Selayang Pandang
Pada suatu hari di tahun 1920-an awal, ketika Sukarno masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool (THS: Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, ia berjalan-jalan ke suatu daerah di selatan kota Bandung, tepatnya daerah Kiduleun Cigereleng, Dayeuh Kolot. Di sana ia bertemu dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya dan kemudian terjadi percakapan di antara mereka. Dari percakapan itu Sukarno mengetahui bahwa sawah sempit yang sedang dicangkul itu adalah milik si petani itu sendiri. Pacul, garu, dan peralatan lainnnya milik si petani pula. Hasil panen yang diperoleh si petani tidak dijual ke pasar, namun digunakannya sendiri. Meski demikian, petani itu dan keluarganya tetaplah gembel yang hidup dalam kemelaratan. Sukarno kemudian bertanya siapa nama petani itu, dan dijawab: Marhaen.
Sukarno melihat bahwa petani gembel itu merupakan lambang rakyat Indonesia pada waktu itu yang hampir seluruhnya hidup dalam kemelaratan. Mereka dimelaratkan oleh sistem yang ada: feodalisme, namun terutama kapitalisme dan imperialisme Belanda. Pengalamannya bertemu dengan petani kecil itulah yang memberinya ilham bagi perjuangan membebaskan rakyat dari kemelaratan dengan menghapuskan sistem yang menindas dan menghisap. Maka di kemudian hari, Sukarno mengajarkan suatu ajaran yang mau membebaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan, yang akan selalu mengingatkannya pada si petani kecil di Dayeuh Kolot itu. Ajaran itu kemudian dikenal dengan marhaenisme.
Menurut perumusnya sendiri, Sukarno, marhaenisme dikatakan sebagai marxisme gaya Indonesia. Dalam paparan berikut kita akan melihat unsur-unsur pokok dalam marhaenisme tersebut. Kita juga akan melihat lebih jauh kaitan antara marhaenisme dan marxisme yaitu dari sisi persamaannya dan perbedaannya. Selain itu, kita juga akan menilik ajaran Sukarno yang lain yang sering disebut Sukarnoisme yang sedikit banyak memiliki hubungan dengan marhaenisme. Pada bagian akhir kita akan sedikit meninjau marhaenisme di Indonesia pada masa pasca-Orde Baru beserta tantangan-tantangan yang dihadapinya.
Pada suatu hari di tahun 1920-an awal, ketika Sukarno masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool (THS: Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, ia berjalan-jalan ke suatu daerah di selatan kota Bandung, tepatnya daerah Kiduleun Cigereleng, Dayeuh Kolot. Di sana ia bertemu dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya dan kemudian terjadi percakapan di antara mereka. Dari percakapan itu Sukarno mengetahui bahwa sawah sempit yang sedang dicangkul itu adalah milik si petani itu sendiri. Pacul, garu, dan peralatan lainnnya milik si petani pula. Hasil panen yang diperoleh si petani tidak dijual ke pasar, namun digunakannya sendiri. Meski demikian, petani itu dan keluarganya tetaplah gembel yang hidup dalam kemelaratan. Sukarno kemudian bertanya siapa nama petani itu, dan dijawab: Marhaen.
Sukarno melihat bahwa petani gembel itu merupakan lambang rakyat Indonesia pada waktu itu yang hampir seluruhnya hidup dalam kemelaratan. Mereka dimelaratkan oleh sistem yang ada: feodalisme, namun terutama kapitalisme dan imperialisme Belanda. Pengalamannya bertemu dengan petani kecil itulah yang memberinya ilham bagi perjuangan membebaskan rakyat dari kemelaratan dengan menghapuskan sistem yang menindas dan menghisap. Maka di kemudian hari, Sukarno mengajarkan suatu ajaran yang mau membebaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan, yang akan selalu mengingatkannya pada si petani kecil di Dayeuh Kolot itu. Ajaran itu kemudian dikenal dengan marhaenisme.
