalam produksi bahan mentah (baik ekonomi, politik, ideologis maupun ilmu pengetahuan). Wujud relasi ini tergantung pada bagaimana cara masing-masing berkait dengan alat-alat produksi – apakah mereka menguasai bahan mentah dan alat produksi atau sebagai pelaksana semata. Bagi Althusser yang penting diperhatikan oleh intektual adalah menentukan siapa yang menguasai dan mengontrol bahan baku, alat produksi dan jalannya produksi tersebut. 

Tanpa masuk terlalu dalam ke teori formasi sosial, cukuplah di sini mengatakan bahwa bagi Althusser untuk memahami masyarakat, yang diperlukan bukanlah penjelasan mengenai essensi dan hakekat manusia seperti dilakukan oleh para marxis humanis, tetapi mencermati bagaimana relasi produksi dalam masyarakat terjadi.
Penekanan pentingnya relasi produksi menjadi latar belakang munculnya tesis “proses sejarah tanpa subjek”. Bagaimana tesis ini dipahami, mengingat dalam sejarah yang bertindak adalah individu-individu konkret? Di mana posisi manusia?

Di mana posisi manusia?
Dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Marx menulis:
“Man make their own history, but they do not make it just as they please; they do not make it under circumstances chosen by themselves, but under circumstances directly encountered, given and transmitted from the past”. 

Itulah yang dimaksud Althusser dengan tesis “proses tanpa subjek”. 
Manusia (individu) bertindak dalam di bawah determinasi situasi historis yang terbentuk oleh relasi sosial produksi dan reproduksi. Maka, manusia bukanlah “subjek yang bebas” dalam arti filosofis. Manusia bukan Subjek sejarah. Manusia adalah subjek dalam sejarah dan bukan subjek sejarah, untuk mengatakan bahwa ia bukan semata-mata alat sejarah. Dengan kata lain, sejarah tidak tergantung semata-mata pada kehendak manusia, tetapi manusia bertindak dalam sejarah dan tindakan mereka itu dapat mengarahkan sejarah ke arah tertentu.

Althusser sependapat dengan Lenin, bahwa tak ada pertentangan antara kebutuhan sejarah dan pentingnya individu. Juga gagasan tentang kebutuhan sejarah tidak mengebawahkan peran individu dalam sejarah, sebab sejarah dibuat oleh tindakan individu. Namun, dalam menentukan peran dan tindakannya, individu dibatasi oleh kondisi masyarakat. Tugas intelektual marxis adalah menemukan kondisi yang menjamin keberhasilan tindakan tadi. Marxisme tidak menolak perjuangan, sebaliknya membantu menemukan tempat di mana perjuangan paling efektif untuk mengubah dunia. Karena tempat ini bukanlah sebuah titik dan bukan sesuatu yang tetap, maka, menurut Althusser, para intelektual marxis harus selalu mencarinya. Caranya, dengan mencermati relasi produksi dan reproduksi dalam masyarakat (baik dalam level praktik ekonomi, politik, ideologi maupun ilmu pengetahuan). Bagi Althusser, intelektual humanis melalaikan tugas ini, karena sibuk memikirkan ‘hakekat’ manusia, yang bagi Althusser adalah ideologi belaka. 

Humanisme sebagai ideologi
Althusser sama sekali tidak mengatakan bahwa ideologi harus dihilangkan karena menimbulkan kesadaran palsu. Sebaliknya, sebuah masyarakat tidak mungkin bertahan tanpa ditopang oleh ideologi. Bagi Althusser ideologi adalah sistem kepercayaan yang berperan untuk menjaga dan memperkuat relasi sosial suatu masyarakat: “Ideology is a system (with its own logic and rigor) of representation, (images, myths, ideas, or concepts, depending on the case) endowed with a historical existence and role within a given society. (For Marx, 231) Bagi anggota suatu masyarakat tertentu, ideologi berperan memberi kerangka untuk memaknai pengalaman hidupnya. Peran ideologi dalam masyarakat tidak kurang penting dibanding struktur ekonomi atau politik.

Dengan dasar itu, meski menilai humanisme sebagai ideologi, Althusser tidak menolak peran pentingnya dalam kehidupan praktis. Dalam level perjuangan demi pembebasan, ideologi humanis memotivasi orang berjuang. Penekanan manusia sebagai subjek bebas, rasional dan bertanggung jawab atas nasibnya sendiri, memberi daya untuk melawan penindasan. Namun demikian, menurut Althusser humanisme merupakan bagaian dari filsafat borjuis sehingga mengekspresikan kepentingan borjuis. Hal ini dilakukan dengan menerjemahkan tuntutan kapitalis ke dalam bahasa baru: “Manusia sebagai subjek, manusia yang bebas, subjek atas pikirannya”, yang artinya tidak lebih dari “seorang manusia yang bebas untuk berjualan dan membeli, seorang subjek dengan hak-hak”, subjek yang bebas berbelanja dan mengkonsumsi. 