Menurut perumusnya sendiri, Sukarno, marhaenisme dikatakan sebagai marxisme gaya Indonesia. Dalam paparan berikut kita akan melihat unsur-unsur pokok dalam marhaenisme tersebut. Kita juga akan melihat lebih jauh kaitan antara marhaenisme dan marxisme yaitu dari sisi persamaannya dan perbedaannya. Selain itu, kita juga akan menilik ajaran Sukarno yang lain yang sering disebut Sukarnoisme yang sedikit banyak memiliki hubungan dengan marhaenisme. Pada bagian akhir kita akan sedikit meninjau marhaenisme di Indonesia pada masa pasca-Orde Baru beserta tantangan-tantangan yang dihadapinya.
Unsur-Unsur Pokok Marhaenisme
Sejak masih mahasiswa Sukarno telah berjuang bersama kawan-kawan untuk persatuan nasional dan kemerdekaan Indonesia. Setamat dari THS tahun 1926, ia makin bergiat pada operasi-operasi perjuangan untuk itu. Pada bulan Juli 1927, ia bersama beberapa kawan mendirikan sebuah organisasi nasionalis yang punya representasi secara luas yaitu Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), yang kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia. Kata marhaenisme dan marhaen disebut-sebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI pada bulan Juli 1927 itu. Dikatakannya PNI adalah partai yang berasaskan marhaenisme. Pokok-pokok pendirian partai itu adalah: pertama, adanya tujuan yang tidak boleh berubah; kedua, syarat mutlak mencapai tujuan adalah kemerdekaan Indonesia; dan ketiga, tercapainya tujuan yaitu terciptanya masyarakat adil-makmur atau masyarakat sama-rata sama-rasa atau masyarakat sosialis tulen.
Walau demikian, dapat dikatakan bahwa istilah ‘marhaen’ mendapat definisi resmi dalam pidato pembelaan Sukarno di depan Pengadilan Hindia Belanda di Bandung pada tahun 1930 yang dituangkan dalam tulisan berjudul “Indonesia Menggugat”. Sedangkan rumusan kata ‘marhaenisme’ dan ‘marhaen’ yang terperinci muncul dalam tulisan Sukarno yang berjudul “Marhaen dan Proletar” yang dimuat dalam surat kabar Fikiran Rakyat, Bandung, tahun 1933. Uraian tersebut berkenaan dengan keputusan-keputusan Partai Indonesia (Partindo) mengenai ideologinya. Dalam tulisan itu termuat sembilan butir pokok-pokok mengenai marhaen dan marhaenisme. Berikut akan disampaikan beberapa yang terpenting diantaranya dengan urutan yang tidak sesuai dengan urutan dalam tulisan tersebut.
1. Yang pertama adalah pengertian ‘marhaen’ itu sendiri. Marhaen dilambangkan dengan petani gembel di Dayeuh Kolot itu dan memiliki pengertian berbeda dengan proletariat dari ajaran Marx. Jika proletariat dalam ajaran Marx ialah kaum yang tidak memiliki sarana-sarana produksi dan hanya menjual tenaganya pada pemilik modal, maka pengertian marhaen lebih luas. Marhaen adalah orang yang ditindas dan dimelaratkan oleh sistem feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Jadi, selain buruh seperti pada pengertian Marx, termasuk juga di dalamnya para tani yang meski memiliki sarana-sarana produksi tetapi tetap miskin, pedagang kecil, nelayan, tukang becak, tukang gerobag, bakul pecel, bakul jamu, pengasong, dan lain-lain. Pendeknya, marhaen adalah kaum melarat Indonesia.
2. Yang kedua adalah ajaran tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme merupakan ajaran tentang nasionalisme yang mempunyai ciri yang khas. Tujuannya adalah menyatukan seluruh bangsa Indonesia dan membebaskannya dari segala penindasan dan penjajahan. Oleh karena bangsa Indonesia hampir seluruhnya kaum marhaen maka nasionalismenya adalah nasionalisme marhaen atau disebut sosio-nasionalisme. Menurut Sukarno, nasionalismenya bukanlah nasionalisme ‘ngelamun’ atau nasionalisme ‘kemenyan’, namun nasionalisme yang dua kakinya berdiri di dalam masyarakat. Nasionalismenya mempunyai ciri khas yaitu nasionalisme yang bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan di segala bidang. Secara umum nasionalismenya mengakui persamaan hak manusia dan persamaan hak bangsa-bangsa. Dengan demikian sosio-nasionalisme boleh dikatakan adalah nasionalisme yang anti-kapitalisme dan anti-imperialisme . Menurut Sukarno, ia mengawinkan nasionalisme di dunia Timur dan marxisme yang menghasilkan suatu nasionalisme baru yang hidup di kalangan rakyat marhaen Indonesia.
Sementara itu, sosio-demokrasi merupakan gagasan reaktif Sukarno terhadap demokrasi barat. Sukarno memahami demokrasi di barat merupakan demokrasi yang lahir dari paham liberalisme. Dan paham liberalisme dimengerti Sukarno sebagai ajaran yang hanya memberikan kebebasan di bidang politik namun tak menjamin kebebasan di bidang ekonomi. Sukarno menunjuk bahwa di negeri-negeri yang menganut demokrasi parlementer liberal, kapitalisme merajalela. Sukarno memberikan alternatif terhadapnya, yaitu demokrasi di bidang politik sekaligus demokrasi di bidang ekonomi. Intinya mau memberikan kesamaan hak bukan hanya di bidang politik tapi juga di bidang ekonomi. Dalam bahasa Sukarno, sama-rasa sama-rata di bidang politik, dan sama-rasa sama-rata di bidang ekonomi.
3. Dalam bagian lain dari sembilan pokok tentang marhaen dan marhaenisme itu, yaitu butir 7, Sukarno menyebutkan bahwa marhaenisme merupakan cara-perjuangan revolusioner untuk mencapai keadaan negeri yang menyelamatkan kaum marhaen. Jadi, marhaenisme dipandang pula sebagai sebuah asas dan taktik perjuangan yang revolusioner. Dalam butir 8, Sukarno menyebutkan secara eksplisit bahwa marhaenisme adalah cara perjuangan yang menghendaki dihapuskannya kapitalisme dan imperialisme. Yang penting disampaikan pula adalah butir 5, yang menyatakan bahwa kaum proletar (seperti pada pengertian Marx, yaitu buruh) mengambil bagian yang besar dalam perjuangan kaum marhaen tersebut.
Kaitan dan Perbedaan antara Marhaenisme dan Marxisme
Marxisme telah memberikan kerangka berpikir pada Sukarno untuk menjawab permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada waktu itu. Sukarno sendiri berkata bahwa marhaenisme merupakan marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya marxisme yang yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia. Persoalannya, sampai seberapa jauh pemikiran-pemikiran Marx berpengaruh, dan seberapa besar pemikiran orisinal Sukarno sendiri dalam marhaenisme tersebut? Untuk itu kita akan melihat dulu kaitan antara marhaenisme dan pemikiran-pemikiran Marx dan kemudian kita akan melihat perbedaan-perbedaannya. Kaitan antara marhaenisme dan marxisme antara lain:
• Pada tahap awal pemikirannya, Marx mau menjawab suatu pertanyaan yaitu bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik yang ada di negara Prussia. Tahap selanjutnya Marx melihat bahwa itu semua adalah ungkapan keterasingan manusia yang akarnya ditemukan pada proses bagaimana manusia berproduksi dalam memenuhi kebutuhannya atau dalam pekerjaannya. Ada penindasan dan penghisapan dalam bidang produksi atau ekonomi tersebut. Penindasan dan penghisapan ini mau diatasi sehingga manusia dibebaskan dari keterasingannya. Dengan kata lain marxisme merupakan sistem pemikiran yang mau berperan dalam praksis pembebasan . Sukarno sangat terpengaruh oleh idea ini. Namun jauh sebelum ia mengenal pemikiran-pemikiran barat, telah tertanam dalam diri Sukarno konsep-konsep Jawa. Salah satu konsep Jawa yang kuat tertanam dalam dirinya adalah konsep tentang Ratu Adil yang bersifat mesianik. Bersama dengan marxisme maka konsep Ratu Adil ini tersintesis dalam marhaenisme. Marhaenisme mau menjadi ajaran yang mengubah nasib bangsa Indonesia pada waktu itu. Marhaenisme mau membebaskan bangsa Indonesia dari segala penindasan dan penghisapan dari sistem-sistem yang ada. Sukarno melihat sistem-sistem yang menindas tersebut adalah feodalisme, kapitalisme dan imperialisme Belanda yang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kapitalisme pula. Dengan kata lain marhaenisme juga merupakan praksis pembebasan sebagaimana marxisme.