Althusser juga mengakui bahwa konsep-konsep kemanusiaan dalam humanisme (keluhuran individu, kebebasan, otonomi, realisasi diri … ) dapat dipakai untuk mencela aneka “pelanggaran” , “kekeliruan” serta “kejahatan” dalam masyarakat. Bagi Alhusser ketidakmanusiawian yang dilakukan oleh Uni Soviet pada masa Stalin – teror, represi, dogmatisme – itulah yang menjelaskan mengapa humanisme para intelektual Marxis mengangkat tema humanisme dalam pemikiran Marx. Mereka berupaya mengecam sepak-terjang birokrat partai Komunis memakai pemikiran Marx sendiri. 

Namun, bagi Athusser humanisme hanya menujuk pada luka, tetapi tidak menunjukkan cara menyembuhkannya. Humanisme berperan menampilkan realitas, yakni kesalahan yang dilakukan oleh negera sosialis, tetapi tidak memberi cara-cara untuk mengenalinya. Humanisme membantu mengenali kesalahan, tetapi bukan penyebabnya, sehingga menghalangi upaya untuk memperbaiki kesalahan.

Akhirnya, untuk menyelesaikan masalah ketidakmanusiawian, tidak cukup hanya berbicara mengenai kemanusiaan. Diperlukan usaha lanjutan untuk mencari penyebab ketidakmanusiawian dalam sistem sosial. Tujuan akhirnya adalah, seperti ditegaskan Marx, perkembangan penuh individu-individu dengan memperhatikan perbedaan mereka, artinya individualitasnya.

Althusser mengkritik pilihan para intelektual pada ideologi humanisme bukan karena ia tidak tahu betapa pentingnya humanisme, tetapi karena pilihan ini mengarah pada ideologi dan bukan pada teori, sehingga membiarkan kita tak punya dasar teoretis untuk memecahkan persoalan. Konsep humanisme yang lahir dari masyarakat borjuis adalah pemahaman yang partikular dan terbatas, sehingga tidak dapat dipakai untuk menjelaskan situasi masyarakat universal. Humanisme sebagai ideologi adalah bagian dari realitas dalam masyarakat yang mesti dijelaskan, sehingga tidak dapat dipakai sebagai dasar teori.

Posisi antihumanis Altusser dikritik tajam oleh banyak intelektual. Seperti para strukruralis lain, ia dinilai menafikan kebebasan manusia dan menempatkan pelaku (agency) dalam penjara struktur. Akibatnya, teori Althusser tidak memadai untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat. Thomson, seorang marxis Inggris, menuduh Althusser sebagai antek Stalin dan memberikan pembenaran teoretis bagi Stalinisme yang kejam dan totaliter. Pendapat Athusser mengenai ‘patahan epistemologis’ dalam pemikiran Marx diragukan oleh beberapa ahli Marx dan pembedaan antara (anti)humanisme teoretis dan praktis dipertanyakan kegunaanya oleh intelektual lain. 

Namun demikian, tak dapat disangkal bahwa Althusser telah mempengaruhi ilmu sosial yang secara nostalgik masih disebut sebagai “humanities”. Barret mencatat bahwa bagi banyak orang ‘humanisme’ telah menjadi kata “impotent” dan terkait erat dengan nilai-nilai reaksioner dalam karya-karya borjuis. Dalam kelompok tertentu humanisme dicibir. Irris Murdoch, seorang filosof dan sastrawan Inggris, dalam Existentialists and Mystics (1997) menilai humanisme sebagai “flimsier creed which is unrealistic, over optimistic and purveyor of certain falsehoods.”


Perdebatan mengenai humanisme belum berakhir. Humanisme, meski secara teoretis dipertanyakan dan telah dianggap out-of-date, tetap dipergukan tanpa malu-malu, bahkan oleh para pembela antihumanis. Orang-orang muda Inggris pengagum Althusser melakukan kampanye menentang pengembangan senjata nuklir (1983/4), membela buruh tambang dan menolak pajak pemilihan (1989); dan mereka menggunakan alasan humanis, yakni hak dan kebebasan berbicara, bekerja serta memilih wakil dalam parlemen. Dalam pidato pelantikan sebagai presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela mengharapkan “masyarakat Afrika Selatan yang memperkuat keyakinan manusiawi akan keadilan” dan “mengukuhkan kepercayaan akan keluhuran jiwa manusia.” 

Kalau kita memadatkan posisi antihumanis Althusser dalam tesis ‘sejarah tanpa subjek’ dengan tetap mengakui tentang kegunaan praktis humanisme bagi pembebasan dan emansipasi, Althusser tidaklah seradikal antihumanis lain. Ia tidak menuduh humanisme (Pencerahan) telah menyebabkan aneka malapetaka: Imperialisme (Franz Fanon), fasisme (Adorno), totalitarianisme (Lyotard) … Ia juga tidak seperti Foucault yang mengatakan bahwa “manusia adalah penemuan yang belum lama. Dan mungkin mendekati akhirnya.” Namun Althusser adalah bagian dari para pemikir yang mempertanyakan dasar-dasar modernitas, dan karena itu juga humanisme. Ia termasuk dalam para intelektual yang tampak pesimis. Namun, dalam arti tertentu, ia lebih realistis terhadap keterbatasan manusia yang dibatasi oleh kondisinya. Keterbatasan diakui dan diteliti, justru untuk diterobos dan dilampaui.***

0 komentar:

Posting Komentar