• Dalam pidato Juli 1927 sebagai ketua PNI, Sukarno menyebutkan salah satu pokok pendirian PNI adalah terciptanya tujuan masyarakat sosialis tulen atau yang dikenal dengan masyarakat adil-makmur atau masyarakat sama-rata sama-rasa. Cita-cita ini merupakan cita-cita etis kaum sosialis pada umumnya, termasuk Marx. Kapitalisme, yang merupakan sasaran kritik Marx dari mana ia bertolak untuk membangun sosialismenya, juga merupakan lawan utama dari marhaenisme. (Namun Marx lebih spesifik dari kaum sosialis utopis di mana ia melihat bahwa di ujung perjalanan sejarah hak milik pribadi atas sarana produksi akan terhapus secara niscaya dan tercipta suatu masyarakat sosialis tanpa kelas). Dalam hal ini, jelas terdapat kesamaan “cita-cita” antara marhaenisme dan marxisme.
• Yang berikut adalah bahwa ajaran Marx tentang materialisme historis juga mewarnai marhaenisme. Marx, yang dipengaruhi Hegel, memandang sejarah begitu penting. Ia percaya bahwa perjalanan sejarah bersifat dialektis. Sejarah perkembangan masyarakat dengan demikian juga bersifat dialektis dan tunduk pada hukum-hukum obyektif. Meski tidak “seilmiah” Marx, Sukarno melihat bahwa mempelajari sejarah pergerakan rakyat Indonesia adalah mutlak sebagai bagian dari metode perjuangan. Terkenal akronim yang dibuatnya “Jas Merah” atau “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Namun kita nanti juga akan melihat perbedaan keduanya dalam memandang sejarah.
• Sukarno sangat menyetujui ajaran Marx tentang perjuangan kelas. Menurutnya, mengutip Marx, sebuah kelas yang mendapatkan privilese tak akan dengan sukarela melepaskan hak-haknya itu. Dengan demikian perubahan hanya terjadi melalui revolusi. Dalam konteks Indonesia, Sukarno melihat kaum feodal, kapitalis dan imperialis tak akan begitu saja melepas hak-hak istimewa mereka. Pelepasan privilese itu hanya dapat dilakukan melalui perjuangan revolusioner.
• Dalam pemikiran Marx, sistem kapitalisme yang menindas secara internal mempunyai bibit-bibit kehancurannya sendiri dan revolusi sosialis niscaya akan terjadi jika proletariat telah matang betul kesadaran kelasnya, atau jika massa proletariat telah terbentuk. Sukarno sungguh tertarik oleh gagasan ini. Ia begitu terpukau oleh apa yang disebut massa. Semboyan bagi tiap-tiap orang Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsanya, menurut Sukarno adalah: “Di dalam massa, dengan massa, untuk massa”. Bagi Sukarno, marhaenisme merupakan paham perjuangan revolusioner yang berdiri di atas aksi-massa yang revolusioner. Kemerdekaan Indonesia dan terciptanya masyarakat sama-rata sama-rasa hanya dapat dicapai melalui aksi-massa yang revolusioner itu, yaitu massa marhaen yang merupakan hampir seluruh rakyat Indonesia yang ‘kesadaran kelas’-nya telah dimatangkan.
Walau demikian Sukarno tak bulat-bulat begitu saja mengadopsi pemikiran Marx untuk dijadikan dasar perjuangannya. Ia membuat modifikasi di sana-sini pada pemikiran Marx agar cocok diterapkan pada kondisi Indonesia. Sementara itu beberapa pihak melihat sebenarnya bukanlah modifikasi yang dilakukan oleh Sukarno, tetapi itu merupakan miskonsepsinya atas pemikiran Marx. Apapun itu, mari kita tilik beberapa pokok perbedaan antara marhaenisme dan marxisme:
• Ada perbedaan kategori untuk kaum tertindas antara marhaenisme dan marxisme, yaitu antara marhaen dan proletar. Perbedaan ini sudah dijelaskan di atas pada bagian pengertian ‘marhaen’ dalam pokok-pokok marhaenisme. Marhaen merupakan buah pemikiran orisinal Sukarno yang menunjuk pada kaum tertindas dan melarat Indonesia yang berbeda dari proletariat Marx.
• Kondisi Indonesia waktu Sukarno mencetuskan marhaenismenya berbeda dengan kondisi negara-negara Eropa waktu Marx merumuskan pemikiran-pemikirannya. Indonesia waktu itu merupakan negeri yang terjajah bangsa lain, sedangkan negara-negara Eropa itu merupakan negara-negara merdeka. Di Eropa, musuh proletariat hanya satu yaitu kaum borjuis. Di Indonesia kaum marhaen menghadapi kaum feodal dan kapitalis bangsa sendiri serta menghadapi imperialis Belanda. Dengan kata lain kaum marhaen Sukarno memiliki “musuh” yang lebih banyak daripada proletariat Marx.
• Ada perbedaan antara Sukarno dan Marx dalam memahami sejarah, meski kedua-duanya mengakui pentingnya pemahaman akan sejarah. Dalam materialisme historis, Marx memandang sejarah sebagai sejarah tentang bagaimana manusia berproduksi. Cara berproduksi manusia berbeda-beda, yang lalu membuatnya terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan. Oleh sebab itu sejarah juga dipahami sebagai sejarah perjuangan kelas. Dalam konteks bangsa Indonesia, Sukarno juga melihat sejarah sebagai sejarah pertentangan ‘kelas’, bangsa terjajah melawan bangsa penjajah. Namun demikian ia tidak berbicara aspek ekonomi melainkan lebih menekankan aspek penderitaan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia. Baginya, sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah penderitaan rakyat. Mempelajari dan memahami sejarah perkembangan bangsa Indonesia berarti berorientasi pada Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) dan perjuangan melawan penindasan di segala bidang, bukan hanya penindasan di bidang ekonomi sebagaimana dalam marxisme. Selain itu, jika di satu sisi Marx yang mengikuti Hegel memandang sejarah berjalan dalam proses dialektika, di lain pihak diragukan apakah Sukarno juga menerima sepenuhnya paham dialektika sejarah tersebut. Sukarno memahami apa yang terjadi di masa lalu menentukan hari ini, dan apa yang terjadi kini menentukan masa depan.
• Penghapusan milik pribadi atas sarana-sarana produksi merupakan sesuatu yang mutlak dan niscaya dalam ajaran Marx. Pada marhaenisme tak ditemukan apakah Sukarno juga menyetujui hal tersebut. Namun, di kemudian hari setelah menjadi presiden dari Republik Indonesia, Sukarno menghendaki nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar. Apakah ini merupakan bentuk ‘penghapusan milik pribadi atas sarana produksi’ ala marhaenisme?
• Menurut Sukarno marxisme adalah ajaran yang ateis sementara itu marhaenisme percaya kepada Tuhan. Sukarno mengklaim ia hanya mengadopsi konsep materialisme historis dari pemikiran Marx. Menurutnya, materialisme historis tak ada sangkut pautnya dengan bertuhan atau tidak. Penganut materialisme historis bisa saja percaya pada Tuhan. Hal ini, menurutnya harus dibedakan dari materialisme filosofis yang juga dianut Marx, di mana kepercayaan akan Tuhan ditolak.
Dari pokok-pokok yang dijelaskan secara singkat di atas kita bisa melihat bahwa marxisme memang memberikan kerangka berpikir fundamental bagi Sukarno dalam melaksanakan perjuangannya. Pokok-pokok dalam marxisme seperti pembebasan dari ketertindasan dan pembentukan masyarakat sosialis, kritik terhadap kapitalisme dan konco-konconya, pemahaman terhadap sejarah dan materialisme historis, perjuangan kelas dan massa yang revolusioner jelas diadopsi dan dimasukkan menjadi pokok-pokok dalam marhaenisme. Namun demikian, di sisi lain Sukarno adalah juga seorang pemikir orisinal yang membuat konsep-konsep yang berbeda dari marxisme sehingga bisa dikatakan bahwa Sukarno menerapkan marxisme secara khas sesuai dengan kondisi Indonesia pada waktu itu.
Sukarnoisme dan Hubungannya dengan Marhaenisme
Lalu apa pula itu Sukarnoisme? John Legge melihat beberapa segi khas dari pemikiran Sukarno, yaitu antara lain cita-citanya tentang persatuan nasional, desakan sikap non-kooperatif terhadap imperialisme serta konsep tentang marhaenisme itu sendiri. Persoalan tentang nasionalisme memang menjadi salah satu tema pokok dalam pemikiran-pemikiran Sukarno. Bernhard Dahm menyebutkan bahwa pada tahap nasionalis dalam perkembangan pemikiran Sukarno, yaitu tahun 1926-1931, Sukarno sudah tak asing lagi dengan ketiga aliran politik yang menjadi sumber dari semua aliran politik yang ada di Indonesia waktu itu, yaitu nasionalisme, Islamisme, dan marxisme. Pemikirannya tentang itu dituangkannya dalam salah satu dari tulisannya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dalam Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926. Jauh di kemudian hari pada awal tahun 1960-an ajarannya tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tersebut bergeser dan terkenal menjadi Nasionalis, Agama, Komunis atau yang dikenal dengan Nasakom.
Persatuan nasional merupakan hal yang fundamental dalam pemikiran Sukarno. Dalam tulisan tahun 1926 itu ia menggambarkan bahwa betapa tragisnya nasib bangsa-bangsa terjajah. Kemerdekaan bangsa, yang waktu itu menjadi Spirit of Asia, dengan demikian menjadi satu-satunya jalan keluar. Dan kemerdekaan Indonesia hanya dapat dicapai melalui persatuan nasional Indonesia. Selanjutnya Sukarno melihat bahwa pada waktu itu ada tiga sifat yang menjadi nyawa pergerakan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan yaitu Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Memang ada jurang-jurang perbedaan antara sifat-sifat itu. Sukarno sendiri menulis ia tidak tahu bagaimana wajah persatuan itu dan bagaimana tercapainya persatuan itu, namun intinya Kapal-Persatuan itu tidak boleh pecah dalam membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya.
Sukarno mengacu paham kebangsaannya pada pemikiran Ernest Renan, seorang filsuf dan pujangga, yang mengatakan bahwa yang dinamakan “bangsa” adalah suatu asas akal yang terjadi dari dua hal, yaitu: rakyat yang menjalani riwayat atau sejarah yang sama, dan kedua, rakyat itu mempunyai keinginan hidup menjadi satu. Di samping itu, gagasan persatuan yang menggerakkan Sukarno ini sudah tertanam berabad-abad dalam filsafat Jawa. Berangkat dari situ, ia memberikan kepada golongan-golongan yang berbeda dari pergerakan Indonesia tersebut suatu “tujuan bersama” yang baru. Sukarno memberikan sudut pandang dari ketiga aliran itu tentang bagaimana seharusnya persatuan nasional dipahami. Mengacu pada pemikiran Renan, maka menurut Sukarno seharusnya ketiga golongan yang ada bisa saling merapatkan diri karena ketiganya mengalami sejarah penderitaan yang sama dan ketiganya memiliki kemauan untuk hidup menjadi satu. Sukarno lebih banyak menekankan persamaan ketiga golongan itu untuk mencapai persatuan nasional ketimbang perbedaan-perbedaan di antara mereka yang dapat memecah persatuan nasional. Ia banyak memberikan contoh pengalaman-pengalaman negara-negara Asia lainnya di mana golongan nasionalis dan marxis (Tiongkok), golongan nasionalis dan agama (India), serta golongan agama dan marxis (Afganistan) bisa saling bekerja sama .
Lalu bagaimanakah hubungan marhaenisme dengan paham Sukarno yang satu ini? Ada beberapa kesamaan antara paham marhaenisme dengan paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme ini. Pertama, keduanya berbicara tentang nasionalisme. Keduanya memahami bahwa persatuan nasional menjadi syarat utama bagi kemerdekaan Indonesia. Kedua, selain unsur nasionalisme kedua-duanya juga melibatkan unsur marxisme dalam ajarannya. Walau demikian ada pula perbedaan yang mendasar pada keduanya. Perbedaan itu antara lain:
• Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme atau yang kemudian dikenal dengan Nasakom merupakan ajaran tentang persatuan nasional Indonesia atau ajaran tentang paham kebangsaan Indonesia. Di lain pihak, marhaenisme merupakan ajaran yang mencakup hal lebih luas yang tujuan akhirnya adalah mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Nasionalisme hanya merupakan salah satu unsur saja dalam ajaran marhanenisme. Dalam marhaenisme, selain nasionalisme tercakup pula pokok-pokok lain seperti yang sudah diuraikan dalam bagian awal.
• Dalam paham Sukarnoisme tersebut, marxisme dipandang sebagai salah satu unsur penting dalam membangun persatuan nasional. Di lain pihak, meski terdapat modifikasi di sana-sini, marhaenisme sungguh-sungguh menggunakan kacamata marxisme untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Jadi dengan kata lain, yang satu menggunakan perspektif nasionalistis yang merangkul pula marxisme untuk menuju persatuan nasional, yang satu lagi menggunakan perspektif marxisme untuk menyelesaikan seluruh persoalan bangsa dimana tercakup pula nasionalisme.
• Dalam paham Sukarnoisme tersebut, ajaran nasionalismenya mengacu pada paham kebangsaan Renan serta filsafat Jawa yang mau menyatukan ketiga golongan yang ada. Di lain pihak, paham sosio-nasionalisme dalam marhaenisme mengacu pada nasionalisme marhaen atau nasionalisme yang marxistis, artinya nasionalisme yang terbentuk atas persatuan seluruh kaum marhaen yang merupakan sebagian besar rakyat Indonesia pada waktu itu. Nasionalisme marhaen ini mempunyai ciri nasionalisme yang anti-kapitalisme dan anti-imperialisme.
Secara umum dapat dikatkan bahwa paham Sukarnoisme berbeda dari ajaran marhaenisme, namun pada beberapa bagian memang terdapat persinggungan di antara kedua ajaran tersebut. Persoalan yang lebih mendasar dari paham Sukarno itu adalah Sukarno menganggap remeh jurang-jurang perbedaan yang dalam di antara ketiga golongan yang ada. Onghokham melihat bahwa usaha Sukarno ini sangat dipengaruhi sinkretisme Jawa yang dianutnya. Masalah muncul dari golongan agama, terutama Masyumi dan Muhammadiyah. Golongan agama yang merasa mau menjalankan kemurnian agamanya tentu saja tidak bersedia bekerja sama dengan golongan marxis. Lagipula, dalam marhaenisme sendiri nasionalisme yang dianut adalah nasionalisme kaum marhaen. Persoalannya apakah golongan agama mau digolongkan sebagai kaum marhaen? Pada kenyataannya, Sukarno bersikap pragmatis dalam mengusahakan persatuan nasional. Antara lain ia kemudian menggandeng NU sebagai komponen dari golongan agama bagi paham Sukarnoisme itu, dan bukannya Masyumi serta Muhammadiyah meski Sukarno sendiri adalah seorang Muhammadiyah.
Marhaenisme pada Masa Pasca-Orde Baru
Dalam masa pra-kemerdekaan sampai berkuasanya rezim Orde Lama, marhaenisme menjadi suatu sistem pemikiran yang berpengaruh di Indonesia. Namun ketika rezim Orde Baru berkuasa dan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, maka redup pulalah sinar marhaenisme. Zaman berganti. Orde Baru tumbang dan Pancasila kehilangan gaungnya. Pada masa pasca-Orde Baru itu muncul partai-partai yang mengusung kembali panji-panji marhaenisme atau paling tidak mempunyai kaitan sejarah dengan PNI, antara lain PDI-P, PNI Marhaenis, Partai Pelopor, dan PNBK serta organisasi massa lainnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah marhaenisme masih relevan menjawab tantangan masa kini? Yang kedua, jika marhaenisme memang masih relevan, apakah partai-partai berpanji marhaenisme itu sungguh-sungguh membawa ajaran marhaenisme Sukarno tahun 1927?
Tantangan masa kini apa yang bisa dijawab oleh marhaenisme? Makin timpangnya kemakmuran antara negara-negara maju dan negara-negara miskin? Apakah kemakmuran di negara-negara maju dibayar dengan ongkos dari negara-negara miskin, baik tenaga buruhnya yang murah, sumber daya alamnya yang juga murah, maupun degradasi lingkungannya? Di dalam negeri sendiri, makin terjadi pula ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Apakah penyebab itu semua adalah kapitalisme global, imperialisme wajah baru dan neoliberalisme?
Banyak pihak menuding bahwa kapitalisme global, imperialisme baru dan neoliberalisme memang penyebab makin timpangnya kemakmuran negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Akibat yang berikut adalah juga makin timpangnya kemakmuran di dalam negara-negara miskin itu sendiri. Butuh studi lanjut untuk menunjukkan bahwa ketimpangan-ketimpangan yang ada memang merupakan hasil penindasan baik antar-kawasan, antar-negara, maupun antar-golongan sosial di dalam suatu negara. Jika memang terjadi penindasan, maka bukankah kapitalisme dan imperialisme memang merupakan musuh lama dari marhaenisme?
Tantangan yang berikut yang tak kalah besarnya adalah soal persatuan nasional. Persoalan otonomi daerah, federalisme dan separatisme makin menjadi persoalan serius pada masa pasca-orde Baru. Disintegrasi nasional muncul menjadi ancaman. Di lain pihak, paham Sukarnoisme dan marhaenisme dahulu berjuang mati-matian demi sebuah persatuan nasional. Apakah memang nasionalisme menjadi tak relevan lagi pada masa kini? Apa relevansinya? Apakah bangsa ini masih punya “tujuan bersama” seperti dulu digaungkan oleh Sukarno?
Merangkum semuanya, apakah marhaenisme dapat menjadi suatu sistem pemikiran alternatif dan bertindak sebagai praksis pembebasan dalam masa pasca-Orde Baru ini bagi negara dan bangsa Indonesia sebagaimana Sukarno dulu cita-citakan?
Namun sebelum menjawab pertanyaan itu, pertanyaan yang lain harus dijawab terlebih dahulu adalah apakah memang marhaenisme seperti yang diajarkan Sukarno sejak tahun 1927, benar-benar muncul kembali pada masa pasca-Orde Baru ini? Putra-putri Sukarno seperti Megawati dengan PDI-P-nya yang mendaku pro-wong cilik, Rachmawati dengan Partai Pelopor dan Sukmawati dengan PNI Marhaenis mengklaim diri bahwa maereka adalah marhaenis. Bahkan Rachmawati menyatakan dirinya lebih marhaenis ketimbang kakak dan adiknya itu. Sedangkan Sukmawati menyatakan bahwa dia bukan hanya anak biologis dari Sukarno, namun terlebih anak ideologis Sukarno. Benarkah? Marhaenisme yang manakah yang mereka klaim? Ada tuduhan bahwa Indonesia ini hanya jadi hamba kaum kapitalis global dan imperialis, bahkan ketika di bawah kepemimpinan Megawati sendiri yang merupakan anak darah dari Bapak Marhaen, Sukarno. Dengan demikian, pada masa pasca-Orde Baru ini meski panji-panji marhaenisme diusung kembali, namun diragukan apakah nilai-nilainya juga dijunjung.
Penutup
Marhaenisme tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pemikiran politik yang lahir di Indonesia. Cita-citanya yang luhur yaitu membebaskan bangsa Indonesia dari segala macam penindasan dan membawanya menuju masyarakat yang adil dan makmur barangkali membuatnya disebut sebagai marxisme ala Indonesia. Namun sebagaimana sejarah juga mencatat kegagalan marxisme dalam mencapai cita-citanya dan perlahan surut dari panggung dunia, begitu pula marhaenisme. Sampai pudarnya sinar marhaenisme di zaman Orde Baru, ia belumlah mencapai tujuannya yaitu membebaskan bangsa Indonesia dari penindasan dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Kini, marhaenisme disebut-sebut akan bangkit. Namun, akankah sejarah berulang? Apakah marhaenisme akan muncul kembali dengan cita-cita yang mulia hanya untuk menemui kegagalan dalam mencapai cita-citanya itu?
0 komentar:
Posting Komentar